Senin, 10 November 2014
Musso, Bapak Republik Indonesia Soviet
BAPAK Republik Indonesia Soviet Musso lahir di Desa Pagu, Kediri, tahun 1897. Dia mendapat didikan guru di Jakarta dan tertarik dengan politik kaum kiri saat bertemu dengan Alimin saat tinggal di rumah Tjokroaminoto.
Di rumah itu, tinggal juga Soekarno muda yang tengah mengenyam pendidikan politik.
Secara pribadi, dia dikenal oleh teman-temannya sebagai orang yang cerdas, pintar mengorganisir, dan penulis politik yang sangat handal. Dia juga dikenal sebagai sosok yang keras dan nekat. Namun begitu, dia sangat disenangi kawan seperjuangan.
Karena sikapnya itu, dia keluar masuk penjara kolonial Belanda. Pernah suatu kali, dia ditahan oleh Belanda. Lantaran terlibat aksi Serikat Islam (SI) Afdeling B. Selama di penjara, dia banyak mendapatkan siksaan, karena menolak memberikan keterangan apa pun tentang gurunya Tjokroaminoto.
Peristiwa itu, membekas di hatinya dan menimbulkan kebencian mendalam terhadap Belanda. Saat di dalam penjara, dia banyak belajar tentang paham komunisme. Namun demikian, dia tidak langsung pro terhadap PKI saat terjadi pertentangan antara Semaoen-Haji Agus Salim dan Abdul Muis.
Sejak kebangkitannya yang pertama, paham komunisme selalu mendapat tekanan kuat dari pihak Barat. Tokoh-tokoh komunis yang ditangkapi dan diasingkan. Dimulai dari Sneevliet, Tan Malaka, Semaoen, Darsono, Ali Archam, Haji Misbach, dan Mas Marco. Di saat kondisi seperti itulah tercetus keputusan Prambanan.
Pada 25 Desember 1925, pemimpin-pemimpin PKI di bawah Sardjono mengadakan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta, Jawa Tengah. Keputusan itu menghasilkan, aksi bersama mulai dengan pomogokan hingga aksi bersenjata. Kaum tani dipersenjatai dan serdadu harus ditarik dalam pemberontakan.
Di waktu yang nyaris bersamaan, perburuan terhadap tokoh-tokoh komunis dilanjutkan. Alimin, Musso, Boedisoetjitro, dan Sugono kabur menghindar ke Singapura. Di sana, mereka bertemu Subakat, Alimin, Sanusi dan Winata, merundingkan kembali keputusan Prambanan.
Hasil perundingan itu lalu disampaikan kepada Wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia Tenggara Tan Malaka di Manila. Alimin yang diutus untuk menyampaikan hasil perundingan di Singapura itu. Namun, Tan Malaka dengan tegas menolak rencana tersebut, karena dinilai masih mentah.
Alimin kemudian kembali ke Singapura dan membicarakan penolakan Tan Malaka. Tetapi, pimpinan PKI di Singapura mengutus Alimin dan Musso ke Moskow untuk meminta dukungan Stalin. Akhirnya, Tan Malaka berangkat ke Singapura. Namun, Alimin dan Musso sudah terlanjur berangkat ke Moskow.
Di Singapura, Tan Malaka bertemu Subakat, dan diberikan jawaban Alimin yang menyatakan pimpinan PKI menolak menggagalkan pemberontakan. Lalu, Subakat memanggil Suprodjo dan membicarakan kembali keputusan Prambanan bertiga. Hasilnya, analisa Tan Malaka benar dan pemberontakan harus dibatalkan.
Suprodjo pun kembali ke Indonesia dan bertemu Sardjono agar mengagalkan pemberontakan. Namun ditolak. Pada 12 November 1926, pemberontakan meletus di Jawa, dan Januari 1927 di Sumatera Barat. Dalam tempo yang sangat singkat, pemberontakan ditumpas dan PKI dijadikan partai terlarang.
Setelah pemberontakan yang gagal itu, pergerakan kemerdekaan bergerak di bawah tanah. Sementara Musso dan Alimin berhasil bertemu Stalin. Namun, sikap Stalin dan Tan Malaka sama. Mereka sama-sama menolak pemberontakan, karena mentahnya persiapan yang dilakukan pihak komunis.
Sebagai ganjaran, Musso "ditahan" oleh Moskow untuk mengikuti pendidikan Marxisme-Leninisme, dan dididik menjadi agen komunis internasional. Sementara Alimin mengembara sebagai agen komintern. Berkat didikan keras Moskow, Musso menjadi pemimpin komunis yang handal.
Pada tahun 1935, Musso kembali ke Indonesia dan menghidupkan kembali PKI bawah tanah untuk memimpin perjuangan antifasis selama pendudukan Jepang, dia kembali menghilang. Hingga akhirnya, datang kembali ke Indonesia bersama Kepala Perwakilan RI di Praha Soeripno atas nama Soeparto, pada 11 Agustus 1948.
Saat itu, Musso membawa garis baru partai yang dia namakan sebagai "Jalan Baru" untuk Republik Indonesia. Kebijakannya itu berisi tentang apa yang harus dilakukan kaum komunis, dan kritik tajam atas kesalahan-kesalahan PKI selama berdirinya gerakan antifasis Jepang tahun 1935.
Kedatangan Musso, bagi kaum komunis saat itu disambut hangat oleh partai yang langsung mengikuti kebijakan "jalan baru" itu. Partai-partai berhaluan Marxisme-Leninisme yang ada saat itu berfusi di bawah satu komando PKI. Segera, PKI melakukan kampanye ke daerah-daerah yang menjadi basis komunis.
Saat melakukan kampanye itulah, peristiwa Madiun meletus sebagai akibat dari konflik bersenjata yang terjadi di Solo dan Madiun. Saat itu, Musso bersama Amir Sjarifuddin dan Setiadjid, sedang berada di Purwodadi. Ketika itu, Musso masih mengharapkan oposisi lewat jalan parlementer.
Namun begitu, Musso menyetujui keputusan sepihak tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Sumarsono yang mengambil alih kekuasaan sipil di Madiun dan mendirikan Republik Demokrasi Rakyat Indonesia, di corong Radio Gelora Pemuda, pada 18 September 1948.
Bahkan kemudian, gerakan Sumarsono itu diambil alih oleh Musso dan berganti nama menjadi Pemerintah Front Nasional sesuai ide Musso untuk menyatukan kekuatan-kekuataan rakyat. Dalam pemerintahan itu, Hatta mengecap Musso akan menjadi Presiden dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai perdana menterinya.
Serupa dengan pemberontakan rakyat 1926-1927, pemberontakan di Madiun dengan mudah ditumpas. Hanya dalam tempo 12 hari, pemerintahan rakyat di bawah Pemerintahan Front Nasional berhasil direbut kembali ke pangkuan republik. Dampak dari perbuatan ini tidak kalah merugikan, sekira 8.000 kaum komunis terbunuh, dan 36.000 orang dipenjara.
Dalam situasi perang itu, Musso berpisah seorang diri dengan rekan-rekannya. Minggu 31 Oktober 1948, dia bertemu dengan anggota laskar prorepublik, di Desa Balong. Saat itu, Musso membawa gendolan sarung berisi jas hujan. Saat dilakukan penggeledahan, dia mengeluarkan pistol dan menembak laskar itu.
Lalu melarikan diri dengan merampas sepeda milik warga. Di tengah jalan, dia bertemu dengan dokar dan ikut menumpang. Di bawah todongan pistol, sopir dokar yang ketakutan dipaksa jalan.
Di tengah jalan, dokar yang dibajak Musso bertemu dengan mobil yang berisi tentara dari Batalion Sunandar. Musso menghentikan dokar, dan menghadang mobil itu. Secepat kilat, Musso menodongkan pistol ke arah mereka. Nahas bagi Musso, rampasan mobil itu tidak mau hidup saat si starter. Lalu, dia melanjutkan pengembaraannya ke desa terdekat.
Di sana, dia ketahuan sembunyi di kamar mandi. Karena tetap tidak mau menyerah, dia ditembak mati. Mayatnya kemudian dibawa ke Ponorogo, dan dipertontonkan kepada warga. Lalu, massa yang emosi membakar mayatnya.
(san)
Tags :
Revolusi
0 komentar
Posting Komentar