Kelompok Prambanan
Pada Juni 1925, Alimin secara terbuka
telah mengajurkan suatu revolusi. Adapun hasil pokok dari pertemuan ini
adalah bahwa PKI akan mengadakan pemberontakan pada Juli 1926, dengan
terlebih dulu diawali dengan aksi-aksi pemogokan yang aka diorganisir.
Pada Desember 1925,
pemimpin-pemimpin PKI yang masih tinggal di Indonesia mengadakan pertemuan di Prambanan yang dipimpin oleh Alimin. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, Jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lain. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemua ini hadir mewakili seluruh Sumatera mengadakan pertemuan kilat di Prambanan. Setelah membahas situasi terakhir, pertemua Prambanan memutuskan bahwa PKI akan mengadakan pemberontakan pada Juli 1926 dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi bersenjata. Kaum tani supaya dipersenjatai, dan serdadu-serdadu pun harus ditarik dalam pemberontakan ini (Lembaga Sejarah PKI, Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (126), Jakarta: Yayasan Pembaharuan,1961; hlm: 53)
pemimpin-pemimpin PKI yang masih tinggal di Indonesia mengadakan pertemuan di Prambanan yang dipimpin oleh Alimin. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, Jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lain. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemua ini hadir mewakili seluruh Sumatera mengadakan pertemuan kilat di Prambanan. Setelah membahas situasi terakhir, pertemua Prambanan memutuskan bahwa PKI akan mengadakan pemberontakan pada Juli 1926 dimulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung aksi bersenjata. Kaum tani supaya dipersenjatai, dan serdadu-serdadu pun harus ditarik dalam pemberontakan ini (Lembaga Sejarah PKI, Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (126), Jakarta: Yayasan Pembaharuan,1961; hlm: 53)
Dalam rencana pemberontakan ini akan
diadakan pada pertengahan 1926 (Mei-Juni). Rencana-rencana untuk
memberontak mulai disiapkan meskipun persiapannya tidak matang.
Sementara itu Belanda semakin kers untuk menindak pengurus PKI. Pada
Januari 1926 Belanda memutuskan untuk menangkap Muso, Budisutjitro, dan
Sugono. Pemerintah Hindia Belanda gagal menangkap mereka karena mereka
telah lari keluar negeri. Mereka lari ke Singapura dan di sana bersama
Alimin, Subakat, Sanusi dan Winata merundingkan lagi keputusan
Prambanan.
Menghadap Tan Malaka
Alimin pada mulanya mengirim surat kepada
Tan Malaka di Manila yang menginginkan agar Alimin dapat tinggal
bersamanya. Tan Malaka sebenarnya senang jika Alimin mau menemaninya
tinggal di Manila. Hal ini dikarenakan Tan Malaka mengenal bahwa Alimin
adalah orang yang pandai bergaul, pengembara, dan mempunyai banyak
pengalaman. Namun ketika sampai di Manila, Alimin menjelaskan
kedatangannya untuk meminta persetujuan tentang keputusan yang
dihasilkan di Prambanan.
Tan Malaka kemudian bertanya kepada
Alimin apakah rakyat sudah siap. Alimin tidak bisa menjawab tentang
kesiapan massa PKI dalam mendukung pemberontakan. Tan Malaka kemudian
memberikan dokumen kepada Alimin yang berisi alasan-alasan menentang
keputusan Prambanan untuk selanjutnya diteruskan kepada pimpinan PKI di
Jawa maupun Sumatera. Tan Malaka akhirnya menyuruh Alimin kembali ke
Singapura untuk merundingkan lagi keputusan Prambanan.
Partai itu menyadari bahwa meminta
bantuan Moskow tanpa dukungan Tan Malaka akan janggal. Agar punya waktu
untuk memobilisir bantuan dan menambah persiapan yang perlu di
Indonesia, revolusi ditetapkan akan dilancarkan pada 18 Juni 1926. Dalam
suratnya Tan Malaka menentang keputusan Prambanan dengan alasan:
- Situasi revolusioner belum ada
- PKI belum cukup berdisiplin
- Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI
- Tuntutan/semboyan yang konkret belum dipikirkan
- Imperialisme internasional bersekutu melawan Komunisme
Alimin akhirnya kembali lagi ke Singapura
namun tidak menyerahkan dokumen itu kepada pimpinan PKI di Singapura
dan berusaha membuat membuat kelompok Singapura percaya bahwa perasaan
Tan Malaka sama seperti apa yang dirasakannya. Rapat PKI akhirnya
memutuskan mengirim Alimin dan Musso untuk berbicara kepada Stalin
tentang rencana pemberontakan komunis di Indonesia.
Pada 16 Maret 1926, Alimin dan Musso
berangkat ke Kanton (Kota di Utara Hongkong) untuk selanjutnya menuju
Moskow. Pada hari itu juga Alimin menulis surat pada Tan Malaka bahwa ia
telah menyampaikan usul-usul Tan Malaka pada pengurus PKI di Singapura,
namun usulan tersebut ditolak. Ia mendapat perintah untuk pergi bersama
Musso. Alimin juga menambahkan pada surat ini bahwa Musso marah pada
Tan Malaka yang menganggap dirinya sebagai pemimpin sehingga berhak
untuk menolak keputusan Prambanan.
Surat dari Alimin akhirnya sampai ke Tan
Malaka. Tan Malaka yang pada mulanya yakin bahwa alasannya dapat
diterima akhirnya menuduh bahwa Alimin telah berbohong. Meskipun dalam
keadaan masih sakit, Tan Malaka tetap berniat untuk untuk pergi ke
Singapura. Tan Malaka pada akhirnya menumpang kapal Jerman untuk pergi
ke Singapura. Ia kemudian tiba di Singapura pada 6 Juni 1926. Di sana ia
bertemu dengan Subakat dan Djamaludin Tamin dan mengatakan bahwa
keadaan di Indonesia memungkinkan untuk mengadakan revolusi. Djamaludin
Tamin diberi tembusan dokumen yang sebelumnya diserahkan kepada Alimin
dan ia sendiri akan berangkat ke Indonesia.
Tan Malaka kemudian mengirim surat kepada
ke cabang PKI di Jawa dan Sumatera. Ia kemudian membujuk para pemimpin
PKI agar menolak keputusan Prambanan. Usaha ini membuat sebagian
cabang-cabang PKI tidak mendukung revolusi yang dipelopori keputusan
Prambanan. Di Moskow, Stalin menentang rencana pemberontakan Komunis di
Indonesia. “Dasar kamu orang gila. Cepat pulang ke Indonesia dan batalkan pemberontakan itu”. Demikian makian Stalin kepada Musso dan Alimin.
Alimin dan Musso berdiam di Moskow selama
3 bulan. Kedatangan Alimin dan Musso ke Moskow bersamaan dengan
pertentangan antara Stalin dengan Trotsky. Selama 3 bulan di Moskow,
Alimin dan Musso mendapat pendidikan anti-Trotsky. Karena tidak ada
persetujuan dari Stalin, maka Alimin dan Musso pada Oktober 1926 kembali
ke Indonesia dengan membawa kutukan terhadap rencana mereka dan
instruksi-instruksi untuk melakukan propgandan nasionalis yang radikal.
Belum sempat Alimin dan Musso kembali ke
Indonesia, pemberontakan PKI telah pecah di Indonesia pada 12 November
1926. Pemberontakan meletus pada 12 November 1926 malam di Jakarta,
Banten, kemudian disusul di Priangan, Surakarta, Banyumas, Pekalongan,
Kedu, Kediri, dll, di Jaw. Selanjutnya pada 1 Januari 1927 meletus
pemberontakan di Sumatera Barat. Pemberontakan ini diikuti oleh massa
rakyat Indonesia yang luas.
Dalam propaganda, para tokoh PKI selalu
aktif mendatangi rumah-rumah penduduk. Lalu pemilik rumah disuruh
membeli karcis merah seharga setalen. Mereka yang telah membeli karcis
ditunjuk untuk melakukan huru-hara tanggal 12 dan 13 November 1926.
Penjara Glodok, Salemba dan rumah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van
Limburg Stirum diserang oleh anggota PKI. Orang-orang PKI melakukan
serangkaian perusakan. Kantor telepon dan telegraf diserang. Rel kereta
api dirusak di Banten dibongkar.
Pada hari yang sama, di Banten juga
terjadi hal yang sama. Kerusuhan terus berlangsung sampai 5 Desember
1926. Di Bandung terjadi kerusuhan sampai 18 November, sedangkan di
Kediri sampai 15 Desember. Pemberontakan juga direncanakan dilakukan di
Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Tetapi di tempat-tempat tersebut,
pemberontakan gagal dilaksanakan.
Gagalnya Pemberontakan PKI 1926
Pemerintah Hindia
Belanda langsung mengambil tindakan tegas untuk menumpas pemberontakan
yang dilakukan PKI. Tanggal 1 Desember 1926, sebanyak 106 pemegang
karcis merah dari Tanah Abang dan Karet digiring ke kantor kabupaten di
daerah Molenvliet (sekarang bernama Gambir). Mereka langsung di asingkan
ke Digul. Dari kalangan militer yang terlibat tertangkaplah Wuntu,
seorang serdadu dari Manado. Saat itu ia dan lima orang rekannya hendak
merampas sebuah bengkel di Bandung.
Pemberontakan ini sangat tidak sesuai
dengan rencananya karena disamping waktunya terlambat, juga tempat
pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan rencana semula. Rencananya
pemberontakan ini akan dimulai dari Padang, namun kenyataannya
pemberontakan ini pertama kali terjadi di Batavia yang menyebar ke
wilayah Pulau Jawa. Pemberontakan ini dapat dengan mudah dipadamkan
pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan di Padang sendiri baru
dilakukan dua bulan setelah pemberontakan PKI di Jawa telah dipadamkan.
Kegagalan pemberontakan PKI di Indonesia
Tan Malaka dijadikan “kambing hitam” oleh pemimpin PKI seperti Alimin
dan Musso. Tan Malaka dianggap penganut Trotsky. Alimin dan Darsono
telah tiba di Malaya pada pertengahan Desember 1926, setelah kembali
dari Moskow lewat Kanton. Pada 18 Desember 1926 mereka ditahan oleh
polisi Inggris di Singapura. Penahanan oleh pemerintah Inggris di
Singapura membuat Alimin dan Musso tidak bisa memasuki Indonesia. Alimin
dan Musso akhirnya dikeluarkan dari tahanan sebagai hasil dari
demonstrasi dan tuntutan mass komunis di Singapura. Mereka tidak
diserahkan kepada Hindia Belanda, tetapi diharuskan meninggalkan
Singapura.
Akibat pemberontakan Komunis di Indonesia
membuat PKI semakin kacau. Mayoritas pimpinannya yang ada di Indonesia
ditangkap oleh Hindia-Belanda dan dimasukkan ke kamp konsentrasi di
Digul, Papua. Sekitar 13.000 rakyat Indonesia diasingkan serta 823
dikirim ke Kamp Digul, Papua. Kekuatan Komunis di Indonesia hancur.
Alimin mendengar pemberontakan PKI telah
meletus ketika di Syanghai. Atas desakan Konsul Jenderal Rusia di
Syanghai, perjalanan Alimin dan Tan Malaka tetap dilanjutkan. Kedatangan
Alimin dan Musso ternyata telah diintai oleh intelijen Belanda. Pada 15
Desember 1926, mereka telah sampai di Singapura. Alimin dan Musso
ternyata kemudian menuju Geylang Serai yang dijadikan markas anggota
PKI. Begitu sampai di Geylang Serai, pengikut Tan Malaka yang bernama
Agam Putih melaporkan Alimin dan Musso kepada polisi Hindia-Belanda.
Tertangkapnya Alimin dan Musso membuat
Subakat, tokoh PKI yang masih ada di Singapura ketakutan. Subakat
kemudian menghubungi Alimin dan Musso serta menyuruh mereka melarikan
diri. Keduanya gagal melarikan diri dan hanya Subakat yang berhasil
melarikan diri. Pada saat ditangkap Alimin dan Musso membawa uang
sebesar 2510 dolar yang merupakan bantuan Uni Soviet bagi PKI.
Sumber:
ALIMIN & TAN MALAKA
PAHLAWAN YANG DILUPAKAN
Hlm: 17-22
Penulis : EFANTINO FEBRIANA
0 komentar
Posting Komentar