Berat nian perjalanan Republik Indonesia. Ibarat Gatotkaca, sesaat
setelah kelahirannya, ia harus digembleng di kawah candradimuka. Nasib
republik benar-benar menjadi pertaruhan dan pertarungan sengit
antarelemen bangsa yang hendak memaksakan ideologi dan kepentingannya.
Di saat Sekutu mendarat. Di kala Sukarno mengungsi ke Yogya.
Pemerintah Republik Indonesia seperti sebuah sampan di tengah samudera.
Diombang-ambingkan gelombang, dihempas badai. Sekelompok elite ingin
memaksakan sebuah bentuk negara Uni Belanda. Pelopornya adalah Sutan
Sjahrir. Di sisi lain, ektremis kanan menghendaki sebuah bentuk negara
Islam. Sementara, tokoh kiri seperti Muso, Alimin, Amir Sjarifuddin,
berusaha agar komunis menjadi ideologi negara.
Pertentangan tadi terus memuncak. Masing-masing pihak “bergerilya”
dengan caranya. Yang kanan mencoba cara-cara kanan. Yang kiri mencoba
cara-cara kiri. Yang bukan keduanya, mencoba dengan aneka cara. Bung
Karno? Dia final dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Akan tetapi, dalam suasana gelombang pasang, maka pasang-surut
keadaan menjadi begitu dinamis. Sementara kelompok Sutan Sjahrir
melakukan lobby-lobby tertentu dengan Belanda, maka para tokoh
komunis menjalin sebuah poros ke Uni Soviet. Sedangkan, Sukarno sendiri
masih menjadi incaran polisi Belanda. Sukarno masih menghadapi
ancaman-ancaman pembunuhan dari polisi Belanda. Sukarno masih berjuang
menegakkan pemerintahan republik yang masih compang-camping.
Sang kala menginjak hari ke-18 bulan September tahun 1948 ketika
Muso, Alimin, Suriono dan para tokoh kiri lain memproklamasikan
Pemerintah Komunis Uni Soviet di Indonesia. Deklarasi itu dikumandangkan
di Madiun, Jawa Timur, sebagai sebuah bentuk makar, sebagai sebuah
ingkar atas negara proklamasi 17 Agustus 1945. Ironinya, proklamasi
pemerintahan komunis itu justru didukung oleh Menteri Pertahanan Amir
Sjarifuddin. Bung Karno shock dibuatnya.
Di tengah kejaran polisi Belanda, di tengah kondisi pemerintahan
transisi di Yogyakarta, Bung Karno segera mengambil sikap tegas atas
peristiwa yang disebut “Madiun Affair” itu. Melalui siaran radio
nasional, Bung Karno bertanya kepada seluruh rakyat Indonesia, “Pilih
Muso atau Bung Karno”. Dalam konteks kalimat yang lebih lengkap, Bung
Karno mengumandangkan situasi aktual tentang peristiwa Madiun dan
menyuruh rakyat menentukan pilihan, “Pilih Sukarno-Hatta atau Muso
dengan PKI-nya”.
Tidak butuh waktu lama, ketika Sukarno mendapat jawab, rakyat masih
solid di belakang dwitunggal Sukarno-Hatta. Maka Sukarno pun langsung
memerintahkan Divisi Siliwangi di bawah pimpinan AH Nasution untuk
menumpas pemerintahan komunis Soviet di Indonesia pimpinan Muso. Hanya
dalam tempo sebulan, Oktober 1948 Divisi Siliwangi menggempur
pemerintahan komunis pimpinan Muso.
“Suwe mijet wohing ranti”… tidak memerlukan waktu lama, pemberontakan
itu berhasil ditumpas. Muso sendiri tewas dalam suatu “pertempuran
kecil sekali”. Pemberontakan pun padam dengan lekas. Sejumlah pentolan
yang tertangkap hidup-hidup seperti Amir Sjarifuddin, Suriono dan
lain-lain, digelandang ke ibukota negara, Yogyakarta untuk diadili.
Selesaikah persoalan bangsa dan negara muda bernama Republik
Indonesia? Ah, jauh panggang dari api. Sesaat setelah itu, Bung Karno
dan sejumlah tokoh politik negeri, ditangkap Belanda dan dibuang ke
Sumatera. Ya, tiga bulan setelah “peristiwa Madiun”, sejarah kita
memiliki peristiwa penting yang lain lagi. (roso daras)
0 komentar
Posting Komentar