Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Senin, 10 November 2014

Pilih Muso atau Bung Karno?

Berat nian perjalanan Republik Indonesia. Ibarat Gatotkaca, sesaat setelah kelahirannya, ia harus digembleng di kawah candradimuka. Nasib republik benar-benar menjadi pertaruhan dan pertarungan sengit antarelemen bangsa yang hendak memaksakan ideologi dan kepentingannya.

Di saat Sekutu mendarat. Di kala Sukarno mengungsi ke Yogya. Pemerintah Republik Indonesia seperti sebuah sampan di tengah samudera. Diombang-ambingkan gelombang, dihempas badai. Sekelompok elite ingin memaksakan sebuah bentuk negara Uni Belanda. Pelopornya adalah Sutan Sjahrir. Di sisi lain, ektremis kanan menghendaki sebuah bentuk negara Islam. Sementara, tokoh kiri seperti Muso, Alimin, Amir Sjarifuddin, berusaha agar komunis menjadi ideologi negara.
Pertentangan tadi terus memuncak. Masing-masing pihak “bergerilya” dengan caranya. Yang kanan mencoba cara-cara kanan. Yang kiri mencoba cara-cara kiri. Yang bukan keduanya, mencoba dengan aneka cara. Bung Karno? Dia final dengan Pancasila sebagai ideologi negara.
Akan tetapi, dalam suasana gelombang pasang, maka pasang-surut keadaan menjadi begitu dinamis. Sementara kelompok Sutan Sjahrir melakukan lobby-lobby tertentu dengan Belanda, maka para tokoh komunis menjalin sebuah poros ke Uni Soviet.  Sedangkan, Sukarno sendiri masih menjadi incaran polisi Belanda. Sukarno masih menghadapi ancaman-ancaman pembunuhan dari polisi Belanda. Sukarno masih berjuang menegakkan pemerintahan republik yang masih compang-camping.
Sang kala menginjak hari ke-18 bulan September tahun 1948 ketika Muso, Alimin, Suriono dan para tokoh kiri lain memproklamasikan Pemerintah Komunis Uni Soviet di Indonesia. Deklarasi itu dikumandangkan di Madiun, Jawa Timur, sebagai sebuah bentuk makar, sebagai sebuah ingkar atas negara proklamasi 17 Agustus 1945. Ironinya, proklamasi pemerintahan komunis itu justru didukung oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Bung Karno shock dibuatnya.
Di tengah kejaran polisi Belanda, di tengah kondisi pemerintahan transisi di Yogyakarta, Bung Karno segera mengambil sikap tegas atas peristiwa yang disebut “Madiun Affair” itu. Melalui siaran radio nasional, Bung Karno bertanya kepada seluruh rakyat Indonesia, “Pilih Muso atau Bung Karno”. Dalam konteks kalimat yang lebih lengkap, Bung Karno mengumandangkan situasi aktual tentang peristiwa Madiun dan menyuruh rakyat menentukan pilihan, “Pilih Sukarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya”.
Tidak butuh waktu lama, ketika Sukarno mendapat jawab, rakyat masih solid di belakang dwitunggal Sukarno-Hatta. Maka Sukarno pun langsung memerintahkan Divisi Siliwangi di bawah pimpinan AH Nasution untuk menumpas pemerintahan komunis Soviet di Indonesia pimpinan Muso. Hanya dalam tempo sebulan, Oktober 1948 Divisi Siliwangi menggempur pemerintahan komunis pimpinan Muso.
“Suwe mijet wohing ranti”… tidak memerlukan waktu lama, pemberontakan itu berhasil ditumpas. Muso sendiri tewas dalam suatu “pertempuran kecil sekali”. Pemberontakan pun padam dengan lekas. Sejumlah pentolan yang tertangkap hidup-hidup seperti Amir Sjarifuddin, Suriono dan lain-lain, digelandang ke ibukota negara, Yogyakarta untuk diadili.
Amir dan Suriono Tertangkap
Selesaikah persoalan bangsa dan negara muda bernama Republik Indonesia? Ah, jauh panggang dari api. Sesaat setelah itu, Bung Karno dan sejumlah tokoh politik negeri, ditangkap Belanda dan dibuang ke Sumatera. Ya, tiga bulan setelah “peristiwa Madiun”, sejarah kita memiliki peristiwa penting yang lain lagi. (roso daras)

0 komentar

Posting Komentar