Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Sejak Paku Buwana II naik tahta,
kondisi politik Kerajaan Mataram Kartasura selalu mengalami kegoncangan. Selain
disebabkan usia Paku Buwana II yang masih muda, yakni 16 tahun, juga disebabkan
Sunan Paku Buwana II yang selalu ragu-ragu dalam menentukan kebijakannya. Kegoncangan
politik pada masa PB II mencapai puncaknya ketika orang-orang Tionghoa
melakukan pemberontakan kepada Kompeni akibat pembantaian orang-orang Tionghoa
di Batavia pada tahun 1740. PB II bersikap ragu-ragu dalam menghadapi
pemberontak Tionghoa, apakah akan mendukung pemberontak untuk menghadapi
Kompeni atau tetap mempertahankan status quo mengingat bahwa kekuatan
pemberontak Tionghoa tidak cukup mampu untuk menghancurkan Kompeni. Oleh sebab
itu, PB II mengambil kebijakan mendua, di depan seolah-olah mendukung Kompeni
tetapi di belakang ia mendukung pemberontak dengan memberi bantuan keuangan dan
persenjataan kepada pemberontak Tionghoa. Namun, sikap ini kemudian berubah di
mana PB II berbalik ingin menghancurkan kekuatan pemberontak Tionghoa yang
dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Sikap yang diambil oleh PB II ini berakibat
sangat fatal, yakni hancurnya Keraton Kartasura dan konsekuensi yang harus
dibayar dengan mahal karena telah meminta Kompeni untuk menghancurkan kekuatan
pemberontak Tionghoa. Pemberontakan Tionghoa ini kemudian dikenal sebagai Geger Pacina.
Pemberontak
Tionghoa yang dibantu oleh beberapa bupati dan pangeran yang kecewa dengan
sikap PB II kemudian melakukan perlawanan sengit yang mengakibatkan direbutnya Keraton
Mataram Kartasura oleh para pemberontak Cina yang dipimpin oleh Raden Mas
Garendi (Sunan Kuning) pada tanggal 30 Juni 1742. Paku Buwana II yang menderita
kekalahan melarikan diri ke Ponorogo bersama dengan Mayor Hohendorff.
Kemudian, Sunan Paku
Buwana II meminta bantuan VOC agar dapat merebut kembali keraton dengan jaminan
bahwa jika VOC mampu merebut kembali keraton, Sunan akan memberikan wilayah
pesisir kepada VOC dan memperkenankan mereka untuk memilih patih. Tetapi, di
luar dugaan pasukan Cakraningrat IV ternyata telah bergerak terlebih dahulu dan
berhasil merebut Keraton Kartasura. Oleh sebab itu, VOC segera membujuk
Cakraningrat IV untuk mengembalikan Keraton Kartasura dan kembali ke Madura. Pada
akhirnya, Sunan Paku Buwana II dapat kembali ke Kartasura pada tanggal 24
Desember 1742.
Namun, kondisi
keraton sudah tidak lagi memungkinkan untuk menyelenggarakan suatu
pemerintahan. Selain itu, kesucian keraton pun sudah ternoda oleh kehadiran
para pemberontak, sehingga PB II segera memerintahkan para pejabat istananya
untuk segera mencari lokasi yang dianggap baik untuk kemudian didirikan keraton
yang baru, sebab keraton Kartasura sudah dianggap sudah tidak layak dan suci
lagi untuk ditempati. Maka, Paku Buwana II segera mengutus Pangeran Wijil,
untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan kota praja. Mula-mula, ia
menemukan dua daerah yang dianggap sesuai untuk didirikan keraton yang baru. Daerah
itu adalah Tolowangi (Kadipala) dan Sanasewu (sebelah barat Desa Bekonang). Kedua
daerah itu dirasa cukup ideal untuk nantinya dibangun sebuah keraton.
Namun, dalam pemilihan tempat tersebut terjadi perbedaan
pendapat. Patih dan Mayor Hohendorff setuju jika pembangunan keraton didirikan
di Kadipala, tetapi para ahli nujum kurang setuju, sebab walaupun kerajaan
nanti dapat adil, makmur, namun cepat rusak, dan akan terjadi banyak perang
saudara. Sedangkan Sanasewu, meskipun daerahnya rata, tetapi Raden Tumenggung
Honggowongso merasa jika tempat itu kurang cocok, sebab kerajaan akan berumur
pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali ke zaman Budha. Setelah dari Sanasewu Pangeran Wijil kemudian
kembali ke barat dan meneruskan usahanya untuk mencari daerah yang cocok. Selain
kedua tempat tersebut, lokasi alternatif lainnya adalah Desa Sala. Menurut
Tumenggung Honggowongso, meski daerahnya berupa rawa, tetapi sangat baik untuk
dijadikan pusat kerajaan sebab nantinya akan menjadi kerajaan besar, panjang
umur, aman, dan makmur, tidak ada perang, berwibawa. Tetapi Mayor Hohendorff
tidak menyetujuinya karena daerahnya tidak rata, penuh rawa serta terlalu dekat
dengan sungai.
Dari ketiga lokasi
tersebut, akhirnya disepakati bersama untuk memilih Desa Sala. Namun demikian, PB
II masih kurang yakin untuk memilih Desa Sala sebagai kota praja. Akhirnya, Paku
Buwana II mengirimkan lagi empat pejabat istananya untuk meneliti lebih dalam,
mereka adalah Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut, Mas Pengulu Fakih Ibrahim,
dan Tumenggung Tirtawiguna.
Dalam perjalanannya,
mereka menjumpai sebidang tanah yang baik dan berbau harum (wangi) yang
terletak di timur laut Desa Sala. Maka, desa tersebut kemudian dinamai Desa
Talawangi (sekarang menjadi kampung Yasadipuran dan Wirapaten). Kemudian, para
utusan tersebut melakukan semedi (bermati raga) selama beberapa hari di tepian
kedhung kol (rawa) untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Setelah beberapa hari
bersemedi, Pangeran Wijil kemudian menerima petunjuk gaib bahwa memang sudah
menjadi kodrat Tuhan, Desa Sala akan menjadi negara besar. Untuk meneruskan
petunjuk itu, Pangeran Wijil menemui Ki Gedhe Sala untuk mengetahui sejarah dan
asal-usul keberadaan Desa Sala. Ki Gedhe Sala adalah seorang bekel, dan
kediamannya berada di sebuah gubug di tengah-tengah pepohonan Sala. Menurut penuturan
Kyai Bekel Sala, pada masa kerajaan Pajang, seorang putera Tumenggung Mayang
yang bernama Raden Pabelan telah dibunuh karena tertangkap basah masuk ke dalam
keraton secara sembunyi-sembunyi dan ketahuan bemain asmara dengan puteri sekar
kedhaton Ratu Emas, putera Sultan Hadiwijaya. Selanjutnya, mayat Raden Pabelan
dihanyutkan ke sungai Laweyan (Sungai Braja) dan terdampar di sebelah timur
Desa Sala.
Pada suatu malam
Bekel Kyai Sala pergi ke sungai dan tiba-tiba melihat mayat Jaka Pabelan
terapung di tepi sungai. Ia mencoba untuk mendorong mayat itu kembali ke tengah
aliran sungai agar kembali terhanyut. Tetapi, keesokan harinya mayat itu
kembali lagi ke tepi sungai. Bekel Kyai Sala pun berusaha untuk kembali
mendorong mayat itu ke tengah aliran sungai, tetapi mayat itu selalu kembali ke
tepi sungai hingga tiga kali. Akhirnya, Bekel Kyai Sala mendapat wangsit agar
mayat Jaka Pabelan dimakamkan di tempat itu, tepatnya di sebelah narat Desa
Sala, sebab di belakang tempat itu di kemudian hari akan berubah menjadi sebuah
kerajaan besar dan sejahtera. Ketika itu, Bekel Kyai Sala menamakan mayat itu sebagai
Kyai Bathang (Bathang adalah bahasa Jawa yang berarti mayat yang telah
membusuk).
Setelah mengetahui asal-usul
tempat tersebut, keempat utusan tersebut segera mengunjungi makam Kyai Bathang.
Kawasan pemakaman tersebut merupakan tempat yang indah, tetapi terdapat rawa
yang lebar dan dalam. Situasi ini kemudian segera dilaporkan kepada Sunan.
Selanjutnya, Sunan memanggil Tohjaya dan Kyai Yasadipura serta Raden Tumenggung
Padmanagara untuk dimintai pertimbangan dan saran. Sebelum memberikan
pertimbangannya, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu dan menemukan sumber
mata air di rawa itu (tirta kamandanu). Dengan demikian, setelah melakukan
pengumpulan informasi, meninjau, dan menimbang bahwa lokasi tersebut sangat
tepat untuk dijadikan keraton yang baru, maka mereka bersepakat untuk
menjadikan Desa Sala sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Setelah tempat itu
dipilih dan disetujui oleh Kanjeng Sunan Paku Buwana II dan para nayaka-nya,
pembangunan pun segera dimulai. Sunan segera memerintahkan kepada para bupati
mancanegaranya untuk menyerahkan balok-balok kayu sesuai dengan kemampuan
masing-masing yang akan digunakan untuk menutup rawa-rawa tersebut sekaligus
menyumbat mata air yang ada. Dalam pengerjaannya, terjadi berbagai halangan yang
penuh dengan misteri. Kesulitan tersebut didapat karena daerah yang akan
didirikan sebuah keraton itu merupakan daerah rawa-rawa. Mereka menghadapi
kesulitan dalam mengeringkan rawa dan tidak dapat ditutupnya beberapa sumber
mata air, terutama yang ada di Kedung Lumbu. Untuk itu, dilakukanlah berbagai
ritual dengan tujuan menutup sumber-sumber mata air itu.
Berbagai sesaji dan mantra-mantra
dipersembahkan oleh Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut dan Kyai Pengulu Pekik
Ibrahim tetapi tetap gagal. Bahkan, dari sumber mata air itu justru muncul
ikan-ikan yang biasa hidup di laut. Melihat hal ini, Pangeran Wijil dan Kyai
Yasadipura memutuskan untuk bertapa tepat di sebelah selatan kedhungkol.
Sesudah tujuh hari tujuh malam, terus bertapa tanpa makan dan minum, akhirnya
mereka mendapat petunjuk gaib, tepatnya pada suatu malam Anggoro Kasih (Selasa
Kliwon) 29 Sapar 1669 S (±1744 M).
Petunjuk gaib itu mengatakan, bahwa sumber
mata air itu tidak bisa kering karena merupakan tembusan Samudera Selatan. Jika
ingin mengeringkan rawa itu, perlu kiranya ditutup dengan Gong Kyai Sekar
Delima, daun lumbu, serta kepala penari (tledek). Kemudian, Sunan pun,
mengambil kesimpulan bahwa wangsit tersebut merupakan sebuah perlambang. Oleh
sebab itu perlu untuk dicari penafsiran maknanya. Gong adalah simbol bibir atau
sumber suara. Secara utuh Kyai Sekar Delima maksudnya melalui bibir yang
menceritakan asal mulanya Desa Sala, yakni Kyai Gedhe Sala. Tledek adalah nama
lain dari ringgit yang berarti uang. Dengan demikian maksud wangsit tersebut
adalah bahwa Kyai Gedhe Sala menghendaki uang sebagai ganti rugi atas tanah hak
miliknya yang akan digunakan untuk pendirian keraton. Maka, Sunan segera
memberikan uang sejumlah 10.000 ringgit kepada Kyai Gedhe Sala sebagai konsesi
atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala. Setelah itu, sumber mata air itu
pun berhasil ditutup oleh Kyai Gedhe Sala.
Setelah rawa itu kering, Sunan segera
memerintahkan untuk mengukur tanah yang akan dijadikan istana. Tugas pengukuran
diserahkan kepada Patih Adipati Pringgalaya dengan disaksikan Mayor van
Hohendorff, Kyyai Tumenggung Honggowongso, dan Kyai Tumenggung Tirtawiguna.
Pengukuran terhadap lurusnya keraton sejajar dengan keraton Kartasura dilakukan
oleh Pangeran Wijil dan Kyai Kalipah Buyut. Sedangkan pengukuran dari segi
estetik atau keindahan keraton diserahkan kepada Kyai Yasadipura dan Kyai
Tohjaya.
Setelah rancangan selesai dibuat, Sunan
segera memerintahkan untuk mengambil tanah dari Desa Talawangi dan Sanasewu
untuk mempertinggi Desa Sala. Pembangunan istana tahap awal pun berhasil
diselesaikan, walaupun pagar yang mengelilingi keraton, sementara masih terbuat
dari bethek (anyaman bambu).
Setahun kemudian keraton pun berhasil
didirikan, dan ditandai dengan candra sengkala: Sirnaning Resi Rasa Tunggal menunjukkan tahun 1670 S (1745 M).
Maka, meski bangunan keraton masih belum sempurna, pada hari Rebo Pahing 17
Februari 1745, Kerajaan Mataram segera dipindahkan dari Kartasura ke Sala. Paku
Buwana II pun meninggalkan keraton lama menuju ke keraton yang baru dengan
disertai iring-iringan dalam upacara kebesaran setelah mendapat persetujuan
dari Gubernur Jenderal William van Imhoff.
Setibanya di Keraton Sala, bangsal Pangrawit
yang diangkut dari Kartasura segera ditempatkan di Siti-Hinggil. Begitu turun
dari Kereta Kencana Garuda, Sunan Paku Buwana II menggunakan bangsal Pangrawit
yang telah ditempatkan di Siti-Hinggil untuk sinewoko (bersidang) untuk pertama kalinya di keraton yang baru
tersebut. Maka sejak itu, nama desa Sala pun ditarik kembali dan ditetapkan
sebagai negara yang besar yang diberi nama Surakarta Hadiningrat.
Pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat kemudian diteruskan oleh Paku Buwana III. Pada tahun 1697 S (1772
M), bangunan Pendapa diganti dengan bangunan yang baru dan sisa-sisa
bangunannya diberikan kepada Sri Mangkunegara. Pada tahun 1782 S, Panggung
Sanggabuwana dibangun sebagai tolak bala. Kemudian pada tahun 1802 M, sebelah utara
Dalem Ageng Prabasuyasa diberi tambahan bangunan baru oleh Paku Buwana IV dan
diberi nama Dalem Ler untuk kepentingan bersemedi. Di kala Pendapa Ageng
ditambah lebarnya dan ditambah dengan saka rawa pada tahun 1812 M, lantai Pendapa
diambil sebagian tanahnya untuk diganti dengan tanah yang berasal dari
Tolowangi (Kadipala) untuk diambil pengaruh msitisnya. Mengingat kebutuhan
keraton untuk menerima tamu-tamu agung, pada tahun 1823 M, Paku Buwana V
menambah bangunan baru dan diberi nama Sasana Handrawina. Semula lebih dikenal
dengan nama Sasana Ijo, karena warna catnya serba hijau.
Pada tahun 1824 M Paku Buwana VI, masih
sempat menyelenggarakan sedikit perubahan pada Dalem Ageng Prabasuyasa. Gebyog (papan) patang-aring-nya dibuka dan dipasang di sisi barat membukur ke
selatan dan utara, sehingga seakan-akan dapat mengubah kiblat bangunan ke arah
timur. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kiblat bangunan itu sangatlah penting
dan biasa digunakan sebagai tolak bala sehingga terhindar dari mara bahaya
serta sesuatu yang buruk.
Pembangunan bangunan keraton
sempat sedikit terhenti pada masa setelah Paku Buwana VI dibuang ke Ambon
hingga Paku Buwana VIII karena singkatnya masa berkuasanya di keraton
Surakarta. Oleh sebab itu, pembangunan baru dimulai lagi oleh Paku Buwana IX. Pada
tahun 1880 M bagian luar Pendapa Sasana Sewaka yang dinamakan Paningrat,
tiang-tiangnya diganti dengan tiang besi.
Pada masa Paku Buwana X, Kasunanan
Surakarta dapat dikatakan mencapai masa keemasannya. Oleh sebab itu, selama bertahta
Paku Buwana X berkesempatan untuk memperindah wajah bangunan Paningrat dan
Sasana Handrawina. Ubin lantai kemudian diganti dengan marmer putih dan.
Kemudian, untuk menyesuaikan dengan situasi pada tahun 1842 S Masjid Pudiyasana
dipindahkan ke sebelah barat Bandengan. Sedangkan Dalem Pakubuwanan yang
letaknya di selatan Prabasuyasa setetah diperindah pada tahun 1845 S namanya
diganti dengan Sasana Dayinto.
Pada tahun 1857 S, beliau
membangun Keraton Kulon untuk kepentingan pribadi. Dua mata air yang merupakan
sisa beberapa mata air dari rawa Sala di lingkungan Kedung Lumbu yang terkenal
sangat angker itu dan kini terdapat di halaman belakang Dalem Mloyokusuman.
Satu diantaranya digunakan untuk sumur dan yang lainnya merupakan kolam kecil
yang ditutup trali besi.
Berikut adalah bagian-bagian dari
Keraton Kasunanan Surakarta:
Kompleks
Kedhaton
Untuk memasuki kompleks kedhaton
dari arah utara terdapat beberapa kori atau pintu masuk yang harus dilalui.
Kori atau pintu masuk pertama yang harus dilalui dan letaknya berada di paling
utara adalah Kori Gladag, Kori Pamalukan, Kori Brajanala, Kori Kamandhungan,
dan Kori Sri Manganti. Kemudian, setelah melalui kori tersebut, di dalam
kompleks kedhaton terdapat tiga halaman, yakni halaman Sri Manganti, Plataran
Kedhaton, dan halaman magangan.
Di dalam kompleks kedhaton ini
terdapat bangunan-bangunan inti, yakni Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana
Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
Kompleks
Baluwarti
Baluwarti yang berarti benteng adalah pagar batu yang kuat dan tinggi yang
mengelilingi Karaton. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan
bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan
panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks Baluwarti merupakan kediaman para
sentana dalem dan para abdi dalem. Kompleks Baluwarti terdiri dari beberapa
kompleks perkampungan yang disesuaikan dengan status sosial dan fungsinya di
keraton, seperti Wirengan, Lumbung, Carangan, Tamtaman, Ksatriyan, Sasanamulya,
Gedong Kreta, Gambuhan dan kediaman para pangeran yang dinamakan sesuai dengan
namanya (Seperti Suryanegaran, Purwadiningratan, dll).
Kompleks
Paseban
Kompleks Paseban atau balai
penghadapan ini merupakan salah satu tempat yang cukup penting di dalam
keraton. Kompleks paseban berfungsi sebagai tempat para punggawa kerajaan (pejabat
menengah ke atas) untuk menghadap raja dan tempat dilangsungkannya berbagai upacara
resmi kerajaan. Ada dua tempat paseban di keraton, yakni Sasana Sumewa dan
Sitinggil.
Kompleks
Alun-alun Utara dan Selatan
Kompleks ini meliputi Gladhag,
Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Pada
zaman dulu Gladhag digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang
ditangkap dari hutan. Alun-alun sendiri merupakan tempat bertemunya raja dan
rakyat serta tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang dihadiri
rakyat. Di tengah-tengah alun-alun utara terdapat dua pohon beringin yang
dinamakan Jayandaru dan Dewandaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid
Agung Surakarta.
Daftar Pustaka:
id.wikipedia.org
Gunawan, Restu dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kartodirjo,
Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia baru: 1500-1900, Dari Emporium
sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurharjarini,
Dwi Ratna, dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta.
Jakarta: Balai Pustaka RI.
Ricklefs. 1991. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Sastronaryatmo,
Moelyono (pengalih aksara). 1981. Babad
Kartasura II. Jakarta: Balai Pustaka.
_________.
1981. Babad Pacina I Jakarta: Balai
Pustaka
_________.
1981. Babad Pacina II. Jakarta: Balai
Pustaka.
_________.
1981. Babad Pacina III. Jakarta:
Balai Pustaka
_________.
1981. Babad Pacina IV. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sajid. 1984.
Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka
Mangkunegaran.
0 komentar
Posting Komentar