Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Senin, 10 November 2014

Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Sejak Paku Buwana II naik tahta, kondisi politik Kerajaan Mataram Kartasura selalu mengalami kegoncangan. Selain disebabkan usia Paku Buwana II yang masih muda, yakni 16 tahun, juga disebabkan Sunan Paku Buwana II yang selalu ragu-ragu dalam menentukan kebijakannya. Kegoncangan politik pada masa PB II mencapai puncaknya ketika orang-orang Tionghoa melakukan pemberontakan kepada Kompeni akibat pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. PB II bersikap ragu-ragu dalam menghadapi pemberontak Tionghoa, apakah akan mendukung pemberontak untuk menghadapi Kompeni atau tetap mempertahankan status quo mengingat bahwa kekuatan pemberontak Tionghoa tidak cukup mampu untuk menghancurkan Kompeni. Oleh sebab itu, PB II mengambil kebijakan mendua, di depan seolah-olah mendukung Kompeni tetapi di belakang ia mendukung pemberontak dengan memberi bantuan keuangan dan persenjataan kepada pemberontak Tionghoa. Namun, sikap ini kemudian berubah di mana PB II berbalik ingin menghancurkan kekuatan pemberontak Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Sikap yang diambil oleh PB II ini berakibat sangat fatal, yakni hancurnya Keraton Kartasura dan konsekuensi yang harus dibayar dengan mahal karena telah meminta Kompeni untuk menghancurkan kekuatan pemberontak Tionghoa. Pemberontakan Tionghoa ini kemudian dikenal sebagai Geger Pacina.
            Pemberontak Tionghoa yang dibantu oleh beberapa bupati dan pangeran yang kecewa dengan sikap PB II kemudian melakukan perlawanan sengit yang mengakibatkan direbutnya Keraton Mataram Kartasura oleh para pemberontak Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) pada tanggal 30 Juni 1742. Paku Buwana II yang menderita kekalahan melarikan diri ke Ponorogo bersama dengan Mayor Hohendorff.
Kemudian, Sunan Paku Buwana II meminta bantuan VOC agar dapat merebut kembali keraton dengan jaminan bahwa jika VOC mampu merebut kembali keraton, Sunan akan memberikan wilayah pesisir kepada VOC dan memperkenankan mereka untuk memilih patih. Tetapi, di luar dugaan pasukan Cakraningrat IV ternyata telah bergerak terlebih dahulu dan berhasil merebut Keraton Kartasura. Oleh sebab itu, VOC segera membujuk Cakraningrat IV untuk mengembalikan Keraton Kartasura dan kembali ke Madura. Pada akhirnya, Sunan Paku Buwana II dapat kembali ke Kartasura pada tanggal 24 Desember 1742.
Namun, kondisi keraton sudah tidak lagi memungkinkan untuk menyelenggarakan suatu pemerintahan. Selain itu, kesucian keraton pun sudah ternoda oleh kehadiran para pemberontak, sehingga PB II segera memerintahkan para pejabat istananya untuk segera mencari lokasi yang dianggap baik untuk kemudian didirikan keraton yang baru, sebab keraton Kartasura sudah dianggap sudah tidak layak dan suci lagi untuk ditempati. Maka, Paku Buwana II segera mengutus Pangeran Wijil, untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan kota praja. Mula-mula, ia menemukan dua daerah yang dianggap sesuai untuk didirikan keraton yang baru. Daerah itu adalah Tolowangi (Kadipala) dan Sanasewu (sebelah barat Desa Bekonang). Kedua daerah itu dirasa cukup ideal untuk nantinya dibangun sebuah keraton.
Namun,  dalam pemilihan tempat tersebut terjadi perbedaan pendapat. Patih dan Mayor Hohendorff setuju jika pembangunan keraton didirikan di Kadipala, tetapi para ahli nujum kurang setuju, sebab walaupun kerajaan nanti dapat adil, makmur, namun cepat rusak, dan akan terjadi banyak perang saudara. Sedangkan Sanasewu, meskipun daerahnya rata, tetapi Raden Tumenggung Honggowongso merasa jika tempat itu kurang cocok, sebab kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali ke zaman Budha.  Setelah dari Sanasewu Pangeran Wijil kemudian kembali ke barat dan meneruskan usahanya untuk mencari daerah yang cocok. Selain kedua tempat tersebut, lokasi alternatif lainnya adalah Desa Sala. Menurut Tumenggung Honggowongso, meski daerahnya berupa rawa, tetapi sangat baik untuk dijadikan pusat kerajaan sebab nantinya akan menjadi kerajaan besar, panjang umur, aman, dan makmur, tidak ada perang, berwibawa. Tetapi Mayor Hohendorff tidak menyetujuinya karena daerahnya tidak rata, penuh rawa serta terlalu dekat dengan sungai.
Dari ketiga lokasi tersebut, akhirnya disepakati bersama untuk memilih Desa Sala. Namun demikian, PB II masih kurang yakin untuk memilih Desa Sala sebagai kota praja. Akhirnya, Paku Buwana II mengirimkan lagi empat pejabat istananya untuk meneliti lebih dalam, mereka adalah Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut, Mas Pengulu Fakih Ibrahim, dan Tumenggung Tirtawiguna.
Dalam perjalanannya, mereka menjumpai sebidang tanah yang baik dan berbau harum (wangi) yang terletak di timur laut Desa Sala. Maka, desa tersebut kemudian dinamai Desa Talawangi (sekarang menjadi kampung Yasadipuran dan Wirapaten). Kemudian, para utusan tersebut melakukan semedi (bermati raga) selama beberapa hari di tepian kedhung kol (rawa) untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Setelah beberapa hari bersemedi, Pangeran Wijil kemudian menerima petunjuk gaib bahwa memang sudah menjadi kodrat Tuhan, Desa Sala akan menjadi negara besar. Untuk meneruskan petunjuk itu, Pangeran Wijil menemui Ki Gedhe Sala untuk mengetahui sejarah dan asal-usul keberadaan Desa Sala. Ki Gedhe Sala adalah seorang bekel, dan kediamannya berada di sebuah gubug di tengah-tengah pepohonan Sala. Menurut penuturan Kyai Bekel Sala, pada masa kerajaan Pajang, seorang putera Tumenggung Mayang yang bernama Raden Pabelan telah dibunuh karena tertangkap basah masuk ke dalam keraton secara sembunyi-sembunyi dan ketahuan bemain asmara dengan puteri sekar kedhaton Ratu Emas, putera Sultan Hadiwijaya. Selanjutnya, mayat Raden Pabelan dihanyutkan ke sungai Laweyan (Sungai Braja) dan terdampar di sebelah timur Desa Sala.
Pada suatu malam Bekel Kyai Sala pergi ke sungai dan tiba-tiba melihat mayat Jaka Pabelan terapung di tepi sungai. Ia mencoba untuk mendorong mayat itu kembali ke tengah aliran sungai agar kembali terhanyut. Tetapi, keesokan harinya mayat itu kembali lagi ke tepi sungai. Bekel Kyai Sala pun berusaha untuk kembali mendorong mayat itu ke tengah aliran sungai, tetapi mayat itu selalu kembali ke tepi sungai hingga tiga kali. Akhirnya, Bekel Kyai Sala mendapat wangsit agar mayat Jaka Pabelan dimakamkan di tempat itu, tepatnya di sebelah narat Desa Sala, sebab di belakang tempat itu di kemudian hari akan berubah menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera. Ketika itu, Bekel Kyai Sala menamakan mayat itu sebagai Kyai Bathang (Bathang adalah bahasa Jawa yang berarti mayat yang telah membusuk).
Setelah mengetahui asal-usul tempat tersebut, keempat utusan tersebut segera mengunjungi makam Kyai Bathang. Kawasan pemakaman tersebut merupakan tempat yang indah, tetapi terdapat rawa yang lebar dan dalam. Situasi ini kemudian segera dilaporkan kepada Sunan. Selanjutnya, Sunan memanggil Tohjaya dan Kyai Yasadipura serta Raden Tumenggung Padmanagara untuk dimintai pertimbangan dan saran. Sebelum memberikan pertimbangannya, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu dan menemukan sumber mata air di rawa itu (tirta kamandanu). Dengan demikian, setelah melakukan pengumpulan informasi, meninjau, dan menimbang bahwa lokasi tersebut sangat tepat untuk dijadikan keraton yang baru, maka mereka bersepakat untuk menjadikan Desa Sala sebagai pusat pemerintahan yang baru.
Setelah tempat itu dipilih dan disetujui oleh Kanjeng Sunan Paku Buwana II dan para nayaka-nya, pembangunan pun segera dimulai. Sunan segera memerintahkan kepada para bupati mancanegaranya untuk menyerahkan balok-balok kayu sesuai dengan kemampuan masing-masing yang akan digunakan untuk menutup rawa-rawa tersebut sekaligus menyumbat mata air yang ada. Dalam pengerjaannya, terjadi berbagai halangan yang penuh dengan misteri. Kesulitan tersebut didapat karena daerah yang akan didirikan sebuah keraton itu merupakan daerah rawa-rawa. Mereka menghadapi kesulitan dalam mengeringkan rawa dan tidak dapat ditutupnya beberapa sumber mata air, terutama yang ada di Kedung Lumbu. Untuk itu, dilakukanlah berbagai ritual dengan tujuan menutup sumber-sumber mata air itu.
   Berbagai sesaji dan mantra-mantra dipersembahkan oleh Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut dan Kyai Pengulu Pekik Ibrahim tetapi tetap gagal. Bahkan, dari sumber mata air itu justru muncul ikan-ikan yang biasa hidup di laut. Melihat hal ini, Pangeran Wijil dan Kyai Yasadipura memutuskan untuk bertapa tepat di sebelah selatan kedhungkol. Sesudah tujuh hari tujuh malam, terus bertapa tanpa makan dan minum, akhirnya mereka mendapat petunjuk gaib, tepatnya pada suatu malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) 29 Sapar 1669 S (±1744 M).
   Petunjuk gaib itu mengatakan, bahwa sumber mata air itu tidak bisa kering karena merupakan tembusan Samudera Selatan. Jika ingin mengeringkan rawa itu, perlu kiranya ditutup dengan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu, serta kepala penari (tledek). Kemudian, Sunan pun, mengambil kesimpulan bahwa wangsit tersebut merupakan sebuah perlambang. Oleh sebab itu perlu untuk dicari penafsiran maknanya. Gong adalah simbol bibir atau sumber suara. Secara utuh Kyai Sekar Delima maksudnya melalui bibir yang menceritakan asal mulanya Desa Sala, yakni Kyai Gedhe Sala. Tledek adalah nama lain dari ringgit yang berarti uang. Dengan demikian maksud wangsit tersebut adalah bahwa Kyai Gedhe Sala menghendaki uang sebagai ganti rugi atas tanah hak miliknya yang akan digunakan untuk pendirian keraton. Maka, Sunan segera memberikan uang sejumlah 10.000 ringgit kepada Kyai Gedhe Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan Desa Sala. Setelah itu, sumber mata air itu pun berhasil ditutup oleh Kyai Gedhe Sala.
   Setelah rawa itu kering, Sunan segera memerintahkan untuk mengukur tanah yang akan dijadikan istana. Tugas pengukuran diserahkan kepada Patih Adipati Pringgalaya dengan disaksikan Mayor van Hohendorff, Kyyai Tumenggung Honggowongso, dan Kyai Tumenggung Tirtawiguna. Pengukuran terhadap lurusnya keraton sejajar dengan keraton Kartasura dilakukan oleh Pangeran Wijil dan Kyai Kalipah Buyut. Sedangkan pengukuran dari segi estetik atau keindahan keraton diserahkan kepada Kyai Yasadipura dan Kyai Tohjaya.
   Setelah rancangan selesai dibuat, Sunan segera memerintahkan untuk mengambil tanah dari Desa Talawangi dan Sanasewu untuk mempertinggi Desa Sala. Pembangunan istana tahap awal pun berhasil diselesaikan, walaupun pagar yang mengelilingi keraton, sementara masih terbuat dari bethek (anyaman bambu).
   Setahun kemudian keraton pun berhasil didirikan, dan ditandai dengan candra sengkala: Sirnaning Resi Rasa Tunggal menunjukkan tahun 1670 S (1745 M). Maka, meski bangunan keraton masih belum sempurna, pada hari Rebo Pahing 17 Februari 1745, Kerajaan Mataram segera dipindahkan dari Kartasura ke Sala. Paku Buwana II pun meninggalkan keraton lama menuju ke keraton yang baru dengan disertai iring-iringan dalam upacara kebesaran setelah mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal William van Imhoff.
   Setibanya di Keraton Sala, bangsal Pangrawit yang diangkut dari Kartasura segera ditempatkan di Siti-Hinggil. Begitu turun dari Kereta Kencana Garuda, Sunan Paku Buwana II menggunakan bangsal Pangrawit yang telah ditempatkan di Siti-Hinggil untuk sinewoko (bersidang) untuk pertama kalinya di keraton yang baru tersebut. Maka sejak itu, nama desa Sala pun ditarik kembali dan ditetapkan sebagai negara yang besar yang diberi nama Surakarta Hadiningrat.
   Pembangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kemudian diteruskan oleh Paku Buwana III. Pada tahun 1697 S (1772 M), bangunan Pendapa diganti dengan bangunan yang baru dan sisa-sisa bangunannya diberikan kepada Sri Mangkunegara. Pada tahun 1782 S, Panggung Sanggabuwana dibangun sebagai tolak bala. Kemudian pada tahun 1802 M, sebelah utara Dalem Ageng Prabasuyasa diberi tambahan bangunan baru oleh Paku Buwana IV dan diberi nama Dalem Ler untuk kepentingan bersemedi. Di kala Pendapa Ageng ditambah lebarnya dan ditambah dengan saka rawa pada tahun 1812 M, lantai Pendapa diambil sebagian tanahnya untuk diganti dengan tanah yang berasal dari Tolowangi (Kadipala) untuk diambil pengaruh msitisnya. Mengingat kebutuhan keraton untuk menerima tamu-tamu agung, pada tahun 1823 M, Paku Buwana V menambah bangunan baru dan diberi nama Sasana Handrawina. Semula lebih dikenal dengan nama Sasana Ijo, karena warna catnya serba hijau.
Pada tahun 1824 M Paku Buwana VI, masih sempat menyelenggarakan sedikit perubahan pada Dalem Ageng Prabasuyasa. Gebyog (papan) patang-aring-nya dibuka dan dipasang di sisi barat membukur ke selatan dan utara, sehingga seakan-akan dapat mengubah kiblat bangunan ke arah timur. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kiblat bangunan itu sangatlah penting dan biasa digunakan sebagai tolak bala sehingga terhindar dari mara bahaya serta sesuatu yang buruk.
Pembangunan bangunan keraton sempat sedikit terhenti pada masa setelah Paku Buwana VI dibuang ke Ambon hingga Paku Buwana VIII karena singkatnya masa berkuasanya di keraton Surakarta. Oleh sebab itu, pembangunan baru dimulai lagi oleh Paku Buwana IX. Pada tahun 1880 M bagian luar Pendapa Sasana Sewaka yang dinamakan Paningrat, tiang-tiangnya diganti dengan tiang besi.
Pada masa Paku Buwana X, Kasunanan Surakarta dapat dikatakan mencapai masa keemasannya. Oleh sebab itu, selama bertahta Paku Buwana X berkesempatan untuk memperindah wajah bangunan Paningrat dan Sasana Handrawina. Ubin lantai kemudian diganti dengan marmer putih dan. Kemudian, untuk menyesuaikan dengan situasi pada tahun 1842 S Masjid Pudiyasana dipindahkan ke sebelah barat Bandengan. Sedangkan Dalem Pakubuwanan yang letaknya di selatan Prabasuyasa setetah diperindah pada tahun 1845 S namanya diganti dengan Sasana Dayinto.
Pada tahun 1857 S, beliau membangun Keraton Kulon untuk kepentingan pribadi. Dua mata air yang merupakan sisa beberapa mata air dari rawa Sala di lingkungan Kedung Lumbu yang terkenal sangat angker itu dan kini terdapat di halaman belakang Dalem Mloyokusuman. Satu diantaranya digunakan untuk sumur dan yang lainnya merupakan kolam kecil yang ditutup trali besi.
Berikut adalah bagian-bagian dari Keraton Kasunanan Surakarta:
*      Kompleks Kedhaton
Untuk memasuki kompleks kedhaton dari arah utara terdapat beberapa kori atau pintu masuk yang harus dilalui. Kori atau pintu masuk pertama yang harus dilalui dan letaknya berada di paling utara adalah Kori Gladag, Kori Pamalukan, Kori Brajanala, Kori Kamandhungan, dan Kori Sri Manganti. Kemudian, setelah melalui kori tersebut, di dalam kompleks kedhaton terdapat tiga halaman, yakni halaman Sri Manganti, Plataran Kedhaton, dan halaman magangan.
Di dalam kompleks kedhaton ini terdapat bangunan-bangunan inti, yakni Dalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana.
*      Kompleks Baluwarti
Baluwarti yang berarti benteng adalah pagar batu yang kuat dan tinggi yang mengelilingi Karaton. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks Baluwarti merupakan kediaman para sentana dalem dan para abdi dalem. Kompleks Baluwarti terdiri dari beberapa kompleks perkampungan yang disesuaikan dengan status sosial dan fungsinya di keraton, seperti Wirengan, Lumbung, Carangan, Tamtaman, Ksatriyan, Sasanamulya, Gedong Kreta, Gambuhan dan kediaman para pangeran yang dinamakan sesuai dengan namanya (Seperti Suryanegaran, Purwadiningratan, dll).
*      Kompleks Paseban
Kompleks Paseban atau balai penghadapan ini merupakan salah satu tempat yang cukup penting di dalam keraton. Kompleks paseban berfungsi sebagai tempat para punggawa kerajaan (pejabat menengah ke atas) untuk menghadap raja dan tempat dilangsungkannya berbagai upacara resmi kerajaan. Ada dua tempat paseban di keraton, yakni Sasana Sumewa dan Sitinggil.
*      Kompleks Alun-alun Utara dan Selatan
Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Pada zaman dulu Gladhag digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun sendiri merupakan tempat bertemunya raja dan rakyat serta tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang dihadiri rakyat. Di tengah-tengah alun-alun utara terdapat dua pohon beringin yang dinamakan Jayandaru dan Dewandaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid Agung Surakarta.
Daftar Pustaka:
id.wikipedia.org
Gunawan, Restu dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurharjarini, Dwi Ratna, dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Balai Pustaka RI.
Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.
Sastronaryatmo, Moelyono (pengalih aksara). 1981. Babad Kartasura II. Jakarta: Balai Pustaka.
_________. 1981. Babad Pacina I Jakarta: Balai Pustaka
_________. 1981. Babad Pacina II. Jakarta: Balai Pustaka.
_________. 1981. Babad Pacina III. Jakarta: Balai Pustaka
_________. 1981. Babad Pacina IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Sajid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran.

0 komentar

Posting Komentar