Tokoh komunis Indonesia ini sudah di
SKAK MAT!
Mereka dikenal sebagai petinggi atau
tokoh Partai Komunis Indonesia. Sejarah mencatat nama mereka dengan tinta hitam
karena berbeda ideologi dengan pemerintah yang sah.
Dua kali pemberontakan komunis
berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung
dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun
1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader
dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.
Maka nasib para petinggi partai
merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus
peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.
Tak ada penghormatan untuk jenazah
mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak
mereka sebagai orang taklukan yang kalah.
1.
Muso, anak seorang KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro
Negara Republik Soviet Indonesia
yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di Madiun tak berumur panjang. Negara
yang didirikan tanggal 18 September 1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI
yang menyerang dari Timur dan Barat. Dalam waktu dua minggu, kekuatan
bersenjata tentara Muso dihancurkan pasukan TNI.Muso, Amir Syarifuddin dan
pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat.
Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.Tanggal 31
Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di
Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah
kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah
Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
Temuan baru muncul mengungkap siapa
sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam
novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia
yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus
berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948.
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."
Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.
Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.
Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.
Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.
"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.
Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.
"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso," ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.
Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.
Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.
Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.
Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.
Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).
Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."
Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.
Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.
Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.
Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.
"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.
Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.
"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso," ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.
Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.
2.
Amir Syarifuddin, Menteri Yang Selingkuhi NASAKOM
Amir Syarifuddin pernah menempati
sejumlah posisi penting saat Indonesia baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri
Penerangan, Menteri Pertahanan, bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi
hasil perjanjian Renville memutar nasib Amir 180 derajat.Saat itu Amir menjadi
negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak
menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Jawa Tengah dan
Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian
bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal
19 September 1948.Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan
diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19
Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama
para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.
Sebelum meninggal Amir menyanyikan
lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan
lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya.
3.
Dipa Nusantara Aidit, Akhiri Hidup Dengan Berondongan AK-47
Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung
melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke
daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo.
Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan
koordinasi.Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri
IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam
sebuah ruangan yang ditutup lemari. Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir
Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah
membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan
pada Soekarno.
Tapi keinginan Aidit tak pernah
terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur
tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum
ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu.
Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.
Dipa
Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu'bah Asa. Seniman dan wartawan ini
memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film
Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di
depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat,
dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.
Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.
Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.
Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).
Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.
Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151--ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.
Dia memulai "hidup" sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31--sarang aktivis pemuda "radikal" kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok--penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia "muncul" kembali.
Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua--Alimin dan Tan Ling Djie--pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi." Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).
Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.
4.
MH Lukman, Anak Kesayangan Proklamator RI Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Lukman, orang kedua
di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya
dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya
yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah
pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi
kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda
Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah
pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih
kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat
wakil ketua DPR-GR.Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa
hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati
tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI
Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto,
sebagai ‘jalan mati’. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati.
5.
Njoto, Orang Kepercayaan Soekarno Untuk Tulis Pidato Kenegaraan
Njoto merupakan Wakil Ketua II
Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga
1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih
Sukarnois daripada Komunis.Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI.
Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan
yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang
cerdas.Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan
wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang
G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.
Kematian Njoto pun simpang siur.
Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di
Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian
dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.
Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit
dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.
Fakta Baru Musso dan Aidit di-Skak Mat Kyai NU
Asep Dudinov AR, kompasianer
menuliskan buah pikirannya. Dalam buku “Berangkat dari Pesantren” buah karya
KH. Saifuddin Zuhri, ia menemukan kisah menarik ihwal Musso dan Aidit, dua
gembong PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sama sama menjadi tokoh kunci
dalama dua peristiwa berbeda.
Musso tak bisa dipisahkan dengan
“Madiun Affair” 1948 bahkan berakhir dengan kematian yang tragis. Soe Hok Gie
dalam Orang Orang di Persimpangan Kiri Jalan menggambarkan akhir seorang
Musso bahwa mayatnya dibawa ke alun alun Ponorogo dan selanjutnya…dibakar.
Sedangkan Dipa Nusantara Aidit
adalah tokoh PKI di tahun tahun ketika partai itu sedang dalam puncak
kejayaannya. Perselingkuhan kaum komunis dengan golongan nasionalis dan agama
membawa PKI berada di atas angin di tahun 1960-an. Nasib buruk lantas meninju
PKI pada tahun 1965 karena dituduh menjadi dalang dari terbunuhnya tujuh
pahlawan revolusi.
Siapa menduga, Musso yang dikenal
Soekarno sebagai orang yang jago pencak dan suka berkelahi ini pernah takluk
oleh seorang kyai NU (Nahdlatul Ulama) bernama Haji Hasan Gipo.
Beginilah kisahnya yang saya ringkas
dari “Berangkat dari Pesantren.”
Suatu ketika, Musso terlibat
perdebatan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah mengenai adanya Tuhan. Sebagai
seorang atheis, Musso tentu saja tak percaya pada Tuhan. Perdebatan pun makin
seru dan menjurus kasar karena Musso memang seorang yang emosional.
Musso yang berbadan tegap melawan
kiai Wahab yang pendek lagi kecil, orang orang yang melihat perdebatan pun
makin was was takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kiai Wahab pun lalu
berpikir bahwa tak ada gunanya juga melanjutkan diskusi dengan “orang jahil”
semacam Musso ini.
Bukan karena Kiai Wahab takut, untuk
seorang Musso saja pasti bisa diselesaikan dengan mudah karena Kiai Wahab yang
juga pendekar silat itu pernah menaklukan 3 atau 4 penyamun yang tubuhnya jauh
lebih besar dari Musso ketika melakukan perjalanan angker antara Makkah dan
Madinah sekitar tahun 1920-1925. Diskusi dengan Musso hanya mengandalkan main
jotos dan mulut besar, kiai Wahab merasa buang buang tenaga saja. Senjata
manusia adalah akal pikiran dan akhlak mulia, bukan kepalan tinju.
Haji Hasan Gipo (Tanfidziyah NU
tahun 1926) mengambil alih tempat kiai Wahab dalam berdebat dengan Musso. Haji
Hasan Gipi terkenal sebagai seorang tokoh NU yang bisa bermain menurut irama
gendang. Main halus, ayo. Main kasar, oke. Singkat kata, semua cara bisa ia
layani.
Dan Musso pun ditantang untuk
bersama Haji Hasan Gipo menghampiri jalan kereta Surabaya-Batavia di dekat
krian (antara Surabaya-Mojokerto) untuk menyambut kereta api ekspres yang
sedang berlari kencang dengan batang leher masing masing. Begitu kereta api muncul
dalam kecepatan tinggi, keduanya harus meletakkan leher masing masing di atas
rel agar digilas lokomotif serta seluruh rangkaian kereta api hingga tubuh
mereka hancur berkeping keping.
Nah, dengan jalan demikian, keduanya
akan memperoleh keyakinan-ainul yaqin haqqul yakin-tentang adanya Allah
Swt…! Tapi Musso yang terkenal berangasan dan mudah marah itu dengan badannya
yang besar dan kekar seolah menciut saja ditantang seperti itu oleh Haji Hasan
Gipo. Musso pun gentar. Ia takut setakut takutnya takut pada tantangan itu.
Sedangkan Aidit pernah kena skak mat
dari KH. Saifuddin Zuhri yang pada waktu itu sedang menjabat menteri agama.
Ceritanya, dalam sidang DPA
dibicarakan ihwal membasmi hawa tikus yang merusak tanaman padi di sawah, D. N
Aidit dengan sengaja melancarkan pertanyaan dengan nada sindiran. Padahal,
waktu itu tempat duduk KH. Saifuddin Zuhri dengan Aidit hanya berjarak 20 senti
meter saja.
“Saudara ketua, baiklah kiranya
ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana
hukumnya menurut agama Islam memakan daging tikus?”
Saifuddin Zuhri merasa ditantang
dengan sindirang beraroma penghinaan itu. Sebagai seorang tokoh partai yang
pintar tentunya Aidit paham betul jawaban dari apa yang ia tanyakan tersebut.
Tetapi Aidit dengan sengaja mendemonstrasikan antipatinya terhadap Islam. KH.
Saifuddin Zuhri pun lantas menjawab dengan tak kalah cerdiknya.
“Saudara ketua, tolong beritahukan
kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku ini sedang berjuang agar
rakyat mampu makan ayam goreng, karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging
tikus!”
Tentu saja jawaban yang diberikan
KH. Saifuddin Zuhri mengundang gelak para anggota termasuk Bung Karno yang
memimpin sidang DPA. Saya bisa membayangkan Aidit terdiam seribu bahasa.
0 komentar
Posting Komentar