Menjelang 11 Maret 1971 itu Presiden
Soeharto untuk pertama kali menjelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya Supersemar karena, katanya, rakyat Indonesia memang berhak
mengetahuinya. “Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting
untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan
cita-cita kemerdekaan dan memberi isi kemerdekaan,” ujarnya. Intisari
penjelasan Kepala Negara: ia tidak pernah menganggap SP 11 Maret itu
sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. “Surat Perintah 11
Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup secara
terselubung,” katanya tegas.
Supersemar memang peristiwa yang
bersejarah. Ada yang menyebutnya “tonggak sejarah Orde Baru”, atau
“Momentum Orde Baru”. Presiden Soeharto sendiri menyebutnya “Awal
Perjuangan Orde Baru”. Meski telah beberapa kali dilakukan usaha
merekonstruksikan peristiwa itu, antara lain pada 1976 oleh Pusat
Sejarah ABRI yang waktu itu dipimpin Nugroho Notosusanto (almarhum),
masih sering terjadi kesimpangsiuran mengenai peristiwa penting itu.
Misalnya yang terjadi pada 1982, tatkala muncul kisah lahirnya
Supersemar versi Hasjim Ning, yang kemudian dibantah sendiri oleh
pengusaha tersebut. Tampaknya, belum semua hal terungkap seputar
kelahiran Supersemar. Bukan cuma itu saja. Di sana-sini masih ada cerita
yang tidak klop. Mungkin pelacakan secara lengkap perlu dilakukan,
mumpung banyak pelakunya masih ada. Surat asli Supersemar sendiri
kabarnya hingga kini masih hilang. Maklum, di saat itu keadaan cukup
kacau hingga mungkin kesadaran mendokumentasi masih kurang.
Alkisah……
Istana Bogor, Jumat 11 Maret 1966. Deru suara helikopter memecah keheningan Istana sekitar pukul 11 siang. Helikopter Bell kepresidenan mendarat di lapangan Istana.
“Kok siang-siang begini datang, biasanya ‘kan sore,” pikir Ny. Hartini Soekarno sambil keluar pavilyun Istana menjemput suaminya.
Presiden Soekarno tiap Jumat sore memang
menginap di Istana Bogor, dan kembali ke Istana Merdeka Senin pagi.
Dengan dikawal Brigjen Sabur, ajudan Presiden sekaligus Komandan Resimen
Cakrabirawa (satuan pengawal presiden), Bung Karno, yang berpakaian
uniform presiden warna abu-abu, memasuki pavilyun. Ia memakai pici, dan
tak lupa membawa tongkatnya.
“Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas,” ucap Ny. Hartini. Bung Karno, yang datang dengan muka keruh, hanya menjawab pendek, “Tien, keadaan genting.” Soekarno kemudian masuk kamar, berganti pakaian. Ia sembahyang lohor dan makan siang.
Menu siang itu: sayur lodeh, tahu, dan tempe — makanan kesukaan Bung Karno. “Bapak hanya makan sedikit. Kelihatannya nafsu makannya tidak baik,” cerita Ny. Hartini. Selesai makan siang, Soekarno beristirahat. Saat itu sekitar pukul satu siang.
Tak lama kemudian deru helikopter yang
mendarat menggemuruh lagi. Isinya Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I
Subandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh. “Mereka menuju pavilyun
saya, yang terletak di sebelah kiri pavilyun Bung Karno, dan saya
persilakan duduk. Pak Sabur datang dan berbicara dengan mereka. Ia lalu
mengantar mereka ke pavilyun yang disediakan untuk tamu,” kata Mangil Martowidjojo, yang saat itu menjabat Komandan Detasemen Kawal Pribadi Resimen Cakrabirawa.
Sekitar pukul 2, sebuah helikopter
mendarat lagi. Kali ini yang turun Menteri Veteran Mayjen Basoeki
Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen Jusuf, dan Pangdam V Jaya
Brigjen Amir Machmud. Semuanya berseragam militer. Mereka langsung
menuju pavilyun tempat pengawal, dan disambut Sabur. “Bur, kami datang ingin ketemu Bapak,”
kata Basoeki Rahmat. Sabur menjelaskan, Bung Karno sedang beristirahat.
“Kalau begitu, akan kami tunggu,” jawab Basoeki Rahmat. Seingat Ny.
Hartini, Bung Karno siang itu beristirahat sekitar dua jam.
Kira-kira pukul 14.30 (ini menurut
penuturan Jenderal Jusuf pada 1973), Sabur datang dan mengatakan Bung
Karno bisa ditemui. Ketiga jenderal itu lalu dibawa ke ruang tamu Istana
yang dindingnya bercat putih itu. Soekarno yang mengenakan celana kolor
dan kaus oblong putih menerima mereka. Raut mukanya keruh. “Mau apa kalian ke sini?” tanyanya. Basoeki Rahmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan itu memulai berbicara, mewakili yang lain.
“Kami sengaja datang untuk menemui Bapak untuk menunjukkan kami tidak
meninggalkan Bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa telah ditinggalkan
oleh ABRI, oleh Angkatan Darat. Kami menyesalkan terjadinya peristiwa
pagi tadi. Tapi kami harap Bapak Presiden tidak terpengaruh oleh
kejadian itu.”
Sikap Bung Karno ternyata masih keras. “Apa?
Kau bilang aku jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah? Kau
mengatakan Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu,
Angkatan Darat ikut demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan
anggota RPKAD dan Kostrad di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa
kalau bukan untuk menyerang saya?”
Kemarahan Bung Karno bisa dimengerti.
Pagi 11 Maret itu di Istana Negara ada sidang kabinet. Sebelum sidang
dimulai, Presiden Soekarno menanyakan pada Amir Machmud apakah situasi
aman hingga sidang kabinet bisa dilangsungkan. Pangdam V Jaya ini
memberikan jaminannya bahwa situasi aman. Namun, di tengah sidang,
mendadak Brigien Sabur menyampaikan suatu nota kepada Presiden Soekarno.
Isinya ternyata laporan tentang adanya pasukan tak dikenal, karena tak
memakai tanda pengenal, meski memakai senjata, di sekeliling Istana.
Setelak berbicara dengan Subandrio, Bung Karno lalu menskors sidang, dan
menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam Leimena.
Rupanya, laporan tentang munculnya
“pasukan liar” itu mengguncangkan Presiden Soekarno, yang tampaknya
menduga, pasukan itu dikerahkan pihak Angkatan Darat yang menentangnya.
Karena itulah ia menghentikan sidang kabinet, meninggalkan istana, dan
menuju ke helikopter, diikuti Subandrio yang terbirit-birit hingga
sepatunya tertinggal, serta Chaerul Saleh. Bung Karno, yang mungkin
merasa situasi Jakarta terlalu panas, terbang ke Istana Bogor.
Hari-hari itu suasana Jakarta memang
panas dan bergolak. Hampir tiap hari terjadi demonstrasi KAMI dan KAPPI.
Lima bulan setelah Peristiwa G-30-S/PKI, penyelesaian politik yang
dijanjikan Presiden Soekarno belum juga terjadi. Meski kegiatan PKI
telah dilarang oleh sejumlah penguasa militer, secara resmi PKI belum
dibubarkan. Sementara itu, situasi ekonomi makin parah. Pemerintah pada
13 Desember 1965 telah memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Namun, harga kebutuhan hidup makin melonjak. Masyarakat merasa gelisah.
Demonstrasi-demonstrasi itu umumnya diorganisasikan KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) yang makin lama tumbuh makin besar dan kuat.
Corat-coret dan yelyel para demonstran itu keras dan menuding
pemerintah: “Turunkan harga beras”, “Singkirkan menteri-menteri yang
tidak becus”, atau “Ganyang Subandrio”. Waperdam Subandrio memang
menjadi sasaran, karena ia — yang kemudian mendapat julukan Durno —
dianggap “dekat” dengan PKI. Namun, terhadap Presiden Soekarno, para
mahasiswa dan pemuda masih bersikap toleran. Yel-yel “Hidup Bung Karno”
masih diteriakkan para demonstran itu. Pada 10 Januari 1966
dicetuskanlah Tri tuntutan Rakyat (Tritura): Bubarkan PKI, Rombak
Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda makin
menghebat. Meski menyerang pemerintah dengan tuntutan seperti “Ritul
Menteri Goblok”, belum muncul kecaman langsung terhadap Presiden
Soekarno. Para pemimpin mahasiswa malah berkata: aksi-aksi mahasiswa itu
selalu sejalan dengan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Bung Karno sendiri menuduh, kerusuhan dan keguncangan yang terjadi
didalangi oleh pihak kontrarevolusi dan nekolim (neo kolonialisme dan
imperialisme) yang mau menjatuhkan dia. Dalam suatu sidang kabinet di
Istana Bogor pada 15 Januari 1966 dengan marah ia berseru, “Ini
Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Siapa yang mau ikut saya, ikutlah.
Saya yang bertanggung jawab pada Revolusi. Ini aku Soekarno, Pemimpin
Besar Revolusi. Siapa yang senang pada Soekarno, ayo susun barisan,
pertahankan, kumpulkan barisan. Jangan bertindak liar. Tunggulah komando
saya. Saya tidak mau didongkel-dongkel dari belakang.”
Kekuasaan Presiden Soekarno saat itu
memang masih besar. Meski banyak yang tidak puas dengan sikapnya yang
dianggap melindungi PKI dengan menolak desakan untuk membubarkan partai
itu, serta cara penanganan masalah ekonomi yang payah, kedudukannya
bagai tak tergoyahkan. Sebagian ABRI waktu itu, terutama AL, AU, dan
Kepolisian, mendukung dia. Karena seruan Bung Karno, atas ajakan
Subandrio dibentuklah Barisan Soekarno. Dalam pidato radionya, Subandrio
juga mengecam keras aksi-aksi mahasiswa, yang dinilainya melampaui
batas kesopanan. “Apakah perbuatan mahasiswa itu benar-benar berasal
dari mereka sendiri? Ataukah penunggangan dari musuh-musuh revolusi,
baik nekolim dari luar maupun kontrarevolusi dari dalam, yang
menyelewengkan niat baik mahasiswa kita?” katanya. Tuduhan Subandrio ini menggusarkan mahasiswa. Serta merta Subandrio dijuluki “Anjing Peking” atau “Haji Peking”.
Meski Pepelrada Jaya sejak 16 Januari
melarang demonstrasi, para mahasiswa melawannya dengan mengirim
delegasi-delegasi menemui para pejabat. Bentrokan fisik mahasiswa yang
tergabung dalam KAMI dengan kelompok pemuda dan mahasiswa marhaen mulai
terjadi di beberapa tempat. Dengan berbagai cara, antara lain gerak
jalan, pawai, atau apel siaga, aksi-aksi pemuda dan mahaslswa berjalan
terus.
Pada 21 Februari Presiden Soekarno
merombak kabinet. Susunan kabinet yang baru ternyata tidak memuaskan
banyak pihak, termasuk para mahasiswa, karena sejumlah menteri dianggap
dekat atau pro-PKI dipertahankan atau dimasukkan. Dengan dalih
mengadakan “Apel Besar Kesetiaan pada Presiden Soekarno”, pada 23
Februari KAMI menyelenggarakan demonstrasi lagi. Tatkala berniat
“menyampaikan resolusi” ke Sekretariat Negara, terjadi bentrokan dengan
petugas keamanan. Beberapa mahasiswa terluka kena tembakan. Mahasiswa
yang marah lalu merusakkan kantor Setneg.
Kamis 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora
yang disempurnakan – yang diejek sebagai Kabinet 100 Menteri — akan
dilantik. Para mahasiswa sejak pagi buta melancarkan aksi pengempisan
ban di jalan-jalan utama Jakarta. Jakarta macet total. Pelantikan
berjalan terus, meski sebagian menteri harus dijemput dengan helikopter
atau dengan berbagai cara menembus demonstrasi yang mengepung Istana. Di
tengah kegalauan itu terdengar suara tembakan. Beberapa demonstran
tertembak. Seorang di antaranya, Arief Rachman Hakim, tewas, kena
tembakan pasukan Cakrabirawa. Esoknya, upacara penguburan Arief — yang
diperlakukan sebagai martir — dilanjutkan dengan aksi unjuk perasaan.
Ratusan ribu orang memadati jalan dan menyaksikan iringan jenazah menuju
pemakaman Blok P, Kebayoran Baru. Sorenya, muncul sas-sus pasukan Cakra
akan menyerang kampus UI Salemba, yang dijadikan markas mahasiswa.
Beberapa panser Kostrad segera dikirim ke UI untuk menjaga. Para
pimpinan mahasiswa dilindungi, dan mereka, ‘antara lain Cosmas Batubara,
David Napitupulu, Zamroni, Lim Bian Kun, menginap di markas Kopur
Kostrad. Yang terjadi selama aksi demonstrasi berlangsung memang itu:
para mahasiswa mendapat dukungan dan bekerja sama dengan sebagian
Angkatan Darat, terutama RPKAD dan Kostrad.
Karena itu, meski sejak 26 Februari KAMI
dibubarkan pemerintah, aksi demonstrasi menuntut pelaksanaan Tritura
bisa berjalan terus, antara lain lewat KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan
Pelajar Indonesia) yang dibentuk pada 9 Februari 1966. Timbul ide di
kalangan pimpinan Kostrad untuk mengerahkan pasukan tanpa tanda pengenal
di sekeliling Istana, menurut Kepala Staf Kostrad waktu itu, Kemal
Idris, guna mencoba menangkap Subandrio serta mengawasi gerakan pasukan
Cakrabirawa. Di samping itu, pengerahan sekitar 200 orang pasukan RPKAD
dan Kostrad tanpa tanda pengenal itu,juga untuk melindungi aksi-aksi
mahasiswa dan pemuda. “Pak Harto sudah berpesan pada saya, supaya melindungi anak-anak muda tersebut dari serangan Cakrabirawa,”
ujar Kemal Idris, waktu itu Kepala Staf Kostrad. Menurut Kemal,
Jenderal Soeharto menaruh harapan pada anak-anak muda yang
mendemonstrasi kepemimpinan Bung Karno tersebut. Kemal saat itu dianggap
dekat dengan para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI. Kepala Staf
Kostrad itu juga ditugasi memimpin semua pasukan yang ada di Jakarta.
“Terutama dari Angkatan Darat, mengingat KKO dan Angkatan Udara waktu
itu tidak bisa dipercaya.
Memang dari Angkatan Darat sendiri juga
ada yang terlibat G-30-S/PKI tapi bisa kami atasi,” kata Kemal. Amir
Machmud, sebagai Pangdam V Jaya, ketika itu membawahkan pasukan
teritorial, tapi secara operasional di bawah Kemal Idris. Sedangkan Umar
Wirahadikusumah, sebagai Panglima Kostrad, berada di atas Kemal. Meski
dengan berbagai cara berusaha menekan Bung Karno, menurut penegasan
sejumlah tokoh AD, saat itu tidak ada maksud Angkatan Darat untuk
menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tekanan tersebut tampaknya untuk mendesak
Presiden Soekarno agar segera melakukan penyelesaian politik terhadap
peristiwa G-30-S/PKI dengan secara formal membubarkan PKI. Namun, Bung
Karno waktu itu selalu mengatakan: selama keadaan dalam negeri belum
lagi tenang, ia susah untuk mengambil keputusan tentang penyelesaian
politik itu. Misalnya dalam pidatonya 23 Januari 1966, Bung Karno
berkata, “Aku berulang-ulang minta tenang, tenang, dan apa yang kita
lihat dan apa yang kita saksikan? Tenang tenang ini tidak ada, mana
pula belakangan ini timbul demonstrasi macam-macam.” Di dalam
konstelasi politik saat itu, Angkatan Darat merupakan kekuatan yang
menentukan. Posisi sepuluh parpol yang ada waktu itu kurang kuat,
terutama karena sebagian besar pimpinannya dinilai pernah bekerja sama
dengan PKI. Sikap mereka ketika itu, oleh pihak mahasiswa, dianggap
plintat-plintut dan menentang aksi mahasiswa.
Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan
Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol
mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang digunakan
pelajar, mahasiswa, dan pemuda “yang bisa membahayakan jalannya revolusi
dan merongrong kewibawaan PBR Bung Karno.” Mereka juga bertekad bulat
“untuk melaksanakan tanpa reserve” perintah harian Presiden Soekarno 8
Maret. Perintah harian itu sendiri pada pokoknya memerintahkan pada
seluruh slagorde ABRI, parpol, Golkar, dan ormas untuk “mempertinggi
kewaspadaan menghadapi segala macam penyusupan dan hasutan yang
bermaksud memecah belah persatuan.” Di samping itu, juga “menghancurkan
segala usah yang merongrong kewibawaan, kepemimpinan dan kebijaksanaa
PBR/Presiden/Mandataris MPRS Bung Karno.” Meski begitu, sebagian kecil
pimpinan parpol, terutama yang bergabung dalam Komando Aksi
Pengganyangan Gestapu, bekerja sama dengan mahasiswa dan pemuda dan AD,
menentang Presiden Soekarno.
Hingga sampailah hari itu, 11 Maret 1966.
Bung Karno, yang tampaknya panik oleh kehadiran “pasukan tak dikenal”
di sekitar Istana, menyingkir ke Bogor. Sidang kabinet kemudian
dibubarkan Waperdam Leimena. Keluar dari Istana, kebetulan Basoeki
Rahmat, M. Jusuf, dan Amir Machmud berjalan bersama. Jusuf mengajak
keduanya untuk pergi menemui Bung Karno di Bogor dan berbincang-bincang,
sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal Angkatan Darat.
Keduanya bersedia. Menteri/Wakil Menko Hankam Mayjen Mursid, yang waktu
itu hadir dan ikut diajak, menolak. Menurut Amirmachmud, ia mengusulkan
agar mereka melapor dulu ke Pak Harto. Bertiga mereka kemudian pergi ke
rumah Soeharto di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Hari itu kesehatan
Pak Harto terganggu hingga tidak dapat menghadiri sidang kabinet. “Pada
waktu menghadap Pak Harto itu, kami menjelaskan jalannya sidang kabinet.
Kemudian kami meminta izin kepada Pak Harto untuk pergi ke Bogor dengan
maksud untuk menenteramkan Bung Karno,” cerita Amir Machmud. Mereka
juga menanyakan apakah Pak Harto ada pesan yang perlu disampaikan pada
Bung Karno.
Menurut Amir Machmud, Pak Harto waktu itu
mengatakan, “Pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno. Kedua
Bung Karno tak usah khawatir. Kita sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD
1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia dan memelihara keamanan, asal
diberi kepercayaan untuk itu.” Jadi, ‘kata Amir Machmud, Pak Harto tidak
pernah membicarakan kemungkinan adanya surat perintah seperti
Supersemar itu.
Sikap Soeharto kepada Soekarno waktu itu
memang menunjukkan sikap anak kepada bapak. Itu juga terlihat dari suatu
dialog antara Pak Harto, yang waktu sudah diangkat menjadi
Pangkopkamtib, dan Bung Karno, di Istana Merdeka, di awal 1966, di saat
demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta. Waktu itu Bung Karno
menanyakan pada Pak Harto,:
“Harto, aku ini akan kamu apakan? Aku ini pemimpinmu. Aku iki arep tok kapakke”
“Bapak Presiden,” jawab Pak Harto, “saya
ini anak petani miskin.’Tetapi ayah saya selalu mengingatkan saya untuk
selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkan untuk mikul duur
mendem jero (menghormat) terhadap orangtua.”
“Bagus,” jawab Bung Karno.
“Bapak tetap saya hormati, seperti
saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, bapak tidak hanya pemimpin
bangsa, tetapi saya anggap orangtua saya. Saya selalu ingin mikul dulaur
terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul duvur mendem jero tidak mau,” kata Pak Harto.
“Betul begitu, To?”“Betul, Pak. Insya Allah. Soalnya tergantung Bapak.”
“Nah. Kalau betul kau masih
menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau
menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka
sudah keterlaluan. Tidak sopan. Liar. Mereka sudah tidak sopan dan
hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau,
kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini
berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya
maksud, penyelesaian politik mengenai G-30-S/PKI seperti yang Bapak
janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa
PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan
menghentikan aksi-aksinya. Karena itu yang dituntut oleh mereka.”
“Penyelesaian politik G-30-S/PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan tetap menghormati kepemimpinanku.”
“Tak pernah goyah, Pak.”
“Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno. Pak Harto tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.
Menilik dialog semacam itu, bisa
dimengerti kalau Bung Karno juga meledak-ledak ketika tiga jenderal,
Basoeki Rahmat, Jusuf, dan Amir Machmud, menemuinya, siang 11 Maret 1966
itu. Ia memarahi Amir Machmud, yang selalu melapor bahwa keadaan aman.
“Apanya yang aman? Demonstrasi
berlangsung terus. Kau itu penanggung jawab keamanan Ibu Kota. Apa yang
kau lakukan untuk menghentikan demonstrasi itu?” Ia juga menegur Basoeki Rahmat dan Jusuf.
“Kalian juga tidak berbuat apa-apa.” Ia menuduh ketiga jenderal itu berpura-pura, dan sebenarnya ingin agar Soekarno jatuh.
Mereka bertiga membantah. Kata Basoeki Rahmat, “Itu
tidak benar, Pak. Tidak ada niat meninggalkan Bapak. Apalagi
menjatuhkan Bapak. Kalau ada niat seperti itu, tentu kami tidak datang
kemari.” Bung Karno terdiam. Ia kemudian menanyakan kemungkinan
jalan keluar situasi. Jusuf menyarankan agar Bung Karno memerintahkan
Jenderal Soeharto untuk mengatasi keadaan.
Amir Machmud menambah, “Ya, Pak. Tadi Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan, kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan kepadanya.”
“Kepercayaan? Kepercayaan apa lagi
yang harus kuberikan kepadanya? Jenderal Soeharto sudah kuangkat menjadi
Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang
tidak aman dan tidak tertib,” jawab Bung Karno.
“Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak,” kata Amirmachmud.“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu? “
“Semacam surat perintah, misalnya,” sahut Amir Machmud. Soekarno terdiam.
Matanya menatap tajam ketiga jenderal
itu. Juga kepada Sabur, yang ikut hadir di situ. Akhirnya Bung Karno
setuju. Keempat jenderal itu diperintahkannya membuat konsep surat
perintah itu. Selembar kertas disodorkan ke Basoeki Rahmat. Jenderal
kelahiran Tuban, Ja-Tim, yang dikenal pendiam itu lalu mengeluarkan
pena. Ia mengucapkan “Bismillahirrochmanirrohim” lalu mulai menulis.
Surat Perintah. Itu
kalimat pertama yang ditulisnya. Konsep itu kemudian disampaikan Sabur
kapada Bung Karno. Ia lalu memanggil ketiga Waperdam, Subandrio,
Leimena, dan Chaerul Saleh, yang sudah ada di Istana Bogor, dan
menanyakan pendapat mereka. Hanya Subandrio yang menjawab, “Kalau Bapak tanda tangani, buntutnya akan panjang.”
Mungkin karena tidak memperoleh kesepakatan bulat di antara para
pembantu dekatnya, Bung Karno masuk ke kamar kerjanya. Waktu itu ia
sudah memakai piyama biru dan memakai sandal Bata warna cokelat. Konon,
ia sempat sembahyang. Sekitar satu jam Soekarno berada di kamar
kerjanya. Setelah satu jam, konsep awal tadi sudah ada coretannya, dan
dikembalikan kepada ketiga jenderal tersebut. Basoeki Rahmat kembali
membuat konsep baru, yang kemudian disampaikan Sabur kepada Bung Karno.
Akhirnya mereka berkumpul lagi di salah satu ruangan yang lebih besar.Pada
pertemuan ini, Bung Karno telah memakai pakaian lengkap, baju putih.
Lengan pendek, celana abu-abu, dan memakai pici. Yang hadir: ketiga
jenderal tadi, tiga waperdam, dan Sabur yang tetap berdiri. Suasana agak
tegang. Hasil rembukan itu diketik Sabur dengan kertas yang berkop
Kepresidenan RI. Akhirnya mereka berkumpul di ruang makan Istana. Bung
Karno membaca ketikan konsep yang telah disetujui bersama. “Bagaimana, Ban, kau setuju?” tanya Bung Karno pada Subandrio. “Kalau Bapak Presiden sudah setuju, saya setuju,” jawab yang ditanya. Bung Karno kemudian menandatangani surat perintah yang kemudian sangat terkenal itu.
Setelah itu mereka kembali ke pavilyun
Istana. Di ruang tamu, mereka mengobrol sejenak. Bung Karno didampingi
Hartini duduk di sofa panjang, sedang ketiga jenderal duduk di depan
mereka. Leimena duduk di sebelah kiri Bung Karno, sedang Subandrio dan
Chaerul Saleh duduk di kanan Hartini. Sabur tetap berdiri. Di ruangan
yang tak berjendela itu, semua pintunya dibuka. Muka-muka yang hadir
tampak serius. Tak berapa lama, ketiga jenderal itu mohon diri, memberi
hormat dan kemudian bersalaman dengan Bung Karno. Sepulang ketiga
jenderal itu, Soekarno masih sempat membaca di ruang tamu.
Sekitar pukul 23.00 ia masuk kamar tidur.
Di kamar tidur ia masih juga sempat membaca majalah Selecta. Tapi ia
tampak gelisah. Sampai pukul 1.00 ia belum tertidur. “Bapak membolak-balikkan badannya ke kiri, ke kanan,” kata Ny. Hartini mengenang. Setelah minum obat tidur, barulah Bung Karno terlelap.
Dalam perjalanan pulang dari Bogor dengan
naik mobil, ketiga jenderal itu sempat membaca kembali Supersemar
dengan menggunakan senter. Ketiganya kaget setelah menyadari surat
perintah itu berarti penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada
Jenderal Soeharto. Supersemar memang berisi pelimpahan wewenang kepada
Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu,
untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi
dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk
keutuhan bangsa dan negara RI, dan melaksanakan dengan pasti segala
ajaran PBR”.
Esoknya, Jenderal Soeharto, atas nama
Presiden, mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan
mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu lalu disusul
dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor
1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI termasuk bagian-bagian organisasinya
dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua organisasi yang
seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh RI. Akhirnya tuntutan rakyat agar PKI
dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar. Bukti bahwa
masyarakat menyambut gembira keputusan itu terlihat dari sambutan massa
terhadap pawai kemenangan yang terjadi 12 Maret 1966 itu. Masyarakat di
seluruh Indonesia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah
sejarah baru pun dimulai.
0 komentar
Posting Komentar