Oleh : Taufik Abdullah*
Akan
tetapi, sayangnya, sejarah tidaklah semata-mata rentetan peristiwa. Ada
patokan atau kriteria tertentu yang menyebabkan sebuah kejadian
tercatat sebagai peristiwa sejarah, dan dari yang tercatat itu ada pula
yang diperlakukan sebagai sesuatu yang penting. Lebih penting lagi,
peristiwa yang dianggap penting itu kerap kali pula menjadi sasaran
berbagai corak penilaian dan tafsiran. Tingkat significance dari
kejadian yang terpilih untuk “masuk sejarah” itu biasanya dilihat dalam
kaitannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya, dan dengan
berbagai kejadian yang kemudian datang menyusul. Jika dianggap penting
maka peristiwa itu pun sering pula dijadikan sebagai batas dari yang
“sebelum” dan yang “sesudah”. Kerap kali juga terjadi bahwa peristiwa
yang dianggap “penting” itu dikenakan penilaian dan tafsiran yang
bertolak dari luar sejarah-entah dari praduga teoretis dan filosofis,
atau ideologis-dan malah juga dari kepentingan politik.
***
PERDEBATAN tentang makna atau significance
peristiwa sejarah adalah hal biasa, karena orang ingin juga mengambil
hikmah dan kearifan dari peristiwa itu. Setidaknya demikianlah halnya
dari sudut anggapan yang mengatakan sejarah sebagai lukisan dari
perilaku masyarakat dan manusia. Tetapi bukan tak mungkin, dengan
pengajuan sebuah peristiwa sejarah orang ingin mendapatkan landasan
legitimasi bagi klaim politik atau, bisa juga, ideologis. Atau,
kebalikannya, peristiwa itu mungkin pula dipakai sebagai pembuktian dari
sesuatu yang ingin diingkari.
Oleh
karena itu, tidak perlu diherankan benar kalau banyak juga orang yang
melihat peristiwa 5 Juli 1959 sebagai awal dari zaman otoritarianisme
dan sentralisme di Tanah Air. Bukankah sejak Dekrit Presiden itu
dikeluarkan lembaga legislatif praktis tidak lagi berdaya menghadapi
kekuasaan eksekutif? Bukankah pula sejak itu dorongan sentralisasi
semakin kuat dan kencang juga? Semakin kuat pemerintahan, maka semakin
kentallah otoritarianisme itu, dan semakin kuat pula sentralisasi
kekuasaan. Hal ini berlanjut sampai dengan terjadinya lengser keprabon
pada bulan Mei 1998 yang lalu. Sebaliknya, tentu tidak pula perlu
dianggap sebagai suatu keanehan kalau ada juga yang bertahan dengan
pendapat bahwa tanggal itu secara simbolis menandai awal keberhasilan
Indonesia untuk menemukan kembali “kepribadian nasional”-nya.
Pandangan
itu bukan saja dikatakan oleh sang pencetus ide “demokrasi terpimpin”,
Bung Karno, tetapi juga oleh ilmuwan asing. Dalam komentar panjangnya
tentang buku Herbert Feith (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia),
Harry Benda praktis beranggapan demikian. Sebab ia mengatakan bahwa
lahirnya Demokrasi Terpimpin bisa dilihat sebagai saat ketika Indonesia
kembali ke jalur sejarahnya yang otentik. Hanya saja dengan mengatakan
ini Benda kelihatannya ingin juga menekankan bahwa demokrasi bukanlah
salah satu ciri dari kebudayaan Indonesia. Maka jangan heran kalau ada
juga peneliti asing yang menyebut sistem Demokrasi Terpimpin itu sebagai
“Mataram Baru”. Namun begitu, kalau ada orang yang lebih suka melihat
peristiwa itu sesuai dengan judul pidato Presiden pada tanggal 17
Agustus 1959 yang mengatakan bahwa “kembali ke UUD ’45” adalah pertanda
dari “the rediscovery of our Revolution“, tentu bisa dimaklumi juga.
Kita
tidak perlu memperdebatkan tepat atau tidaknya tafsiran yang beraneka
ragam ini. Hanya saja salah satu kecenderungan umum dalam perdebatan
sejarah ialah semakin sering makna sebuah “peristiwa” diperdebatkan,
maka semakin pentinglah tempatnya dalam rekonstruksi sejarah. Kalau
telah begini, berbagai pertanyaan hipotetis dan teoretis biasanya
diajukan pula terhadap peristiwa yang dianggap penting itu. Apakah,
umpamanya, peristiwa 5 Juli 1959 sebuah “keharusan sejarah” yang tidak
terelakkan? Atau, barangkali, peristiwa ini sebuah “kecelakaan sejarah”,
yang tak semestinya terjadi? Atau, boleh jadi juga peristiwa itu tak
lebih daripada contoh dari pengingkaran konstitusional dari sebuah
sistem kekuasaan? Apa pun mungkin jawab yang diberikan, yang pasti ialah
segera setelah peristiwa itu terjadi proses pembentukan realitas baru
pun bermula pula. Tragis atau bukan, realitas yang terbentuk itu sampai
kini masih mewarnai kehidupan kenegaraan kita.
***
KALAU
peristiwa 5 Juli 1959 itu dikaji kembali, maka sebuah kesimpulan yang
tidak terhindarkan ialah bahwa peristiwa itu adalah klimaks dari
rentetan krisis sosial-politik yang semakin mengental sejak hasil dari
dua Pemilu 1955-satu untuk Parlemen dan satu lagi untuk
Konstituante-diumumkan. Apa pun mungkin sifat dari Dekrit Presiden itu,
yang pasti ialah bahwa setelah diumumkan Indonesia tidak lagi sama
dengan keadaan sebelumnya. Peristiwa itu berdiri sebagai batas simbolis
antara tatanan politik yang sebelum dan yang sesudahnya. Sejak saat itu
Soekarno mempunyai kebebasan relatif untuk mewujudkan kebijaksanaan
politiknya, sebagai Kepala Negara dan Pemerintah.
Ironis
mungkin, tetapi sejak itu pula ia lebih bebas mengadakan intensifikasi
dari peranannya sebagai pemimpin bangsa. Secara konstitusional ia adalah
Kepala Negara dari sebuah sistem politik yang Presidensial
dan-sebagaimana ia juga suka mengatakannya-Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Penyambung
Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi.
Maka,
apa pun mungkin corak penilaian sejarah atau politik terhadap Demokrasi
Terpimpin, namun secara empiris harus dikatakan juga bahwa dalam
episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya sebagai perpaduan
dari legitimasi konstitusional dengan keharusan dan kesahihan ideologis.
Karena itu, barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan
bahwa dari sudut kajian sejarah episode Demokrasi Terpimpin bisa pula
diperlakukan sebagai “laboratorium” penyelidikan tentang kepemimpinan
Soekarno, sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan sebagai pemimpin
bangsa. Bisakah keduanya saling mendukung? Atau, mungkin saling
menjegal? Kalau seandainya demikian, yang manakah yang lebih keras
bersuara?
Saat-saat
menjelang Dekrit Presiden 5 Juli adalah salah satu episode yang
terpadat dalam sejarah kontemporer kita. Dalam waktu sekitar dua tahun
itu sedemikian banyak peristiwa yang muncul bertubi-tubi bahkan
berhimpitan satu dengan yang lainnya. Barangkali hanya “masa transisi
Habibie” (Mei 1998-Oktober 1999) yang bisa menyaingi kepadatan episode
ini. Semua bermula dari hasil Pemilu 1955 yang ternyata gagal meletakkan
dasar kestabilan politik. Pemilu ini hanya menghasilkan keseimbangan
kekuatan partai-partai yang bersaingan politik di Parlemen dan yang
bertentangan ideologis di Konstituante. Pemilu ini juga seakan-akan
menunjukkan bahwa secara politik dan ideologis Indonesia terdiri atas
Jawa, yang didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul
Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan luar Jawa, yang
sebagian besar berada di belakang Masyumi. Partai “modernis Islam” ini
bukan saja merupakan satu-satunya partai yang mendapatkan kursi di semua
daerah pemilihan, tetapi juga menjadi pemenang di sepuluh dari 15
daerah pemilihan.
***
DALAM
konteks sistem kenegaraan yang mengharuskan perdebatan masalah
sosial-politik diselesaikan di parlemen dan masalah dasar negara dan
konstitusi di Konstituante, “kekikukan” dalam dinamika politik tidak
terhindarkan. Sebuah partai bisa menemukan kesesuaian dengan partai lain
di parlemen, tetapi berada dalam kubu yang berbeda di Konstituante atau
sebaliknya.
Dalam suasana intensifikasi politik ini Hatta menyadari bahwa ia tak lagi bisa bekerja sama dengan Soekarno. Ia meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden (Desember 1956) dan secara simbolis meniadakan “perwakilan” luar Jawa dalam kepemimpinan puncak nasional. Kabinet Ali Sastroamidjojo II, yang merupakan koalisi PNI-Masyumi-NU dan beberapa partai kecil, akhirnya tak bisa menahan badai politik yang terjadi dalam tubuhnya.
Dalam
suasana krisis kabinet ini Presiden Soekarno merasa perlu untuk
menunjuk seorang “warga negara” biasa, yang kebetulan bernama Soekarno
dan kebetulan pula seorang presiden, sebagai formatur kabinet. Di tengah
tudingan tentang terjadinya tindakan inkonstitusional, kabinet ahli
yang dipimpin Djuanda pun terbentuk. Tetapi perdebatan konstitusional
dan politik semakin menaik. Usaha Kabinet Djuanda untuk mengadakan
rekonsiliasi nasional, dengan mengusahakan kemungkinan kembalinya Hatta
ke dalam pemerintahan gagal berantakan.
Usaha
pembunuhan Soekarno di sekolah Cikini bukan saja menimbulkan tragedi
kemanusiaan, tetapi juga peristiwa politik yang menggagalkan usaha
penyatuan “dwitunggal”. Konflik Irian Barat semakin meningkat dengan
“diambil-alihnya” perusahaan-perusahaan Belanda oleh organisasi buruh,
yang langsung atau tidak berafiliasi dengan PKI. Pemerintah pun terpaksa
melakukan nasionalisasi. Maka sekian ribu warga negara Belanda pun
meninggalkan Indonesia, dengan segala kerusakan ekonomi yang
diakibatkannya.
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 yang melarang keturunan Cina untuk berdagang di
daerah pedesaan bukan saja menyebabkan terjadinya eksodus
mereka-khususnya dari Jawa Barat-tetapi juga ketegangan RI dengan RRT.
Sementara itu konflik daerah-pusat pun semakin menajam juga. Dalam
proses selanjutnya batas-batas antara hasrat daerah dengan pertentangan
politik dan ideologi pun menjadi kabur, seperti juga menjadi kaburnya
batas antara perdebatan politik dengan teror politik, yang dialami para
penentang “konsepsi Presiden”.
Dalam
suasana inilah para pembangkang militer di Sumatera mengeluarkan
ultimatum yang menuntut penggantian Kabinet Djuanda dengan kabinet yang
dipimpin oleh Hatta dan/atau Sultan Hamengku Buwono IX. Penolakan atas
ultimatum ini menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain selain
dari memproklamasikan PRRI. Dan Permesta pun segera menyusul. Perkiraan
PRRI/Permesta bahwa pemerintah pusat akhirnya bersedia berunding,
ternyata hanya impian belaka. Operasi militer dilancarkan dan menjelang
pertengahan tahun 1958 sudah kelihatan bahwa pemerintah tandingan yang
berpusat di Sumatera Barat itu tidak lagi merupakan ancaman yang serius.
Sementara itu kekuatan politik yang beragam-ragam itu mengalami
pengentalan, dengan Soekarno sebagai sumbunya. Maka yang tinggal hanya
dua kemungkinan saja, yaitu pro atau anti-Soekarno.
***
BEGITULAH-untuk
memperpendek cerita-ketika akhirnya Presiden Soekarno terbujuk juga
oleh argumen Nasution untuk “kembali ke UUD 1945″, Indonesia telah
melalui berbagai corak krisis, mulai dari hubungan daerah-pusat dan
pertentangan partai-partai di pusat pemerintahan sampai dengan konflik
internasional.
Ketika
Dekrit 5 Juli dikeluarkan, Soekarno dan TNI AD telah merupakan kekuatan
politik yang paling utama. Konflik presiden dan TNI yang terjadi dalam
“Peristiwa 12 Oktober” (1952) telah memberikan pada keduanya pelajaran
yang sangat berharga. Dengan ucapannya yang terkenal-“Aku tidak mau jadi
diktator”-presiden menolak tuntutan TNI AD agar membubarkan parlemen,
yang mereka anggap telah terlalu mencampuri urusan internal militer.
Sejak itu Soekarno semakin menyadari bahwa kedudukannya sebagai Kepala Negara, yang dikatakan “can do no wrong“,
bukanlah peranan yang sesuai bagi dirinya. Sejak itu pula AH Nasution
mulai memikirkan tempat yang sesuai bagi militer dan UUD yang
menjanjikan kestabilan politik. Dengan argumen sejarah ia mengajukan UUD
1945 dan dengan argumen sejarah juga ia menemukan “jalan tengah” bagi
militer. Kesempatan untuk mewujudkan itu datang dalam berbagai gejolak
radikalisasi politik.
Pengambilalihan
beberapa perusahaan Belanda yang dilakukan buruh menyebabkan pemerintah
mengadakan nasionalisasi dan menugaskan TNI AD untuk menjalankannya.
TNI AD mendapat kesempatan untuk “berkenalan dengan dunia bisnis”.
Pemberontakan PRRI/Permesta, yang memancing intervensi asing sekaligus
menaikkan wibawa TNI dan Soekarno. Keberhasilan TNI mengatasi ancaman
PRRI/Permesta dan pelaksanaan SOB, hukum bahaya perang, bukan saja telah
menjadikan TNI AD di bawah Nasution semakin terkonsolidasi, tetapi juga
semakin merupakan kekuatan politik yang harus diperhitungkan.
Sementara itu, sejak terbentuknya zaken
Kabinet Djuanda dan dibubarkannya Konstituante dan juga parlemen hasil
pemilu, partai-partai mengalami kemunduran yang luar biasa. Liga
Demokrasi yang dilahirkan beberapa tokoh partai sebagai protes terhadap
pembubaran parlemen hanya bisa bertahan sebentar. Masyumi, partai yang
paling “menjengkelkan” Soekarno, dan PSI, dibubarkan (1960), dengan
alasan bahwa ada tokoh dari kedua partai itu terlibat dalam
PRRI/Permesta. Tetapi PKI, yang berada di luar percaturan elite politik
di pusat pemerintahan, karena penolakan partai-partai lain dan militer,
selangkah demi selangkah berhasil menggarap masyarakat bawah.
Dalam
pemilu daerah yang diadakan pada tahun 1957 di Pulau Jawa, PKI
menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi yang terbesar. Lebih penting
lagi selama tahun-tahun krisis politik, di bawah pimpinan yang muda dan
pragmatis, PKI berhasil mendekatkan dirinya dengan Soekarno. Partai ini
selalu muncul sebagai pembela dan pendukung garis politik dan ideologis
Presiden Soekarno. Sebaliknya, betapapun mungkin TNI AD ingin menghambat
gerak maju PKI, presiden selalu tampil sebagai pembela. Jika perlu
Presiden Soekarno bersedia membuka dengan resmi Kongres PKI yang
dihalang-halangi TNI AD.
***
MAKA, demikianlah Demokrasi Terpimpin ditandai dengan semakin kuatnya kedudukan politik Soekarno, TNI AD, dan PKI.
Masalah yang terberat dihadapi Soekarno ialah menjamin kesetiaan
militer, memelihara dukungan politik PKI, dan menghalangi kemungkinan
terjadinya konflik terbuka antara TNI AD dengan PKI. Bagaimana
keseimbangan dari kedua kekuatan besar ini tanpa membiarkan salah satu
menjadi lemah? Bagaimanapun juga TNI harus merupakan sebuah kekuatan
yang disegani di dalam maupun di luar negeri. Bukankah perjuangan Irian
Barat semakin meningkat? Bukankah pula ancaman kekuatan
anti-revolusioner, sebagaimana dirumuskan Manipol-USDEK (dokumen politik
yang dikatakan Soekarno sebagai “hadis-nya Pancasila”) masih
gentayangan? Sebaliknya PKI bukan saja sebuah kekuatan revolusioner yang
diyakini Soekarno “bisa dijinakkan”-nya, tetapi juga sebuah partai yang
dianggapnya bisa dengan memahami orientasi pemikirannya.
Alasan
empiris dari pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli ialah bahwa
Konstituante telah gagal mendapatkan 2/3 suara untuk menentukan
Indonesia kembali ke UUD 1945. Tetapi dalam pidatonya yang terkenal, The Discovery of Our Revolution,
yang disampaikan pada peringatan ulang tahun kemerdekaan kelihatan
bahwa ada dua alasan utama, yang sejak lama telah menjadi obsesi Bung
Karno.
Pertama,
bahwa demokrasi liberal bertentangan dengan “kepribadian nasional”.
Dalam pidatonya, ia menekankan kembali pidatonya di hari kemerdekaan
1957. “Demokrasi kita adalah demokrasi, yang”-sambil mengatakannya dalam bahasa Belanda-“tak meninggalkan apa-apa selain dari kemerdekaan itu sendiri”. Karena itulah demokrasi kita harus bercorak “negara-sentris, bukan yang membawa orang menjadi ego-sentris atau kelompok-sentris atau partai-sentris atau kronis-sentris”. Maka demokrasi yang diinginkan adalah yang terpimpin yang sesuai dengan tradisi luhur bangsa, yaitu “musyawarah dan mufakat”.
Kedua, kembali mengulangi tema lamanya ialah “revolusi belum selesai”. Tema inilah yang paling keras mengental dalam pidatonya ini. “Inilah logika revolusi”, kata Bung Karno, “sekali
telah kita mulai kita harus melanjutkannya sampai semua cita-citanya
terwujud. Ini adalah hukum mutlak dari revolusi, yang tak bisa dibantah,
tak bisa diperdebatkan lagi. Karena itu jangan katakan ‘Revolusi telah
selesai’, padahal revolusi masih terus berjalan“. Ia pun menegaskan juga revolusi Indonesia yang “multikompleks” atau-sebagaimana, katanya, disebut seorang ilmuwan asing-“a summing-up of many revolutions in one generation” .
Kedua
konsep ideologis ini-“revolusi yang multikompleks”-dan “kepribadian
nasional” bukan hal baru, tetapi dikeluarkan sebagai pendukung dekrit,
keduanya bisa berfungsi terobosan terhadap impas politik. The Discovery of Our Revolution
dikeluarkan di saat wacana ideologis sedang mengalami kebuntuan dan di
waktu perdebatan dasar negara sedang mengalami kemacetan. Tetapi,
meskipun kedua pasang ideologi bisa sangat persuasif bagi mereka yang
telah bosan dengan sistem demokrasi yang semakin mandul, kedua konsep
menunjukkan dengan jelas sikap anti-pluralisme politik Soekarno.
Pada
hakikatnya kedua konsep ini bercorak hegemonik dan anti-wacana.
Bagaimanakah bisa dilawan dengan begitu saja konsep “kepribadian
nasional”, betapapun kaburnya, tanpa dibayangi ancaman tuduhan “tidak
nasionalis”. Bagaimanakah akan dihadapi wacana “revolusi belum selesai”
tanpa ancaman tuduhan sebagai reaksioner? Dalam wacana yang semakin
hegemonik ini, tidaklah terlalu sukar untuk menebak golongan masyarakat
mana yang telah mulai kehilangan kepercayaan kepada sistem parlementer
yang terlalu ingin mencampuri semua hal. Tidaklah pula terlalu sukar
untuk memperkirakan, golongan mana atau partai apa yang melihat kedua
pasang wacana itu sebagai wahana yang mungkin membebaskannya dari
keterpencilan pembagian kekuasaan.
***
KONSEP Revolusi Indonesia yang dikatakan sebagai sesuatu yang “congruent with social conscience of man”
dan yang “multikompleks” itu membagi dunia atas dua kekuatan yang
antagonistik dan mengidentifikasi musuh-musuh revolusi dengan jelas.
Dalam perwujudannya revolusi itu berarti “membongkar”, “membangun”, “retooling“, “rebuilding” dan “herodening” semuanya.
Diterapkan ke dalam sistem dan perilaku politik maka konsep tentang revolusi ini memberikan kepada TNI suasana yang congenial,
sesuai, bagi klaim sejarah mereka. Ajukanlah pertanyaan yang heroik
tentang revolusi nasional, maka siapakah yang akan diuntungkan secara
ideologis? Setelah para pemimpin Republik ditawan Belanda, siapakah yang
melanjutkan perjuangan, kalau bukan TNI? Bukankah pula TNI selalu
mengatakan bahwa mereka berasal dari rakyat, dan karenanya akan
selamanya menghirup nilai yang hidup di kalangan rakyat. Jadi, mengapa
tidak mereka menyokong konsep “kepribadian bangsa”? Bagaimanapun Bung
Karno bukan saja seorang pemimpin bangsa dan ideolog, ia adalah pula
Presiden/Panglima Tertinggi. Kalau demikian, sang Presiden pun mempunyai
sekian peralatan kekuatan untuk menjaga jangan sampai kesetiaan TNI
kepada panglimanya berkurang.
Bagi
PKI “revolusi” adalah jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan
masyarakat tanpa-kelas, sebagaimana diajarkan marxisme-leninisme. Maka,
terlepas dari latar belakang sosial Bung Karno yang “borjuis”, PKI bisa
melihat bahwa ajarannya sejajar dengan faham yang telah mereka anut.
Bukankah Bung Karno berkali-kali mengatakan ia adalah penganut Marxist,
meskipun bukan dalam pengertian ideologi dan filsafat, tetapi sebagai
landasan teori sejarah dan sosial. Jika Manifesto Politik merumuskan
makna revolusi, menunjukkan lawan dan kawan revolusi, dan sebagainya,
maka USDEK berarti UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional.
Jadi,
USDEK bisa juga dilihat PKI sebagai “nasionalisasi” dari keprihatinan
ideologis mereka. Apalagi Bung Karno adalah juga seorang Presiden yang
sewaktu-waktu bisa memberikan perlindungan politik dan hukum bagi
kehadiran dan aktivitas partai ini. Maka bisalah dipahami kalau PKI
melihat Soekarno sebagai “pelindung” dan menyebutnya sebagai “aspek
pro-rakyat” dalam pemerintahan. Aidit bahkan membuat hipotesa sejarah,
jika seandainya Bung Karno yang berkuasa (bukannya Hatta) di tahun 1948,
maka “peristiwa provokasi Madiun” tidak akan terjadi. Ia pun mengatakan
pula bahwa Bung Karno adalah gurunya dalam marxisme-leninisme.
Salah satu kelemahan dari ideologi yang bersifat hegemonik dan antiwacana ialah pengikutnya cenderung membuat interpretasi sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sifat anti-wacana yang terlekat itu dengan mudah menutup pintu bagi pengujian terbuka keabsahan interpretasi.
Dalam
situasi ini hanya ucapan sang “Nabi” yang menjadi ukuran keabsahan.
Mestikah diherankan kalau dalam persaingan untuk mendekati Soekarno,
Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, perbedaan penafsiran semakin lama
semakin membesar juga. Kalau telah begini benih-benih konflik terbuka
semakin tumbuh juga. Maka kalau perbedaan penafsiran ini dikenakan ke
lapangan politik, maka kemungkinan terjadinya tabrakan kepentingan
semakin tak terelakkan. Tanpa disadarinya, Soekarno telah menjadi
satu-satunya penyangga dari konflik terbuka antara TNI AD, yang diejek
PKI sebagai “kapitalis birokrat/kabir” (karena keterlibatannya dalam
bisnis), dengan partai yang telah mendapat kehormatan sebagai unsur
“kom” dari pilar politik Demokrasi Terpimpin, Nasakom. Ketika sang
penyangga itu goyah, maka semua hambatan pun mencair.
Sedemikian
mencairnya hambatan itu, seakan-akan analogi literer Hatta bahwa
Soekarno adalah kebalikan dari Mephistopheles (tokoh dalam drama Goethe,
Faust), kekuatan jahat yang mendatangkan kebaikan, terwujud
dalam kenyataan empiris yang prosais. Maka bersama Soekarno kita pun
menangis, karena di hadapan kita telah terhampar lembaran yang terhitam
dalam sejarah Indonesia.
Demikianlah,
ternyata memang tanggal 5 Juli 1959 bukan hanya sebuah tanggal dari
terjadinya sebuah peristiwa. Tanggal ini dan tanggal-tanggal lain yang
dicatat sejarah sebagai “penting” bisa memberi berbagai rangsangan
perasaan dan renungan intelektual tentang nasib bangsa, negara, dan
kemanusiaan.
* Taufik Abdullah SejarawanSumber tulisan : Seratus Tahun Soekarno (Liputan Khusus Kompas) Edisi 1 Juni 2001
0 komentar
Posting Komentar