Kedua, sewaktu mengetahui (via radio)
bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri
Kemakmuran) yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan
berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan
Yogya, melainkan atas inisiatif “spontan”, Sjafruddin dengan pemimpin
setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai “pemerintah
alternatif” bagi Republik yang tengah menghadapi “koma”.
Sebagaimana
terbukti kemudian, selama delapan bulan keberadaannya (Desember
1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan Sjafruddin di Sumatera mampu
memainkan peran penting sebagai pusat gravitasi baru dalam
mempersatukan kembali kekuatan Republik yang bercerai-berai di Jawa dan
Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima Soedirman sendiri, yang
kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta
kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin
perjuangan dengan bergerilya di hutan-hutan belantara dalam keadaan
sakit parah sekalipun.
Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin tak berarti, suatu Pyrrhic victory,
suatu kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan
sia-sia karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik kembali.
Hanya dalam tempo tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal
22-23 Desember, Dewan Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua
negara, kecuali Belgia,
mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda benar-benar
dibuat sebagai “pesakitan” yang kehilangan muka di panggung pengadilan
dunia.
Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan Konferensi Asia
di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut pembebasan
segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga pengembalian
ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang demokratis
tanpa campur tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya
negara bekas penjajah itu tidak bisa lagi mengelak dari campur tangan
internasional. Sejak itu, kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda
lewat manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini dunia semakin
kelihatan belangnya sehingga membuat posisinya semakin terpojok, baik di
Indonesia maupun di mata dunia.
Tulisan ini
ingin mendiskusikan sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa PDRI,
yang selama ini terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri
maupun oleh sejumlah penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana
sejarah bangsa umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam
kerangka perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa
sebenarnya yang terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam
masa-masa krisis waktu itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama ini?
Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis
Telah berpuluh-puluh tahun “Bapak Bangsa” (the founding fathers)-jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state,
negara bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu:
Republik Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam
usianya yang masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi
itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum
pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada
masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh,
Presiden dan Wakil Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap
Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini,
simpati dan dukungan dunia internasional terhadap Indonesia demikian
intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada akhirnya haruslah
ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri.
Salah
seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator
dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam
menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir
memberi “kata-putus” di saat-saat yang paling genting bagi negara dan
bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum
Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat
menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada
rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikada-satu bulan setelah ia
menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin
bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun
akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu
untuk meredakan pertempuran 10 November
di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan siap melepaskan
senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari
semakin banyak korban ‘mati-konyol’ karena pasukan bambu runcing yang
siap “berjibaku” untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran
Ambarawa?
Akan
tetapi, di masa kritis pada penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno
sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar dari keadaan gawat itu?
Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret hitam putih. Seperti
dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah “pribadi yang kompleks
dan tokoh penuh aneka warna”. Namun, untuk satu hal, “Bung Karno adalah sebuah gelora“,
tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya (1991).
Sebuah gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga
merupakan sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan.
Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi
yang persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu
sehimpun bintang yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut
bercahaya.
Nebula
yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan
pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa berbalik
menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak sesuai
kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu agresi
Belanda kedua itu.
Pada
bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno sangat sibuk mengadakan
perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato politiknya yang gegap gempita,
guna mengangkat moral perjuangan yang semakin merosot karena ditusuk
dari muka dan belakang. Di depan ada Belanda, yang setelah Perjanjian
Renville (Januari 1948) terus-menerus menggembosi dukungan Republik
dengan mendirikan negara-negara federal versi Van Mook. Waktu itu hampir
semua wilayah Indonesia sudah berada di bawah pengaruh Belanda dengan
berdirinya negara-negara federal ciptaan Van Mook di sana, kecuali di
tiga daerah: Yogyakarta,
Sumatera Barat, dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat tempat
karena kesetiaan kepada Republik sudah merupakan harga mati yang tak
bisa ditawar-tawar.
Sementara
tekanan politik federal Van Mook semakin gencar, terjadi pula
pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan September 1948. Pemberontakan
itu bukan hanya suatu pengkhianatan, melainkan juga “tusukan dari
belakang”, yang memperlemah Republik di saat posisi Belanda semakin
unjuk kekuatan dan diperkirakan akan melakukan serangan baru setiap
saat. Dalam suasana kacau balau dan terombang-ambing “di antara dua
karang” seperti dilukiskan Hatta waktu itu Soekarno-Hatta adalah
“dwitunggal” yang membuat kepastian dalam ketidakpastian. Sebuah pesan
radio dari Presiden Soekarno meminta ketegasan kepada rakyat untuk
memilih pemerintahan yang sah atau Muso.
Pidato-pidato
Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang
menggugah. Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering
diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih
diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). “Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota“,
kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada
di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal
detak jantung rakyatnya dan “tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga“, tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986).
Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah, “Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya.” (Merdeka, 29 Mei 1948)
Namun,
apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya
diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di
dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi dari
kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa
Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah
menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan
Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar
perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara
terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf
Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam
perpolitikan Indonesia.
Akan
tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya kepercayaan kepada obor,
sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di
hari itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia
pun senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib
Republik dan terhadap nyawanya. “Pada akhirnya saya hanya manusia
biasa. Siapa yang tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya
perasaan mereka akan membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang
asing, saya berpikir: sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke
depan pleton penembak“, begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya yang terkenal.
Walaupun
pada akhirnya Presiden dan Wakil Presiden dengan sejumlah anggota
kabinet ditawan Belanda, suasana kritis dan mencekam waktu itu tidak
perlu membuat kedua tokoh puncak Republik itu kehilangan akal sehat.
Pada detik-detik sebelum
kejatuhan Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah terakhir dari
busurnya: mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang menentukan
perjalanan sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap
dan tak lagi tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan
mereka.
Menurut
keterangan Hatta di belakang hari, keputusan apakah pemerintah akan
tetap berada dalam kota atau ikut bergerilya bukan atas kemauan pribadi
Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet
berdasarkan pemungutan suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung
memilih sikap pertama, artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer,
terutama Panglima Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah
memutuskan untuk meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan
prajurit TNI. Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil
Presiden sebaiknya “ikut perang gerilya”. Namun, karena tidak tersedia
cukup pasukan pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap
resmi pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2)
Hidup dalam pembuangan
Para
pemimpin Republik yang ditawan Belanda selepas pendudukan Yogya,
diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga orang pemimpin besar
Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir ditawan di
Brastagi, Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke Prapat. Selebihnya,
termasuk Hatta, dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di
Brastagi, Haji Agoes Salim adalah yang paling tua, tetapi paling singkat
masa penahanannya. Di zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara,
kecuali sebentar di zaman Jepang. Karena penahanan itu dianggap
kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan dengan “permintaan maaf” dari
pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam
setiap zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang
lebih belakangan.
Akan
tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama pernah mengalami hidup dalam
penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis,
tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan di Digul, Papua,
kemudian dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika dihitung ada
sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda. Sedang
Soekarno juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan
Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan keputusan “Landraad”
Bandung tahun 1930, kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan
lagi ke Bengkulu. Sewaktu dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda
jatuh, Soekarno sudah menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama
10 tahun.
Antara
Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian
dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa kesamaan nasib dalam berurusan
dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10
tahun-keduanya adalah korban exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde
(keamanan dan ketertiban). Tentu saja “membahayakan” menurut tafsiran
yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan “kezaliman”, orang tak begitu
keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten
tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu
tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali
mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang
dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara
terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh
pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis
hukumannya.
Apa
pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir amat
mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga sejarah
bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya. Sjahrir
ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati pembebasan karena dalam
masa tahanan ia meninggal dunia di tempat pengobatannya di Zurich.
Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai meninggalnya ia juga tak
pernah mengalami pembebasan. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya
Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat kecuali pada masa ini. Mereka
tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim dalam satu kamar.
Sjahrir
pendiam dan suka marah kalau ketenangannya merasa terusik, sementara
Soekarno adalah pribadi yang ceria suka “membunuh” waktunya dengan
menyanyi atau apa saja yang disukainya. Ketika mereka dibolehkan
pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan, Sjahrir minta dibawakan
buku-bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan kemeja “Arrow”. Sekali
waktu Bung Karno pernah mengatakan, “saya tak keberatan menjadi tawanan
Belanda karena ada tujuh cermin di kamar saya….” Sjahrir dibuat jengkel
dengan sikap-sikap Bung Karno yang dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya.
Bung
Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno menyanyi di
kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir dirasakannya
membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa Belanda): houd je mond
(tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel juga sama Sjahrir. Ketika
suatu kali Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada
Sjahrir, ia mengatakan, “Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara,
mengapa dia menghardik saya seperti itu?”
Dalam
kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem Drees datang ke Indonesia,
Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir
bersedia datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali lagi ke Prapat
karena sudah dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk memanfaatkannya
sebagai “perantara” dalam rencana perundingan baru, Roem-Roijen.
Kejadian ini membuat Bung Karno tambah marah. “Mengapa ia tidak kembali
ke sini” (Prapat). “Kalau begitu ia tidak setia,” sambungnya lagi
seperti diceritakannya kepada Haji Agus Salim.
Sepeninggal
Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA Salim.
Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di
Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia
minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak
mau tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk
menemani Bung Karno di sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan
Ali Sastroamidjojo. Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok
Manumbing di bawah pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah
pimpinan Bung Karno.
Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai bulan April
1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat sebagai
penasihat delegasi perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir
menolak karena mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat
keputusan itu. “Apa dia itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara”, (Ketua PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno setelah mendengar itu.
Pengalaman
yang kurang menyenangkan selama dalam masa tahanan, dan kekecewaan
dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya pada saat memilih ditawan
Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan Yogya, agaknya merupakan
bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung Karno, dan sekaligus
penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah episode PDRI.
Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will,
sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam
ingatan kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang
ditulis oleh Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam
perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah
sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik hingga pengakuan
kedaulatan di pengujung 1949.
PDRI, ujian pertama integrasi bangsa
Pada
detik-detik terakhir yang menegangkan sebelum pemimpin puncak Republik
ditawan Belanda, Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk
diedarkan ke seluruh wilayah Republik. “Musuh mau mengepung
pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang
mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam pemerintahan…. Rakjat harus
berdjoang terus….” Memang, Republik tidak hanya punya
Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan nama besar lainnya. Salah seorang
yang paling diremehkan agaknya ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selama tahun-tahun krisis 1948-1950 sesungguhnya dialah tokoh yang
memegang kendali dalam mengurusi intern di bidang militer, ekonomi dan
politik di belakang layar. Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam
hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di
Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya
sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan
Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan
takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak
hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi
kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam
serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang
dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang
membiayai semua keperluan Republik ketika “kembali ke Yogya”. Sekitar 6
juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur
Republik.
Maka
Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke tangannya menyimpulkan
bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau tak mau peduli bahwa
Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945 itu, telah
tercerahkan (enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal
abad lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang,
sebagaimana yang ada dalam benak kaum kolonialis Belanda, melainkan
sebuah “negara-bangsa” yang modern yang telah dipersiapkan sedemikian
rupa. Pembukaan UUD ’45 dan bangunan konstitusi itu sendiri,
sesungguhnya adalah blue-print dari Republik yang baru itu, dan
keduanya disusun oleh para “bapak bangsa” dengan penuh kesadaran dan
kecerdasan sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika pimpinan puncak
Republik ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu memerankan dirinya
sebagai faktor integratif, yang menjadi pusat jaringan perjuangan
Republik via India ke dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX di ibu kota Yogya dan Jenderal Soedirman di medan gerilya.
Maka,
pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya era PDRI, teori politik
klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika raja
atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa ditundukkan.
Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang sia-sia.
Sesungguhnya
inilah periode di mana proses integrasi nasional menunjukkan hasil,
ketika panggung sejarah beralih dari kota ke desa-desa dan hutan-hutan,
ketika rakyat tidak lagi sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh
sentral di panggung sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa
hidup kalau bukan disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa
sekarang semuanya seakan-akan dilupakan?
Memang
wacana sejarah bangsa kita, seperti dikatakan sejarawan Taufik
Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang ingin dilupakan dan yang
ingin diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang semena-mena terhadap
sejarah bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya ialah like and dislike
yang berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI
seperti juga biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan
keduanya merupakan wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya.
* Mestika Zed Sejarawan, lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, tinggal di Padang.Sumber tulisan : Seratus Tahun Soekarno (Liputan Khusus Kompas) Edisi 1 Juni 2001
0 komentar
Posting Komentar