KOMPAS.com –
Semua tergelak ketika Butet dalam monolognya di depan ketiga pasang
capres mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri
berjabat tangan dengan mesra. Maklumlah, semua tahu, kedua capres ini
sudah cukup lama tak bertegur sapa.
Berkaca pada para pemimpin masa lalu, agaknya sikap itu kurang pas,
tidak menampakkan sikap kenegarawanan. Dosen Filsafat Universitas
Indonesia, Rocky Gerung, pernah mengatakan, Presiden Soekarno menanggapi
kritik pedas Sutan Sjahrir dengan mengatakan, ”Kalau saya rotan, rotan
itu melengkung, tetapi tidak patah.” Para pemimpin itu memiliki
kecerdasan hingga mampu membuat metafora.
Kecerdasan seperti itu pun menjadi milik Mohamad Roem, Menteri Luar
Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam
kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut
Soekarno oligarkis dan feodal.
Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang
Tokoh Diplomasi Mohamad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya
dengan Mohamad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati
saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang
atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah
menghalangi hubungan baik antarpribadi.
Sebagai diplomat, kala itu, Mohamad Roem memang tidak semenonjol
Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya
dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian
dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari
kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting
bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian
tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan
Indonesia.
Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang
kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah
sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani
mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki
para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)
Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)
Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan
peristiwa ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir,
Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun.
Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka
tidak diadili.
Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia
tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen.
Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta
Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar
pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19
September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya
dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah
berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.
Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat
sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet
Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesia dalam
perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam
notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang
menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir
Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan
Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela
Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti
Linggajati.
Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena
pada tanggal 12 November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda
yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna menghadap Soekarno, tiba-tiba
Soekarno menyetujui naskah Linggajati padahal masih perlu dirundingkan
lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplonat dalam perundingan
Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem
dan Van Roijen serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin
Hatta dalam Konperensi Meja Bundar. Setelah itu Roem adalah ketua Komite
pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling bergengsi, sesuai hasil
KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den Haag
Belanda.
Dalam zaman Soeharo, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat
musyawarah Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru
tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem dan Sek.Jen
Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat
tua ini benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya.
Beliau wafat tanggal 24 September 1983 dalam usia 75 tahun.
Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai
jebolan Jong Islammieten Bond, sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa
akhir.
——————
Siapa Mohammad Roem ?
Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di
akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh
Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam
perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van
Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949
itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak
keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito,
ibunya bernama Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di
masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS
(Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan
ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.
Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula
tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem,
“Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.
Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia
merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah
papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain
tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid
Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok,
“Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi
ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap
ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad
untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk
mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan
organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan
ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam
tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh
lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten
Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan
pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB
di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua
umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau
sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge
School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut
ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum
pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII
di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus
Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam
partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah
Tanfidziyah).
Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan
pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan
perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga
tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau
pengkaderan.
Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara
(advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan
jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan
Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua
Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah
organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.
Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus
ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam
Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah
alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang
mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada
fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H.
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri
Masyumi.
Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk
selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya,
menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.
Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru
runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian,
seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru
runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.
Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri
dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana
menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan
Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi,
seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada
tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di
pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan
penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah
lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari
1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan
pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden
Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah
pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas
dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali.
Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator
Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah
terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah
partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto
khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti
Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa
Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis.
Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi
lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun
1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama
para warga Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara
lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member
of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977)
serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di
Tripoli (1977).
Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak
juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah
Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam
Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam
untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.
Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke
majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam
dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada
saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah
masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri,
yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai
ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan
sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia
pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama,
melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago
menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua
selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem
dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais
dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan
diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam;
Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.
Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan
keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di
atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan
Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )
0 komentar
Posting Komentar