Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Sabtu, 08 November 2014

Mohamad Roem, Pemimpin Tanpa Dendam

KOMPAS.com – Semua tergelak ketika Butet dalam monolognya di depan ketiga pasang capres mengatakan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri berjabat tangan dengan mesra. Maklumlah, semua tahu, kedua capres ini sudah cukup lama tak bertegur sapa.

Berkaca pada para pemimpin masa lalu, agaknya sikap itu kurang pas, tidak menampakkan sikap kenegarawanan. Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, pernah mengatakan, Presiden Soekarno menanggapi kritik pedas Sutan Sjahrir dengan mengatakan, ”Kalau saya rotan, rotan itu melengkung, tetapi tidak patah.” Para pemimpin itu memiliki kecerdasan hingga mampu membuat metafora.
Kecerdasan seperti itu pun menjadi milik Mohamad Roem, Menteri Luar Negeri Indonesia dalam kabinet Natsir. Ia tidak pernah menyimpan dendam kepada Soekarno yang telah memenjarakannya di Madiun. Ia memang menyebut Soekarno oligarkis dan feodal.
Hal itu terungkap dalam pembukaan Annual Lecture bertajuk ”Mengenang Tokoh Diplomasi Mohamad Roem”, Selasa (16/6) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan, dalam pertemuannya dengan Mohamad Roem, Hassan sempat menanyakan apakah Roem sakit hati saat dipenjarakan Soekarno. Jawaban Roem kala itu, dalam politik, menang atau kalah merupakan hal biasa. Perbedaan tajam tidak pernah menghalangi hubungan baik antarpribadi.
Sebagai diplomat, kala itu, Mohamad Roem memang tidak semenonjol Sutan Sjahrir. Ia bukanlah pemikir seperti Sjahrir. Namun, perannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak kecil.
Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Belanda yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Roijen adalah sebagian kecil dari kiprahnya di dunia diplomasi. Perjanjian tersebut menjadi tapak penting bagi lahirnya perjanjian Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Perjanjian tersebut telah mengantarkan lahirnya pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.
Upaya kerasnya dalam berdiplomasi mengantarkan Indonesia dalam ruang kemerdekaan. Meski pada satu masa Soekarno memenjarakannya, tidak pernah sedetik pun ia menyimpan dendam kepada proklamator itu. Ia berani mengambil risiko dan tetap berjiwa besar, ciri yang selayaknya dimiliki para pemimpin Indonesia saat ini jika mereka ingin menjadi negarawan. (B Josie Susilo)
Komentar Pak Rushdy Hoesein Tentang Mohammad Roem (dari milis Historia-Indonesia)
Roem memang tidak mendendam, tapi dia tidak pernah melupakan peristiwa ketika Roem dan teman-temanya (termasuk Sjahrir, Natsir, Sjafrudin dan lain-lain) tahun 1962 dipenjarakan Soekarno di Madiun. Tidak terlepas dari itu, masih selalu muncul pertanyaan, kenapa mereka tidak diadili.
Soal Diplomasi, mungkin benar Roem tidak sekaliber Sjahrir, tapi dia tidak berada dibawah Sjahrir. Roem orang hebat karena diplomat tulen. Karirnya dimulai sejak diangkat sebagai ketua KNI daerah Jakarta Serptember 1945, dia bersama Soewirjo berunding dengan Kempetai agar pemerintah pendudukan mengizinkan dilanjutkannya “Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945″. Dan Jepang terpaksa menyetujuinya karena olehnya dijelaskan hanya Soekarno yang bisa membubarkan rakyat yang sudah berkumpul sejak subuh di lapang Ikada yang sebanyak 200.000 orang itu.
Dirinya pernah ditembak Belanda di rumahnya di Kwitang sehingga cacat sampai akhir hayatnya. Dirinya terpilih menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir ke III tahun 1946 dan diangkat menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan Linggajati. Dalam perundingan sebagaimana tertulis dalam notulen, dirinya ikut berdebat secara sengit. Pasal-pasal yang menyangkut hukum tatanegara bersama Soesanto Tirtoprodjo dan Amir Sjarifudin secara cermat diperhatikan agar jangan lolos menguntungkan Belanda. Namun demikian sungguh berat baginya karena harus membela Linggajati dari serangan partainya sendiri, Masyumi yang anti Linggajati.
Dirinyalah satu-satunya anggota delegasi yang langsung protes karena pada tanggal 12 November 1946 malam dalam kunjungan delegasi Belanda yang dipimpin Prof. Schermerhorn guna menghadap Soekarno, tiba-tiba Soekarno menyetujui naskah Linggajati padahal masih perlu dirundingkan lebih lanjut. Roem juga terpilh sebagai diplonat dalam perundingan Renville, pernyataan bersama (bukan perundingan) antara Mohammad Roem dan Van Roijen serta Roem adalah anggota delegasi utama yang dipimpin Hatta dalam Konperensi Meja Bundar. Setelah itu Roem adalah ketua Komite pembentukan pemerintahan RIS dan yang paling bergengsi, sesuai hasil KMB, Roemlah yang diangkat sebagai Komisaris Agung pertama di Den Haag Belanda.
Dalam zaman Soeharo, mungkin yang tidak juga dilupakannya adalah saat musyawarah Parmusi di Malang tahun 1968, dimana pemerintah Orde Baru tidak sudi kalau Partai itu dipimpin Roem dan Sek.Jen Lukman Harun. Perjalanan sejarah akhirnya menempatkan tokoh diplomat tua ini benar-benar istirahat di bidang politik sampai akhir hayatnya. Beliau wafat tanggal 24 September 1983 dalam usia 75 tahun.
Dirinya adalah salah seorang murid dari H.Agus Salim. Sebagai jebolan Jong Islammieten Bond, sumpah setianya pada Partai Masjumi tanpa akhir.
——————
Siapa Mohammad Roem ?
Dalam catatan sejarah nasional, nama tokoh ini sangat mencuat di akhir tahun 1940-an. Waktu itu Mr Mohammad Roem diamanahi oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai ketua tim juru runding RI dalam perundingan dengan Belanda. Tim juru runding dari Belanda diketuai Van Royen. Akhirnya perundingan yang berlangsung pada tanggal 14 April 1949 itu diberi nama “Perundingan Roem-Royen”.
Mohammad Roem lahir di Desa Klewongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tanggal 16 Mei 1908. Ia lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Djulkarnaen Jayasasmito, ibunya bernama Siti Tarbiyah.
Pendidikannya dimulai di Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar di masa Belanda) di desa kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan ke HIS (Holland Inlandsche School) Temanggung sampai kelas III, dan diteruskan ke HIS Pekalongan. Dan tamat dari HIS Pekalongan pada tahun 1924.
Semangat perjuangannya mulai bersemi sejak di HIS. Kisahnya bermula tatkala seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”. Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya.
Roem sangat tersinggung dihardik demikian. Sebagai orang pribumi ia merasa dirinya dihina dan dilecehkan. Ia kemudian teringat sejumlah papan larangan di gedung-gedung bioskop, di rumah makan, dan lain-lain tempat yang mengharamkan orang pribumi masuk.
Penghinaan itu belum selesai. Diwaktu istirahat ada seorang murid Belanda yang mendorong-dorong tubuh Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!” Akibat dorongan itu Roem jatuh terjerembab. Tapi ia segera bangkit lalu dikejarnya anak Belanda itu. Setelah tertangkap ditinjunya perut si anak bule itu hingga muntah-muntah.
Peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem. Ia kemudian bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing. Untuk mewujudkan niatnya itu sambil bersekolah Roem kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Mula-mula Roem bersemangat di kelompok pemuda itu. Namun belakangan ia tidak betah berada di lingkungan Jong Java, karena aspirasi Islam tidak tertampung di situ, ia bersama Syamsuridjal dan beberapa tokoh lainnya memilih keluar, lalu pada tahun 1925 mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam.
Dalam JIB ini Roem dipercaya menjadi salah seorang anggota pimpinan pusatnya. Kemudian pada tahun 1930 ia menjadi ketua Panitia Kongres JIB di Jakarta. Ketika JIB membentuk kepanduan (Natipij) ia menjadi ketua umumnya.
Pada tahun 1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum. Dari perguruan tinggi tersebut ia berhasil meraih gelar Mester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum pada tahun 1939. Skripsinya tentang Hukum Adat Minangkabau.
Sambil kuliah dan mengurus JIB, Roem aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun 1932 ia menjadi ketua Panitia Kongres PSII di Jakarta. Ketika terjadi kemelut di PSII, ia bersama-sama Haji Agus Salim keluar dari partai tersebut dan mendirikan PSII-Penyadar. Dalam partai baru tersebut ia menjadi Ketua Komite Centraal Executif (Lajnah Tanfidziyah).
Kemelut itu terjadi karena PSII dalam pandangan Roem lebih menekankan pada aspek politik sementara tujuan dasar SI, yaitu memajukan perekonomian bumiputera, tidak diperhatikan lagi. Syarikat Islam juga tidak memperhatikan lagi masalah pendidikan agama Islam atau pengkaderan.
Untuk mengamalkan ilmu hukumnya, Roem membuka kantor pengacara (advokat) di Jakarta. Sebagian di antara organisasi yang mempercayakan jasa kepengacaraannya adalah Rumah Piatu Muslim di Jakarta dan Perhimpunan Dagang Indonesia (Perdi) di Purwokerto.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer di bawah naungan Masyumi.
Dalam Muktamar Masyumi tahun 1947 diputuskan bahwa ummat Islam harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Negara Islam Indonesia tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka, itulah alasannya. Oleh karena itulah para pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada seluruh umat Islam dari Hadratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang juga salah seorang pendiri Masyumi.
Mohammad Roem-pun berjihad mati-matian mempertahankan kemerdekaan Indonesia, utamanya melalui jalur perundingan/diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilannya sebagai diplomat.
Oleh Pemerintahan Soekarno ia mendapat amanah menjadi angota tim juru runding RI dalam perundingan Renville 17 Januari 1948. Kemudian, seperti telah disinggung di atas, Roem diangkat sebagai ketua juru runding RI dalam perundingan Roem-Royen pada tanggal 14 April 1949.
Perundingan tersebut dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949.
Di masa berikutnya Roem pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dalam kabinet Natsir (1950-1953) serta pernah juga menjadi wakil perdana menteri dalam kabinet Ali Sastroamijoyo (1956-1957).
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terjadi konflik antara Masyumi dengan Presiden Soekarno. Apalagi kemudian beberapa pemimpin Partai Masyumi, seperti Natsir bergabung dalam pemberontak PRRI.
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri, karena dipaksa Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1960, Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Ia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta bidang ilmiah lainnya.
Kegiatan ini tidak berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Januari 1962, ia bersama-sama dengan beberapa tokoh Masyumi dan PSI ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Mereka dituduh oleh Pemerintahan Presiden Sukarno terlibat peristiwa Cendrawasih, yakni peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Makassar.
Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Soekarno goyang usai pemberontakan PKI tahun 1965. Selepas dari penjara kegiatan menulis buku dan penelitian diteruskan kembali. Salah satu kesibukannya antara lain menjadi Wakil Ketua Dewan Kurator Sekolah Tinggi Kedokteran Islam Jakarta pada tahun 1971.
Pada tahun 1969 Roem sempat hampir kembali ke kancah politik setelah terpilih sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Ini adalah partai ‘jelmaan’ Masyumi yang didirikan oleh para mantan kader Masyumi.
Sayangnya Soeharto, presiden waktu itu, tidak menyetujui. Soeharto khawatir, jika dipimpin Roem, Parmusi bisa menjadi partai besar seperti Masyumi dulu, hingga menyaingi Golkar. Atas desakan pemerintah, terpaksa Roem batal jadi Ketua Parmusi, digantikan oleh Djarnawi Hadikusumo.
Sejak itu Roem betul-betul undur diri dari dunia politik praktis. Kemudian bersama-sama M Natsir dan kawan-kawan mantan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1970-an. Di tempat inilah kakek dari Adi Sasono ini berkhidmat bersama para warga Bulan Bintang.
Sejak itu Roem aktif dalam berbagai fora Islam internasional, antara lain menjadi anggota Dewan Eksekutif Muktamar Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for Peace di Singapura (1977) serta menjadi anggota Konferensi Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).
Meski begitu perhatiannya pada perkembangan Islam di tanah air tidak juga berkurang. Suat ketika Amien Rais dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat (no 379/1982) menyatakan tidak ada negara Islam dalam Al-Quran dan As-Sunnah, “Oleh karena itu tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam,” kata Amien Rais.
Atas pandangan Amien itu kemudian Roem mengirimkan tanggapan ke majalah yang sama. Roem membenarkan, bahwa memang tidak ada negara Islam dalam nama, namun secara substansial ada. “…Pada akhir hayat Nabi, pada saat Surat Al-Maidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan di bawah kepemimpinan Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusu oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedang hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna… Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada ‘Negara Islam’ atau Islamic State, tidak dalam nama, melainkan dalam substance, dalam hakikatnya.”
Sesudah itu Nurcholish Madjid yang sedang berada di Chicago menyuratinya, sehingga berlangsung korespondensi antara mereka berdua selama beberapa bulan. Setelah korespondensi berakhir, Mohammad Roem dipanggil ke hadhirat Allah pada tanggal 24 September 1983.
Pada tahun 1997 kumpulan korespondensi itu plus wawancara Amien Rais dengan majalah Panji Masyarakat serta tanggapan Roem dibukukan dan diterbitkan oleh Adi Sasono, lalu diberi judul “Tidak Ada Negara Islam; Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohammad Roem”.
Judul buku itu jelas menyesatkan, seolah-olah Roem menafikan keberadaan negara Islam. Padahal sesungguhnya, sebagaimana kutipan di atas, Roem mengakui pernah ada negara Islam, meski tidak dinamakan Negara Islam, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Sumber Hidayatulah Edisi 12/XV 2003 – Sejarah )

0 komentar

Posting Komentar