Agaknya, bagi bangsa Indonesia adalah
penting sekali untuk selalu ingat bahwa pada 11 Maret 1966 ( jadi 40
tahun yang lalu) telah terjadi pengkhianatan besar yang dilakukan oleh
segolongan pimpinan TNI-AD yang dikepalai oleh Letnan Jenderal Suharto
(waktu itu)
terhadap presiden Sukarno. Dan melalui pengkhianatan
terhadap pemimpin besar rakyat Indonesia ini Suharto beserta para
pendukungnya, baik yang di kalangan militer maupun yang bukan, telah
melakukan kejahatan yang besar sekali terhadap revolusi dan rakyat
Indonesia. Begitu besarnya kejahatan yang dilakukan dengan pengkhianatan
ini, sehingga perlu sekali (dan pantas sekali!) dimasukkan sebagai
bagian yang penting dari sejarah bangsa. Semua generasi bangsa yang akan
datang perlu sekali mengetahui dengan jelas tentang berbagai kejahatan
yang berkaitan dengan pengkhianatan besar ini.
Tulisan yang berikut ini adalah sekadar
sumbangan dan ajakan untuk menyegarkan kembali ingatan bersama kita
mengenai peristiwa, yang selama puluhan tahun disanjung-sanjung sebagai
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang, pada hakekatnya,
merupakan dosa besar dan aib berat yang harus dipikul oleh Suharto
beserta para pendukung rejim militer Orde Baru. Supersemar yang pernah
diagung-agungkan oleh para pendiri dan pendukung rejim militer Suharto
dkk (yang ditulang-punggungi oleh TNI-AD dan Golkar) adalah salah satu
di antara banyak sekali dan berbagai kejahatan besar yang telah
dilakukan oleh rejim militer Orde Baru.
Karenanya, kalau selama puluhan tahun
Orde Baru, Supersemar telah dibangga-banggakan setinggi langit oleh
kalangan militer (terutama TNI-AD), Golkar, sebagian golongan Islam, dan
tokoh-tokoh “cendekiawan”, maka sejak turunnya Suharto dari singgasana
kepresidenan sedikit demi sedikit terkuaklah banyak kebusukan dan
kejahatan sekitar pengkhianatan terhadap Presiden Sukarno dan
penghancuran PKI yang merupakan pendukung utamanya. Sekarang ini, tidak
begitu banyak lagi orang yang berani terang-terangan memuji Suharto,
atau berani terlalu membangga-bangggakan Orde Baru, atau
menyanjung-nyanjung Supersemar.
Kudeta merangkak dimulai 1 Oktober 65
Kalau dilihat secara hakiki, sebenarnya
pengkhianatan dan kudeta merangkak yang dilakukan oleh Suharto dan
teman-temannya di kalangan Angkatan Darat terhadap Presiden Sukarno
telah dimulai, pada tanggal 1 Oktober 1965, ketika Suharto sebagai
panglima Kostrad mulai bergerak untuk menghancurkan kekuatan militer
yang menyokong G30S. Dengan berbagai jalan dan cara (termasuk yang
tertutup) Suharto dkk di kalangan Angkatan Darat telah melakukan
pembangkangan terhadap kepemimpinan presiden Sukarno.
Pembangkangan dan kudeta merangkak
Angkatan Darat terhadap Presiden Sukarno ini mulai dilakukan dengan
gerakan besar-besaran untuk membunuhi, atau menangkapi secara
sewenang-wenang sebagian terbesar pimpinan PKI di semua tingkatan
(nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan pedesaan) di seluruh
Indonesia. Di samping itu, pimpinan Angkatan Darat juga menciptakan
berbagai langkah-langkah yang berakibat terjadinya pembantaian
besar-besaran (sampai sekitar 3 juta orang) terhadap para anggota dan
simpatisan PKI yang tidak bersalah apa-apa, dan penahanan ratusan ribu
orang (yang juga tidak bersalah apa-apa !) di banyak daerah. Semuanya
ini merupakan pelanggaran HAM besar-besaran oleh suatu regim terhadap
bangsanya sendiri, yang kebiadabannya jarang tandingannya di dunia.
Pembangkangan dan kudeta merangkak ini
mencapai tahap yang sangat penting dengan pemaksaan ditandatanganinya
Surat Perintah Sebelas Maret oleh presiden Sukarno pada tanggal 11 Maret
1966, yang memberi kekuasaan (terbatas!!!) kepada Letnan Jenderal
Suharto, yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Mengambil segala tindakan yang dianggap
perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
jalannja Pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan
pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara
Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin
Besar Revolusi. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut
dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas »
Begitulah bunyi Supersemar yang
disodorkan dengan paksa kepada presiden Sukarno. Tetapi, kemudian
ternyata bahwa apa yang dilakukan oleh Suharto dan kawan-kawannya di
Angkatan Darat berlawanan sekali dengan isi surat perintah tersebut.
Dengan adanya penangkapan sewenang-wenang dan pemenjaraan ratusan ribu
anggota dan simpatisan PKI yang tidak bersalah apa-apa telah dilancarkan
teror besar-besaran di seluruh negeri, dan telah dirusak ketenangan di
kalangan rakyat. Pimpinan Angkatan Darat waktu itu telah mengambil
berbagai tindakan yang merusak kestabilan jalannya pemerintahan di bawah
pimpinan presiden Sukarno dan jalannya revolusi.
Apa yang dilakukan Suharto dkk terhadap
Bung Karno sama sekali tidak menjamin kewibawaan beliau sebagai
presiden/panglima tertinggi/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS.
Bahkan, pimpinan Angkatan Darat kemudian menjadikan beliau sebagai
tapol, dan mengurung beliau dalam tahanan, sampai akhir hayat beliau.
Suharto dkk juga sama sekali tidak melaksanakan ajaran pemimpin besar
revolusi, bahkan sebaliknya, menghancurkan segala ajaran beliau (antara
lain : Pancasila, politik anti-imperialis dan anti-nekolim, Nasakom,
Manipol, sosialisme à la Indonesia, semangat gotong-royong, pengabdian
kepada kepentingan rakyat kecil, dan persatuan bangsa). Dan, Suharto dkk
juga tidak memberi laporan kepada presiden Sukarno tentang segala
sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung jawabnja seperti
yang tercantum dalam surat perintah tersebut di atas, bahkan melakukan
berbagai tindakan tanpa sepengetahuan presiden Sukarno.
Kemunafikan dan pengkhianatan Suharto dkk
Kalau ditelusuri berbagai
langkah-langkah atau tindakan Suharto sebagai « pengemban » Supersemar,
maka jelaslah bahwa ia telah melakukan pengkhianatan besar terhadap Bung
Karno.
Dan kalau di sini disebut Suharto, maka
tidak berarti sebagai Suharto seorang diri, melainkan sebagai tokoh atau
perwakilan golongan yang reaksioner dan anti-Sukarno, yang mempunyai
politik dan kepentingan yang sama atau sejajar dengan imperialisme,
terutama imperialisme AS. Anti-Sukarno adalah bagian penting dalam
politik imperialisme dalam menghadapi Perang Dingin dan perjuangan
rakyat Asia-Afrika yang digelorakan oleh Konferensi Bandung.
Menurut brosur yang dikeluarkan oleh
Kementerian Penerangan tanggal 28 Maret 1966 (jadi sekitar dua minggu
setelah penyodoran secara paksa Supersemar) pada tanggal 12 Maret 1965
Letnan Jenderal Suharto telah mengeluarkan Perintah Harian kepada
Angkatan Darat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
« Bagi Rakjat, hal ini berarti bahwa
suara hati nurani Rakyat yang selama ini dituangkan dalam perjoangan
yang penuh keichlasan, kejujuran, heroisme dan selalu penuh tawakal
kepada Tuhan yang Maha Esa, benar-benar dilihat, didengar dan
diperhatikan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang sangat kita
cintai dan yang juga merupakan bukti kecintaan Pemimpin Besar revolusi
kepada kita semua .
« Percayakan tugas-tugas tersebut kepada
ABRI anak kandungmu; Insya Allah ABRI akan melaksanakan Amanatmu,
Amanat Penderitaan Rakyat, yaitu melaksanakan Revolusi kiri kerakyatan
Indonesia, dengan ciri-ciri anti feodalisme, anti kapitalisme, anti
Nekolim dan mewujudkan masyarakat adil-makmur berdasarkan Panca-Sila,
masyarakat Sosialis Indonesia, yang diridhoi oleh Tuhan yang Maha Esa
dalam taman sarinya satu Dunia Baru tanpa segala bentuk penindasan dan
penghisapan;
« ABRI tidak hendak meng-kanankan
Revolusi Indonesia seperti jang dituduhkan oleh benalu-benalu dan
cecunguk-cecunguk Revolusi; ABRI juga tidak akan membiarkan Revolusi
dibawa kekiri-kirian, sebab Revolusi kita memang sudah kiri. Siapa saja,
golongan mana saja, yang akan menyelewengkan garis Revolusi, mereka
akan berhadapan dengan ABRI, dan akan ditindak oleh ABRI »
Alangkah jauhnya perbedaan atau jarak
antara kalimat yang terdengar bagus-bagus itu dengan apa yang dikerjakan
oleh Suharto dkk sebelum dan sesudah penyerahan Supersemar. Ia bicara
tentang « Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang kita cintai » padahal
tindakan-tindakannya sejak tanggal 1 Oktober (bersama-sama
kawan-kawannya di Angkatan Darat) menunjukkan pembangkangan terhadap
presiden Sukarno. Ia juga bicara bahwa « Abri akan melaksanakan Amanat
penderitaan Rakyat, yaitu melaksanakan Revolusi kiri kerakyatan
Indonesia, dengan ciri-ciri anti-feodalisme, anti-kpitalisme,
anti-Nekolim dan mewujudkan masyarakat adil-makmur
berdasarkanPanca-Sila, masyarakat Sosialis Indonesia…… », padahal sudah
ternyata bahwa tindakannya sebagai pimpinan Angkatan Darat telah
menghancurkan Revolusi kiri kerakyatan Indonesia.
Terbukti juga kemudian bahwa dalam
menjalankan kekuasaannya Suharto sama sekali tidak melaksanakan sikap
anti-feodalisme, anti-kapitalisme, anti-Nekolim, melainkan kerjasama dan
bersahabat dengan kekuatan-kekuatan kapitalisme dan Nekolim. Terbukti
juga dengan gamblang kemudian bahwa Orde Baru yang dipimpinnya tidak
mewujudkan masyarakat adil-makmur berdasarkan Panca-Sila atau masyarakat
sosialis Indonesia, bahkan mengubur cita-cita untuk mewujudkannya
dengan membunuhi dan memenjarakan semua orang yang berjuang untuk
sosialisme Indonesia
Supersemar memperlancar berbagai kejahatan politik
Jelaslah kiranya bahwa Supersemar yang
selama puluhan tahun diagung-agungkan oleh Angkatan Darat bersama
pendukung-pendukung setia Orde Baru, adalah kelanjutan dari pembantaian
dan pemenjaraan jutaan anggota dan simpatisan PKI yang tidak bersalah
apa-apa dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa G30S.
Supersemar adalah juga merupakan kunci pembuka jalan bagi Suharto dkk
untuk melakukan berbagai kejahatan politik, lebih lanjut dan lebih
banyak lagi, terhadap presiden Sukarno dan PKI. Beberapa di antara
berbagai kejahatan politik itu adalah :
Pada tanggal 12 Maret 1966 (jadi sehari
sesudah Supersemar) Suharto “atas nama presiden/panglima tertinggi
ABRI/mandataris MPRS/pemimpin besar revolusi “ mengeluarkan keputusan no
1/3/1966 mengenai PKI yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa demi tetap terkonsolidasinya
persatuan dan kesatuan segenap kekuatan progresif-revolusioner Rakyat
Indonesia dan demi pengamanan jalannja Revolusi Indonesia yang anti
feodalisme, anti kapitalisme, anti Nekolim dan menuju terwujudnya
Masyarakat Adil-Makmur berdasarkan Pancasila, masyarakat Sosialis
Indonesia, perlu mengambil tindakan cepat, tepat dan tegas terhadap
Partai Komunis Indonesia;
MENETAPKAN : Dengan tetap berpegang teguh pada LIMA AZIMAT REVOLUSI INDONESIA.
Pertama : Membubarkan Partai Komunis
Indonesia termasuk bagian-bagian Organisasinya dari tingkat Pusat sampai
ke daerah semua Organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya ;
Kedua : Menyatakan Partai Komunis
Indonesia sebagai Organisasi yang terlarang di seluruh wilayah kekuasaan
Negara Republik Indonesia « (kutipan selesai)
Berdasarkan berbagai keterangan dan
kesaksian banyak sumber, maka sekarang makin jelas bahwa keputusan untuk
membubarkan dan melarang PKI seperti tersebut di atas adalah atas
inisiatif Suharto dkk di Angkatan Darat, dengan mencatut “atas nama “
presiden /panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi. Artinya, Bung
Karno tidak tahu-menahu sebelumnya, dan bahkan tidak menyetujui
pembubaran dan pelarangan terhadap PKI. Hal ini dapat dimengerti kalau
diingat bahwa sejak mudanya di tahun 20-an, Bung Karno sudah menunjukkan
simpatinya kepada perjuangan PKI dan Marxisme. Gagasan besar Bung Karno
adalah persatuan bangsa Indonesia, yang merupakan penggabungan kekuatan
politik berdasarkan NASAKOM.
Pada tanggal 14 Maret 1966 Suharto
mengeluarkan peraturan, juga dengan mencatut “atas nama” presiden
/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi, larangan bagi
organisasi-organisasi partai politik dan organisasi-organisasi massa,
untuk sementara tidak menerima/menampung anggota-anggota ex Partai
Komunis Indonesia (PKI) beserta Organisasi-organisasi massanya yang
seazas/bernaung/berlindung di bawahnya.
Larangan ini disusul dengan Seruan
tanggal 14 Maret 1966 agar semua anggota pimpinan, kader-kader dan
aktivis-aktivis PKI serta organisasi-organisasi massanya melaporkan
diri.
Pada tanggal 18 Maret 1966
Menteri/PANGAD (Suharto) mengeluarkan Pengumuman No. 1/Peng/1966,
“dimana dikonstateer adanya gejala-gejala kegiatan massa Rakyat yang
dapat memberikan kesempatan penunggangan oleh pihak nekolim sehingga
perlu diambil tindakan-tindakan tegas yang dapat dipertanggung-jawabkan
kepada Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS. Hari itu juga
dikeluarkan Pengumuman No. 5 tertanggal 18 Maret 1966 mengenai tindakan
pengamanan terhadap lima belas orang Menteri “.
Juga tindakan Suharto dalam penahanan
(istilah yang dipakai : “pengamanan”) terhadap 15 menteri, tidaklah
dengan izin atau persetujuan presiden Sukarno. Yang bisa dianggap
keterlaluan ialah adanya alasan atau dasar penahanan 15 menteri ini yang
menyebutkan “adanya gejala-gejala kegiatan massa rakyat yang memberikan
kesempatan penunggangan oleh pihak nekolim (!)”. Jelaslah kiranya bahwa
penahanan 15 menteri, yang merupakan pembantu-pembantu setia presiden
Sukarno, adalah usaha untuk melumpuhkan kekuatan politik dan kewibawaan
Bung Karno, yang anti-nekolim. Artinya, dengan adanya Supersemar,
Suharto makin meningkatkan pengkhianatannya terhadap presiden Sukarno.
Dan sikap yang demikianlah yang disambut dengan gembira sekali oleh
kekuatan nekolim dan terutama oleh imperialisme AS.
Empat puluh tahun sudah berlalu, namun
ada hal-hal yang berkaitan dengan Supersemar ini masih mengandung
misteri atau memang sengaja dibikin misteri. Di manakah surat aslinya,
atau siapakah yang menyimpannya? Apakah copy teksnya yang tersimpan di
Arsip Negara atau lembaga-lembaga penting lainnya betul-betul
mencerminkan ke-otentikan-nya? Mengapa Suharto tidak mau atau tidak bisa
menjelaskan tentang “hilangnya” dokumen asli Supersemar, yang
semestinya merupakan dokumen negara yang maha penting? Dan berbagai
pertanyaan lainnya.
Meskipun masih ada hal-hal yang
merupakan misteri, namun sekarang makin jelas bagi banyak orang, bahwa
Supersemar merupakan salah satu di antara berbagai sumber malapetaka
bagi bangsa Indonesia, yang akibat-akibatnya atau warisannya masih bisa
dilihat dengan gamblang sampai sekarang ini. Di antara akibat buruk dan
noda besar yang diwariskan oleh Supersemar itu adalah kasus para korban
peristiwa 65, yang walaupun 40 tahun sudah berlalu, masih terus
mengalami berbagai penderitaan. Oleh karena itu, Supersemar adalah bukan
saja kejahatan dan pengkhianatan terhadap pemimpin besar bangsa, Bung
Karno, melainkan juga kejahatan dan pelanggaran HAM terhadap jutaan
korban peristiwa 65 dan sebagian besar rakyat Indonesia lainnya.
0 komentar
Posting Komentar