Berikut di bawah ini adalah makalah 
Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH 
(Holland) , No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah 
disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di 
Amsterdam.
=============================================
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba 
memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan 
bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi,
 lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story 
yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama isteri 
saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu 
dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. 
Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang 
lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan 
mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam 
tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain 
dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu
 konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia
 pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 
1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya 
besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya 
anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan 
diri untuk perlawanan di bawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto 
ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah 
terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam 
badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.
Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. 
Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi 
Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan
 menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut 
saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar 
bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil 
tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya 
takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima 
kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya 
memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak 
mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?"
 Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti 
keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 
waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis 
kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton 
(Guangzhou)" . Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya 
terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell 
Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa 
September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah 
peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa 
di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang terima laporan itu, boleh memakai 
bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa
 menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, 
dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari 
laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam 
mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966,
 dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya:
 mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan 
massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang 
kadang- kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia 
baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah 
golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri 
yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6
 jendral itu?.
Maka dalam karangan itu saya mencoba 
memberi rekonstruksi peristiwa- peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa 
sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. 
Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi 
jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi kesalahan mereka tidak 
masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk 
menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya
 juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, 
yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya 
dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di 
Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". 
Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" 
mengumumkan wawancara dengan saya.
Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa 
Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak 
diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses 
terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka.
Apa yang terjadi dengan mereka itu, 
khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama 
palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada
 berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman,
 ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. 
Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar
 lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK 
ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada 
pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan
 dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu 
ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?"
Tetapi sesudahnya di pers Indonesia 
istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses 
di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya 
dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan
 ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah 
dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya
 memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan 
yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. 
Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari 
Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu 
proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin
 PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di 
pengadilan.
Tentulah segala eksekusi tanpa proses 
itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili,
 tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal
 yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret 
bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai 
double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, 
saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam 
permainan-munafik. Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe 
Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah
 menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu 
provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa 
Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan 
begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita 
detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit 
sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun 
sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung 
yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto 
di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu 
dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan 
Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan.
Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak 
ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga 
pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana 
banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau
 Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior 
yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat 
efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan 
kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: 
"Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story" .
Begitulah pendapat saya di tahun 1967. 
Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang 
sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di 
halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, 
agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto 
dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. 
Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 
tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan 
buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit.
Banyak teman menjenguk anak saya di sana
 pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga
 kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit 
malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas 
keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam 
kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief 
ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya 
UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia
 dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak
 saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan 
kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang 
wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari Soeharto, 
bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi 
terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the 
missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan 
hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot 
Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan 
terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada
 Soeharto tentang rencana mereka tetapi sukar membuktikan itu selama 
Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu 
hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman 
tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan 
Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi 
alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah 
Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin 
bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu untuk saya menjadi 
kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada 
tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed 
Soeharto in de nacht van de staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang
 diperbuat Soeharto pada malam kup?).
Dalam karangan itu saya menguraikan 
segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 
65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda 
untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang 
serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah 
ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: 
"Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan
 dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, 
sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut 
pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada 
yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat,
 "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu 
bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal
 yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel
 Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk 
membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya 
karena tidak berani melakukannya di tempat umum."
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief 
ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 
jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan 
akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau 
menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia 
terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus 
Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman 
mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak 
diadili.
Alasan yang disebut oleh pemerintah, 
yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' an tidak dapat menghadiri sidang 
pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; 
tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat 
menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 
1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 
Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya 
berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum 
tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto
 pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa 
ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari 
Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, 
berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding.
Mereka memutuskan untuk malam itu juga 
menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief 
mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung
 tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang 
paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan 
lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu 
Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief 
dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, 
dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang
 sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke
 komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya 
sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando 
Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang 
menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia 
menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta 
pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. 
Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam
 pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang 
pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor 
kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai
 Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan 
perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya 
seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala 
keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak 
diumumkan dan tidak diperhatikan.
Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya 
jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat
 DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief 
akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan 
dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali 
lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah 
sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di
 mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui
 kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut
 keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, 
bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal
 kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa 
nasib malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang 
menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta 
pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2
 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di 
satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto 
terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan
 Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A 
yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di
 antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan 
lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada 
yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor 
paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal 
Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam 
peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun 
atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di 
pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam 
peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas bahwa 
Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih 
sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto 
tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. 
Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam 
provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta.
Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya
 untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud 
untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba 
memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya 
pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit 
pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN 
jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya 
hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa 
ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi
 itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, 
Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya 
menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, 
ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke 
Halim.
Rupanya pada saat itu ia punya 
kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan 
Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; 
menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan- perundingan 
dan pertemuan-pertemuan, lagi pula tidak bertemu dengan Presiden 
Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses,
 kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya 
keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat,
 terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 
1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi 
perintah untuk membunuhi jenderal- jenderal yang masih hidup waktu 
dibawa ke Lubang Buaya tetapi ia tambah seolah- olah pembunuhan itu juga
 atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk 
memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat 
hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan 
membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri 
yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto 
tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi 
bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 
September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal 
sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan 
pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan 
Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam 
prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih 
yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S ?
Dalam tahun 1970 saya juga masih 
berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat 
PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai 
sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah 
tentu, kalau peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa 
yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau 
orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada
 cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca 
sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia 
memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan 
tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka 
gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari 
empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-duanya 
dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, 
dua-duanya dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu 
pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar 
pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 
September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat 
bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 
jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman 
menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu 
daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga 
sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. 
Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi 
menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono 
menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan 
menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya 
Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan 
sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak 
muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan 
kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di 
Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu 
pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di 
tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha
 tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada 
Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah 
sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN 
PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut 
sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut 
kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang 
sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk 
Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu 
pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul 
pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh 
provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal.
Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi
 jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini 
barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk 
mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada.
Tentu gampang menyangka bahwa rencana 
itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah 
memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga,
 bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti 
BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang 
sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang 
tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam 
merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan 
Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya
 memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal 
dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam 
melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis
 suatu nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of 
Contemporary Asia" pada tahun 1979.
Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu 
merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut 
Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus 
dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan 
kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari 
Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa 
pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 
'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. 
Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian 
subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". 
Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme 
dan imperialisme.
Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada 
dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika 
Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan 
politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 
1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari 
kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS 
sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu 
didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi 
diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis 
beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: 
dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific 
Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada 
terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Dalam tahun 1990 ini seorang ahli 
sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak 
permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam 
politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat 
dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober
 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan 
memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada 
KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli 
kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? 
Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel 
Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang 
judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa 
semua bahan dari kedutaan A.S. di Jakarta dan dari State Department 
(yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun
 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun 
juga.
Dalam suatu keterangan yang ia tambah 
dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu 
masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia 
yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal 
itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang 
sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang
 akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat 
sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, 
tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya 
menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu 
akan 'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli 
sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa 
Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang 
tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat 
komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis 
bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang 
itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks 
kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 
11/11-65.
Tetapi kita harus insyaf bahwa selain 
dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun
 yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: 
misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam 
pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh 
Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus 
diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal
 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa
 Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. 
Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. 
Mengapa masih penting untukmenyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru 
ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi 
sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana 
Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan 
lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang 
pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan
 Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit Polandia dimasakre di tengah 
rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara 
menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong 
anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman 
Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan 
dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". 
Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu 
agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira 
Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada 
hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di 
Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia.
Si penanggungjawab ini justru 
terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran 
dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah 
memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang 
luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga 
tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi 
baru-baru ini.
Dengan adanya pengakuan pers Amerika 
Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan 
daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada 
Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak 
seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah 
terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka 
terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu.
Mereka ini cukup berpuas diri dengan 
penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu 
menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri 
cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam 
otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia 
menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu 
juta.
Justru sebaliknyalah, terhadap 
prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. 
Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 
Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa 
ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan 
jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan,
 dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar- kan 
'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto 
dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja 
Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab. Karena pembunuhan itu hanya
 terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, 
menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".
Masih cukup banyak hal yang harus 
dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965
 dan lanjutannya, seperti yang tertera di dalam tulisan resmi para 
pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. 
Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan 
Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka
 dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada
 beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 
Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh 
terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada 
pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The 
Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto 
telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI.
Dalih umum yang dikemukakan oleh 
Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau 
simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian 
pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa 
pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai 
simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun
 lebih.
Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat 
secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat 
langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling 
memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal 
Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk 
meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi
 yang perlu diterangkan.
Di tengah-tengah terjadinya pembantaian 
massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa 
Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka 
berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten
 Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin 
setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang 
perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 
tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, 
dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu.
Dalam tahun 70-an 'tokoh-tokoh Blitar 
Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka
 tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '.
Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa 
membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai
 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman 
mati bagi si terdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh
 subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena 
mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama 
sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya 
terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika 
Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot 
Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. 
Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal 
dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan 
eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala 
daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, 
Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan 
jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah 
tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan 
satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti 
kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis
 Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui 
media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di 
sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari 
lenso untuk mengantar jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan 
perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas 
ikut ambil bagian dalam perbuatan jahat serta menyiksa jenderal- 
jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita 
demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan 
perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan 
dibinasakan.
Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak 
terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa 
dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka 
tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan 
yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang
 perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor 
Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat 
keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para 
jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, 
keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di 
depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar 
saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah
 dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak 
mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa 
tidak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun 
dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani 
dari tuduhan yang tidak adil itu.
Terutama sangat perlu, oleh karena 
sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan 
hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua 
perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan
 mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan 
dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. 
Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah 
disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat 
(kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang 
memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh 
kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu.
Tidak selembar daftar seperti itu bisa 
dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya 
pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya 
daftar orang-orang yang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah
 bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan
 daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang
 memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini 
seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!"
Penting sekali kesadaran dibangun 
kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut 
dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh 
partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan 
anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai 
ideologi.
Kesimpulan seperti ini salah sama 
sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh 
berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem 
diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan 
dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya
 bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga 
merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu 
belaka.
Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun 
praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia 
hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang 
ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada 
sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat 
sulit pada tahun-tahun 60-an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini
 tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup 
alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata 
penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' 
dan memulihkan perasaan bangga diri.
0 komentar
Posting Komentar