Ulasan buku Saleh Abdullah cs, Usaha
Untuk Tetap Mengenang, Kisah-Kisah Anak-Anak Korban 65, Jendela Budaya
& Yappika & Hidup Baru, 2003, dengan pengantar MM Billah
(Anggota Komnas HAM). Tebal: xlix + 132, harga Rp19.000,-
Oleh: Harsutejo
Anak-anak Sebagai Korban
Buku kecil ukuran 12 x 19 cm ini sudah
terbit hampir dua tahun yang lalu, tetapi saya baru saja mendapatkannya
menyempil di toko buku di pertokoan Sarinah, Jl Thamrin, Jakarta. Di
dalamnya dimuat sejumlah kisah anak korban tragedi 1965, ya korban rezim
Orde Baru. Pendokumentasian dan penerbitan kisah semacam ini penting
untuk melawan amnesia sejarah yang menurut pengantar penerbitnya sang
rezim telah mengkonstruksikan kenangan yang sama tapi dengan versi sama
sekali lain secara massif, terorganisir dan sistimatis. Seperti kita
ketahui apa yang disebut monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya secara
kasat mata telah membakukan hal semacam itu, sejarah yang digelapkan.
Dalam suatu forum santai saya pernah menyampaikan gagasan kelak monumen
itu kita tempel dengan plakat ‘Monumen Kebohongan’.
Begitu banyak keluarga yang disebut kaum
kiri, utamanya para anggota organisasi massa dan PKI yang telah
dibantai, ditahan, dan anak-anak mereka berpencaran tak tentu tujuan.
Begitu hebatnya penciptaan suasana yang mengancam sehingga banyak orang
biasa termasuk sanak keluarga yang tidak berani bersentuhan dengan
keluarga semacam itu. Bukan itu saja bahkan juga diciptakan kebencian
terhadap mereka ini sebagai ‘anak-anak setan pki’. Sudah sejak dini
anak-anak ini membentuk pertahanan diri tanpa sadar antara lain dengan
menyembunyikan identitas dirinya rapat-rapat, sesuatu yang sering amat
menyiksa karena dilakukan hampir tanpa batas.
Bagi mereka yang tidak memiliki tempat
berlindung dalam alam perlakuan sebagai warga kelas kambing, terbuka ke
dunia gelandangan. Bahkan seorang kakak menceritakan bagaimana dua orang
adiknya yang telah lulus SLTA ditolak bekerja karena diketahui anak
tapol mengalami depresi berat dan menjadi gelandangan. Isteri saya yang
membaca bab ini diburu bayangan setiap bertemu gelandangan sebagai anak
tapol..... Cukup mengiris. Di sela-sela kesedihan semacam itu, seorang
anak yang telah digembleng pahit getir pengalaman hidupnya muncul
sebagai pemenang dan menyimpulkan bahwa ‘mendidik penguasa itu mesti
dengan perlawanan, sedang mendidik rakyat harus dengan gerakan’. Yang
lolos semacam ini bahkan mampu mendidik sekitarnya termasuk luar biasa,
sedang kebanyakan manusia itu biasa-biasa saja.
Keluarga Nyoto
Sejumlah anak masuk ke dalam penjara
bertahun-tahun bersama ibu mereka yang menjadi tapol karena tiada tempat
lain untuk berlindung, ya berlindung ke dalam penjara! Betapa
absurdnya. Bahkan juga perempuan tapol yang sedang hamil melahirkan di
penjara. Seperti pernah kita dengar, Nyoto yang Menteri Negara dan Wakil
Ketua CC PKI sampai meninggalnya, istri dan 7 anaknya (yang tertua 9
tahun, si bungsu yang lahir 1966 sedang menyusu) dijebloskan ke dalam
tahanan di Kodim Jl Setiabudi, Jakarta.
Anak-anak ini pula selama dalam tahanan
bersama ibu mereka melihat dan mendengarkan jerit tangis tahanan laki
dan perempuan yang sedang disiksa! Dapat kita bayangkan dampak
psikologis macam apa yang mungkin mencengkeram seluruh jiwa raga mereka
untuk seumur hidupnya. Anak pertama Nyoto yang bernama indah Svetlana
Dayani, bertahun-tahun lamanya tidak berani menyandang nama depannya
hanya karena berbau Rusia.
Seperti kita ketahui isteri Nyoto,
Sutarni, berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran, Sala. Dia tidak
memiliki kegiatan politik apa pun, sudah terlalu sibuk dengan
anak-anaknya sampai tragedi 1965 meletus. Beruntung anak pertama mereka,
Svetlana, baru berumur 9 tahun bersama ibunya di tahanan. Saya ngeri
membayangkan, andai saja dia sudah gadis remaja, entah apa yang terjadi
terhadap dirinya. Bukan rahasia lagi bahwa telah terjadi pelecehan
seksual dan perkosaan, sering beramai-ramai terhadap para perempuan
korban. Untuk membungkam saksi tak jarang kemudian mereka dihabisi.
Bukti sejarah berdasarkan pengakuan si pelaku menunjukkan bahwa Nyoto yang Menteri Negara dibunuh atas perintah Jenderal Sumitro sebagai pembantu Jenderal Suharto dengan jabatan Aisten Operasi Menpangad pada 1965. Tipikal jenderal Orba yang dengan bangga mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya ketika kekuasaannya sedang berkibar.
Bukti sejarah berdasarkan pengakuan si pelaku menunjukkan bahwa Nyoto yang Menteri Negara dibunuh atas perintah Jenderal Sumitro sebagai pembantu Jenderal Suharto dengan jabatan Aisten Operasi Menpangad pada 1965. Tipikal jenderal Orba yang dengan bangga mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap lawan politiknya ketika kekuasaannya sedang berkibar.
“Nyoto, gembong PKI, pernah saya lihat
sewaktu ia ikut dalam Sidang Kabinet di Bogor. Dia kelihatan sangat
sombong, kurang ajar terhadap Pak Hidayat, hingga saya memberi tanda
dengan sikut kepada Jenderal Moersjid dan berkata: ‘Sjid, ik krijg hem
wel.’ (Aku akan dapatkan dia). Benar, saya sakit hati melihatnya. Saya
perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang
beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah”. [i]
Itulah yang diakui dengan bangga oleh
Jenderal Sumitro. Kalau saja Pak Jenderal ini masih hidup, ia dapat
diseret ke depan pengadilan kriminal karena memerintahkan pembunuhan
seorang warga negara sekaligus seorang menteri yang sedang menjabat.
Svetlana melukiskan ayahnya sebagai ayah
yang baik kepada siapa saja, halus, sopan, pandai. Sesibuk apa pun dia
masih memberikan waktunya untuk keluarga. Svetlana dan adiknya terkadang
diajak ke kantor ayahnya di koran Harian Rakjat, juga ketika menerima
undangan sarapan ke Istana Negara bersama Bung Karno, bahkan nonton
pertandingan sepakbola.
Selama hantaman badai, setelah terpisah
dari ibunya, dia dan adik-adiknya terpencar-pencar mengikuti sanak
keluarga yang berbeda-beda di Jawa dan Sumatra, sementara ibu mereka
mendekam sebagai tapol selama 14 tahun. Rumahnya di Kebayoran Baru telah
dijarah dan diobrak-abrik, buku-buku dan dokumen dibakar termasuk
segala macam dokumen keluarga dan foto-foto. Belakangan rumah itu
ditinggali oleh Jenderal Mattalata (ayah penyanyi Andie Meriem). Setelah
mengalami segala macam pahit getir bersama semua adik-adiknya, mereka
cenderung bersikap apatis terhadap politik karena trauma. Akhirnya
Svetlana Dayani berseru, “Hentikan diskriminasi kepada kami”.
Bekasi, 5 Agustus 2005
Bekasi, 5 Agustus 2005
0 komentar
Posting Komentar