Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Rabu, 10 Desember 2014

[Buku] Tan Malaka, Bapak Republik Yang Terlupakan




1
DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI
11 AGUSTUS 2008
ORDE  Baru  telah  melabur  hitam  peran  sejarahnya.  Tapi, harus  diakui,  di
mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan.
Sewaktu  Soeharto  berkuasa,  menggali  pemikiran  serta  langkah-langkah
politik  Tan  sama  seperti  membaca  novel-novel  Pramoedya Ananta  Toer.
Buku-bukunya  disebarluaskan  lewat  jaringan  klandestin.  Diskusi  yang
membahas  alam  pikirannya  dilangsungkan  secara  berbisik.  Meski  dalam
perjalanan  hidupnya  Tan  akhirnya  berseberangan  dengan  Partai  Komunis
Indonesia  (PKI),  sosoknya  sering  kali  dihubungkan  dengan  PKI:  musuh
abadi Orde Baru.
Perlakuan  serupa  menimpa  Tan  di  masa  Soekarno  berkuasa.  Soekarno,
melalui  kabinet  Sjahrir,  memenjarakan  Tan  selama  dua  setengah  tahun,
tanpa  pengadilan.  Perseteruannya  dengan  para  pemimpin pucuk  PKI
membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan
kekuasaan,  Bung  Karno  memilih  Musso-orang  yang  telah  bersumpah
menggantung  Tan  karena  pertikaian  internal  partai-ketimbang  Tan.
Sedangkan  D.N.  Aidit  memburu  testamen  politik  Soekarno  kepada  Tan.
Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat
nama-salah satunya Tan-apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap.
Akhirnya  Soekarno  sendiri  membakar  testamen  tersebut. Testamen  itu
berbunyi: "...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan
pimpinan  revolusi  kepada  seorang  yang  telah  mahir  dalam  gerakan
revolusioner, Tan Malaka."
Politik  memang  kemudian  menenggelamkannya.  Di  Bukittinggi,  di
kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup.Ketika Harry
Albert  Poeze,  sejarawan  Belanda  yang  meneliti  Tan  sejak  36  tahun  lalu,
mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru
sekolah  itu  terkejut.  Sebagian  guru  tak  tahu  Tan  pernah  mengenyam
pendidikan  di  sekolah  yang  dulu  bernama  Kweekschool (sekolah  guru) itu
pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar
di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudianPoeze datang. Poeze
pun  menemukan  prasasti  Engku  Nawawi  Sutan  Makmur,  guru Tan,
tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di  sepanjang  hidupnya,  Tan  telah  menempuh  pelbagai  royan:  dari  masa
akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah
perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki,
Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas
secara  tertulis  konsep  Republik  Indonesia.  Ia  menulis  Naar  de  Republiek
Indonesia (Menuju  Republik  Indonesia)  pada  1925,  jauh  lebih  dulu
dibanding  Mohammad  Hatta,  yang  menulis  Indonesia  Vrije (Indonesia
Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),
dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
2
Buku  Naar  de  Republiek dan  Massa  Actie (1926)  yang  ditulis  dari  tanah
pelarian  itu  telah  menginspirasi  tokoh-tokoh  pergerakan  di  Indonesia.
Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung
Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa
Actie.  Waktu  itu  Bung  Karno  memimpin  Klub  Debat  Bandung.  Salah  satu
tuduhan  yang  memberatkan  Soekarno  ketika  diadili  di  Landrat  Bandung
pada  1931  juga  lantaran  menyimpan  buku  terlarang  ini. Tak  aneh  jika  isi
buku  itu  menjadi  ilham  dan  dikutip  Bung  Karno  dalam  pleidoinya,
Indonesia Menggugat.
W.R.  Supratman  pun  telah  membaca  habis  Massa  Actie.  Ia  memasukkan
kalimat  "Indonesia tanah  tumpah  darahku"  ke dalam  lagu Indonesia Raya
setelah diilhami bagian akhir dari  Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal
Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan
laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorangyang tahu kewajiban
putra tumpah darahnya."
Di  seputar  Proklamasi,  Tan  menorehkan  perannya  yang  penting.  Ia
menggerakkan  para  pemuda  ke  rapat  raksasa  di  Lapangan Ikada  (kini
kawasan  Monas),  19  September  1945.  Inilah  rapat  yang  menunjukkan
dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaanyang waktu itu
belum  bergema  keras  dan  "masih  sebatas  catatan  di  atas  kertas".  Tan
menulis  aksi  itu  "uji  kekuatan  untuk  memisahkan  kawan  dan  lawan".
Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze
bertahun-tahun  mencari  bukti  kehadiran  Tan  itu.  Sahabat-sahabat  Tan,
seperti  Sayuti  Melik,  bekas  Menteri  Luar  Negeri  Ahmad  Soebardjo,  dan
mantan  Wakil  Presiden  Adam  Malik,  telah  memberikan  kesaksian.  Tapi
kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak
banyak.  Memang  ada  rekaman  film  dari  Berita  Film  Indonesia.  Namun
mencari  seorang  Tan  di  tengah  kerumunan  sekitar  200  ribu  orang  dari
pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze  mengambil  jalan  berputar.  Ia  menghimpun  semua  ciri  khas  Tan
dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yangpernah didatangi
Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di
Filipina  (1925-1927).  Ia  cuma  membawa  paling  banyak  dua  setel  pakaian.
Dan  sejak  keterlibatannya  dalam  gerakan  buruh  di  Bayah,  Banten,  pada
1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap
jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini  untuk mengantisipasi
jika  polisi rahasia  Belanda,  Jepang,  Inggris,  atau  Amerika tiba-tiba datang
menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua
dengan  total  perjalanan  sepanjang  89  ribu  kilometer-dua  kali  jarak  yang
ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
3
Satu  lagi  bukti  yang  mesti  dicari:  berapa  tinggi  Tan sebenarnya?  Di  buku
Dari  Penjara  ke  Penjara  II, Tan  bercerita ia  dipotret  setelah cukur  rambut
dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang memegang
kuat  tangan  saya  dan  memegang  jempol  saya  buat  diambil  capnya.
Semua  dilakukan serobotan," ucap  Tan. Dari buku  ini  Poeze pun  mencari
dokumen  tinggi  Tan  dari  arsip  polisi  Inggris  yang  menahan  Tan  di  Hong
Kong.  Eureka!  Tinggi  Tan  ternyata  165  sentimeter,  lebih  pendek  daripada
Soekarno  (172  sentimeter).  Dari  ciri-ciri  itu,  Poeze menemukan  foto  Tan
yang  berjalan  berdampingan  dengan  Soekarno.  Tan  terbukti  berada  di
lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa
dengan  Soekarno-Hatta yang  memilih  berunding  dan  kemudian  ditangkap
Belanda.  Menurut  Poeze,  Tan  berkukuh,  sebagai  pemimpin  revolusi
Soekarno  semestinya  mengedepankan  perlawanan  gerilya  ketimbang
menyerah.  Baginya,  perundingan  hanya  bisa  dilakukan  setelah  ada
pengakuan  kemerdekaan  Indonesia  100  persen  dari  Belanda  dan  Sekutu.
Tanpa itu, nonsens.
Sebelum  melawan  Soekarno,  Tan  pernah  melawan  arus  dalam  kongres
Komunisme  Internasional  di  Moskow  pada  1922.  Ia  mengungkapkan
gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika
tak  bekerja  sama  dengan  Pan-Islamisme.  Ia  juga  menolak  rencana
kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi,
kata  Tan,  tak  dirancang  berdasarkan  logistik  belaka,  apalagi  dengan
bantuan  dari  luar  seperti  Rusia,  tapi  pada  kekuatan massa.  Saat  itu  otot
revolusi  belum  terbangun  baik.  Postur  kekuatan  komunis  masih  ringkih.
"Revolusi  bukanlah  sesuatu  yang  dikarang  dalam  otak,"  tulis  Tan.  Singkat
kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai.
Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu:
kemerdekaan  nasional  Indonesia.  Dari  sini  kita  bisa  membaca  watak  dan
orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia
seorang  komunis,  tapi  kata  Tan,  "Di  depan  Tuhan  saya  seorang  muslim"
(siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah
menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah;dua-tiga generasi
di  antara  kita  mungkin  hanya  mengenal  samar-samar  tokoh ini.  Dan  kini,
ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang
lahir  dari  aneka  keputusan  politik  itu,  dan  mencoba  mengungkai  kembali
riwayat  kemahiran  orang  revolusioner  ini.  Sebagaimana kita  mengingat
bapak-bapak  bangsa  yang  lain:  Bung  Karno,  Bung  Hatta,  Sjahrir,
Mohammad Natsir, dan lainnya.
4
TIM EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN
Penanggung Jawab:Yos Rizal Suriaji
Pemimpin  Proyek: Yandhrie  Arvian,  Philipus  Parera,  Kurie  Suditomo
Penyunting:  Idrus F. Shahab, Hermien Y. Kleden, Leila S. Chudori, Arief
Zulkifli,  M.  Taufiqurrohman,  Yos  Rizal  Suriaji,  Amarzan  Loebis,  Bina
Bektiati, Budi Setyarso, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, Putu Setia, Toriq
Hadad, Yosep Suprayogi
Penulis: Yandhrie  Arvian,  Philipus  Parera,  Kurie  Suditomo,  Yos  Rizal
Suriaji, Bagja Hidayat, Yandi M. Rofiyandi, Sunudyantoro, Sapto Pradityo,
Adek Media Roza, Untung Widyanto, Anne L. Handayani, Muhammad Nafi,
Yudono  Yanuar,  Asmayani  Kusrini,  Yosep  Suprayogi,  Budi  Riza,  Nunuy
Nurhayati
Reporter: Asmayani  Kusrini  (Belanda),  Aris  Andrianto  (Purwokerto),
Febrianti (Padang), Dwijo Maksum (Kediri), Kukuh S.  Wibowo (Surabaya),
Rina Widiastuti, Bunga Manggiasih, Yugha Erlangga (Jakarta)
Penyunting Bahasa:Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Foto: Mazmur A. Sembiring, Bismo Agung, Nurharyanto,Novi Kartika
Riset Pustaka:Hendriyanto, Endang Ishak, Indria Sari S.
Desain Visual:Gilang Rahadian, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah,
Danendro Adi, Fitra Moerat R., Hendy Prakasa Tata Letak: Agus Darmawan
Setiadi, Aji Yuliarto, Tri W. Widodo
5
Be BeBe Berakhir di Gunung Wilis rakhir di Gunung Wilis rakhir di Gunung Wilis
11  AGUSTUS  2008
SEMULA  berniat  jadi  guru,  di  separuh  jalan  Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka
mengganti  cita-cita.  Itu  bermula  ketika  ia  bersekolah  di  Rijks
Kweekschool,  Belanda.  Di  Kota  Haarlem  yang  nyaris  bangkrut  ditinggal
ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalandengan sosialisme. Tapi
ia  menemukan  "laboratorium"-nya  sepulang  dari  Belanda  tatkala  menjadi
guru  anak-anak  buruh  perkebunan  teh  Belanda  di  Deli,  Sumatera  Utara.
Inilah jejak perjuangan Tan Malaka.
HAARLEM, BELANDATeman-teman dekatnya di sekolah memanggilnya Ieb atau Ipie.
1.  SUMATERA  BARAT Tan  melanjutkan  sekolah  ke  Rijks  Kweekschool,
Haarlem, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913.
2.  HAARLEM, BELANDABerkenalan dengan politik.Saat pulang kampung pada
November 1919, cita-citanya cuma satu: mengubah nasib bangsa Indonesia.
3.  DELI,  SUMATERA  UTARAMenjadi  guru  sekolah  rendah  di  perkebunan  teh
Belanda. Hengkang ke Semarang pada 1921.
4.  SEMARANGBergabung  dengan  Sarekat  Islam.  Aktif  menyatukan  gerakan
komunis dengan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Gara-gara ini,
pada 13 Februari 1922 ia ditangkap Belanda di Bandung.
5.  JAKARTA1 Mei 1922, Tan dibuang ke Amsterdam.
6.  BELANDAMenjadi  calon  anggota  parlemen  nomor  3  di  Partai  Komunis
Belanda.
7.  JERMANMelamar  menjadi  legiun  asing,  tapi  ditolak.  Di  Berlin,  bertemu
Darsono, pentolan Partai Komunis Indonesia.
8.  RUSIANovember 1922, mewakili  Partai  Komunis Indonesia dalam konferensi
Komunis  Internasional  (Komintern)  keempat  di  Moskow.  Diangkat  sebagai
Wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton. Pindah ke sana pada Desember
1923.
9.  KANTONMenerbitkan majalah The Dawn dan menulis buku Naarde Republiek
Indonesia pada 1925. Menerima kabar ayahnya meninggal.
10.  FILIPINAJuni 1925 menyelundup ke Manila untuk menyembuhkansakit paruparunya.  Memakai  nama  Elias  Fuentes,  bekerja  sebagai  koresponden  El
Debate.
11.  SINGAPURAAwal  1926  masuk  Singapura  memakai  nama  Hasan  Gozali,
orang Mindanao. Menulis buku Massa Actie.
12.  THAILANDJuli 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok.
13.  FILIPINAAgustus  1927  ditangkap  polisi  Filipina.  Tengah  malam,  September
1927, diusir dan dititipkan di kapal Suzanna tujuanPulau Amoy di Cina.
6
14.  Pulau Amoy (Xiemen)
15.  SHANGHAIPada 1930 masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario,
wartawan  Filipina  untuk  majalah  Bankers  Weekly.  Oktober  1932  pindah  ke
Hong Kong karena pecah perang antara Cina dan Jepang.
16.  HONG KONGTan tertangkap. Pada Desember dibuang ke Shanghai.
17.  PULAU  AMOYKabur  dari  kapal.  Pada  1936  mendirikan  sekolah  bahasa
Inggris dan Jerman. Ketika Jepang menyerang Amoy setahun kemudian, ia lari
ke Burma.
18.  SINGAPURAIa  bisa  turun  di  Singapura,  "Namun  saya  tiada  mau  memakai
kesempatan  itu,  karena  dengan  begitu  saya  akan  kehilangan  uang  US$  25,"
tulis Tan. Ini uang yang diminta nakhoda sebagai jaminan bahwa dia akan turun
di Rangoon.
19.  BURMATiba  di  Rangoon  pada  31  Agustus  1937.  Sebulan  di  Rangoon,  ia
kembali ke Singapura.
20.  SINGAPURAMengajar  bahasa  Inggris  dan  matematika  di  sekolah  Tionghoa.
Ketika  Jepang  menyerbu,  ia  pulang  ke  Indonesia  melalui  Penang  pada  Mei
1942.
21.  PENANG, MALAYSIABerlayar ke Medan pada 10 Juni 1942 dengan mengaku
sebagai Legas Hussein.
7
PERIODE JAWA
DARI Medan Tan memulai petualangan selanjutnya menuju tanah Jawa hingga akhir hayat.
PADANGMampir di Padang, mengaku sebagai Ramli Hussein, lalu melanjutkan perjalanan
ke Lampung.
JAKARTATiba pada Juli 1942, tinggal di daerah Rawajati. Di sini menulis Madilog dan Aslia.
BANTENPada  1943  menjadi  kerani  di  pertambangan  batu  bara  di  Bayah,  Banten,
menggunakan nama Ilyas Hussein.
JAKARTA Menggerakkan  pemuda  menggelar  rapat  raksasa  di  Lapangan  Ikada  (kini
kawasan Monas), 19 September 1945.
PURWOKERTO1  Januari  1946,  menggalang  kongres  Persatuan  Perjuangan  untuk
mengambil alih kekuasaan dari tentara Sekutu.
MADIUNTan  dan  Sukarni  ditangkap  di  Madiun  17  Maret  1946, karena  Persatuan
Perjuangan  dituduh  akan  mengkudeta  Soekarno-Hatta.  Sejak  itu,  keduanya  hidup  dari
penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
MAGELANGJuni  1948,  keduanya  dipindahkan  ke  penjara  Magelang.  Tan  menulis  Dari
Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 dibebaskan.
YOGYAKARTATan dan Sukarni mendirikan Partai Murba, 7 November 1948.
GUNUNG  WILIS,  KEDIRITentara  Republik  Indonesia  menangkap  dan  mengeksekusi  Tan
pada  21  Februari  1949  di  desa  Selopanggung,  karena  dituduh  melawan  Soekarno-Hatta.
Kala  itu  Tan  bersama  Jenderal  Soedirman-yang  berjuang di  Yogyakarta-sedang  melawan
agresi Belanda.
SUMATERA  BARAT Sebelum  ke  Belanda  ditahbiskan  sebagai  pemangku  adat dengan
nama Ibrahim Datuk Tan Malaka.
BEKAS  STASIUN  SAKETI,  BANTENStasiun  kereta  menuju  Bayah,  tempat  Tan
menyaksikan ribuan romusha sekarat di bawah tekananJepang.
8
Jalan Sunyi Tamu dari Bayah Jalan Sunyi Tamu dari Bayah
IA  memperkenalkan  dirinya  sebagai  Ilyas  Hussein.  Datang  dari  Bayah,
Banten  Selatan,  pria  paruh  baya  itu  bertamu  ke  rumah  Sukarni  di  Jalan
Minangkabau,  Jakarta,  awal  Juni  1945.  Di  sana  sudah ada  Chaerul  Saleh,
B.M.  Diah,  Anwar,  dan  Harsono  Tjokroaminoto.  Tamu  jauh  itu  hendak
menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di
tangan,  tamu  itu  disambut tuan  rumah.  Setelah  sedikitbasa-basi,  Hussein
menyampaikan  analisisnya  tentang  kemerdekaan  dan  politik  saat  itu.
Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah ditubir jurang.
Ulasan  Hussein  tentang  proklamasi  membuat  Sukarni  terpukau.  Pikiran
Hussein  sama  persis  dengan  tulisan-tulisan  Tan  Malaka  yang  selama  ini
dipelajari  Sukarni.  Setelah  mendengar  analisis  Hussein,  Sukarni  makin
mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah  mencatat,  Hussein  adalah  Ibrahim  Sutan  Datuk  Tan  Malaka  yang
tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya
orang  biasa-meski  ia  tak  berani  bertanya.  "Ia  heran, bagaimana  mungkin
orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil," kata sejarawan Belanda
Harry A. Poeze.
Karni  malah  waswas.  "Ia  takut  kalau  Hussein  mata-mata  Jepang,"  kata
Anwar  Bey,  bekas  wartawan  Antara  dan  koresponden  Buletin  Murba.
Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke
rumah  Maruto  Nitimihardjo  di Jalan  Bogor  Lama-sekarang Jalan  Saharjo,
Jakarta  Selatan.  Sebelum  pergi,  Sukarni  meminta  tamunya menginap  satu
malam. Hussein tidur di kamar belakang.
Pada  saat  rapat,  analisis  Hussein  mempengaruhi  pikiran  Sukarni.  Ide-ide
Hussein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan
ditunda," kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang  rapat,  Sukarni  masih  penasaran  pada  Hussein.  Tapi  lagi-lagi  ia
ragu  bertanya.  Sukarni  baru  bertemu  besok  paginya  ketika  tamunya  mau
pulang.  "Ia  berpesan  agar  Hussein  mempersiapkan  pemuda Banten
menyongsong proklamasi," kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian  itu  terungkap  pada  saat  Sukarni  memberikan sambutan  dalam
acara  Sewindu  Hilangnya  Tan  Malaka  di  Restoran  Naga Mas,  Bandung,
Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
9
Dari  pertemuan  itu,  Tan  sendiri  menafsirkan,  Chaerul  dan  Sukarni
mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. "Saya
masih  menunggu  kesempatan  yang  lebih  tepat,"  katanya  dalam  memoar
Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein
tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
***
HUSSEIN  kembali  muncul  di  Jakarta  pada  6  Agustus  1945.  Ia  membawa
tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus  lengan panjang kumal.
Kali  ini  yang  dituju  rumah  B.M.  Diah,  Ketua  Angkatan Baru,  yang  juga
redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu
jam  Diah  memberikan  informasi,  Hussein  menyatakan  pendapatnya.
"Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda," katanya.
Tapi  hubungan  Hussein  dengan  Diah  berlangsung  singkat.  Besoknya  Diah
ditangkap  Jepang  gara-gara  menuntut  kemerdekaan  dan  menentang  sikap
lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di  sana  ia  terus  bergerak.  Tiga  hari  kemudian  dia  terlibat  rapat  rahasia
dengan  para  pemuda  Banten  di  Rangkasbitung.  Pertemuan satu  setengah
jam  itu  digelar  di  rumah  M.  Tachril,  pegawai  Gemeenschappelijk
Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken-Gabungan Perusahaan Listrik
Bandung dan Sekitarnya.
Di  sini  Hussein  mengobarkan  pidato  yang  menggelora.  "Kita  bukan
kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan
sebagai hadiah." Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato  itu  dilukiskan  Poeze  dalam  buku  terbarunya  Verguisd  en  Vergeten
Tan  Malaka,  de  linkse  beweging  en  de  Indonesische  Revolutie,  1945-1949.
"Sebagai  rakyat  Banten  dan  pemuda  yang  telah  siap  merdeka,  kami
bersumpah mewujudkan proklamasi itu," kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila  Soekarno-Hatta  tidak  mau  menandatangani,  Hussein memberikan
jawaban tegas: "Saya sanggup menandatanganinya, asalseluruh rakyat dan
bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya."
Hussein  diutus  kembali  ke  Jakarta.  Ia  diminta  menjalin  kontak  dengan
Sukarni dan  Chaerul Saleh.  Peserta rapat  mengantarnya  ke  stasiun Saketi,
Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
***
10
SITUASI  Jakarta  tidak  menentu.  Kebenaran  dan  desas-desus  berkelindan
satu  sama  lain.  Kempetai,  polisi  militer Jepang,  mengintai  di  mana-mana.
Para  pemuda  bergerak  di  bawah  tanah,  bersembunyi  dari  satu  rumah  ke
rumah  lain.  Usaha  Tan  Malaka  menjalin  kontak  dengan  pemuda  tak
kesampaian.
Kesulitan  Tan  bertambah  karena  kehadirannya  tempo  hari  di  rumah
Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemudabingung siapa
sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein
muncul.
Peluang  Tan  menjalin  kontak  kian  teruk  karena  sikap  hati-hatinya  yang
berlebihan.  Sebagai  bekas  orang  buangan  dan  lama  hidup  dalam  pelarian,
Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada14 Agustus sore.
Ia  mengusulkan  agar  massa  pemuda  dikerahkan.  Tapi  Sukarni  sibuk.  Di
rumah  itu  banyak  orang  keluar-masuk.  Banyak  pula  hal  yang
disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi
meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar
belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng31. Menurut Khalid,
Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. "Ia
menganjurkan  perampasan  senjata  dalam  rangka  perjuangan
kemerdekaan,"  kata  Khalid  dalam  ceramah  di  Gedung  Kebangkitan
Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Husseintak lain Tan Malaka.
Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak
lama  menunjukkan  foto  lama  orang-orang  pergerakan.  "Di antaranya  foto
Tan Malaka waktu masih muda," kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu.
Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam  itu  Sukarni  sempat  pulang.  Tapi  setelah  itu  menghilang.  Hussein
besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30,
tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjangjalan santer terdengar
kabar  Jepang  menyerah  perang,  Hussein  kembali  ke  rumah  Sukarni.  Tapi
usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok.  Aksi  itu  dilakukan  karena  Soekarno-Hatta  ngotot
proklamasi  dilakukan  melalui  Panitia  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia.
Sedangkan  pemuda  ingin  merdeka  tanpa  campur  tangan  Jepang.  Setelah
11
berdebat  di  Rengasdengklok,  Soekarno-Hatta  bersedia meneken
proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah  itu  besoknya  dibacakan  di  pekarangan  rumah  Soekarno,  di
Pegangsaan  Timur  56.  Upacara  berlangsung  singkat.  Penguasa  militer
Jepang  melarang  berita  proklamasi  meluas  di  radio  dan  surat  kabar.  Itu
sebabnya,  Tan  tidak  tahu  ada  proklamasi.  Ia  tahu  setelah  orang  ramai
membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang
Indonesia  pertama  yang  menggagas  konsep  republik  dalam  buku  Naar  de
Republiek  Indonesia,  yang  ditulis  pada  1925.  Buku  kecil  ini  kemudian
menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam  buku  Riwayat  Proklamasi  Agustus  1945,  Adam  Malik melukiskan
peristiwa  itu  sebagai  "kepedihan  riwayat".  Sukarni  bertahun-tahun
membaca  buku  politik  Tan.  Tapi  pada  saat  ia  membutuhkan  pikiran  dari
orang  sekaliber  Tan,  Sukarni  sungkan  bertanya  siapa Hussein
sesungguhnya.  "Ia  malah  membiarkannya  pergi  jalan  kaki,  lepas  dari
pandangan mata," kata Adam Malik.
Tan  juga  tidak  bisa  menyembunyikan  kekecewaannya.  "Rupanya  sejarah
proklamasi  17  Agustus  tidak  mengizinkan  saya  campur  tangan,  hanya
mengizinkan  campur  jiwa  saja.  Ini  sangat  saya  sesalkan!  Tetapi  sejarah
tidak  mempedulikan  penjelasan  seorang  manusia  atau  segolongan
manusia."
***
Setelah  proklamasi,  Tan  berusaha  menemui  pemuda.  Tapi  mereka  terus
bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah
Ahmad  Soebardjo  di  Jalan  Cikini  Raya  82.  Keduanya  pernah  bertemu  di
Belanda  pada  1919.  "Pembantu  kami  mengatakan  ada  tamu  ingin
berjumpa," kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. "Wah, kau Tan Malaka," katanya. "Saya kira sudah mati."
Tan  menjawab  sambil  tertawa.  "Alang-alang  tak  akan  musnah  kalau  tidak
dicabut  dengan  akar-akarnya."  Setelah  sempat  bersenda-gurau,  Soebardjo
menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema
Soemantri,  Gatot  Taroenamihardjo,  Boentaran  Martoatmojo.  Ia  juga
dipertemukan  dengan  Nishijima  Shigetada,  Asisten  Laksamana  Maeda.  Di
depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa,
hingga propaganda.
12
Nishijima terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti
petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam," katanya.
Setelah  lebih  dari  dua  jam  berbincang,  Soebardjo  menjelaskan  bahwa
kawannya  ini  tak  lain  Tan  Malaka.  Nishijima  terkejut.  Ia  bangkit  lalu
menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada  tamunya,  Soebardjo  meminta  keberadaan  Tan  dirahasiakan.
Sepekan  menetap  di  rumah  Soebardjo,  lewat  perantara  Nishijima,  Tan
pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat
ke  Banten  membangun  jaringan  gerilya,  lalu  balik  ke  Jakarta.  Pada  pekan
kedua  September,  ia  pindah  ke  Kampung  Cikampak,  18  kilometer  sebelah
barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihatpemerintah tidak
bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma
kumpul-kumpul  di  gedung  Pegangsaan,"  kata  Adam  Malik. "Seperti  tidak
ada rencana."
Itu  sebabnya,  sebagian  pemuda  mengusulkan  demonstrasi. Tapi  sebagian
lain  ingin  membentuk  Palang  Merah  dan  mengurus  tawanan  perang.
Pemuda  yang  berkumpul  di  Jalan  Prapatan  10,  sekarang Jalan  Kwitang,
terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31.
"Ini kesempatan kita mempraktekkan  Massa Actie," kata Sukarni mengutip
buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk
Komite  van  Actie.  Komite  ini  mengambil  alih  sarana  transportasi  dan
mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo-saat itu sudah Menteri Luar
Negeri-meminta  nasihat  Tan  yang  lalu  mengusulkan  agar  propaganda
dilakukan  lewat  semboyan-semboyan.  "Tan  ikut  mengusulkan  katakatanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto.Semboyan itu ditulis
pemuda  di  tembok-tembok,  mobil,  dan  kereta  api  hingga  tersebar  ke  luar
Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian
dunia.
Sejak  itu  Soekarno  mendengar  kemunculan  Tan.  Ia  meminta Sayuti  Melik
mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal
September  1945.  Pertemuan  itu  menjadi  rahim  lahirnya  testamen  politik.
Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan
diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro."
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya
di  Menteng  31.  Tan  saat  itu  tinggal  di  rumah  Pak  Karim,  tukang  jahit  di
Bogor.  Sukarni  dan  Adam  Malik  mencarinya  ke  sana.  Mereka  berhasil
13
bertemu,  tapi  ragu  identitas  Tan.  "Apalagi  saat  itu  banyak  muncul  Tan
Malaka palsu," kata Hadidjojo.
Untuk  memastikan,  para  pemuda  membawa  Soediro-kenalan  Tan  di
Semarang  pada  1922-beberapa  hari  kemudian.  Sesudah  itu  mereka
membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi.  Tan juga dicecar
soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi
buku tersebut.
Maruto bahkan  menyarankan  agar  pemuda  tidak  begitu saja  mempercayai
Tan.  Ia  rupanya  mendengar  Tan  sudah  bertemu  Soekarno.  Tapi  setelah
mendengar  kata-kata  Tan,  kaum  pemuda  yakin  tokoh  legendaris  itu  antifasis.
Tan  juga  sepakat  dengan  aksi  pemuda  Menteng  31.  "Ia  mengusulkan
demonstrasi  yang  lebih  besar,"  kata  Hadidjojo.  Demonstrasi  digelar  untuk
mengukur  seberapa  kuat  rakyat  mendukung  proklamasi.  Ide  ini  melecut
pemuda  menggelar  rapat  akbar  di  Lapangan  Ikada.  "Tan  berada  di  balik
layar," kata Poeze.
Pemuda  mendapat  kuliah  dari  Tan  tentang  perjuangan  revolusioner.
Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8dan 15 September
1945.  Sekelompok  pemuda,  antara  lain  Abidin  Effendi, Hamzah  Tuppu,
Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan.
Sukarni  lalu  mengirim  Hamzah,  Syamsu,  dan  Abidin  ke  Surabaya  untuk
mengorganisasi para pelaut.
Di  Jakarta,  kelompok  pemuda  menggelar  rapat.  Mereka  menyiapkan
demonstrasi  pada  17  September-tepat  sebulan  setelah  proklamasi.  Tapi
unjuk  rasa  diundur  dua  hari.  Ada  anekdot,  tanggal  itu  dipilih  karena  para
pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya."Bung Karno
marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua
hari setelah proklamasi," kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet  aksi  disebar  dan  ditempel  di  mana-mana.  Sukarni keluar-masuk
kampung,  menemui  kepala  desa,  tokoh  masyarakat,  pemuda,  hingga  kiai,
agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga.
Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada  hari  yang  ditentukan,  massa  berbondong-bondong  datang.  Senapan
mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus
berdatangan.  Jumlahnya  diperkiran  200  ribu.  Di  bawah terik,  mereka
menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta
Toer.  "Itulah  pertama  kali  saya  saksikan  orang  Indonesia  tidak  takut  lagi
pada Dai Nippon," kata Pram, saat itu berusia 20.
14
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagianmenteri setuju hadir
di  Ikada.  Sedangkan  yang  menolak  takut  ada  pertumpahan  darah.  Rapat
berjalan  alot.  Pukul  empat  sore,  Soekarno  memutuskan  datang
menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. "Saya tidak akan
memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan," katanya.
Rombongan  Soekarno-Hatta  pergi  menuju  Ikada.  Poeze  menduga,  Tan
Malaka  ikut  dalam  rombongan.  "Ia satu-satunya  yang  memakai  topi,  jalan
berdampingan dengan Soekarno menuju podium," kata Poeze.
Di  mimbar  Soekarno  berpidato  lima  menit.  Suaranya  lunak.  Ia  meminta
rakyat  tetap  tenang  dan  percaya  pada  pemerintah,  yang  akan
mempertahankan  proklamasi.  Massa  diminta  pulang.  Setelah  itu,  barisan
bubar meninggalkan lapangan.
Hasil  demonstrasi  itu  menyesakkan  Tan.  Pidato  itu,  katanya,  tidak
menggemborkan semangat berjuang. "Tidak mencerminkan massa aksi dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
15
Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia
diminta  Soekarno  mencari  Tan  Malaka.  Bung  Karno  mendengar  desasdesus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti  tahu di  mana  mencari  Tan.  Beberapa  hari  sebelumnya,
Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis
buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan  pun  diatur.  Soekarno  meminta  Soeharto,  dokter  pribadinya,
menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang.
Dengan  bersepeda,  Sayuti  menjemput  Tan.  Keduanya  kemudian  menuju
rumah Soeharto-sekarang Apotek Titimurni-di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku
bernama  Abdulradjak.  Soeharto  lalu  membawa  "Abdulradjak"  ke  kamar
belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto
menunggu  di  luar.  Semua  lampu  di  rumah  itu  dimatikan.  Pertemuan  dua
tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno  membuka  pembicaraan.  Ia  bertanya  tentang  Massa  Actie-buku
yang  ditulis  Tan  pada  1926.  Kemudian  keduanya  bicara tentang  nasib
revolusi  Indonesia.  Dalam  pertemuan  dua  jam  itu,  Tan  mendominasi
pembicaraan,  sementara  Soekarno  lebih  banyak  diam.  "Tan  lebih
berpengalaman  dalam  perjuangan,"  kata  Sayuti  Melik.  Kata-kata  Tan
tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada  pernyataan  Tan  yang  sangat  mengusik  perhatian  Bung  Karno.  Tan
mengatakan,  Belanda,  dengan  menumpang  Sekutu,  tidak  lama  lagi  akan
datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia
mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata,"Jika nanti terjadi
sesuatu  pada  diri  kami  sehingga  tidak  dapat  memimpin  revolusi,  saya
harap  Saudara  yang  melanjutkan."  Sebelum  menutup  pertemuan,  ia
memberi  Tan  sejumlah  uang.  Kesaksian  Sayuti  itu  ditulis  dalam  kolom
Sekitar  Testamen  untuk  Tan  Malaka,  dimuat  di  harian  Sinar  Harapan,
September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah
dokter  Mawardi  di  Jalan  Mampang.  Mawardi  adalah  pemimpin  Barisan
Pelopor di masa pendudukan Jepang.
16
Seperti  biasa,  Sayuti  ikut  dalam  pertemuan,  tapi  hanya  boleh
mendengarkan.  Mereka  bicara  lagi  tentang  perjuangan  kebangsaan.  Di
ujung  percakapan,  Soekarno  berjanji  akan  menunjuk  Tan  sebagai  penerus
obor kemerdekaan.
Tan  tidak  bereaksi  sepatah  kata  pun  mengenai  testamen itu.  Dalam
memoarnya,  Dari  Penjara  ke  Penjara,  ia  menganggap  usul itu  sebatas
kehormatan  dan  tanda  kepercayaan.  "Saya  sudah  cukup  senang  bertemu
Presiden  Republik  Indonesia,  republik  yang  sudah  sekian  lama  saya
idamkan," katanya.
***
NIAT  mengeluarkan  testamen  diucapkan  Soekarno  dalam  rapat  kabinet
pada  pekan  ketiga  September  1945.  Bila  Sekutu  menawannya,  ia  akan
menyerahkan  pimpinan  revolusi  kepada  salah  seorang  yang  mahir  dalam
perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad  Soebardjo  tahu  yang  dimaksud  Bung  Karno  tak  lain  adalah  Tan
Malaka.  Ia  tahu  karena  Tan  pernah  membicarakannya.  Namun  kelanjutan
pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat.
Juga  ada  selentingan,  Sekutu  akan  menangkap  Soekarno karena  dianggap
berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi  itu  mendorong  Soekarno  bertemu  dengan  Tan  Malaka,  Iwa
Koesoemasoemantri,  dan  Gatot  Taroenamihardjo,  di  rumah  Ahmad
Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatandan Jaksa Agung. Pada
30  September,  mereka  sepakat  menunjuk  Tan  sebagai  ahli  waris  revolusi
bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian  Soekarno  pergi  ke  rumah  Hatta.  Setelah  menceritakan
pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: "Kenapatidak bicara dulu
kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu TanMalaka."
Hatta  menolak  hasil  pertemuan  dan  mengusulkan  jalan  keluar.  Tongkat
revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka
mewakili  aliran  paling  kiri,  Sutan  Sjahrir  dari  kelompok  kiri-tengah,
Wongsonegoro  wakil  kalangan  kanan  dan  feodal,  serta Soekiman
representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon  Soebardjo mengajak
bertemu.  Soebardjo,  bersama  Tan  dan  Iwa,  menyambut  Soekarno-Hatta
besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia  mengatakan  bahwa  keberadaan  Tan  di  kalangan  kiri  bisa  menyulut
kontroversi  karena  Partai  Komunis  Indonesia  tidak  menyukainya.  Hatta
juga  mengusulkan  agar  Tan  melakukan  perjalanan  keliling  Jawa.  Selain
17
memperkenalkan  diri  pada  rakyat,  juga  untuk  mengukur  seberapa  besar
pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam  pertemuan  1  Oktober  itu,  mereka  juga  setuju  mengganti  Soekiman
dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok
Islam.  Soekarno  lalu  meminta  Tan  menyusun  kata-kata  testamen.  Setelah
semuanya  setuju,  naskah  diketik  Soebardjo  dan  dibuat rangkap  tiga.
Soekarno-Hatta  lalu  menandatanganinya.  Soebardjo  ditugasi  memberikan
teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks
itu  kepada  Sjahrir  dan  Wongsonegoro.  Keduanya  baru  tahu  setelah  Hatta
memberi  kabar.  Wakil  presiden  pertama  itu  menduga  Soebardjo  dan
kubunya  kecewa,  wasiat  batal  diberikan  kepada  Tan  seorang.  Tapi,  dalam
bukunya  Kesadaran Nasional,  Soebardjo berdalih  gonjang-ganjing  revolusi
menghambat penyampaian teks itu.
***
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut
Hadidjojo  Nitimihardjo,  putra  Maruto  Nitimihardjo-salah  seorang  aktivis
Menteng  31,  markas  perjuangan  pemuda  setelah  Proklamasi  dan  kini
Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta- amplop  yang dibawa Tan tak
hanya  berisi  wasiat  politik,  tapi  juga  teks  proklamasi  yang  diketik  Sayuti
Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satupaket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas
usul  Djohan  Syahruhzah-belakangan  menjadi  Sekretaris Jenderal  Partai
Sosialis  Indonesia-Tan  kemudian  dikawal  Des  Alwi  selama  sepekan.  Des
waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang
menjalankan  tugas  intelijen  melancarkan  perang  informasi  terhadap
Sekutu.
Mereka  menginap  di  Gubeng  pada  9  November.  "Malam  itu saya  sempat
memijatnya,"  kata  Des,  saat  itu  18  tahun.  Tan,  yang  mengaku  bernama
Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara
Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan  Hussein  membuat  Des  kagum.  Anak  angkat  Sjahrir  itu
kemudian  membawa  Tan  ke  Sidoarjo.  Di  sana  Des  baru  tahu,  pria  yang
dikawalnya  adalah  Tan  Malaka.  Dari  Sidoarjo,  Tan  berkeliling  Jawa
ditemani  Djohan.  "Saat  itu  hubungan  Tan  dengan  kubu  Sjahrir  belum
retak," kata Hadidjojo.
Tapi  pertalian  itu  cuma  sebentar.  Belakangan  hubungan  kedua  kubu  itu
rekah  akibat  Tan  menentang  politik  Sjahrir.  Lewat  Persatuan  Perjuangan-
18
kumpulan  141  organisasi  politik-Tan  menentang  kebijakan  diplomasi  yang
dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan  Tan  yang  gencar  menentang  perundingan  berujung  penjara.  Ia
bersama  Sukarni,  Chaerul  Saleh,  Muhammad  Yamin,  dan  Gatot  Abikusno
ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah
menyebar  di  radio  satu  hari  sebelumnya.  Mereka  dituduh  hendak
melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah  dari satu penjara ke
penjara lain.
Namun  Yamin  dalam  buku  Sapta  Darma  menepis  latar  belakang  itu.  Ia
mensinyalir,  penahanan  itu  atas  desakan  Sekutu  kepada  Perdana  Menteri
Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka"diamankan" sebelum
delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yaminbelakangan terbukti.
Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddinmengatakan Tan
dan  kelompoknya  ditangkap  karena  sering  melancarkan  agitasi  yang
mengacaukan perundingan.
Sewaktu  Tan  di  dalam  sel  inilah  menyebar  testamen  politik  palsu.  Isinya
menyatakan  bahwa  Soekarno-Hatta  menyerahkan  pimpinan  revolusi
kepada  Tan  Malaka  seorang.  Hatta  menuding  Chaerul  Saleh  otak  dari
kebohongan  itu.  Gara-gara  itu,  Hatta  berniat  mencabut  keputusan
pemberian testamen, tapi batal.
Dari  penjara,  Tan  berhasil  menyelundupkan  amplop  berisi  testamen  asli
dan  naskah proklamasi  lewat  kurir. "Amplop  itu  diterima  ayah  saya,"  kata
Hadidjojo.  Maruto  saat  itu  duduk  di  Badan  Pekerja  Komite  Nasional
Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah  dua  tahun  ia  ditahan,  kejaksaan  baru  menjatuhkan  dakwaan.  Tapi
bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal.
Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 daripenjara Magelang,
Jawa Tengah.
Setelah  Tan  bebas,  Maruto  mengembalikan  testamen  dan  naskah
proklamasi  kepadanya.  Ia  juga  mengatur  pertemuan  antara  Tan  dan
Jenderal  Soedirman  di  Yogyakarta.  Kepada  Pak  Dirman,  Tan  mengatakan
akan  bergerilya  ke  Jawa  Timur  sekitar  November  1948. Soedirman  lalu
memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat  dari  Soedirman  itu  diserahkan  ke  Panglima  Divisi  Jawa  Timur
Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen,
Malang  Selatan.  Tapi  ia  memutuskan  pergi  ke  Kediri.  Di  sinilah,  kata
sejarawan  Belanda  Harry  Albert  Poeze,  Tan  dieksekusi  pada  21  Februari
1949.
19
Sejak  itu  kasak-kasuk  ihwal  testamen  meredup.  Baru  pada  Mei  1972,
polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip
buku  George  McTurnan  Kahin  dalam  Nationalism  and  Revolution  in
Indonesia (1952),  mengemukakan  bahwa  perancangan  testamen  itu  taktik
Tan  Malaka  merebut  kekuasaan.  Satu  bulan  kemudian,  Sayuti  menolak
pendapat  Kahin.  Menurut  dia,  pertemuan  dan  pembuatan testamen  atas
prakarsa Soekarno.
Pekan  berikutnya,  giliran  Soebagijo  I.N.-atas  hasil wawancara  dengan
Hatta-menulis,  naskah  testamen  sudah  diberikan  Tan  tapi  belum
ditandatangani.  Soekarno  akan  memarafnya  bila  Bung  Hatta  setuju.
Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya,
dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah
S.K. Trimurti-istri Sayuti-menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan,
akhir  Oktober  1979.  Trimurti  membuka  rahasia,  Syamsu  Harya  Udaya
menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu
mengaku  menyimpan  testamen  dan  naskah  Proklamasi.  Syamsu  memang
sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada  terus  memercikkan  perselisihan  dan  jadi  rebutan,  Trimurti
menganjurkan  testamen  dihancurkan.  Keduanya  lalu  menemui  Aidit,  yang
dikenal  dekat  dengan  Soekarno.  Ketua  Partai  Komunis  Indonesia  itu
mengatur pertemuan.
Soekarno  kemudian  mengundang  ketiganya.  Di  Istana  Negara,  Trimurti
menyerahkan  seluruh  naskah.  Sementara  teks  proklamasi  disimpannya,
Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. "Setelah itu kami
pulang dengan perasaan lega," kata Trimurti. Kisruh  surat wasiat padam di
tengah bara api.
20
Si Mata Nyalang di Balai Societeit
PURWOKERTO,  kota  kecil  di  selatan  Jawa  Tengah,  menyala-nyala.
Bintang  Merah,  bendera  Murba,  berderet-deret  setengah  kilometer
dari  alun-alun  kota  hingga  Societeit,  balai  pertemuan  merangkap
gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka
wakil  dari  141  organisasi  politik,  organisasi  kemasyarakatan,  dan
laskar.
Nirwan,  guru  Sekolah  Rakyat  dan  aktivis  Murba,  mengingat  petang
itu,  4  Januari  1946,  tepat  seratus  hari  pasukan  Sekutu  mendarat  di
Jawa. "Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang
datang," ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat  politik  itu  dihadiri  antara  lain  para  pemimpin  pusat  Partai
Sosialis,  Partai  Komunis  Indonesia,  Majelis  Syuro  Muslimin
Indonesia  (Masyumi),  Partai  Buruh  Indonesia,  Hizbullah,  Gerakan
Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia  Sulawesi, dan
Persatuan  Wanita  Indonesia.  Rakyat  jelata  berjejal-jejal.  Mereka
antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman  juga di tengahtengah mereka.
Nirwan  menuturkan  peserta  rapat  tiba  dengan  kereta  api.  Mereka
yang  tiba  dari  Purbalingga,  Wonosobo,  Semarang,  Yogyakarta,  dan
Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di
Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader  Murba dari daerah
dengan  sukarela  menyumbang  pelbagai  barang:  sekadar beras  atau
gula  merah.  Tak  hanya  untuk  konsumsi  rapat,  barang-barang  yang
terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba  ketika  itu  belum  menjadi  partai,  melainkan  gerakan  rakyat
jelata.  Tan  Malaka  menggagasnya  buat  melawan  kapitalisme  dan
penjajahan  serta  untuk  menggapai  kesejahteraan.  Purwokerto
dianggap  merupakan  basis  kuat,  karena  itu  Tan  memilihnya  untuk
tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di  kota  ini,  Tan  bersahabat  kental  dengan  Slamet  Gandhiwijaya.
Tokoh  Murba  Purwokerto  ini  menjadi  penyandang  dana  terbesar.
Dari  Slamet  pula  Nirwan  mengenal  sosok  Tan  Malaka.  "Slamet
menjual  sawah  untuk  biaya  kongres,"  kata  Nirwan,  yang  menjadi
Ketua  Agitasi  dan  Propaganda  setelah  Tan  mendeklarasikan  Partai
Murba pada November 1948.
21
Slamet  pernah  dibuang  ke  Digul  karena  aktif  di  gerakan  kiri
menentang  Belanda.  Saat  pendudukan  Jepang,  pria  kelahiran
Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek
pembangunan,  seperti  jalan  dan  waduk.  Belum  semua  proyek
rampung,  Sekutu  menjatuhkan  bom  atom  di  Hiroshima  dan
Nagasaki.
Jepang  kalah  dan  lari  dari  daerah  pendudukannya  di  Asia  Timur,
termasuk  Indonesia.  Ketika  Jepang  menyingkir  dari  Jawa,  menurut
peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, HarryA. Poeze, koper
Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan
politik.
Slamet  tinggal  di  dekat  Stasiun  Kedungrandu,  Kecamatan  Patikraja,
Banyumas,  10  kilometer  dari  Kota  Purwokerto.  Dulu,  perusahaan
kereta  api  Belanda,  Serajoedal  Stoomtram  Maatschappij  dan
Serajoedal  Staatspoor,  mengoperasikan  kereta  api  Cilacap-Stasiun
Raya  Purwokerto-Gombong  yang  melalui  Kedungrandu.  Jalur  ini
melintas  di  dekat  aliran  Sungai  Serayu.  Tapi  pada  1936,  dua
perusahaan itu bangkrut.
Ada  tiga  rumah  bekas  petinggi  perusahaan  kereta  api Belanda  di
Kedungrandu.  Satu  di  antaranya  ditempati  keluarga  Slamet.  Di  kirikanan  rumah  Slamet  terhampar  sawah.  Di  kejauhan  tampak  bukitbukit  hijau.  Rumah  Slamet  menghadap  ke  utara,  berpagar  pohon
petai  cina.  Di  belakang  rumah  mengalir  Kali  Pematusan,  sekaligus
pembatas rumah dengan sawah. "Dulu saya suka memetik klandingan
(petai cina) di situ," ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi
mobil.  Darmuji,  76  tahun,  penduduk  setempat,  mengenal  Slamet
sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan,
termasuk  Darmuji,  umumnya  takut  bertamu.  "Saya  dan  Den  Slamet
kan beda," katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini
pula  Tan  bertemu  dengan  Soedirman  sebelum  kongres.  Slamet  dan
istrinya,  Martini,  memanggil  Tan  dengan  sebutan  Ohir.  Mungkin
diambil  dari  bahasa  Belanda,  ouheer,  yang  bermakna  orang  tua.
Perintis  Gunawan,  49  tahun,  anak  Slamet  yang  kini  tinggal  di
Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
22
Jika  mendengar  kabar  mata-mata  musuh  mencari,  Tan  segera
bersembunyi  di  perbukitan.  Martini  lihai  merahasiakannya.  "Kalau
Tan  lari  ke  selatan,  ibu  saya  bilang  larinya  ke  utara,"  kata  Perintis.
Rumah Slamet dijaga  Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan.
Di  sini  ada  ikan  yang  dinamai  Yopi.  "Jika  tangan  Tan  menaburkan
pakan,  Yopi  langsung  menyaut,"  kata  Perintis,  mengingat  kisah  dari
ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah
aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November
tahun lalu.
Rumah  Slamet  sejak  1977  menjadi  gedung  Koperasi  Unit  Desa
Patikraja.  Memang,  ia  telah  mengosongkan  rumah  itu  seusai  Agresi
Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah
milik  sendiri,  satu  kilometer  dari  rumah  lama.  Slamet
mengembalikan  rumah  lama  kepada  negara.  Sejak  itu  rumah  tidak
dirawat.  Kayu  lapuk  dan  tembok  ambrol.  Kini,  di  atasnya  berdiri
bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si
Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini
bertahan.
Di  rumah  baru,  Slamet  membuka  usaha  furnitur.  Martini  menekuni
industri  rumah  kain  batik.  Slamet  menempati  rumah  ini  hingga  ia
meninggal  4  September  1966.  Jenazahnya  dimakamkan  di  Taman
Makam  Pahlawan  Tanjung  Nirwana,  Purwokerto,  sebagai perintis
kemerdekaan.  Kini,  meja  dan  kursi  tempat  Tan  berdiskusi  dengan
Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu
semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung  pertemuan  tempat  Kongres  Persatuan  Perjuangan  di
Purwokerto  itu  sejak  1964  hingga  kini  menjadi  gedung  Radio
Republik  Indonesia  di  Jalan  Jenderal  Soedirman.  Menurut  Soegeng
Wijono,  70  tahun,  ahli  sejarah  ekonomi  Purwokerto,  gedung  itu
beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit.
Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik
berdiri,  disebut  Balai  Prajurit.  "Tapi  orang-orang  tua  lebih  suka
menyebutnya Societeit," kata Soegeng.
Untuk  menuju  Societeit,  tempat  kongres,  Tan  berangkat  dari  rumah
Slamet  menggunakan  mobil  yang  ia  bawa  dari  Yogyakarta.  Banyak
peserta  kongres  belum  mengenal  Tan.  Koran  Kedaulatan  Rakyat
Yogyakarta  terbitan  6  Januari  1946,  seperti  ditulis Harry  A.  Poeze
23
dalam  bukunya,  menggambarkan  peserta  rapat  terdiam  menahan
napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang
sekali  koran  menulis  gambaran  suasana.  Kedaulatan  Rakyat
melaporkan:
Umur  beliau  lebih  dari  50  tahun.  Tetapi  kelihatannya  lebih  muda.
Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar.Mata agak kecil
tapi  tajam.  Melihat  kerut-kerut  wajah  beliau,  maka  kelihatanlah
dengan  nyata  karakter  beliau  yang  kukuh,  kuat,  dan  berdisiplin.
Pakaian  sederhana.  Berkemeja  dan  bercelana  pendek  dan  berkaos
kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat
dengan  langkah  diplomasi  Soekarno-Hatta  dan  Perdana Menteri
Sjahrir.  Tan  geram  dengan  para  pemimpin  yang  tak  bereaksi  atas
masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan  mengajukan  tujuh  pasal  program  minimum:  berunding  untuk
mendapatkan  pengakuan  kemerdekaan  100  persen,  membentuk
pemerintah  rakyat,  membentuk  tentara  rakyat,  melucuti  tentara
Jepang,  mengurus  tawanan  bangsa  Eropa,  menyita  perkebunan
musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak.
Sesudah  musuh  meninggalkan  Indonesia,  barulah  diplomasi
dimungkinkan.  Tan  bertamsil:  orang  tak  akan  berunding  dengan
maling di rumahnya. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah
Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: "Lebih
baik  di  atom  (dibom  atom)  daripada  merdeka  kurang  dari  100
persen."  Para  peserta  kongres  akhirnya  sepakat  membentuk
Persatuan Perjuangan.
Persatuan  kemudian  dideklarasikan  di  Balai  Agung,  Solo,  pada  15
Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan.
Dibuka  pukul  10  pagi,  kongres  ini  dihadiri  141  organisasi.  Panitia
mengundang  Presiden  Soekarno,  Wakil  Presiden  Mohammad  Hatta,
dan  anggota  kabinet.  Tapi,  yang  datang  hanya  Menteri  Luar  Negeri
Ahmad  Soebardjo,  Jaksa  Agung  Gatot  Taroenamihardjo, dan
24
Panglima  Besar  Soedirman.  Sultan  Yogya  dan  Susuhunan  Solo
mengirimkan  wakil  mereka.  Peserta  menginap  di  Hotel Merdeka,
Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia
lalu  dipenjarakan  di  sejumlah  tempat:  Wirogunan  Yogyakarta,
Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika  Tan  dipenjara  di  Wirogunan  pada  1946,  anak  muda  Murba
bernama  Anwar  Bey,  kini  79  tahun,  besuk  bersama  Abdullah,  guru
Meer Uitgebreid Lager OnderwijsAdabiyah Padang, juga orang PariPartai  Republik  Indonesia.  Anwar  kelak  menjadi  wartawan  Antara
dan  Sekretaris  Wakil  Presiden  Adam  Malik.  Mereka  diutus  pemuda
Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak
banyak  bicara  karena  diawasi  sipir  pendukung  Hatta. "Tan  hanya
bilang teruskan perjuangan," kata Anwar.
Konferensi  itu  sebenarnya  direncanakan  berlangsung  di  Malang,
Jawa  Timur,  Desember  1945.  Ketika  itu,  laskar  dan  tentara
meninggalkan  Surabaya  setelah  pertempuran  10  November  1945.
Tapi,  karena  banyak  wakil  berada  di  Jawa  Barat  dan  Jakarta,
konferensi  dimundurkan.  Tan  ke  Cirebon  menemui  wakil-wakil
organisasi  dari  pelbagai  daerah.  Selanjutnya,  untuk pertama  kalinya
Tan  bertemu  dengan  wakil  organisasi  dari  kota-kota  di  Jawa  pada  1
Januari  1946  di  Demakijo,  Godean,  Yogyakarta.  Mereka  sepakat
bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar.
Ketika  memperingati  sewindu  hilangnya  Tan  Malaka  pada  19
Februari  1957,  Kepala  Staf  Angkatan  Darat  Mayor  Jenderal  Abdul
Haris  Nasution  mengatakan  pikiran  Tan  dalam  Kongres Persatuan
Perjuangan  dan  pada  buku  Gerpolek (Gerilya  Politik  Ekonomi)
menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini,
menurut  Nasution,  sukses  ketika  rakyat  melawan  dua  kali  agresi
Belanda.  Terlepas  dari  pandangan  politik,  ia  berkata,  Tan  harus
dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
25
Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis
Ignas Kleden
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
TAN  Malaka  meninggal  pada  usia  52  tahun.  Setengah  dari  usia  itu
dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20
tahun  mengembara  dalam  pelarian  politik  mengelilingi  hampir  separuh
dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922,
diteruskan  ke  Berlin,  berlanjut  ke  Moskow,  Kanton,  Hong  Kong,  Manila,
Shanghai,  Amoy,  dan  beberapa  desa  di  pedalaman  Tiongkok,  sebelum  dia
menyelundup  ke  Rangoon,  Singapura,  Penang,  dan  kembali  ke  Indonesia.
Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan  masa pelarian yang
paling lama di Tiongkok.
Selama  masa  itu,  dia  menggunakan  13  alamat  rahasia  dan  sekurangnya
tujuh  nama  samaran.  Di  Manila  dia  dikenal  sebagai  Elias  Fuentes  dan
Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali.
Di  Shanghai  dan  Amoy  dia  adalah  Ossario,  wartawan  Filipina.  Ketika
menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee,
orang  Cina  kelahiran  Hawaii.  Di  Singapura,  ketika  menjadi  guru  bahasa
Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk
kembali  ke  Indonesia,  dia  bekerja  di  pertambangan  Bayah,  Banten,  dan
menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian  dan  penyamaran  itu  dimungkinkan,  salah  satunya,  karena  dia
menguasai  bahasa-bahasa  setempat  dengan  baik.  Ketika  dia  ditangkap  di
Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, "Tan
Malaka,  seorang  Bolsyewik  Jawa,  ditangkap.  Dia  berbicara  bermacammacam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan
Melayu."  Dalam  pelarian  itu,  bermacam-macam  pekerjaan  sudah
dilakukannya.
Di  Amsterdam  dan  Rotterdam  dia  berkampanye  untuk  partai komunis
Belanda  pada  waktu  diadakan  pemilu  legislatif  dan  ditempatkan  pada
urutan  ketiga.  Di  Moskow  dia  menjadi  pejabat  Komintern  dengan  tugas
mengawasi  perkembangan  partai  komunis  di  negara-negara  Selatan,  yang
mencakup  Burma,  Siam,  Annam,  Filipina,  dan  Indonesia.  Di  Kanton  dia
menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi
kontributor  untuk  koran  El  Debate.  Di  Amoy  dia  mendirikan  Foreign
Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup
uang.  Di  Singapura  dia menjadi  guru bahasa  Inggris  di  sekolah  menengah
atas walau tanpa ijazah.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah
kolonial,  di  Bandung,  Semarang,  dan  Jakarta.  Dalam  pelariannya  ke  luar
negeri,  dia  dipenjarakan  di  Manila  dan  Hong  Kong.  Setelah  kembali  ke
26
Indonesia,  dia  dimasukkan  ke  penjara  oleh  pemerintah  Indonesia  di
Mojokerto (1946-1947).
Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yatsen,  yang  di  kalangan  pengikut  bawah  tanah  dipanggil  Sun  Man.  Dia
membaca  buku  San-Min-Chu-I  dan  berkesimpulan  bahwa  Dr  Sun  tidak
sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut TanMalaka, Dr Sun
bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis.
Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan
analisisnya  tinggi,  kemampuan  menulisnya  baik  sekali,  dan  dia  seorang
effective  speaker.  Kekuatan  Dr  Sun  terdapat  dalam  dua  hal  lain,  yaitu
satunya  kata  dan  tindakan  serta  tabah  menghadapi  kegagalan.  Usahanya
memerdekakan  Tiongkok  dari  Kerajaan  Manchu  baru  berhasil  pada
percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.
Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawanTan Malaka karena
ketenangannya  menghadapi  maut.  Beberapa  saat  sebelum  dia  ditembak
mati,  seorang  dokter  Spanyol  rekan  seprofesinya  meminta  izin  kepada
komandan  agar  diperbolehkan  memeriksa  kondisi  kesehatannya.  Dengan
tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr
Rizal  tetap  pada  ketukan  normal,  tanpa  perubahan  apa pun.  Ini  hanya
mungkin  terjadi  pada  seseorang  yang  sanggup  menggabungkan  keyakinan
penuh  pada  perjuangan,  ketabahan  dalam  menderita,  dan keteguhan  jiwa
menghadapi  maut.  Di  sini  terlihat  bahwa  Tan  Malaka  bukanlah  seorang
Marxis  fundamentalis,  karena  dia  dapat  menghargai  Dr  Sun  Yat-sen,
nasionalis  pengkritik  Marxisme,  dan  mengagumi  Dr  Rizal,  seorang  sinyo
borjuis  dengan  berbagai  bakat  tapi  menunjukkan  sikap satria  sebagai
pejuang kemerdekaan.
Kritik  Tan  Malaka  kepada  Bung  Karno  tidaklah  ada  sangkut-pautnya
dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar
terhadap  seseorang  yang  sangat  dihormatinya.  Dasar  kritiknya  adalah  apa
yang  dilihatnya  sebagai  kebajikan  Dr  Sun  Yat-sen,  yaitu  satunya  kata
dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin  PNI, Soekarno
selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu
untuk  berjuang  mencapai  Indonesia  merdeka  dengan  menggunakan  tiga
pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi,  dan aksi massa yang
tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi  bahwa Soekarno
telah  banyak  menderita  dan  dibuang  ke  pengasingan  karena  gagasangagasan politiknya.
Maka  dia  kecewa  melihat  Soekarno  berkolaborasi  dengan  Jepang  selama
pendudukan  di  Indonesia.  Kekecewaan  ini  disebabkan  oleh  dua  latar
belakang.  Pertama,  Tan  Malaka  merasa  dekat  dengan  Soekarno,  yang
menerapkan  aksi  massa  dalam  perjuangan  politiknya  hampir  sepenuhnya
menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur
tentang  aksi  massa.  Kedua,  dia  sangat  terpesona  oleh perjuangan
kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete
27
independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan  penuh). Kekecewaan
ini  sedikit  terobati  ketika  Soekarno-Hatta  atas  desakan  pemuda
revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia  pada 17 Agustus
1945.
Salah  satu  karya  Tan  Malaka  yang  boleh  dianggap  sebagai  opus  magnumnya  adalah  buku  Madilog,  yang  ditulis  selama  delapan bulan  dengan  ratarata  tiga  jam  penulisan  setiap  hari  di  persembunyiannya  dekat  Cililitan.
Buku  itu  menguraikan  tiga  soal  yang  menjadi  pokok pemikirannya  selama
tahun-tahun  pembuangan,  dengan  bahan-bahan  studi  yang  dikumpulkan
sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari
pemeriksaan  Jepang.  Naskah  buku  ini  praktis  ditulis  hanya  berdasarkan
ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum
(jembatan keledai).
Ketiga  soal  itu  adalah  materialisme,  dialektika,  dan  logika.  Materialisme
diperkenalkannya  sebagai  paham  tentang  materi  sebagai dasar  terakhir
alam  semesta.  Logika  dibutuhkan  untuk  menetapkan  sifat-sifat  materi
berdasarkan  prinsip  identitas  atau  prinsip  nonkontradiksi.  Prinsip  logika
berbunyi:  A  tidak  mungkin  sama  dengan  yang  bukan  A.  Atau  dalam
rumusan  lain:  a  thing  is  not  its  opposite.  Sebaliknya,  dialektika
menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air
dan  bukan  uap.  Tapi  dialektika  menunjukkan  perubahan air  menjadi  uap
setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme.Tesis utama filsafat
ini  berbunyi:  bukan  ide  yang  menentukan  keadaan  masyarakat  dan
kedudukan  seseorang  dalam  masyarakat,  melainkan  sebaliknya,  keadaan
masyarakatlah  yang  menentukan  ide.  Kalau  kita  mengamati hidup  dan
perjuangan  Tan  Malaka,  jelas  sekali  bahwa  sedari  awal  dia  hidup  untuk
merevolusionerkan  kaum  Murba,  agar  menjadi  kekuatan  massa  dalam
merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow
dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di
negara-negara  jajahan  harus  mendukung  gerakan  nasionalis  untuk
menentang imperialisme.
Semenjak  masa  mudanya  di  Negeri  Belanda,  Tan  Malaka  sudah  terpesona
oleh  Marxisme-Leninisme.  Paham  inilah  yang  menyebabkan dia
dipenjarakan  berkali-kali  dan  dibuang  ke  luar  negeri.  Ini  berarti  bukan
penjara  dan  pembuangan  itu  yang  menjadikan  dia  seorang  Marxis,
melainkan  sikap  dan  pendiriannya  yang  Marxislah  yang menyebabkan  dia
dipenjarakan  dan  dibuang.  Selain  itu,  dia  pertama-tama  tidak  berjuang
untuk  kemenangan  partai  komunis  di  seluruh  dunia,  tapi  untuk
kemerdekaan tanah airnya.
Dengan  demikian,  hidup  Tan  Malaka  menjadi  falsifikasi radikal  terhadap
gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya:  dia seorang Marxis
tulen  dalam  pemikiran,  tapi  nasionalis  yang  tuntas  dalam  semua
tindakannya.  Kita  ingat kata-katanya  kepada  pemerintah  Belanda  sebelum
28
dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don't lose your head!
Ini  sebuah  language  game  yang  punya  arti  ganda:  jangan  kehilangan  akal
dan  jangan  kehilangan  kepala.  Tragisnya,  dia  yang  tak  pernah  kehabisan
akal  di  berbagai  negara  tempatnya  melarikan  diri  akhirnya  kehilangan
kepala di tanah air yang amat dicintainya.
29
Gerilya Dua Sekawan Gerilya Dua Sekawan
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di
dekat  stasiun  Kedungrandu,  10  kilometer  dari  Purwokerto,  Jawa  Tengah.
Tan  Malaka  kerap  datang  sembunyi-sembunyi  ke  rumah  itu.  Di  sana,  dia
kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa  kali  sepanjang  tahun  1946,  Tan  datang  khusus  untuk  menemui
Panglima  Besar  Tentara  Keamanan  Rakyat,  Jenderal  Sudirman.  Perintis
Gunawan,  putra  bungsu  Slamet-kini  49  tahun-mendapat  cerita  pertemuan
kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman,
sepupu  Perintis.  Sang  Jenderal  lalu  menimang-nimang  bocah  itu  sebelum
masuk  ke  ruang  makan.  Di  situ  ia  bertemu  dengan  Tan.  "Ibu  langsung
disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan," kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan,
mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Merekabertemu pertama
kali  dalam  Konferensi  Persatuan  Perjuangan  di Purwokerto, Januari  1946.
"Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi," katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan
menyebut  Tan  dan  Soedirman  sebagai  "dwitunggal".  Ia  menyamakan
hubungan  kedua  tokoh  dengan  relasi  Soekarno-Hatta  serta  Sutan  SyahrirAmir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memilikiurat dan akar
di  kalangan  pemuda  radikal,  anggota  pasukan  Pembela  Tanah  Air,  dan
bekas romusha. "Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman,  para pemuda itu
menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang," Adam menulis.
Keduanya  juga  diikat  kesamaan  sikap:  menentang  jalan  diplomasi
pemerintahan  Sutan  Syahrir.  Bagi  mereka,  "kemerdekaan  harus  seratus
persen" dan "berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen".
Jalan  oposisi  Tan  berbuah  penjara.  Menteri  Pertahanan  Amir  Syarifuddin
memerintahkan  penangkapannya.  Pada  17  Maret  1946  beserta  beberapa
pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan
dijebloskan  ke  penjara  Wirogunan,  Yogyakarta.  Dua  belas  pemimpin
Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor
Jenderal  Sudarsono  membebaskan  semua  tahanan  pada  3 Juli  1946.
Dengan  perintah  ini,  Sudarsono  dan  pasukannya  menyerbu  penjara
Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan
Letnan  Kolonel  Soeharto,  penanggung  jawab  keamanan  Yogyakarta-kelak
menjadi presiden-agar menangkap Sudarsono.
30
Setelah  peristiwa  ini,  hubungan  Tan  dan  Soedirman  merenggang.
Soedirman  menganggap  koleganya  terlalu  jauh  menekan  Soekarno.
Menurut  Harry  Poeze,  Soedirman  juga  tidak  setuju  dengan  langkah  Tan
membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam  Malik  menulis,  Presiden  Soekarno  berhasil  meyakinkan  Jenderal
Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, iamendukung penuh
semua  keputusan  Sudirman  sebagai  panglima  besar  tentara.  Sejarah
mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer
Belanda II pada 1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji
Agus  Salim,  dan  para  pejabat  pemerintah.  Mereka  diasingkan  ke  Bangka.
Sudirman  lolos  dari  sergapan  Belanda  dan  masuk  hutan. Ia  bergerilya  di
Jawa Tengah.
Tan  berangkat  ke  Kediri  dengan  kereta  api  khusus,  dikawal  50  orang.  Ia
bergabung  dengan  satu  brigade  Divisi  IV  Tentara  Nasional  Indonesia
pimpinan  Sabarudin  di  Blitar,  Jawa  Timur.  Di  markas  pertahanan  Desa
Belimbing,  Kediri,  ia  mendirikan  Gabungan  Pembela  Proklamasi  yang
kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.
Ia  banyak  menulis  pamflet  yang  dia  beri  nama  "Dari  Markas  Murba
Terpendam".  Lewat  RRI  Kediri,  Tan  menyerukan  rakyat  terus  bergerilya
melawan Belanda seperti Soedirman.
31
Kerani yang Baik Hati Kerani yang Baik Hati
PENDENGARANNYA  tak  lagi  sempurna.  Ingatannya  pun  telah
memudar.  Dia  hanya  menggelengkan  kepala  ketika  ditanyai  soal
usianya.  Parino,  dalam  kartu  tanda  penduduk,  lahir  di  Purworejo
pada  Februari  1917.  Sedangkan  data  Romusha  Kecamatan  Bayah
mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah,
Banten Selatan-sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari
Purworejo,  Jawa  Tengah,  untuk  bekerja  di  bagian  lubang  tambang
batu  bara.  Parino  tidak  tahu  persis  usianya  ketika  itu.  Yang
diingatnya, "Saya belum menikah, tapi sudah disunat," ujarnya sambil
tertawa.
Bayah  menjadi  tempat  berkumpul  romusha  dan  pegawai
pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada
1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang
dari  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur,  termasuk  Parino.  Di  kawasan
pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja
sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat
Bayah  dengan  nama  samaran  Ilyas  Hussein.  Parino  lamat-lamat
mengingat  nama  Hussein  sebagai  seorang  kerani  atau  juru  tulis.
"Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar," kata Parino.
Bayah  dengan  luas  sekitar  15  ribu  hektare  menjadi  satu-satunya
tempat  yang  mengandung  batu  bara  di  Pulau  Jawa  sebelum  Jepang
datang.  Belanda  telah  memberikan  izin  membuka  tambang  kepada
perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum  1942,  kebutuhan  batu  bara  di  Jawa  dipasok  dari  Sumatera
dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai
oleh  kepentingan  perang.  Jepang  ingin  Jawa  mandiri  dalam
memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang  membuka  tambang  lewat  perusahaan  Sumitomo.  Mereka
membuka  jalur  kereta  api  dari  Saketi,  Pandeglang,  menuju  Bayahsekitar  90  kilometer.  Dari  Bayah,  kereta  bersambung menuju  ke
lokasi  penambangan  seperti  Gunung  Madur,  Tumang,  dan  Cihara.
32
Kini  beberapa  lokasi  masih  ditambang  penduduk,  sedangkan  yang
lain terbengkalai begitu saja.
Tan  bekerja  di  Bayah  setelah  melamar  ke  kantor  Sosial.  Dia  butuh
penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di
Bayah membutuhkan 30 pekerja-bukan romusha. Tan melamar tanpa
ijazah.  Dia  mengaku  bersekolah  di  MULO  (setara  dengan  sekolah
menengah  pertama)  dua  tahun  dan  pernah  menjadi  juru tulis  di
Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan  berangkat  dengan  kereta  api  dari  Tanah  Abang,  berakhir  di
Stasiun  Saketi.  Saat  itu  kereta  rute  Saketi-Bayah  belum  beroperasi.
Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam  memoarnya,  Dari  Penjara  ke  Penjara,  Tan  mendapat  cerita
tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari  bahasa Sunda, yang
artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada  ramalan tentang
banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi,
kalau jarak Saketi ke  Bayah 90 kilometer, ada  satu  nyawa melayang
dalam satu meter rel.
Stasiun  Saketi  menjadi  tempat  persimpangan  kereta  dari  Jakarta
menuju  Bayah  dan  Labuan.  Tempo-bersama  penulis  buku Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poezemenelusuri  rute  perjalanan  Tan  dari  Stasiun  Saketi. Kini  bangunan
itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya,
58  tahun.  Jalur  Saketi-Bayah  berhenti  beroperasi  pada  1950-an,
disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni
gubuk kecil  dari  bambu.  Dia  selalu  memakai  celana  pendek,  kemeja
dengan  leher  terbuka,  kaus  panjang,  helm  tropis,  dan  tongkat.  Dia
berbicara  dengan  bahasa  Indonesia,  tapi  jarang  tampil  di  depan
umum.
Tan  sering  menjelajahi  pelosok,  termasuk  Pulo  Manuk,  enam
kilometer  dari  Bayah.  Tempat  itu  paling  ditakuti,  termasuk  oleh
tentara  Jepang,  karena  penyakit  kudis,  disentri,  dan  malaria
mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan  menjadi faktor
utama kematian romusha di Bayah.
33
Suatu  saat,  Tan  pernah  diminta  mengurusi  data  pekerja.  Dia  sering
berhubungan  dengan  romusha  dan  mencatat  jumlah  kematian
mereka.  Dalam  memoarnya,  Tan  mencatat  400-500  romusha
meninggal  setiap  bulan.  Hingga  akhir  pendudukan  Jepang,  luas
tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk  terowongan  dan  memberikan  nasihat  pentingnya
kesehatan,  Tan  dikenal  sebagai  kerani  yang  baik  hati.  Dia  suka
membelikan  makanan  buat  romusha  dari  upahnya  sendiri.  "Kita
dapat  mempraktekkan  rasa  tanggung  jawab  terhadap  golongan
bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang," kata Tan
suatu ketika.
Di  dalam  perusahaan,  dia  selalu  mengusulkan  peningkatan
kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul
dengan  mereka,  termasuk  penjabat  direktur  Kolonel  Tamura.  Dia
mencoba  berbicara  mengenai  kesejahteraan  pekerja,  tapi  upayanya
sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250  gram beras
setiap  hari.  Uang  40  sen  hanya  cukup  buat  membeli  satu  pisang.
Dalam  salah  satu  tulisannya,  Rencana  Ekonomi  Berjuang,  Tan
mengatakan  hitung-hitungan  upah  romusha  hanya  di  atas  kertas.
Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di  Bayah lewat percakapan
dua  tokoh  cerita,  si  Toke  dan  si  Godam.  "Seratus  ton  arang  itu
diperoleh  dengan  makian  bagero  saja.  Tanah,  mesin,  dan  tenaga
romusha  pun  digedor,"  ucap  si  Godam.  Ringkasnya,  Jepang  sama
sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan  mencoba  menggalang  pemuda  untuk  memperbaiki  nasib
romusha.  Dia  menggagas  dapur  umum  yang  menyediakan  makanan
bagi  seribu  romusha.  Mereka  membangun  rumah  sakit  di  pinggiran
Desa  Bayah,  Cikaret.  Tan  juga  membuka  kebun  sayur  dan  buahbuahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran  Tan  semakin  besar  ketika  dia  ditunjuk  sebagai Ketua  Badan
Pembantu  Keluarga  Peta-organisasi  sosial  yang  membantu  tentara
bentukan  Jepang,  Pembela  Tanah  Air  (Peta).  Di  bawah panji  Badan
Pembantu,  Tan  lebih  leluasa  mengadakan  kegiatan  kemasyarakatan,
seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
34
Tim  sandiwara  dan  sepak  bola  itu  bernama  Pantai  Selatan.
Pertunjukan  sandiwara  banyak  bercerita  tentang  nasib  romusha.
Mereka  pernah  memainkan  Hikayat  Hang  Tuah,  Diponegoro,  dan
Puputan Bali.
Tim  sepak  bola  juga  pernah  tampil  dalam  kejuaraan  di
Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di
Bayah-kini  menjadi  terminal.  Ia  menjadi  pemain  sayap.  Tapi  Tan
lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir
para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan
menjadi  anggota  panitia  penyambutan  tamu.  Soekarno  berpidato
bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah
itu,  Jepang  memberikan  kemerdekaan  buat  Indonesia.  Soekarno
meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan
produksi batu bara.
Selesai  pidato,  moderator  Sukarjo  Wiryopranoto  mempersilakan
hadirin  bertanya.  Saat  itu  Tan  sedang  memilih  kue  dan  minuman
untuk  para  tamu.  Para  penanya  rupanya  sering  mendapat  jawaban
guyon  sinis.  Kepada  Son-co  (Camat)  Bayah,  misalnya, Sukarjo
mengejek supaya ikut kursus "Pangreh Praja".
Tan  gerah  dengan  suasana  penuh  ejekan  itu.  Dia  pun  menyimpan
talam  kue  dan  minuman  di  belakang,  lalu  bertanya:  apakah  tidak
lebih  tepat  kemerdekaan  Indonesialah  kelak  yang  lebih  menjamin
kemenangan terakhir?
Soekarno  menjawab  bahwa  Indonesia  harus  menghormati jasa
Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah.
Menurut  dia,  rakyat  akan  berjuang  dengan  semangat  lebih  besar
membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarnomungkin tidak
pernah  didebat  ketika  berpidato  di  seluruh  Jawa.  Apalagi  bantahan
itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan
romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi
keburu dihentikan.
Awal  Juni  1945,  Tan  menerima  undangan  dari  Badan  Pembantu
Keluarga  Peta  Rangkasbitung  untuk  membicarakan  kemerdekaan.
35
Pertemuan  itu  untuk  memilih  dan  mengirimkan  wakil  Banten  ke
pertemuan  Jakarta.  Tan-sebagai  Hussein-didaulat  menjadi  wakil
Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta  diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa.
Konferensi  gagal  terlaksana  karena  larangan  Jepang. Tan  hanya
berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan  baru, seperti
Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali  ke  Bayah,  Tan  pindah  tugas  ke  kantor  pusat  dan  mencatat
data  mengenai  romusha.  Suatu  ketika,  Jepang  mengumumkan
rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya
dengan  berorasi  di  muka  umum.  Besoknya,  Jepang  membatalkan
pengurangan ransum.
Di  Jakarta,  pidato  Tan  itu  dikabarkan  menjadi  biang kerusuhan.
Romusha  melarikan  diri  dan  mogok  di  Gunung  Madur.  Kempetai
(polisi  militer  Jepang)  di  Bayah  mulai  mencari  identitas  Hussein.
Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman
sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan
situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensipemuda di Jakarta
pada  14  Agustus.  Dia menjadi  utusan  semua  pegawai  pertambangan
dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia
tidak  mengetahui  drama  penculikan  Soekarno  dan  Hatta  ke
Rengasdengklok.  Setelah  merdeka,  Tan  lebih  banyak  tinggal  di
Jakarta.  Akhir  Agustus,  dia  pergi  ke  Bayah  mengunjungi  pemimpin
Peta, Djajaroekmantara.
Tan  Malaka  ke  Bayah  juga  punya  tujuan  lain,  yakni  mengambil
naskah  Madilog  (Materialisme,  Dialektika,  dan  Logika).  Poeze
mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di  Bayah,  kegiatan  penambangan  berangsur  terhenti  sepeninggal
Jepang.  Penduduk  membumihanguskan  Bayah  saat  agresi militer
kedua  Belanda  pada  1948.  Pemerintah  setempat  membuat  tugu
romusha  pada  1950-an.  "Rasanya  dulu  lebih  ramai  ketimbang
sekarang,"  kata  Haji  Sukaedji,  73  tahun,  warga  kelahiran  Bayah,
kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....
36
Naskah dari Rawajati Naskah dari Rawajati
DI  DESA  Rawajati,  dekat  sebuah  pabrik  sepatu  di  Kalibata,  Jakarta,  ia
menyewa  gubuk  bambu.  Pada  sepetak  ruang  sekitar  15  meter  persegi  di
rumah  itulah,  Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka,  dari  pukul  enam  pagi  hingga
pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak  buah  pikiran  itu  mewujud dalam  sebuah buku  termasyhur:  Madilog
(Materialisme,  Dialektika,  dan  Logika).  Tan  menulis  Madilog  sejak  15  Juli
1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional-
untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak
di  seberang  Monumen  Nasional  itu  ia  sering  berjalan  kaki-kadang  butuh
waktu empat jam.
Bila  hendak  ke  sana,  Tan  bangun  pukul  setengah  lima  subuh.  Tiba  di
museum  sekitar  pukul  sembilan,  ia  biasanya  tak  lebih  dari  satu  jam  di
perpustakaan.  Setelah  sebentar  mempelajari  keadaan  di kota,  "Sorenya
kembali  jalan  kaki  menuju  sarang  saya  di  Kalibata,"  tulis  Tan  dalam
memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan  Belanda,  Harry  Albert  Poeze,  mengatakan  Madilog  merupakan
bentuk  pikiran  yang  telah  mengendap  bertahun-tahun  dalam  diri  Tan
Malaka.  Tan  merangkum  pemikirannya  dari  hasil  bacaan  selama
pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tan  tidak  mencantumkan  sumber  rujukan  dalam  Madilog.  Jilid  pertama
seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan
rujukan  dari  perpustakaan  di  museum  yang  dikunjunginya.  "Tan  ingin
mengelakkan  kesan  bahwa  Madilog  sepenuhnya  buah  pikirannya  sendiri,"
kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze,
dalam  bukunya,  Tan  Malaka:  Pergulatan  Menuju  Republik  1925-1945,
mengatakan  inti  Madilog  adalah  penglihatan  masa  depan  Indonesia  yang
merdeka  dan  sosialis.  "Tulisan  itu  merupakan  karya  orisinal  Tan,"  ujar
Poeze.
Selama  menulis  Madilog,  Tan  selalu  berdiskusi  dengan  sejumlah  pemuda.
Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan
Jepang.  Karena  aktivitasnya  inilah,  Asisten  Wedana  Pasar  Minggu  pernah
datang dan menggeledah gubuknya.
37
Karena  tak  menemukan  sesuatu,  Asisten  Wedana  itu  kemudian  meminta
maaf kepada Tan. Sang pejabat tak tahu Tan telah menyembunyikan kertaskertasnya di kandang ayam.
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog
juga  dibawanya  bertualang  ke  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur.  Tan  baru
memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia  menulis,  "Kepada  mereka  yang  sudi  menerimanya.  Mereka  yang  sudah
mendapat  minimum  latihan  otak,  berhati  lapang  dan  saksama  serta
akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya."
38
Bolsyewik yang Terbuang Bolsyewik yang Terbuang
Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan
Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dalam Partai Komunis. Mendukung
aliansi dengan Islam, ia sering tak sepaham dengan teman seperjuangan.
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam
Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap
oleh  1.500  orang  peserta,  hawa  dalam  ruangan  juga  tambah  panas  akibat
pidato  Abdul  Muis,  anggota  Central  Sarekat  Islam.  Dia  mengungkit  silat
kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam,
beberapa  bulan  sebelumnya.  Muis  juga  mengungkap  lagi  kritik  Komunis
Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota
Sarekat.
Padahal,  beberapa  menit  sebelumnya,  Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka,  telah
mengingatkan  perlunya  persatuan  antara  Partai  Komunis dan  Sarekat
Islam.  Menurut  Tan,  yang  baru  terpilih  sebagai  Ketua Partai  Komunis,
kedua  partai  semestinya  bersatu  karena  tujuannya  sama:  mengusir
imperialis Belanda.
Di  mata  Tan,  silang  pendapat  kedua  partai  hanyalah  bagian  dari  politik
pecah  belah  imperialis.  "Kalau  perbedaan  Islamisme  dan  komunisme  kita
perdalam  dan  kita  lebih-lebihkan,  kita  memberikan  kesempatan  kepada
musuh  yang  terus  mengintai  untuk  melumpuhkan  gerakan  Indonesia,"
katanya.  Pendapat  Tan  ini  didukung  Kiai  Haji  Hadikusumo,  tokoh
Muhammadiyah  di  Sarekat  Islam.  Menurut  Hadikusumo,  mereka  yang
memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
***
Ketika  mendirikan  Indische  Sociaal  Democratische  Vereniging  alias
Perhimpunan  Sosial  Demokrasi  di  Hindia  pada  9  Mei  1914,  semula
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet tidakingin terlibat politik.
Dia  ingin  sekadar  mempropagandakan  sosialisme.  Namun,  ketika
Perhimpunan  yang  mayoritas  anggotanya  orang  Belanda  di  Hindia  makin
terlibat  dalam  politik  lokal,  kebutuhan  melebarkan  pengaruh  pun  makin
besar.
Usaha  pertamanya  menggalang  kerja  sama  dengan  Insulinde  bubar  dalam
setahun. Sneevliet, yang semula begitu terpesona dengan karisma Dr Tjipto
Mangunkusumo,  pemimpin  Insulinde,  gagal  menyeret  Tjipto  ke  "kiri".
Belakangan,  Sneevliet  bahkan  mengkritik  Tjipto.  "Dia kurang  memihak
kelas proletar," katanya.
39
Pada  saat  hubungan  dengan  Insulinde  putus,  sebenarnya  Perhimpunan
sudah mulai melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat
Suharsikin,  istri  pemimpin  Sarekat,  Haji  Omar  Said  Tjokroaminoto.
Suharsikinlah  pengelola  rumah  indekos  yang  ditempati  Alimin,  Musso,
Soekarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo di Surabaya. Selain tempat mondok,
rumah Tjokroaminoto juga kantor pusat Sarekat. Sneevliet, Adolf Baars, dan
anggota  Perhimpunan  seperti  Semaun  dan  Darsono,  acap terlibat  diskusi
rutin di rumah itu.
Penyusupan  pengaruh  Perhimpunan  lebih  mulus  karena  beberapa
anggotanya seperti Semaun, Alimin, dan Darsono juga  merangkap anggota
Sarekat.  Semaun,  misalnya-aktivis  buruh  kereta  api-sudah  masuk  ke
Sarekat  sejak  1914  dan  sempat  menjabat  sebagai  sekretaris  cabang
Surabaya.
Semangat  merengkuh  kelompok  Islam  ke  dalam  barisan  komunis
sebenarnya juga dilakukan Partai Komunis Rusia. PadaFebruari 1918, tiga
bulan  setelah  Revolusi  Bolshevik,  Partai  Komunis  Rusia  membentuk
komisariat  khusus organisasi  Islam  sebagai  corong  propaganda  ke  negaranegara  berpenduduk  mayoritas  muslim.  Namun  aliansi  tak  bisa  mulus.
Karena  Pemimpin  Partai  Komunis  Rusia,  Vladimir  Ilyich  Lenin,  tetap
menjaga  jarak  dengan  kekuatan  Islam.  "Tidak  boleh  melebur,  tapi  tetap
menjaga independensi karakter gerakan proletar," kata Lenin. Hingga pada
Kongres  II  Komunis  International  pada  Juli  1920,  kedua  kekuatan  pecah,
karena Komunis menilai Pan-Islam hanya memperkuat posisipara mullah.
Sikap  Komunis  Internasional  ini  mempersulit  usaha  Perhimpunan-yang
kemudian  bersalin  nama  menjadi  Partai  Komunis  Indonesia setelah
bergabung dengan Komunis Internasional-merebut pengaruh dalam Sarekat
Islam.  Hubungan  Partai  Komunis  Indonesia  dengan  Sarekat  kian  buruk
setelah  Darsono  dan  Baars  menyerang  kepemimpinan  Tjokroaminoto.  Itu
ditambah  propaganda  kelompok  anti-Partai  Komunis  dalam  Sarekat  yang
dimotori duo Agus Salim-Haji Fachrudin.
Adalah Tan Malaka yang terus berusaha merangkul kembali Sarekat Islam.
Dia  bahkan  mengkritik  Darsono  dan  Baars  yang  dianggapnya  telah
menjauhkan komunis dan Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai
Komunis juga mendukung perbaikan peraturan ibadah haji.
Ketika  pemimpin  Muhammadiyah  mengundang  Tan  berpidato  tentang
komunisme,  dengan  penuh  semangat  dia  menyanggupi.  Sayangnya,  Tan
keburu ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Hanya  tiga bulan menjabat
Ketua Partai Komunis, pada 29 Maret 1922, dari Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta, Tan kembali meninggalkan Indonesia menuju Belanda.
40
Kendati  sudah  jauh  dari  Indonesia,  Tan  tetap  mengkampanyekan  aliansi
komunis-Islam.  Dalam  Kongres  IV  Komunis  Internasional  di  Petrograd,
Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas PanIslam.  Menurut  Tan,  Pan-Islam  merupakan  perjuangan  seluruh  bangsa
muslim merebut kemerdekaan. "Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan
terhadap kapitalisme Belanda, tapi juga Inggris, Prancis, dan kapitalisme di
seluruh dunia," katanya dalam bahasa Jerman. Aplaus panjang menyambut
Tan pada saat turun panggung.
Sayang, usaha Tan gagal. Perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di
Sarekat memaksa "orang-orang kiri" keluar dari partai. Kelompok pecahan
ini  kemudian  menjadi  Sarekat  Islam  Merah,  yang  terafiliasi  dengan  Partai
Komunis.
***
Di  Partai  Komunis,  popularitas  dan  pengaruh  Tan  cepat  melesat.  Kurang
dari  setahun  sejak  dia  diperkenalkan  Sutopo,  aktivis  Budi  Utomo,  dengan
Semaun  dan  Tjokroaminoto  dalam  Kongres  Sarekat  Islam  di Yogyakarta,
Tan sudah menduduki posisi puncak Partai Komunis.
Terusir dari Indonesia pun tak membuatnya kehilanganposisi. Pada Januari
1923,  Komunis  Internasional  memilih  Tan  sebagai  pengawas  untuk
Indonesia,  Malaya,  Filipina,  Thailand,  Burma,  dan  Vietnam.  Namun,  ada
saja yang tak setuju.
Salah satunya Pieter Bergsma, pengurus Partai KomunisIndonesia. Dalam
suratnya  kepada  Semaun,  Bergsma  menyatakan  telah  berusaha  mencegah
penunjukan  Jep-panggilan  Tan.  Baik  Bergsma  maupun  Semaun
berpendapat,  Tan  terlalu  cepat  mendapat  posisi  setinggi  itu.  Begitu  juga
dengan  Alimin  dan  Musso.  Menurut  Alimin,  Komite  Eksekutif  Komunis
Internasional  tak  pernah  memberikan  mandat  veto  kepada  Tan.  "Orang
yang  benar-benar  jujur  dan  paham  cara  kerja  seorang  propagandis  bukan
orang yang suka mengklaim dirinya penting dan punya kekuasaan," Alimin
mengkritik Tan.
***
Sejak awal, perencanaan aksi pemberontakan terhadappenjajah Belanda itu
berantakan.  Keputusan  tidak  dibuat  dengan  solid.  Menurut  Djamaluddin
Tamin, rapat di Prambanan, Jawa Tengah, pada 25 Desember 1925-lah yang
memutuskan  aksi  itu.  Yang  hadir  sebelas  kamerad,  termasuk  Alimin  dan
Musso. Namun Alimin membantah ikut rapat perencanaan pemberontakan
tersebut-dia  mengatakan  tahu  rencana  itu  belakangan. Sedangkan  para
pemimpin  utama  Partai,  seperti  Semaun,  Tan,  Musso,  Darsono,  dan  Ali
Archam, ada di pengasingan atau di bui.
41
Selain  itu,  dana  cekak.  Uang  untuk  membayar  ongkos  perjalanan  kader
partai  sering  tak  ada.  Alat  propaganda  partai  seperti  koran  Api  pun
terancam semaput.
Tatkala  partai  "kurang  darah",  massa  pendukung  justru  kian  hilang  sabar,
ingin aksi secepatnya. Perintah Partai pada 5 Agustus-empat bulan sebelum
rapat Prambanan-untuk menunda pemogokan tidak digubris. Serikat buruh
di  tiga  kota,  Surabaya,  Medan,  dan  Batavia,  tetap  mogok,  dan  akhirnya
"patah" dengan cepat.
Padahal,  rencananya,  pemogokan  dilakukan  bertahap.  Surabaya  menjadi
titik  awal  pemberontakan.  Tapi,  akibat  kekalahan  di tiga  kota  itu,  mereka
tak lagi punya banyak pilihan, melawan atau ditumpas."Kami percaya, akan
lebih  terhormat  mati  dalam  perlawanan  daripada  mati  tanpa  pernah
melawan,"  ujar  Darsono.  Maka  rapat  Prambanan  pun  memutuskan
pemberontakan.
Untuk  mengatasi  kekurangan  dana,  Alimin,  yang  ketika  itu  ada  di
Singapura, diutus ke Moskow. Selain berharap restu Komunis Internasional,
mereka juga butuh duit, pasokan senjata, dan kalau perlu tentara. Sebelum
ke  Moskow,  mereka  ingin  memastikan  dukungan  Semaun  dan  Tan,  dua
wakil partai di Komunis Internasional, terhadap rencana Prambanan.
Semaun,  yang  berkantor  di  Amsterdam,  Belanda,  menolak  undangan  ke
Singapura.  Alimin  pun  berangkat  menemui  Tan  di  Filipina  pada  Januari
1926. Seperti dia perkirakan, Tan menolak rencana Prambanan. "Sikapnya
begitu dingin. Dia juga merasa dilangkahi," kata Alimin. Sebagai tanggapan,
Tan menulis Massa Actie. Dia beralasan, untuk tujuankecil, Partai Komunis
sudah  punya  cukup  kekuatan.  "Akan  tetapi,  untuk  mengadakan  satu  aksi
nasional umum, mereka betul-betul belum kuasa."
Menurut  Tan,  apa  yang  dilakukan  Partai  Komunis  baru  sebatas  putch,
gerombolan  kecil  yang  bergerak  diam-diam  dan  tak  berhubungan  dengan
rakyat. Kata Tan, "Membuat putch di negeri seperti  Indonesia (terutama di
Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapi dandilindungi militer serta
mata-mata  modern-sebaliknya,  rakyat  masih  mempercayai  yang  gaib,
takhayul,  dan  dongeng-samalah  artinya  dengan  "bermain api":  tangan
sendiri yang akan hangus."
Tapi Alimin tidak menjelaskan sikap Tan itu kepada beberapa kamerad lain
yang  berkumpul  di  Singapura.  Dia  hanya  mengatakan  Tan  terlalu  sakit
untuk  berdiskusi  dan  menolak  mendukung  rencana  Prambanan.  Dia  juga
mengatakan,  Tan  menyuruh  mereka  berangkat  sendiri  ke  Moskow.  Musso
dan  Alimin,  dua  pendukung  utama  rencana  Prambanan,  memutuskan
pemberontakan jalan terus.
42
Di  Manila,  Tan  mulai  tak  sabar  menunggu  kabar  dari  Alimin.  Ternyata,
Tanlah  yang  meminta  Alimin  mengumpulkan  seluruh  pimpinan Partai
Komunis  di  Singapura.  "Saya  tidak  berniat  melarang  pemberontakan,  tapi
cuma  mau  menyampaikan  pendapat  dan  kritik,"  ujar  Tan,  beberapa bulan
setelah pemberontakan.
Tak  kunjung  ada  kabar,  Tan  menyusul  ke  Singapura,  tapi  di  sana  hanya
bertemu  Subakat,  salah  satu  agen  partai.  Alimin  dan  Musso  sudah
berangkat  ke  Moskow.  Merasa  ditelikung,  Tan  didukung  Subakat  dan
Suprodjo, salah satu pimpinan partai, mengirim surat ke seluruh pimpinan
partai soal sikapnya.
Partai  Komunis  pun  terbelah,  sebagian  di  belakang  Tan,  yang  lain  tetap
mendukung  rencana  Prambanan.  Komunis  Internasional  yang  semula
diandalkan  pun  lepas  tangan.  Joseph  Stalin,  Sekretaris  Jenderal  Partai
Komunis  Uni  Soviet,  menolak  mendukung  pemberontakan  yang  tak
terorganisasi dan hampir pasti bakal gagal.
Secara  sporadis,  pemogokan  diikuti  sabotase  dan  perlawanan  bersenjata
tetap terjadi di Batavia, Tangerang, daerah Priangan, Solo, Pekalongan, dan
berakhir  di  Silungkang,  Sumatera  Barat.  Dimulai  pada  12  November  1926
tengah  malam  dan  padam  pada  12  Januari  1927.  Alimin  melempar
kesalahan kepada Komunis Internasional.
Sejak  itu,  Tan  Malaka  berpisah  dengan  Partai  Komunis.  Bersama  Subakat
dan  Djamaluddin  Tamin,  dia  medirikan  Partai  Republik  Indonesia  pada
Juni 1927 di Bangkok, Thailand. Tan memang sempat bertemu Alimin pada
1931 dan keduanya membicarakan pemulihan kerja sama, tapi gagal.
Tiga  puluh  tahun  kemudian,  Ketua  Partai  Komunis  Indonesia,  D.N.  Aidit,
mengatakan  sumber  kegagalan  pemberontakan  1926  antara  lain  kurang
persiapan  dan  minim  koordinasi.  "Tapi,  selain  itu,  ada  orang  seperti  Tan
Malaka,  yang  tidak  melakukan  apa  pun,  hanya  menyalahkan  setelah
perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite,
pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sangpemecah belah".
43
Peniup Suling bagi Anak Kuli Peniup Suling bagi Anak Kuli
RAPAT  para  tuan  besar  perkebunan  yang  berada  di  wilayah  perusahaan
Senembah  Mij  baru  saja  dimulai.  Tan  Malaka  mengamati  belasan  peserta
yang  hadir.  Dari  yang  hadir  itu,  ia  hanya  kenal  dua orang.  Salah  satunya
Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor  satunya di Deli.
Graf  langsung  menoleh  ke  arah  lain.  Selama  rapat,  kedua  orang  ini  kerap
beradu  pandang.  Tapi,  begitu  mata  mereka  bertemu,  Graf dengan  segera
memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan
dirinya.  Pada  saat  pemimpin  rapat  memberikan  kesempatan berbicara
kepadanya,  Tan  tak  menyia-nyiakan  kesempatan.  Tan,  yang  sudah  dua
tahun  menjadi  asisten  pengawas  sekolah  di  Deli,  memaparkan  pentingnya
pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuanpendidikan itu untuk
mempertajam  kecerdasan,  memperkukuh  kemauan,  serta  memperhalus
perasaan.
"Anak  kuli  adalah  anak  manusia  juga,"  kata  Tan  Malaka.  Dia  sengaja
mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas
perkebunan,  menganggap  sekolah  bagi  anak  kuli  cuma  membuang-buang
uang.  Sekolah,  di  benak  para  tuan  besar  itu,  bakal  membuat  anak  kuli  itu
lebih "brutal"  ketimbang  bapaknya.  Ada  kekhawatiran lain.  Pendidikan  ini
bisa  menciptakan  kader-kader  baru  Sarekat  Islam,  organisasi  yang  paling
ditakuti pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa  hari  setelah  rapat  pada  Juni  1921  itu,  Tan bertemu  Dr  Janssen,
direktur  sekolahnya.  Tan  mengajukan  permintaan  pengunduran  diri.  Dia
merasa  komplotan  tuan  perkebunan  tembakau  yang  dipimpin  Graf  sudah
sangat  mengganggu  kerjanya.  Tan  Malaka  mengakui  ada  empat  perkara
perbedaan  dirinya  dengan  para  petinggi  perkebunan  yang  membuat  ia
menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan
bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli;
serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuliperkebunan.
Tan  melihat  sumber  semua  perbedaan  itu  dari  kacamata  Marxisme,  yakni
konflik  antara  kaum  kapitalis  dan  proletar.  Dia  menyebutnya  sebagai
pertentangan  antara  "Belanda-Kapitalis-Penjajah"  dan  "Indonesia-KuliJajahan". Janssen tidak mencegah keinginan Tan untukmundur, karena dia
juga  akan  kembali  ke  Nederland.  Dia  meminta  kantor  membayar  gaji  Tan
Malaka  untuk  dua  bulan  dan  menyediakan  karcis  kapal  laut  kelas  satu  ke
Jawa.
44
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk
menjadi  pengawas  sekolah  di  Deli.  Tan,  yang  kala  itu sedang  menempuh
sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang
menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Delimerupakan keluarga
kuli  kontrak  perkebunan,  pertambangan  minyak,  dan  pengangkutan.
"Mereka  keluarga  proletaris  tulen,  dan  Deli  merupakan  daerah  proletaria
yang sesungguhnya," kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas
di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari
Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama  di  Deli,  Tan  sering  berbincang-bincang  dengan siswanya  dan
mengunjungi  rumah  mereka.  Ini  berbeda  dengan  Tuan  W,  yang  cuma
datang  ke  sekolah  naik  mobil  dinasnya.  Tan  ingin  mengetahui  tabiat,
kemauan,  dan  kecondongan  hati  masing-masing  anak.  Dari  semua
informasi  yang  diperolehnya,  ujar  Tan,  diperlukan  satu  pusat  sebagai
sekolah percontohan.
Selain  mengurus  pendidikan,  Tan  Malaka  juga  menampung  keluh-kesah
para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai
peraturan  kontrak  yang  tak  bisa  dipahami.  Tan  melihat  para  kuli  itu
terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus "hawa nafsu jahat"
permainan  judi.  Kisah  kuli  kontrak  ini  mewarnai  artikel  Tan  Malaka  yang
tersebar  di  surat  kabar  Liberal,  Medan,  dan  Sumatera Post,  yang  kerap
membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan
bergerak  di  sektor  pendidikan.  Menurut  dia,  "Kemerdekaan  rakyat  hanya
bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan." Ini semua, kata Tan, untuk
menghadapi  kekuasaan  pemilik  modal  yang  berdiri  atas  pendidikan  yang
berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam
di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu  HOS Tjokroaminoto,
Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala
itu  organisasi  ini  sedang  dilanda  perpecahan,  antara  faksi  Islam  dan
komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono
lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. "Kehadirannya
menguntungkan  bagi  gerakan  rakyat  revolusioner  di  Indonesia,"  ujar
Semaun  dalam  buku  Sewindu  Hilangnya  Tan  Malaka.  Saat  itu  keduanya
sepakat  membangun  sekolah  rakyat  bagi  calon  pemimpin  revolusioner.
Sarekat  Islam  memberikan  gedung  dan  fasilitas  pendidikan  lainnya.  Tan
45
Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagikebutuhan dan jiwa
"rakyat Murba", sebutan Tan untuk kaum proletar.
Dalam  brosur  bertajuk  "SI  Semarang  dan  Onderwijs",  Tan  Malaka
menguraikan  dasar  dan  tujuan  pendidikan  kerakyatan.  Pertama,  perlunya
pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan sepertiberhitung, menulis,
ilmu  bumi,  dan  bahasa.  Hal  ini  sebagai  bekal  dalam  menghadapi  kaum
pemilik  modal.  Kedua,  pendidikan  bergaul  atau  berorganisasi  dan
berdemokrasi.  Ini  untuk  mengembangkan  kepribadian  yang  tangguh,
kepercayaan  pada  diri  sendiri,  harga  diri,  dan  cinta  kepada  rakyat  miskin.
Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi kebawah.
Tan  Malaka  menegaskan,  sekolahnya  bukan  mencetak  juru  tulis  seperti
tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga,
sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut  Harry  A.  Poeze,  inspirasi  mendirikan  sekolah rakyat  ini  berasal
dari  Belanda  dan  Rusia.  Tan  Malaka,  katanya,  sempat  membaca  tulisan
warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata
Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli.
"Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia," kata
Poeze.
Hari  pertama  pembukaan  "sekolah  Tan",  ada  lima  puluh  siswa  datang
mendaftar.  Sekolah  ini  kemudian  menggelar  upacara  penerimaan  siswa
baru  yang  dihadiri  orang  tua  dan  pengurus  Sarekat  Islam  Semarang.  Dua
anak  berusia  14  tahun  tampil  ke  depan  mengucapkan  janji  murid  dan
meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelanamerah kemudian
melakukan defile sembari menyanyikan lagu internasional.
Penonton  bertepuk  tangan  menyaksikan  upacara  ini.  Banyak  yang
menitikkan  air  mata  karena  acara  ini  baru  pertama  kali dilakukan  di
lingkungan Sarekat Islam. "Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal
pahlawan," kata Tan. Siswa baru terus berdatangan,  hingga terkumpul 200
orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk
mencetak  guru.  Peserta  kursus  adalah  murid  kelas  5  dan  guru  yang  ada
untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah
rakyat  di  Semarang  segera  menyebar  ke  sejumlah  daerah. Beberapa  kota
besar  di  Jawa  mengajukan  tawaran  mendirikan  sekolah  sejenis  di
daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikansekolah rakyat,
setelah  seorang  kader  Sarekat  Islam  mendermakan  uangnya.  Di  Kota
Kembang  itu  300  siswa  baru  mendaftar.  Tahun-tahun  berikutnya  sekolah
46
rakyat  semakin  banyak.  Apalagi  setelah  alumni  sekolah rakyat  Semarang
bertebaran  di  kota-kota  besar  Jawa.  Menurut  Tan,  para  murid,  dengan
celana  merah  dan  lagu  internasionalnya,  laksana  ahli peniup  suling  Kota
Hermelin.  Inilah  dongeng  yang  mengisahkan  seorang  peniup  suling  yang
mampu  menyihir  hewan  dan  anak-anak  dengan  serulingnya, sehingga
mereka terus mengikuti sang peniup seruling.
Encyclopaedie  van  ned  oostindie  VI  suplement  menulis, sekolah  rakyat
model  Tan  Malaka  ini  lantas  bermunculan.  "Di  antara  pekerjaan  murid
termasuk  juga  pembentukan  barisan  (Barisan  Muda,  Sarikat  Pemuda,
Kepanduan)  satu  dan  lainnya  cocok  dengan  sistem  Komintern."
Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis
yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang,  Tan  Malaka  tidak  menyaksikan  kemajuan  sekolah rakyat  yang
dibangunnya.  Pada  2  Maret  1922,  pemerintah  kolonial  Belanda
menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan
minyak.  Para  buruh  tersebut  tergabung  dalam  Vaksentral-Revolusioner,
tempat  Tan  menjadi  wakil  ketua.  Pencipta  "sang  peniup suling"  ini  pun
dibuang ke Nederland.
47
Bertemu Para Bolsyewik Tua Bertemu Para Bolsyewik Tua
BAGI  aktivis  komunis  1920-an,  Vladimir  Lenin,  Josep  Stalin,  dan  Leon
Trotsky  bukanlah  nama  biasa.  Mereka  "dewa"  komunisme  yang
menggerakkan  kaum  revolusioner  dunia  dari  Moskow.  Tan Malaka
beruntung bisa bertemu dengan mereka.
Komunis  muda  van  Hindia  ini  tiba  di  Moskow  pada  Oktober  1922,  dari
Jerman.  Dia  sering  mengunjungi  pabrik,  berkenalan  dengan  para  buruh,
dan  cepat  akrab  dengan  para  Bolsyewik  di  Negeri  Beruang  Merah  itu.
Kamarnya,  di  salah  satu  bekas  hotel  di  Moskow,  menjadi  tempat  singgah
para pemuda dan pelajar.
Ketika  Komunis  Internasional  (Komintern)  sibuk  mempersiapkan  kongres
keempat, Tan-yang melapor sebagai wakil Indonesia-diajak ikut rapat-rapat
persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak
suara.
Kongres  Komintern  ke-4  akhirnya  berlangsung  pada  5  November-5
Desember 1922. Di sini Tan bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia,
termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.
Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit.
Giliran  Tan  jatuh  pada  hari  ketujuh.  Di  sanalah,  dalam  bahasa  Jerman
patah-patah,  dia  menyampaikan  gagasan  revolusioner  tentang  kerja  sama
antara komunis dan Islam.
Kata  Tan,  komunis  tak  boleh  mengabaikan  kenyataan  bahwa  saat  itu  ada
250  juta  muslim  di  dunia.  Pan-Islamisme  sedang  berjuang melawan
imperialisme-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.
Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan
ada di tangan petinggi partai, para Bolsyewik tua. Karena itu, di akhir pidato
dia  berkata,  "Maka  dari  itu  saya  bertanya  sekali  lagi,  haruskah  kita
mendukung Pan-Islamisme?"
Tan  berbicara  lebih  dari  lima  menit.  Mungkin  karena  pidatonya  yang
membangkitkan  semangat,  diselingi  sedikit  humor,  ketua sidang  cuma
mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus berpidato.
"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah
telah  memberi  ovasi  padanya,"  tulis  Gerard  Vanter  untuk  harian  De
Tribune.  "Itu  merupakan  suatu  pujian  bagi  kawan-kawan  kita  di  Hindia
yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam."
48
Esoknya,  giliran  Lenin  angkat  bicara.  Ruang  pertemuan  penuh  sesak.
Datang  terlambat,  Tan  naik  ke  panggung  dan  duduk  di tepinya,  berharap
bisa  mendengarkan  Lenin  dari  dekat.  Tapi,  sebelum  Lenin  tiba,  panggung
"disterilkan".
Seorang  pengawal  Lenin  menarik  tangan  Tan  sangat  keras,  sehingga  ia
terjerembap.  Toh,  menurut  Harry  Poeze,  dalam  bukunya, Tan  Malaka,
Pergulatan  Menuju  Republik  jilid  I,  Tan  tetap  terkagum-kagum  mengikuti
pidato Lenin.
Gagasan Tan mendapat dukungan penuh delegasi Asia. Tapi kenyataan itu
tak  terlalu  disukai  oleh  Karl  Radek,  pemimpin  Komintern  yang
membawahkan urusan Asia.
Setelah  Kongres  usai  dan  para  utusan  kembali  ke  negeri  masing-masing,
Tan  bingung  harus  ke  mana.  Dia  tak  ingin  kembali  ke  Belanda.  Balik  ke
Indonesia pun tak mungkin.
Tan  sempat  meminta  Komintern  menyekolahkan  dia,  tapi  ditolak.  "Belum
terbuka  kursi  profesor  buat  Saudara,"  ujar  seorang  temannya,  mengolokolok.
Untuk  mengisi  waktu  luang,  Radek  meminta  dia  menulis  sebuah  buku.
Bahan-bahan  untuk  menulis  dipesankan  dari  Belanda.  Tan  dibebaskan
menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia.
"Saya  pusatkan  saja  isi  dan  corak  buku  itu  kepada  sejarah  dan  statistik,"
tulis Tan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Buku itu akhirnya terbit
pada  1924,  dengan  judul  Indonezija;  ejo  mesto  na  proboezdajoesjtsjemsja
Vostoke atawa Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit.
Pemerintah Rusia  mencetak  lagi  buku  itu  sebanyak  5.000  eksemplar  pada
1925. Tapi Tan tak sempat menunggu "kelahiran" buku yang dia tulis dalam
bahasa  Rusia  itu.  Pada  akhir  1923,  dia  sudah  berada di  Kanton,  Cina,
sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur.
49
Dukungan untuk Pan Dukungan untuk Pan- -- -Islamisme Islamisme Islamisme
DI  Kongres  Komunis  Internasional  ke-4,  Tan  Malaka  menganjurkan
kerja  sama  dengan  kaum  muslim  dunia  melawan  kapitalisme.
Gagasannya  tak  didukung,  tapi  pidatonya  mendapat  tepukan
gemuruh peserta kongres. Petikannya:
....  Pan  Islamisme  punya  sejarah  panjang.  Pertama  saya  ingin
bercerita  tentang  pengalaman  kami  bekerja  sama  dengan  kelompok
muslim  di  Hindia.  Di  Jawa  kami  memiliki  sebuah  organisasi
beranggotakan  buruh-buruh  miskin,  Sarekat  Islam,  yang  pada  1912-1916 memiliki satu juga anggota-mungkin juga tiga atau empat juta.
Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar danmuncul secara
spontan.
Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu
anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di  dalam. Pada
1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program
kami.  Perkumpulan  Islam  itu  mendorong  masyarakat  desa
mengambil  alih  kendali  perusahaan-perusahaan.  Semboyannya:
petani  miskin  menguasai  semuanya,  proletar  menguasai  segalanya!
Jadi  SI  telah  melakukan  propaganda  yang  sama  dengan Partai
Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.
Tapi karena ada kritik yang tak mengenakkan para pimpinan SI, pada
1921 terjadi perpecahan. Perpecahan ini dan hasil Kongres Komintern
Kedua:  berjuang  melawan  Pan-Islamisme,  kemudian  dimanfaatkan
oleh pemerintah. Apa yang mereka katakan kepada kaum tani muslim
yang  sederhana?  Mereka  bilang:  Lihat,  Komunis  tidak hanya
memecah-belah,  mereka  juga  ingin  merusak  agama  kalian!  Itu  luar
biasa  bagi  para  petani.  Mereka  kemudian  berpikir:  Saya  telah
kehilangan  segalanya  di  dunia,  apakah  saya  juga  harus  kehilangan
surga?  Jangan  sampai  itu  terjadi!  Beginilah  cara  orang  muslim
sederhana berpikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen
pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami.
[Ketua  sidang:  "Waktu  Anda  selesai."]  Saya  datang  dari  Hindia,  40
hari di perjalanan [tepuk tangan hadirin].
SI  meyakini  propaganda  kami  atau,  peribahasanya,  tetap  bersama
kami  dalam  perut  mereka,  meski  dalam  hatinya  mereka tetap  SI
dengan  surganya.  Tapi  karena  kami  tak  mampu  memberi mereka
50
surga, mereka kemudian memboikot pertemuan-pertemuan kami dan
kami tidak bisa lagi berpropaganda.
Mulai  awal  tahun  lalu  kami  membangun  kembali  hubungan  dengan
SI.  Dalam  kongres  di  bulan  Desember  tahun  lalu  kami mengatakan
bahwa kaum muslim yang ikut dalam kaukus dan di negara lain yang
bekerja  sama  dengan  Soviet  melawan  kapitalisme  sangat  paham
agama  kalian.  Kami  juga  mengatakan,  jika  mereka  ingin
mempropagandakan  agama  mereka,  silakan,  tapi  tolong lakukan  itu
di masjid, bukan di ruang-ruang sidang.
Dalam sebuah dengar pendapat kami pernah ditanyai: Apakah kalian
muslim-ya  atau  tidak?  Kalian  percaya  Tuhan-  ya  atau tidak?
Bagaimana  kami  menjawabnya?  Ya,  jawab  saya,  ketika  menghadap
Tuhan  saya  seorang  muslim,  tapi  manakala  berhadapan dengan
manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak
setan  di  antara  manusia!  Jadi  kami  mengalahkan  pimpinan  mereka
dengan Quran di tangan. Dan dalam kongres tahun lalu, melalui para
anggota  mereka,  kami  memaksa  para  pemimpin  SI  untuk bekerja
sama lagi.
Ketika  sebuah  mogok  massal  pecah  pada  Maret  tahun  lalu,  pekerja
muslim membutuhkan kami karena orang kami yang memimpin para
buruh  kereta.  Pimpinan  SI  bilang:  Kalau  kalian  ingin  bekerja  sama
dengan  kami,  maka  bantulah  kami.  Tapi  ini  tidak  menyelesaikan
masalah.  Jika  nanti  kami  kembali  pecah,  pemerintah  pasti  akan
kembali  menggunakan  isu  Pan-Islamisme.  Karena  itu,  soal  PanIslamisme harus segera diputuskan.
51
Tan Vs Pemberontakan 1926 Tan Vs Pemberontakan 1926- -- -1927 1927 1927
Mestika Zed
Sejarawan Universitas Negeri Padang
DI  pagi  buta  yang  becek,  awal  1927,  kaum  pemberontak  di
Silungkang,  Sumatera  Barat,  akhirnya  mengikuti  jejak  rekan-rekan
mereka  di  Banten,  yang  meletuskan  pemberontakan  pada
pertengahan  November  1926.  Mereka  menyerang  kedudukan
pemerintah.
Sasaran  utama  adalah  menangkap  dan  membunuh  pejabat
pemerintah,  pejabat  pribumi,  dan  kulit  putih.  Mereka  merusak
sejumlah  instalasi  publik,  seperti  stasiun  dan  kantor  pos.  Juga
berencana  membakar  instalasi  tambang  batu  bara  dan  menyerang
semua simbol rezim kolonial di kota itu.
Gerakan  pemberontak  itu  dapat  dipatahkan.  Hanya  sebagian  kecil
sasaran  yang  terpenuhi.  Selebihnya  menyisakan  prahara
berkepanjangan.  Sampai  12  Januari  1927,  lebih  dari  1.300  orang
ditangkap.  Ratusan  bom  dan  senjata  api  disita.  Kebanyakan  mereka
dibuang  ke  luar  Sumatera  Barat,  termasuk  ke  Digul.  Ada  pula  yang
dihukum gantung.
Pemberontakan  yang  gagal  di  dua  tempat  (Banten  dan  Sumatera
Barat)  pada  1926-1927  itu  cukup  mengguncang  rezim  kolonial  di
Batavia.  Mereka  pun  memburu  pemimpin  PKI  dan  onderbouw-nya,
juga  kaum  pergerakan  secara  keseluruhan.  Sejak  itu  penguasa
kolonial  bertindak  bengis  dan  makin  represif.  Setiap  anasir
pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau
bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses iniberjalan sampai
akhir 1930-an.
Orang-orang  PKI  menuduh  Tan  Malaka  sebagai  biang  penyebab
kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai,
Trotsky-nya  Indonesia.  Padahal,  sejak  semula  Tan  bukan  saja  tak
setuju,  melainkan  juga  berupaya  mencegah  rencana  pemberontakan
yang  dirancang  oleh  kelompok  Prambanan  itu.  Kelompok  ini  terdiri
atas  tokoh  terkemuka  PKI  seperti  Semaun  (1899-1971),  Alimin
Prawirodirdjo  (1889-1964),  Musso  (1897-1948),  dan  Darsono  (1897-?),  yang  mendeklarasikan  rencana  pemberontakan  di  Prambanan,
Solo, awal 1926.
52
Sebagai  pemikir  yang  cemerlang  dan  otentik  sejak  masa  mudanya,
Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka  memiliki  cukup  alasan  mengapa
pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah
bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masihdiperlukan
pembenahan  organisasi  partai  guna  menggalang  basis  massa  yang
kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.
Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan
untuk  sementara  waktu  pemimpin-pemimpin  gerakan  memperkuat
organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi "pemanasan" dan agitasi di
tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada
Alimin dan kawan-kawannya.
Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis
pandangannya  lewat  sebuah  risalah  bertajuk  Massa-Actie  (1926,
terbit  ulang  1947).  Dalam  buku  kecil  itu  ia  menampik  rencana
kelompok  Prambanan  seraya  menyimpulkan  bahwa  rencana
pemberontakan  itu  merupakan  tindakan  blunder  yang  bisa  menjadi
bumerang  terhadap  partai  sendiri,  bahkan  juga  terhadap  semua
partai  nasionalis.  Nyatanya  memang  demikian.  PKI,  yang  didirikan
pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau
dibuang ke Digul.
Kondisi  ekonomi  Hindia  Belanda  saat  itu  juga  sedang membaik.
Buruh  cukup  mudah  mendapat  pekerjaan,  sebagian  pemuda
mendapat kesempatan mempelajari bahasa  Belanda  dan  menduduki
kursi  yang  agak  empuk  sebagai  juru  tulis.  Pelengah  hidup  seperti
bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda
dengan  1942-1945,  ketika  sebagian  besar  pabrik  gula tutup,  kebunkebun  binasa,  mesin  pabrik  mati,  rakyat  tenggelam  dalam
penderitaan  romusha  Jepang.  Pendek  kata,  gagasan  pemberontakan
di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku.
Namun  kegagalan  pemberontakan  itu  tak  lantas  membuat  Tan
memikirkan  diri  dan  partainya  sendiri.  Baginya  justru  jauh  lebih
penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini
antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut.
Pertama, selepas dari  penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir
ke  luar  Indonesia,  ia  sudah  menjadi  aktivis  komunis yang  tak  kenal
lelah  "menjual"  gagasannya  memperjuangkan  kemerdekaan
Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang
53
tak  dijejakinya.  Ia  juga  pergi  ke  Moskow,  jantung  komunisme.  Ia
hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar
polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secaradiam-diam pada
zaman Jepang (1942).
Kedua,  baginya  partai  hanyalah  alat  untuk  mencapai  perjuangan,
yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas  pemberontakan
yang  gagal  itu,  Tan  Malaka  keluar  dari  PKI  dan  mendirikan  Partai
Republik  Indonesia  (Pari)  di  perantauan  Bangkok  pada  1927.  Pari
kemudian  mati  suri.  Pada  masa  perang  kemerdekaan  (1947),  ia
mendirikan  Partai  Murba.  Alasan  keluar  dari  PKI  lalu  mendirikan
Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan
separtainya yang lama.
Di  lain  pihak  ia  menentang  kebijakan  Komunis  Internasional
(Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak  lebih peduli
memanfaatkan  Komintern  bagi  kepentingan  "hegemoni"
internasional  Uni  Soviet  ketimbang  kepentingan  perjuangan  kaum
nasionalis  di  daerah-daerah  jajahan.  Komintern  bahkan  juga
cenderung  mencurigai  Pan  Islamisme  sebagai  pesaing
internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka.
Maka  jelas  kelihatan  bahwa  warna  nasionalisme  dalam diri  Tan
Malaka  jauh  lebih  kental  daripada  fanatisme  terhadap  ideologi
(komunisme).  Kedekatannya  dengan  kelompok  Islam  sebagian
karena  pola  asuhan  masa  kecilnya  sebagai  orang  Minang;  sebagian
lain,  karena  memang  kelompok  Islamlah  yang  lebih  diandalkannya
sebagai  mitra  pergerakan  ketimbang  kelompok  nasionalis  sekuler
yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis.
Ketiga,  Tan  Malaka  dianggap  sebagai  satu  dari  tiga  tokoh  nasionalis
yang  pertama-tama  menuangkan  konsepsi  tentang  konstruksi
masyarakat  bangsa  yang  dibayangkan  (the  imagined  community)  di
masa  depan.  Lewat  sebuah  risalah  berjudul  Naar  de  Republiek
Indonesia  (Kanton,  1925)  ia  sudah  membentangkan  betapa
pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.
"Ini  harus  kita  cegah,"  tulisnya.  "Akan  tetapi  tidak  dengan  [cara]
memberi  khotbah  tentang  hikmah-hikmah  yang  kosong.  Hanya  satu
program  yang  benar-benar  ingin  memajukan  kepentingankepentingan  materiil  dari  seluruh  rakyat  dan  dilaksanakan  secara
jujur,  yang  dapat  membentuk  solidaritas  nasional,  suatu  solidaritas
54
yang  tidak  hanya  menggulingkan  imperialisme,  tetapi juga  dapat
menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya..."(halaman 26,
28).
Meskipun  tak  menyembunyikan  pendirian  Marxisnya,  Tan  Malaka
memilih  mengabdikan  diri  dan  intelektualitasnya  sebagai  nasionalis
sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu.
Pemikirannya  lebih  dini  juga  lebih  radikal  daripada Mohammad
Hatta  yang  menulis  Indonesia  Vrije  (Indonesia  Merdeka)  sebagai
pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian
juga  Soekarno  yang  menulis  MIM  (Menuju  Indonesia  Merdeka,
1933).
Dalam  pemikiran  ketiga  tokoh  ini,  gambaran  tentang  masa  depan
Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang
masih  memerlukan  penyempurnaan  sampai  "cetak-biru"  Indonesia
Merdeka  dapat  dirumuskan,  yaitu  Pancasila  dan  Pembukaan  UUD
1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu,
sebab  "aksi  untuk  mencapai  kemerdekaan  nasional  ini,"  tulis  Tan
dalam Naar de Republiek Indonesia, "akan  berlangsung lama, tetapi
pasti membawa kemenangan (1925: 65).
Sayangnya,  Tan  Malaka  tak  sempat  melihat  tahap  akhir  perjuangan
kemerdekaan,  karena  ia  tewas  secara  tragis.  Ironis, karena  setelah
malang-melintang  menghabiskan  sebagian  besar  hidupnya  untuk
memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu "dihujat dan
dilupakan" oleh bangsanya sendiri.
55
Gerilya di Tanah Sun Man Gerilya di Tanah Sun Man
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923.
Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun
Puyi,  The  Last  Emperor,  praktis  hanya  "boneka".  Negeri  itu  larut  dalam
tarik-menarik  antara  kekuatan  Asing-terutama  Inggris, Amerika,  serta
Jepang-dan  para  nasionalis  yang  menginginkan  berdirinya  Republik  Cina
merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini
Guangzhou-kota  di  selatan  Cina  yang  padat.  Penduduknya  dua  juta.  Toh,
bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cumaada tiga jalan utama,
satu  kantor  pos,  perusahaan  listrik,  dan  sebuah  pabrik  semen  yang
cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton
istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina.  Sun Yat-sen atau Sun
Man,  pemimpin  Kuomintang  yang  pada  1912  mendeklarasikan  Republik
Cina, tinggal di kota ini.
Tak  lama  setelah  menetap,  Tan  mengunjungi  dokter  Sun,  diantar  ketua
partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina Selatan
itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di sana,
Tan  juga  bertemu  dengan  anaknya,  dokter  Sun  Po,  dan  rekan
seperjuangannya, Wang Chin Way.
"Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja," tulis Tan
dalam  memoarnya,  Dari  Penjara  ke  Penjara,  mengenang  pertemuan  itu.
"Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa." Dia
begitu girang.
Mereka membicarakan banyak hal. Sun Man, misalnya, menyarankan agar
Indonesia  bekerja  sama  dengan  Jepang  melawan  Belanda. Tapi  Tan  tak
yakin pejuang Indonesia bisa bekerja sama dengan imperialis Jepang.
Demikianlah,  setiap  hari  dia  bepergian  untuk  membina hubungan  dengan
para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Hingga pada
Juni 1924 Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada konferensi
Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu.
Dari  Indonesia  datang  Alimin  dan  Budisutjitro.  Konferensi  enam  hari  ini
hendak menggalang "gerakan" para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan
Pasifik.  Tan  memimpin  rapat  pada  hari  kedua.  Seharusnya  Sun  Man
memberikan pidato pembukaan, tapi batal.
Pada  hari  terakhir,  Tan  didaulat  menjadi  Ketua  Organisasi  Buruh  Lalu
Lintas  Biro  Kanton  yang  baru  didirikan.  Tugas  pertamanya  menerbitkan
56
majalah "merah" bagi para pelaut. Ini membuatnya pusing. Di samping sulit
mencari  percetakan  yang  memiliki  koleksi  lengkap  huruf latin,  Tan  masih
harus belajar bahasa Inggris.
Alhasil, The Dawn baru terbit beberapa bulan kemudian. Cetakannya sangat
jelek.  Karena  kekurangan  huruf,  huruf  kapital  bisa  muncul  di  mana  saja.
Kata  "Pacific",  misalnya,  tercetak  sebagai  "PacifiC".  Menyusul  penerbitan
majalah  ini,  Tan  mencetak  sebuah  buku  tipis  berjudul  Naar  de  Republiek
Indonesia.  Ini  buku  pertama  yang  menggagas  sebuah  negara  merdeka
bernama Republik Indonesia.
Kerja berat serta suhu Kanton yang teramat dingin membuat sakit paru Tan
kambuh.  Dia  mengunjungi  dokter  Lee.  Mengira  Tan  terkena  tuberkulosis,
dokter  memberikan  "suntikan  emas"-  terapi  paling  modern  saat  itu.  Tan
malah pingsan. Untunglah, setelah diinjeksi penawar racun, ia segera sadar.
"Kami sangka Tuan sudah meninggal," kata dokter itu.
Tan lalu menemui dokter Rummel, orang Jerman yang telah lama membuka
praktek  di  Kanton.  Kali  ini  diagnosisnya  physical  breakdown,  kecapaian.
"Sebaiknyalah  Tuan  pergi  tinggal  di  tropik,  di  negeri  panas,  beristirahat,"
katanya.
Mendengar nasihat dokter, pikiran Tan langsung tertuju ke Jawa. Perasaan
rindu  Tanah  Air  pun  muncul.  Maka,  pada  29  Agustus  1924,  dia  bersurat
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock,  minta izin pulang ke
Jawa.  Dia  juga  berkirim  kabar  ke  Moskow  dalam  surat  tertanggal  24
September.  "Mungkin  beberapa  hari  mendatang  saya  akan  ke  berlibur
seminggu ke Makau untuk kesehatan saya," tulisnya dengan nama samaran
Hassan.
Permohonannya  ditolak  Gubernur  Jenderal  Fock.  Tapi  ketika  itu,  dengan
nama Elias Fuentes, Tan sudah menyusup ke Filipina untuk mendapatkan
hawa yang lebih segar. Tak sampai dua tahun, dia ditangkap polisi Filipina
yang  berada  di  bawah  "genggaman"  intel  Amerika,  Belanda,  dan  Inggris.
Pada Agustus 1927, Tan kembali ke Tiongkok sebagai orang buangan.
Turun di Amoy, kini Xiemen, Tan berkelana ke tempat-tempat lain. Ketika
angkatan  bersenjata  Kwangtung,  Cap  Kau  Loo  Kun  atawa  Tentara  Ke-19,
bentrok  dengan  tentara  Jepang  di  Shanghai  pada  1932,  dia  ada  di  sana.
Sebenarnya  pasukan  ini  datang  untuk  membebaskan  Hu  Han  Min  yang
ditangkap  Chiang  Kai-shek.  Dua  orang  penting  Kuomintang  ini  bertikai
sejak Sun Man meninggal pada 1925. Namun, ketika Tentara Ke-19 tiba, Hu
sudah  dibebaskan.  Mereka  pun  menyerbu  markas  Jepang  di  Szu  Chuan
Road, Yang Tzepoo.
57
Shanghai kacau-balau. Menggunakan nama Ong Song Lee,Tan menyingkir
ke  Hong  Kong.  Kejadian  di  Filipina  berulang,  polisi Hong  Kong
menangkapnya.  Untunglah  Inspektur  Murphy,  pemimpin  polisi  Inggris  di
daerah koloni itu, tak mau menyerahkan Tan kepada polisi Belanda.
Setelah lebih dari dua bulan menahannya di penjara,  Murphy memutuskan
membuang  Tan  ke  Shanghai.  Tapi,  di  Pelabuhan  Amoy,  Tan  berhasil
mengecoh polisi Hong Kong yang diam-diam mengawalnya dan meloloskan
diri ke darat.
Tinggal di kota pulau itu, penyakit Tan kambuh. Sinse Choa, tabib lokal di
Desa Chia-be, memberinya dua jenis ramuan untuk dimasak bersama bebek
dan  penyu.  Mula-mula  Tan  harus  menghabiskan  enam  ekor  bebek  yang
digodok dengan ramuan, seminggu satu. Setelah itu, makan satu-dua ekor
penyu,  juga  digodok  bersama  ramuan.  Ajaib,  sakit  yang 10  tahun  terakhir
merongrongnya  perlahan-lahan  hilang.  "Makanan  mulai  mudah
dihancurkan  dan  tidur  mulai  nyenyak!  Inilah  rasanya  pangkal  kesehatan,"
tulis Tan di buku Dari Penjara ke Penjara.
Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Namun
dia akhirnya harus meninggalkan Tiongkok untuk selamanya ketika Jepang
menyerang Amoy pada 1937. Menggunakan nama Tan Min Siong, seorang
Tionghoa terpelajar, dia berlayar menuju Rangoon, Burma.
58
Penggagas Awal Republik Ind Penggagas Awal Republik Indonesia onesia onesia
BERKELANA  sebagai  orang  buangan  di  saat  rekan-rekannya  di  Tanah  Air
berjuang  melawan  imperialis  membuat  Ibrahim  Datuk  Tan  Malaka
nelangsa.  Ia  kian  kesal  ketika  permohonannya  untuk  kembali  ke  Jawa
ditolak  Gubernur  Jenderal  Hindia  Belanda  Dick  Fock. Padahal
keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun
menulis  sebuah  brosur  panjang:  Naar  de  Republiek  Indonesia  (Menuju
Republik  Indonesia).  Dalam  kata  pengantar,  dia  menulis:  "Jiwa  saya  dari
sini  dapat  menghubungi  golongan  terpelajar  (intelektuil)  dari  penduduk
Indonesia dengan buku ini sebagai alat."
Naar  de  Republiek  terbit  di  Kanton  pada  April  1925. Tak  jelas  berapa
eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil
masuk  ke  Indonesia.  Tan  kembali  mencetak  tulisan  panjang  itu  ketika  dia
berada  di  Filipina  pada  Desember  1925.  Cetakan  kedua  inilah  yang
kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Para  pemuda  bahkan  mengetik  ulang  buku  ini-setiap  kali  dengan  karbon
rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin
Klub  Debat  Bandung,  membaca  buku  Tan.  "Bung  Karno  selalu
membawanya,"  kata  Sayuti  Melik,  seperti  dikutip  Hadidjojo  Nitimihardjo
dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik
dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia.
Pada  subbab  terakhir,  "Halilintar  Membersihkan  Udara",  Tan  mengecam
kaum  terpelajar  Indonesia  yang,  menurut  dia,  masa  bodoh  dengan
perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: "Kepada kaum intelek kita seruhkan....
Tak  terdengarkah  olehmu,  teriakan  massa  Indonesia  untuk  kemerdekaan
yang senantiasa menjadi semakin keras?"
Bukan  cuma  Soekarno  yang  selalu  membawa-bawa  Naar  ke  mana-mana,
Muhammad  Yamin  juga  memuja  Tan.  Bagi  Yamin-yang  kemudian
bergabung  dengan  Tan  dalam  kelompok  Persatuan  Perjuangan-Tan  tak
ubahnya  Bapak  Bangsa  Amerika  Serikat,  Thomas  Jefferson  dan  George
Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.
59
No Le Toqueis, Jawa! No Le Toqueis, Jawa!
"  ....  Jadi  bukakan  pintu  dan  jendela  supaya  penganjur  masuk  dari  luar!"
Manuel Quezon berseru-seru.
WAJAH  Quezon  langsung  sumringah  bila  berbicara  tentang  Tan  Malaka.
Dalam  Apa  dan  Siapa  Tan  Malaka,  Muhammad  Yamin  mencatat  betapa
bekas  ketua  senat  dan  presiden  Filipina  itu  tersenyum  lebar  ketika
menyebut  Tan,  seorang  kawan  lama  yang  memanggil  negeri  pinoy  itu
dengan nama intim: Indonesia Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin
segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka,
Jose  Rizal,  dieksekusi  pada  1896.  Saat  Tan  ke  sana, dua  dekade  sudah
berlalu  sejak  Spanyol  kalah  perang.  Ratusan  ribu  hingga  satu  juta  orang
Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan
julukan berbau rasis, "saudara kecil kita yang berkulit cokelat".
Sepanjang  1925-1927,  Tan  tiga  kali  mondar-mandir  ke  Manila.  Paspornya
berganti-ganti:  Hasan  Gozali,  Elias  Fuentes,  Estahislau  Rivera,  Howard
Law, atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di
teman-teman yang menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial
yang eksil dari Hindia Belanda.
Tan  sendiri  awalnya  hanya  ingin  tetirah,  istirahat  dari  kesibukan
mendirikan  organisasi  Komintern  (Komunis  Internasional)  biro  Kanton.
Lagi  pula,  hawa  Kanton  yang  super  dingin  tak  cocok  bagi  paru-parunya.
Tapi  Filipina  selalu  istimewa  di  dalam  hatinya.  Inilah  satu  simpul  dari
pertautan Aslia, singkatan dari Annam (Vietnam), Siam (Thailand), Burma,
Filipina, Malaka (Malaysia-Singapura), dan Australia Utara. Sudah lama ia
percaya negeri-negeri yang berpaut sejarah sejak 5.000 tahun lalu ini mesti
bangkit  dari  kolonialisme  dan  bergabung  di  bawah  Federasi  Republik
Indonesia. Gagasan itu dituangkan dalam naskah buku  berjudul Aslia, yang
ditulis  bersamaan  dengan  Madilog,  hampir  dua  dekade  setelah  ia  ke
Filipina. Sayang, naskahnya tak ditemukan hingga sekarang.
Dalam  biografi  Dari  Penjara  ke  Penjara,  Tan  mengatakan  belajar  bahasa
Tagalog dari Nona Carmen, putri bekas pemberontak Filipina, yang bersama
ibunya  mengelola  sebuah  asrama  Filipina  di  Kanton.  Di asrama  ini  ia
berkenalan  dengan  Mariano  Santos,  dosen  Filipina  yang  bersimpati  pada
kemerdekaan  Indonesia.  Lewat  Apolinario,  kakak  Mariano  yang  punya
posisi  tinggi  di  Manila  University,  Tan  mendapat  tumpangan  pertama.
Darinya  pula  Tan  mengenal  Francisco  Verona,  seorang  pemimpin  serikat
buruh,  dan  mulai  menulis  teratur  di  harian  yang  dipimpin  Verona,  El
Debate.
60
Tan  kemudian  banyak  bergaul  dengan  kalangan  serikat  buruh,  wartawan,
dan  kaum  nasionalis.  Partai  Komunis  Filipina  memang  belum  terbentuk
hingga  1930,  tapi  Harry  Poeze  dalam  Pergulatan  Menuju  Republik:  Tan
Malaka  1925-1945  mengatakan  Tan  bergaul  akrab  dengan mereka  yang
kemudian terlibat di dalamnya. Antara lain Crisando Evangelista, pemimpin
serikat  buruh  kiri  seperti  Capadcia,  Balgos,  dan  Dominggus  Ponce  dari
gabungan serikat buruh Legianaros del Trabajo.
Tan senang hidup di Filipina. Teman banyak, dukunganluas, dan udaranya
mirip  dengan  Tanah  Air-meski  beberapa  kali  ia  sempat  jatuh  sakit.  Poeze
menduga  di  sinilah  bukunya,  Naar  de  Republiek  Indonesia,  dicetak  kedua
kalinya,  meski  dalam  kata  pengantar  Tan  menyebut  "Kanton  dan  Tokyo,
1925".  "Tokyo  sebagai  tempat  penerbitan  dimaksudkan  untuk  menipu
polisi," Poeze menulis.
Gerak-gerik  klandestin  khas  Tan  berakhir  ketika  seorang  pemburu  hadiah
menjebaknya  di  kantor  El  Debate  suatu  malam.  Rupanya, korespondensi
antara  polisi  rahasia  Amerika,  Inggris,  dan  Belanda  sudah  demikian  giat
mencari  jejaknya  enam  bulan  terakhir.  Sehari  setelah  ia  ditangkap,  13
Agustus  1927,  Tan  mengisi  halaman  muka  The  Philippine  Herald  dengan
huruf besar-besar: "Seorang Jawa yang diduga agen Bolsyewik yang selama
beberapa  waktu  diamat-amati  polisi  sehubungan  dengan  tersebarnya
propaganda  Bolsyewik  di  Filipina  tertangkap  malam  lalu  oleh  polisi  dan
dinas rahasia."
Ramailah  surat  kabar  Filipina,  yang  di  bawah  koloni  Amerika  tergolong
lumayan  bebas,  oleh  berita  tentang  Tan.  La  Vangardia mengemukakan
alasan  Tan  ditangkap:  permohonan  dari  pemerintah  Hindia  Belanda.  The
Manila  Daily  Bulletin  mengungkapkan  hal  serupa.  La  Vangardia  dan  La
Opinion mengungkapkan simpati terhadap perjuangan Tan. Bahkan harian
Taliba  menyatakan  malu  Tan  terancam  diusir.  Mereka  ingin  Tan  diberi
suaka di Filipina.
Lihatlah sebuah kartun di harian El Debate yang menggambarkan guardia
civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha menangkap Tan. Sedangkan
Tan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi Filipina: Jose Rizal dan
Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar, pahlawankemerdekaan yang tewas
dalam pembuangan di Barcelona, 1896. "No Le Toqueis!" katanya. Artinya,
"Jangan Tangkap!"
Tan  bebas  setelah  pendukungnya  membayar  6.000  peso  sebagai  jaminan.
Tapi  kasusnya  batal  ke  pengadilan  karena  pemerintah  kolonial  Amerika
keburu  mengusirnya  dengan  tuduhan  paspor  palsu.  Bukan  cuma  itu,
sahabat-sahabat Tan yang terpandang bisa ikut terseret.
61
Tan pun pergi, meski berat hati. "Karena membawa-bawaorang-orang yang
memberi  pertolongan  dengan  ikhlas  dan  maksud  baik,  saya  mengalah,"
katanya. Tak kurang dari Emilio Aguinaldo, pemimpin pemberontakan 1898
yang  kemudian  didaulat  menjadi  Presiden  Filipina  pertama,  ikut
menyatakan  Tan  sebagai  "seorang  patriot,  pemimpin  besar  revolusioner,
yang layak mendapat suaka".
Seperti  diungkapkan  Quezon  kepada  Yamin,  para  pendukung  Tan  ini
kemudian  memberinya  sangu  3.000  dolar  untuk  menempuh  perjalanan
menuju Amoy (Xiemen). Quezon mengatakan rakyat Filipina sangat hormat
terhadapnya.
"Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose Rizal. Hati sangat
terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patungtelah menjadi batu,
yang  lain  masih  hidup  berjiwa.  Dua  orang  pahlawan  kemerdekaan;
pahlawan  tuan-tuan  dan  pahlawan  kami.  Sungguhlah  tuan  kaya!  Jadi
bukakan  pintu  dan  jendela  supaya  penganjur  masuk  dari  luar!"  Manuel
Quezon berseru-seru.
62
Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku
AWAL  tahun  1926.  Di  Tanah  Air,  revolusi  sudah  "hamil tua".  Dari
persembunyiannya  di  Geylang  Serai,  Singapura,  buru-buru  Tan  menulis
buku  sepanjang  129  halaman  agar  kelahirannya  yang  prematur,  menurut
dia,  bisa  dicegah.  Sialnya,  pesan  berjudul  Massa  Actie  in  Indonesia itu
terlambat  keluar  dari  percetakan.  Pemberontakan  Partai  Komunis
Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaanBelanda. Banyak
pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya  tidak  kesampaian,  tapi  Massa  Actie kemudian  justru  disambut
penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memangsedang panas saat
itu;  gerakan  antikolonialisme  menggeliat  di  Jakarta,  Bandung,  dan
Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan disana-sini, Massa Actie
adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah
ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di  dalam  Massa  Actie,  Tan  membongkar  kultur  takhayul  yang  mendarah
daging  di  bangsa  ini,  memperkenalkan  macam-macam  imperialisme,
menunjukkan  apa  arti  revolusi,  dan  menunjukkan  bagaimana  kekuatan
rakyat  bisa  dimanfaatkan.  Inilah  semacam  cetak  biru  bagi  revolusi  massa;
desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. "Massa aksi terjadi
dari orang banyak yang bergerak," katanya.
Tan  memperkenalkan  pula  kepada  sesama  rakyat  di  negeri terjajah  akan
pentingnya  persatuan  di  bawah  bendera  Federasi  Republik  Indonesia;
gabungan  Indonesia  Selatan,  tempat  bercokolnya  Hindia  Belanda,  dan
Indonesia  Utara,  alias  Filipina,  yang  dijajah  Amerika.  Termasuk
Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris."Mari kita satukan
100.000.000  yang  tertindas  dan  mendiami  pusat  strategi  dan  lalu  lintas
seluruh benua Asia dan samuderanya," Tan menulis.
Dan  Massa  Actie  pun  memberikan  pedoman  aksi  bagi  kemerdekaan.  Satu
yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo,
Ketua  Indonesische  Studieclub  yang  bersama  kelompoknya  mengadakan
Kongres  Pemuda Indonesia  pada  26-28  Oktober  1928.  Menurut  Hadidjojo
kepada  Tempo,  saat  itu  Maruto  dan  aktivis  lain,  Sugondo  Djojopuspito,
menggandeng  seorang  pemuda  bertubuh  ceking  berwajah  tirus.  Dialah
Wage Rudolf Supratman.
"W.R.  Supratman  sudah  membaca  seluruh  buku  Massa  Actie itu,"  kata
Hadidjojo.  Muhammad  Yaminlah  yang  memaksa  Sugondo  memberikan
waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah
lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie:
"Lindungi  bendera  itu  dengan  bangkaimu,  nyawamu,  dan tulangmu.
Itulah  tempat  yang  selayaknya  bagimu,  seorang  putra tanah  Indonesia
tempat darahmu tertumpah."
63
Republik dalam Mimpi Tan Malaka Republik dalam Mimpi Tan Malaka
Hasan Nasbi A.
Program  Manager  Indonesian  Research  and  Development Institute,  penulis  buku
Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Dr  Alfian  menyebut  Tan  Malaka  sebagai  revolusioner  kesepian.  Mungkin
tidak  berlebihan.  Tan  Malaka  memang  pejuang  kesepian  dalam  arti
sesungguhnya.  Sekitar  20  tahun  (1922-1942)  Tan  Malaka  hidup  dalam
pembuangan,  tanpa  didampingi  teman  seperjuangan.  Beberapa  kali  dia
harus  meringkuk  di  penjara  negara  imperialis  saat  berada  di  Filipina  dan
Hong  Kong,  serta  selama  dua  setengah  tahun  dipenjarakan  tanpa
pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai  pelarian  dan  tahanan,  Tan  tak  pernah  berhenti  memikirkan  nasib
Negeri  Hindia  Belanda.  Banyak  gagasan  yang  lahir  selama  masa  pelarian
itu.  Namun  Tan  Malaka  tak  punya  cukup  kesempatan  untuk
mendialektikakan  gagasannya  dengan  tokoh-tokoh  pejuang  lain.  Ada
perbedaan  waktu  dan  pengalaman  sejarah  yang  membuat  Tan  Malaka
berjarak  dengan  pengikut-pengikutnya  yang  kemudian  berada  dalam
barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai
dan  prinsip  perjuangan  Tan  sungguh  tak  bisa  diikuti oleh  siapa  pun.
Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu
lurus untuk diajak sedikit membungkuk.
Kita  bisa  melihat  beberapa  contoh  bahwa  memang  sulit  mencari  manusia
yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader
Partai  Republik  Indonesia  yang  sangat  memuja  Tan  Malaka.  Namun,  di
tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin
adalah  pengikut  Tan  Malaka  yang  juga  mendirikan  Persatuan  Perjuangan
pada  1946.  Persatuan  Perjuangan  adalah  ikon  diplomasi  bambu  runcing.
Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh
Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam
Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang
dalam "Program Minimum" Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut  yang kukuh itulah
ia  melahirkan  gagasan-gagasan  yang  jernih,  asli,  bahkan  mengagetkan.
Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi.
Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku.
Ia  tak  punya  kesempatan  untuk  menuliskannya  secara  tuntas.  Gejolak
revolusi  mengharuskan  revolusioner  seperti  Tan  berada  dalam  kancah
perjuangan  fisik  ketimbang  di  belakang  meja.  Namun,  lewat  antara  lain
64
buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta
Madilog  (1942),  kita  bisa  menyatukan  mozaik  gagasan  republik  yang
tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaikini, karena Tan selalu
menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan
republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah.
Banyak  yang  mengancamnya.  Di  dahan  yang  rendah,  dia  harus  waspada
terhadap  kucing  yang  siap  menerkam.  Tapi  dahan  yang  lebih  tinggi  juga
bukan  merupakan  tempat  yang  aman  baginya.  Ada  elang  yang  siap
menyambar  sang  gelatik  sehingga  hidupnya  tak  merdeka. Ia  hidup  penuh
ketakutan  dan  dengan  perasaan  terancam.  Serba  tak  bebas.  Bagi  Tan
Malaka,  Indonesia  harus  bebas  dari  ketakutan  seperti  ini.  Bebas  dari
belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas
menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat
lalu  terlihat  seperti  makhluk  yang  lemah,  bisa  berubah  drastis  menjadi
pasukan  penjarah  yang  rakus  tiada  ampun.  Keringat  petani  selama  empat
bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas
menjarah  dan  menghancurkan  bangsa  lain.  Merdeka  itu  dua  arah:  bebas
dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip
Indonesia merdeka.
Setelah  merdeka,  bangunan  Indonesia  harus  punya  bentuk.  Ketika  para
pejuang  lain  baru  berpikir  tentang  persatuan,  atau  paling  jauh  berpikir
tentang  Indonesia  Merdeka,  Tan  Malaka  sudah  maju  beberapa  langkah
memikirkan  Republik  Indonesia.  Brosur  Naar  de  Republiek  Indonesia
(Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga
tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan  Malaka  tegas  bahwa  eks  Hindia  Belanda  harus  menjadi  Republik
Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias
politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malakaadalah sebuah negara
efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.
Tan  Malaka  sejatinya  tak  percaya  terhadap  parlemen.  Bagi  Tan  Malaka,
pembagian  kekuasaan  yang  terdiri  atas  eksekutif,  legislatif,  dan  parlemen
hanya  menghasilkan  kerusakan.  Pemisahan  antara  orang  yang  membuat
undang-undang  dan  yang  menjalankan  aturan  menimbulkan kesenjangan
antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak
yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif
selalu  dibuat  repot  menjalankan  tugas  ketika  aturan  dibuat  oleh  orangorang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).
65
Demokrasi  dengan  sistem  parlemen  melakukan  ritual  pemilihan  sekali
dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah
menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat.
Sedangkan  kebutuhan  dan  pikiran  rakyat  berubah-ubah.  Karena  para
anggota  parlemen  itu  tak  bercampur-baur  lagi  dengan  rakyat,  seharusnya
mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya  adalah  parlemen  memiliki  kemungkinan  sangat  besar
menghasilkan  kebijakan  yang  hanya  menguntungkan  golongan  yang
memiliki  modal,  jauh  dari  kepentingan  masyarakat  yang  mereka  wakili.
Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergodauntuk berselingkuh
dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau  kita  tarik  ke  zaman  sekarang,  mungkin  Tan  Malaka  bisa  menepuk
dada.  Dia  akan  menyuruh  kita  menyaksikan  sebuah  negara  yang
parlemennya  dikuasai  oleh  wakil  buruh,  seperti  Inggris,  kemudian
menyetujui  penggunaan  pajak  hasil  keringat  buruh  untuk  berperang
menginvasi negara lain.
Akhirnya,  parlemen  di  mata  Tan  Malaka  tak  lebih  dari  sekadar  warung
tempat  orang-orang  adu  kuat  ngobrol.  Mereka  adalah  para  jago  berbicara
dan  berbual,  bahkan  kalau  perlu  sampai  urat  leher  menonjol  keluar.  Tan
Malaka  menyebut  anggota  parlemen  sebagai  golongan  tak berguna  yang
harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya,  keberadaan  parlemen  dalam  republik  yang  diimpikan  Tan
Malaka  tak  boleh  ada.  Buku  Soviet  atau  Parlemen dengan  tegas
memperlihatkan  pendirian  Tan  Malaka.  Sampai  usia  kematangan
berpikirnya,  Tan  tak  banyak  berubah,  kecuali  dalam  soal  ketundukan
kepada  Komintern  Moskow.  Karena  pendirian  ini  pula  Tan  Malaka  sangat
keras  menentang  Maklumat  Wakil  Presiden  Nomor  X  pada  1945  tentang
pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pastibermuara di parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang
bisa  memakan  halaman  yang  sangat  banyak.  Sederhananya, negara  dalam
mimpi  Tan  Malaka  dikelola  oleh  sebuah  organisasi  tunggal.  Dalam  tubuh
organisasi  itulah  dibagi kewenangan  sebagai  pelaksana,  sebagai  pemeriksa
atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Anda  bisa  membayangkan  organisasi  yang  berskala  nasional  seperti
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat
terendah  sampai  tingkat  nasional  bisa  diandaikan  seperti  itu.  Tidak  ada
pemisahan  antara  si  pembuat  aturan  dan  si  pelaksana  aturan.  Di  dalam
organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksanaharian, dan ada
sejenis  badan  kehormatan  atau  komisi  pemeriksa.  Begitulah  kewenangan
dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
66
Bagaimana  mengontrol  organisasi  agar  tak  menjadi  tirani  kekuasaan?  Di
sinilah  desain  organisasi  harus  dimainkan.  Ritual  pemilihan  pejabat
organisasi  tak  boleh  dalam  selang  waktu  yang  terlalu lama,  agar
kepercayaan  tak  berubah  menjadi  kekuasaan,  agar  amanah  tidak  berubah
menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat
tertinggi,  harus  dilakukan  dalam  jarak  yang  tak  terlalu  lama.  Waktu  dua
tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika
kerja  mereka  tak  memuaskan,  kongres  organisasi  akan  menjatuhkan
mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti
di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar.Sebab, sudah demikian
lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan
organisasi  tanpa  badan  legislatif  dianggap  tak  demokratis,  boleh  juga  kita
mengatakan  bahwa  partai  politik,  organisasi  kemasyarakatan,  ASEAN,
bahkan  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  merupakan  lembaga  yang  tak
demokratis.
Di  luar  itu,  bisa  jadi  pula  ada  yang  mengatakan  gagasan  Tan  Malaka  naif
dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di
awal  tulisan  ini,  tak  ada  yang  bisa  dengan  total  mengikuti  Tan  Malaka.
Selain  terlalu  lurus,  Tan  Malaka  pasti  tak  bisa  lepas  dari  belenggu
zamannya.  Namun  tak  ada  salahnya  kita  menulis  ulang  semangat  dalam
gagasan  kenegaraan  Tan  Malaka.  Dalam  Thesis,  Tan  meminta  rakyat
Indonesia  tak  menghafalkan  hasil  berpikir  seorang  guru.  Yang  penting
adalah  cara  dan  semangat  berpikirnya.  Ibarat  seorang  guru  matematika,
Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuahperhitungan, tapi
menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.
67
Macan dari Lembah Suliki Macan dari Lembah Suliki
Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat
julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali
jatuh  cinta,  semuanya  pupus  di  tengah  jalan:  Tan  tidak  pernah  menikah.
Perhatiannya hanya untuk perjuangan.
Si Badung dari Pandan Gadang
Tan  Malaka  kecil  dikenal  pemberani.  Sering  kena  jewer  puser.  Rajin
bersembahyang dan hafal Quran.
HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih
kukuh  berdiri.  Atap  ijuk  memang  sudah  berganti  seng,  tapi  tiang  kayu
utama,  dinding,  dan  lantai  tak  tergantikan.  Jendela-jendela  berkaca  patri
juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan "Tan Malaka". Rumah
itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh,
120 kilometer timur laut Padang.
Rumah  ini  tadinya  didiami  keturunan  keluarga  besar  Tan  Malaka.  Tapi,
sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadimuseum. Buku-buku
karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat
tidur,  dan  foto-foto  Tan  juga  ada  di  situ.  "Barang-barang  ini  dikumpulkan
oleh  keluarga,"  kata  Hengky  Novaron,  salah  satu  keturunan  yang  kini
menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.
Hampir  seabad  lampau,  pada  1912,  gelar  Datuk  Tan  Malaka  disematkan
kepada remaja bernama Ibrahim. Rumah gadang itulah tempat Ibra, begitu
dia dipanggil, dibesarkan. Sebuah rumah bersejarah karena pernah menjadi
dapur  umum  pada  masa  perang  Pemerintahan  Revolusioner  Republik
Indonesia.
Ibra  dilahirkan  di  sebuah  surau-juga  dijadikan  tempat  tinggal-yang  cuma
beberapa  langkah  dari  rumah  gadang.  Kini  surau  itu  tidak  ada.  Tanah
tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Tak  ada  catatan  resmi  dan  meyakinkan  ihwal  tanggal  lahir  Tan  Malaka.
Satu-satunya  penulis  yang  lengkap  menyebut  waktu  kelahirannya,  yakni  2
Juni  1897,  adalah  Djamaluddin  Tamim,  teman  seperjuangan  Tan,  dalam
Kematian  Tan  Malaka.  Ayah  Tan,  Rasad,  berasal  dari  puak  Chaniago,
sedangkan  ibunya,  Sinah,  berpuak  Simabur.  Ibra  adalah  sulung  dari  dua
bersaudara.  Adiknya  bernama  Kamaruddin,  enam  tahun  lebih  muda
daripada sang kakak.
68
Syahdan, menurut penuturan Tan kepada Djamaluddin, leluhur Tan Malaka
dari  garis  ibu  adalah  pendatang  dari  Kamang,  Bukittinggi.  Mereka
meninggalkan Kamang karena tanah di sana kurang subur. Pada awal abad
ke-19, mereka berkelana mencari tempat baru. Dalam perjalanan ke utara,
mereka  singgah  di  sebuah  lembah.  Mereka  mendapati  serumpun  pandan
besar  yang  di  bawahnya  mengalir  mata  air.  Lembah  subur  inilah  yang
dipilih menjadi tempat tumbuh beranak-pinak.
Dari  pihak  ayah,  Zulfikar,  keponakan  Tan,  menuturkan  bahwa  leluhurnya
datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi. "Waktu
itu keluarga kami lari dan menetap di lembah Pandan Gadang," kata putra
Kamaruddin  ini.  Meski  cuma  23  kilometer  dari  pusat  Kota  Payakumbuh,
lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.
Pemerintah  kolonial  Belanda  menempatkan  seorang  kontrolir,  pejabat
setingkat  camat,  di  Pandan  Gadang.  Penanda  kekuasaan Belanda  pada
waktu  itu  adalah  penduduk  diwajibkan  menanam  kopi  di  seperlima  lahan
untuk  diserahkan  kepada  pemerintah.  Pada  1908  pemerintah  Belanda
mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.
Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan
lumbung  padi,  surau,  dan  beberapa  kolam  ikan.  Pandan Gadang  mirip
lukisan-lukisan  pemandangan  desa  yang  terpajang  di  pasar  seni.  Berlatar
perbukitan, dirimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan
sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah.
Sawah  dipanen  dua  kali  setahun.  Air  gunung  siap  mengaliri  sawah  dan
mengisi empang sepanjang tahun. "Kami memang bukan orangberada, tapi
semua di lembah itu adalah milik kami," ujar Zulfikar,yang kini berusia 60-an tahun.
***
Ibra  adalah  potret  bocah  lelaki  Minangkabau.  Gemar  sepak  bola,  main
layang-layang,  dan  berenang  di  sungai.  Selepas  magrib  dia  mengaji,  lalu
tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di
rumah  ibunya.  "Ibra  seorang  anak  pemberani,  bandel,  dan  nekat,  tapi  tak
pernah  meninggalkan  sembahyang.  Ia  hafal  Quran,"  kata  Zulfikar,
mengenang kesaksian Kamaruddin.
Soal  bandel  dan  nekat  ini  dikisahkan  Tan  dalam  Dari  Penjara  ke  Penjara
Jilid  I.  Ketika  mengunjungi  ayahnya  yang  ditugaskan  di  Tanjung  Ampalu,
Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberang Sungai
Ombilin.  Orang  dewasa  pun  kewalahan  menyeberang  sungai  selebar  50
meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. "Maka
tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras."
69
Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh
besar menyeretnya ke tepian sungai. "Setelah ingatankembali, tiba-tiba Ibu
sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran."
Baru  beberapa  kali  kena  pukul,  Ibra  "diselamatkan"  ayahnya.  Demi
menghindarkan  Ibra  dari  pukulan  sang  ibu,  Ibra  diikat  Rasad  di  pinggir
jalan dan menjadi tontonan anak-anak.
Sinah  tak  habis  akal.  Dia  lantas  mengadukan  anaknya  sendiri  ke  Guru
Gadang  (guru  kepala).  Akibatnya,  Ibra  kena  hukuman  yang  paling
mengerikan  buat  anak-anak  ketika  itu:  jewer  puser.  Entah  karena  kelewat
badung entah sial, selanjutnya Ibra sudah terbiasa  dengan jewer puser ini.
Bahkan kerap ia merasa selalu menjadi anak yang paling dipersalahkan dan
satu-satunya yang dihukum.
Sampai sekarang saya masih heran kenapa saya saja yang menjadi sasaran
pilin pusar (jewer pusar) itu. Pernah dilakukan setelah saya hampir hanyut
karena  menyelam  di  bawah  perahu  yang  menyeberang  sungai.  Lain  kali
ketika  main  sembur-semburan  air.  Pernah  pula  ketika  permainan  "perang
jeruk"  yang  berujung  saling  lempar  batu.  Saya  dihukum  seperti  "penjahat
perang", dikurung di kandang ayam dan pilin pusar itu juga.
Si  badung,  untungnya,  amat  cerdas  hingga  terbit  kagum  para  guru  di
Sekolah  Kelas  Dua.  Mereka  merekomendasikan  Ibra  untuk melanjutkan
pendidikan  ke  Sekolah  Guru  Negeri  untuk  Guru-guru  Pribumi  di  Fort  de
Kock-sekarang Bukittinggi. Ini satu-satunya lembagalanjutan bagi lulusan
Sekolah Kelas Dua, setelah menempuh pendidikan lima tahun.
Bukan  perkara  gampang  masuk  Fort  de  Kock.  Sebutannya  saja  "Sekolah
Raja". Cuma anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk sekolah itu.
Ayah  Ibra  hanya  pegawai  rendahan.  Sakti  Agra,  dalam  buku  Tan  Malaka
Datang,  menyebut  Rasad  bekerja  sebagai  mantri  suntik  atau  vaksinator.
Tapi,  menurut  cerita  Kamaruddin,  ayahnya  adalah  mantri yang  bertugas
mengatur  distribusi  garam-yang  dimonopoli  penguasa-di kampung.  Yang
jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden (f).
Padahal biaya makan per bulan saja Ibra memerlukan sekitar f 8.
Para guru Sekolah Kelas Dua tak putus asa. Mereka tetap berjuang agar Ibra
bisa  sekolah  ke  kota  benteng.  Asal-usul  keluarga  Ibra,  dari  pihak  ibu,
dianggap  cukup  untuk  alasan  mendaftar.  Tan  Malaka  senior  adalah  salah
satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahkan beberapa datuk.
Fakta  itu  ditambahi  keterangan  tentang  kecerdasan  Ibra  yang  luar  biasa,
meski  waktunya  lebih  banyak  habis  buat  main  bola  dan  renang.  Walhasil,
pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock.
***
70
Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah
rantau  pertama  Ibra.  Para  tetua  kampung  melepasnya.  Merantau  adalah
jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa
nilai-nilai  kebaikan  yang  ada  di  dunia  luar  sana.  Sistem  matrilineal,  juga
adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang
mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera "terusir" dari kampung.
Di  Bukittinggi,  Ibra  berkenalan  dengan  budaya  negeri  penjajahnya.  Dia
belajar  bahasa  Belanda.  Dia  bergabung  dengan  orkes  sekolah  sebagai
pemain  cello,  di  bawah  pimpinan  G.H.  Horensma.  Hobi  lamanya  juga  tak
pernah  hilang:  main  sepak  bola.  Sama  seperti  di  kampung,  Ibra-yang
dipanggil  Ipie  oleh  Horensma-banyak  menghabiskan  waktu  luangnya  buat
sepak bola.
Horensma di kemudian hari menganggap Ipie seperti anaknya sendiri. Dia
sering mengingatkan Ipie agar meluangkan waktu lebih banyak buat belajar.
Tapi sia-sia. Anak  pedalaman  Suliki  ini tetap  saja  gemar bermain. Untung
saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap
pelajaran.  Ia  selalu  menjadi  siswa  yang  paling  cerdas  hingga  Horensma
begitu terkesima. Ipie juga dikenal sebagai sosok santun dan ramah.
Ketika  musim  liburan  tiba,  Ipie  kembali  ke  Pandan  Gadang.  Di  rumah,  ia
memastikan  adiknya,  Kamaruddin,  belajar  sungguh-sungguh.  Ia  memang
tidak mengajari adiknya, "Tapi dia marah jika adiknyayang cuma satu itu
mendapat  nilai  rendah,"  kata  Zulfikar.  Pernah  suatu  ketika  Kamaruddin
mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeretadiknya ke empang
dan berulang kali membenamkannya. "Bodoh, kamu harus belajar!"
Setahun sebelum ujian teori akhir, Ipie dipanggil pulang oleh keluarga besar
di  Suliki.  Ia  harus  menerima  penobatan  sebagai  pemangku  Datuk  Tan
Malaka,  menggantikan  pemegang  gelar  terdahulu  yang  sudah  uzur.  Sudah
menjadi  adat,  pelekatan  gelar  disertai  pertunangan  yang  telah  diatur
keluarga.  Tapi  Ipie  menolak  dijodohkan.  Penolakan  itu  mengecewakan
keluarga besar. Suasana pesta pun kurang meriah.
Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya. Pada
1913  ia  merampungkan  ujian  teori  akhir  dan  ikut  praktek  mengajar  di
sekolah  rendah  pribumi.  Entah  kenapa,  Ipie  tidak  menyelesaikan  masa
praktek  yang  tinggal  satu  tahun.  Di  sekolah  rendah  ini,  dia  mendapat
kesenangan  baru:  mengajar  baris-berbaris.  Kelak,  di  Eropa,  ketertarikan
pada  dunia  militer  mendorong  Ipie  melamar  sebagai  legiun  asing  tentara
Jerman.  Sayangnya,  Jerman  tidak  membentuk  legiun  asing.  Impian  Tan
memasuki dunia militer tak tercapai.
Horensma  menyarankan  agar  sang  datuk  muda  belajar  di  Belanda.  Atas
bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka wargamengumpulkan f 30
71
per  bulan  untuk  biaya  sekolah  Ipie  di  Belanda,  Rijkskweekschool.
Jaminannya  adalah  harta  keluarga  Tan  Malaka.  Ia  harus  kembali  setelah
tiga  tahun  dan  membayar  utang  itu  dengan  gajinya.  Kelak,  utang  itu  tak
terbayar  dan  dilunasi  Horensma.  Ipie  pun  cuma  dua-tiga  kali  mencicil
kepada Horensma.
Ipie  menyertai  Horensma  ke  Belanda  pada  Oktober  1913. Dari  keluarga,
hanya  Kamaruddin  yang  melepasnya  di  Teluk  Bayur.  Menurut  Zulfikar,
setelah  kepergian  itu,  Ipie  putus  hubungan  dengan  keluarga.  Ia  cuma  dua
kali  menyambangi  Suliki,  itu  pun  sebentar,  pada  1919 dan  1942.  Satusatunya  surat  yang  ia  kirim  justru  ditujukan  ke  Syarifah-siswi  semata
wayang  di  Fort  de  Kock.  "Isinya  ungkapan  cinta,  tapi  tak  berbalas,"  kata
Zulfikar.
Dari  Bukittinggi,  cakrawala  Ibra  betul-betul  meluas. Dia  kemudian
menjejakkan  kaki  dan  turut  mengukir  sejarah  melalui  persinggahannya  di
berbagai kota dunia, dari Manila sampai Rusia.
72
Cita Cita- -- -cita Revolusi dari Tanah Haarlem cita Revolusi dari Tanah Haarlem cita Revolusi dari Tanah Haarlem
HAARLEM,  2008.  Lautan  turis,  penuh  warna,  dan  berseri-seri.  Para
pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan
bersejarah.  Ada  Vleeshal,  pasar  daging  yang  kini  menjadi  museum;  Grote
Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ
termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika  berumur 10 tahun;
dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasiKota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama
kali  di  Negeri  Kincir  Angin  pada  akhir  1913.  Tak  sulit  membayangkan
bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah
guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah  Haarlem  tak  banyak  berubah.  Struktur  tata  kotanya  masih  seperti
ketika  Perang  Dunia  Pertama  dimulai.  Gedung-gedung  bersejarah  masih
berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunanbangunan tua yang berbeda.
Tan  Malaka  tinggal  pertama  di  sebuah  rumah  pemondokan  bersama
beberapa  murid  Rijkweekschool  di  Jalan  Nassaulaan,  yang  sekarang
menjadi  jalan  utama  yang  membatasi bagian  kota  tua  dengan  bagian  baru
yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur
sekolah  guru  PH  Van  Der  Ley  itu  masih  berdiri  hingga sekarang.  Lantai
dasarnya  menjadi  semacam  studio  pembuatan  perlengkapan dapur.
Dindingnya  terdiri  dari  bata  merah.  Untuk  mencapai  sekolah  guru,  Tan
tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil
di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua  yang lebarnya tak lebih
dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung
jalan  ini  adalah  tipikal  rumah  buruh  miskin  di  Haarlem  awal  abad  ke-20.
"Di  sebuah  rumah  kecil,  saya  mendiami  kamar  loteng  yang sempit  dan
gelap,"  demikian  tulis  Tan  dalam  memoarnya,  Dari  Penjara  ke  Penjara.
Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan
yang  cantik,  rumah  ini  kini  sedang  berhias  menjadi  toko  bunga  dan  butik
nan elegan.
Berdampingan  dengan  rumah  itu  adalah  Toko  Buku  De  Vries.  Toko  buku
inilah  yang  menjadi  tempat  yang  disukai  Tan  selama  tinggal  di
Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual bukubekas itu sekarang
menjual buku baru.
73
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa
dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko dibawahnya. Dari luar
terlihat  loteng  itu  memang  sangat  kecil  dengan  ukuran jendela  yang
sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut  Dian  Purnamasari,  warga  Indonesia  yang  tinggal  di  Haarlem,
Jacobijnestraat  dulunya  adalah  daerah  permukiman  buruh.  Sekarang
tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu
daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
***
Kedatangan  Tan  Malaka  di  Belanda  disambut  aura  kemiskinan  Haarlem
yang  sedang  jatuh-bangun  menghadapi  depresi  ekonomi.  Ratusan  pabrik
penyulingan  bir  gulung  tikar.  Pabrik  tekstil  yang  sempat  menjadi  tulang
punggung  kota  ini  juga  bertumbangan.  "Belum  lama  di  Belanda,  sudah
terasa konflik antara jasmani dan keadaan," kata Tandalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon
guru.  Dia  harus  cepat  menyesuaikan  diri  dengan  masyarakat,  iklim,  serta
kehidupan  yang  baru.  Tapi  yang  paling  sulit  adalah  mencerna  makanan
khas  Eropa.  "Bahan  makanannya  memang  baik  dan  berzat, tapi  cara
pengolahnya tak keruan," ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup
tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru
setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan
dan  Studi  Hindia  belanda  (NIOS)-atas  bantuan  pensiunan  mayor  jenderal
A.N.J.  Fabius-Ibrahim  mendapatkan  kamar  lebih  baik  di  rumah  pasangan
Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi
oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan
administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916,disusul wafatnya
sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie
van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir  setiap  hari  Tan  bersepeda  menuju  gedung  Rijkweekschool  di  tepi
Sungai  Spaarne.  Jaraknya  10  hingga  15  menit  bersepeda.  Pada  1915,
Rijkweekschool  pindah  ke  gedung  baru  di  Leidsevaart,  yang  persis
berhadapan  dengan  kanal  kecil-yang  bermuara  di  Sungai  Spaarne.  Tak
seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung
baru  di  Leidsevaart  lebih  besar  dengan  halaman  depan yang  luas.  Untuk
sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20menit.
74
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu,
sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisikoran Panorama pada
1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.
***
Semangat  Tan  menempuh  pendidikan  sekolah  guru  ke  Belanda  tak  lepas
dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van
der  Ley  bahwa  Tan  pintar  dan  cerdas.  "Pemuda  ini  banyak  bakat  dan
energinya,  tingkah  lakunya  baik  sekali,  rapi  dan  gairah  belajarnya  besar,"
tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu
pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia
tak  pandai  ilmu  pasti.  Dia  justru  amat  membenci  ilmu  tumbuh-tumbuhan
karena harus menghafalnya. "Bencinya lebih besar ketimbang benci makan
roti dan keju," ujarnya.
Guru  dan  teman-temannya  mudah  menerima  Tan  yang  pandai  bergaul
sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola
bersama  orkes  sekolah.  Terkadang  dia  memamerkan  tari-tarian
Minangkabau kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan
bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya seringterluka lantaran tak
bersepatu.  Tan  juga  kerap  mengabaikan  peringatan  teman-temannya  agar
mengenakan  jaket  tebal  pada  saat  istirahat  pertandingan.  Bahkan  dalam
kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah
mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim
panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916
kesehatannya  mundur  lagi  sehingga  sulit  mengikuti  pelajaran  di  sekolah.
Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
***
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya  pemahaman politik
Tan.  Dia  kerap  terlibat  diskusi  hangat  antara  teman  satu  kos,  Herman
Wouters,  seorang  pengungsi  Belgia  yang  melarikan  diri  dari  serbuan
Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah
bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius
bagi Tan Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, "Politik bagi saya adalah
terra  incognita,"  ucapnya.  Dia  lebih  banyak  mengamati dan  mendengar
sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan
Het  Volk  yang  rajin  menyerukan  pesan  antikapitalisme  dan
75
antiimperialisme.  De  Telegraf  adalah  koran  langganan  Mij.  Het  Volk
merupakan media yang selalu dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang
yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain
membaca  koran-koran  "kiri",  dia  mulai  lapar  informasi politik.  De  Vries
semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat.
Buku  karya  para  filsuf  dan  pemikir  populer  pada  zaman itu  menjadi
santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to
Power)  karya  filsuf  Jerman,  Friedrich  Nietzsche.  Begitu  pula  The  French
Revolution  karya  Thomas  Carlyle,  penulis  esai  ternama  Skotlandia.  Dari
buku  ini  Tan  Malaka  mengenal  semboyan  liberte,  egalite,  fraternite
(kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
"Tiba-tiba  saya  berada  dalam  semangat  dan  paham  yang  lazim  dinamai
revolusioner," tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
***
Tan  meninggalkan  Haarlem  pada  1916  dan  pindah  ke  Bussum.  Jarak
Haarlem-Bussum  dengan  kereta  api  biasa  ditempuh  selama satu  setengah
jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze
Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap
sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah  bercat  putih  gading  dengan  struktur  kayu  itu  dikelilingi  pohon
rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang
sangat  asri  itu.  Mereka  pun  antusias  ketika  mengetahui  rumahnya  dulu
ditempati  seorang  tokoh  nasional  Indonesia.  Sayangnya,  pasangan  ini
menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga
yang menghuni rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak
sekadar  penjajah  dan  terjajah.  Di  kota  ini  dia  menemukan  pola  hidup
borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang
mencolok  antara  gaya  hidup  mewah  Koopmans  dan  keluarga Van  der  Mij
yang proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi
keyakinan  pada  Tan  bahwa  dunia  sedang  beralih  ke  sosialisme.  Berbagai
gagasan  baru  tentang  bagaimana  seharusnya  bangsa  Indonesia  dibangun
berseliweran dalam benak Tan.
Lalu  datanglah  tawaran  dari  Suwardi  Surjaningrat  alias  Ki  Hadjar
Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda
Indonesia  dan  pelajar  Indologie  di  Deventer,  Belanda.  Di  forum  inilah,
76
untuk  pertama  kali,  Tan  membeberkan  gagasan,  yang  selama  ini
bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya  Tan  tinggal  di  Gooilandscheweg,  kawasan  borjuis  yang  awet
hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi.Penghuninya sedang
tak  di  tempat.  Tetangga  kanan-kiri  berjauhan.  Tan  menulis,  daerah
Gooilandscheweg  memang  daerah  borjuis,  dipenuhi  rumah  peristirahatan
nan cantik yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar
sebagai  guru  di  Belanda.  Padahal  dia  harus  mulai  bekerja  agar  bisa
membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif
mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang
sering diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai  pelajar  dari  bangsa  terjajah,  Tan  Malaka  akhirnya  merasa  sudah
saatnya  ada  revolusi  di Indonesia  agar  terlepas  dari  penjajahan  dan  mulai
membangun  sistem  sosialisme.  Setelah  gagal  mendapatkan  izin  mengajar
namun  mendapat  banyak  pelajaran  penting  tentang  politik  selama  enam
tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia.
Sayangnya,  karena  cita-cita  ini  jugalah  Ibrahim  harus  kembali  lagi  ke
Belanda  pada  1922.  Kali  ini  bukan  sebagai  pelajar,  melainkan  buangan
politik.
77
Sobatmu Selalu, Ibrahim Sobatmu Selalu, Ibrahim
Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku
telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu  pos bergambar dari
Zandvoort  padamu.  Hari  ini  dan  kemarin  aku  hanya  banyak  bersenangsenang  dengan  gadis-gadis,  hingga  aku  merasa  bahwa  bersedih-sedih  atas
kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan.  Jika aku masih
di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yangdikirimkan Tan Malaka
kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
KARTU  pos  itu  sudah  lusuh  dan  kecokelatan  termakan  usia.  Maklum,
usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam
sebuah  album  bersama  puluhan  kartu  pos  lainnya.  Di  balik  kartu  pos
terdapat  gambar  seorang  gadis  Belanda  berbaring  di  atas  pasir  sambil
tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang
terkenal  sebagai  pantai  nudis-karena  sering  dikunjungi  kelompok  yang
jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim
Datuk  Tan  Malaka  kepada  sahabat  karibnya  selama  di  Belanda,  Dick  J.L.
van  Wijngaarden.  Dia  adalah  teman  curhat  Ibrahim  dalam  segala  hal.
Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di
Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.
Kedekatan  Ipie  atau  Ieb-panggilan  akrab  Tan  Malaka-dengan  Dick
tergambar  dalam  surat-menyurat  yang  cukup  teratur  dikirimkan  hampir
setiap  bulan,  sejak  Tan  Malaka  pindah  ke  Bussum  pada 1916  hingga  1921
ketika  sudah  kembali  ke  Tanah  Air.  Isi  surat  Tan  selalu  tentang  apa  yang
dilakukannya sehari-hari. Nyaris tidak pernah menyentuh soal-soal politik.
Tan juga sering mengadu soal betapa sulitnya ujian untuk mendapatkan izin
mengajar sebagai guru. Sebaliknya, surat Dick van Wijngaarden kepada Tan
lebih sering berisi  kata-kata  pemberi  semangat agar  mereka  berdua samasama tak menyerah di zaman yang sulit itu.
Van  Wijngaarden  menyimpan  dengan  rapi  semua  surat  Tan  Malaka.
Sayangnya,  surat-surat  Van  Wijngaarden  untuk  Tan  Malaka  tak  satu  pun
yang  tersisa.  Hingga  suatu  hari  datanglah  surat  dari  Harry  Poeze,  peneliti
dari  Universitas  Amsterdam,  yang  mengabarkan  soal  penelitian  terhadap
tokoh komunis Indonesia itu.
78
Van  Wijngaarden  langsung  mewariskan  semua  surat  Tan  Malaka  kepada
Poeze  yang  sudah  melakukan  penelitian  sejak 1970-an. "Dick bilang, siapa
lagi  yang  bisa  menyimpan  dan  memanfaatkan  surat-surat  ini  kalau  bukan
saya," kata Poeze kepada Tempo.
Beruntung  Poeze  menemukan  Dick  yang  masih  hidup  dan  menyimpan
sebagian bukti tertulis Tan Malaka. "Van Wijngaarden yang paling banyak
menyimpan surat dan kartu pos dari Tan Malaka," ujarnya.
Sahabat Tan Malaka yang lain adalah Arie de Waard,  kawan sekelasnya di
sekolah  guru  di  Haarlem.  Keakraban  itu  terjalin  ketika  De  Waard  ditugasi
direktur sekolah membantu Ibrahim memahami pelajaran sekolah. "Karena
saya  senang  padanya,  saya  tak  keberatan.  Ibrahim  diperintahkan  selalu
memperhatikan  nasihat-nasihat  saya,"  demikian  tutur  De Waard  dalam
suratnya kepada Poeze.
Dengan De Waard inilah Tan banyak mendiskusikan pikiran politiknya. De
Waard  pun  menjadi  paham  kenapa  nilai-nilai  pelajaran  Tan  Malaka
menurun.  Rupanya,  Tan  sedang  kecanduan  membaca  buku-buku  politik.
"Mulanya susah payah saya mengajaknya untuk belajar  kembali... sekarang
saya tahu mengapa angka-angka rapornya menurun," tulis De Waard.
Tapi,  menurut  De  Waard,  kebiasaan  Tan  mengemukakan  pendapatnya
tentang  revolusi  menghasilkan  nilai  positif  lain.  "Dia  telah  belajar
menyatakan pikirannya dengan baik sekali."
Selama  enam  tahun  pertama  di  Belanda  antara  1913  dan  1919,  Tan  tak
hanya  akrab  dengan  Dick  dan  De  Waard.  Sepucuk  surat lain  untuk  Poeze
dari  C.  Wilkeshuis  menegaskan  hal  ini.  "Ia  segera  diterima  dalam
masyarakat kelas kami. Tak ada sama sekali apa yang disebut 'diskriminasi
bangsa'.  Kami  menganggapnya  sebagai  orang  Hindia  Timur yang  menarik
perhatian," tulis Wilkeshuis.
Tapi tentu saja yang paling berjasa bagi kehidupan Tan Malaka adalah G.H.
Horensma,  warga  Belanda  di  Bukittinggi  yang  mensponsori  pendidikan
guru  Ibrahim.  Berkat  dialah,  Ibrahim  tercatat  sebagai orang  Indonesia
pertama yang diterima di sekolah guru Haarlem.
79
Tan Malaka, Sejak Agustus Itu Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
SAYA  bisa  bayangkan  pagi  hari  17  Agustus  1945  itu,  di  halaman  sebuah
rumah  di Jalan  Pegangsaan,  Jakarta:  menjelang  pukul  09:00,  semua  yang
hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari  itu  memang  ada  yang  menerobos  dan  ada  yang  runtuh.  Yang  runtuh
bukan  sebuah  kekuasaan  politik;  Hindia  Belanda  sudah  tak  ada,  otoritas
pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk
sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di
sini  bukan  sekadar  bahasa  dan  lambang.  Sebuah  wacana  dibangun  dan
ditopang  kekuasaan,  dan  sebaliknya  membangun  serta  menopang
kekuasaan  itu.  Ia  mencengkeram.  Kita  takluk  dan  bahkan  takzim
kepadanya.  Sebelum  17  Agustus  1945,  ia  membuat  ribuan manusia  tak
mampu  menyebut  diri  dengan  suara  penuh,  "kami,  bangsa
Indonesia"apalagi sebuah "kami" yang bisa "menyatakankemerdekaan".
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno,
adalah  "menjebol  dan  membangun".  Wacana  kolonial  yang menguasai
penghuni  wilayah  yang  disebut  "Hindia  Belanda"  jebol,  berantakan.  Dan
"kami, bangsa Indonesia" kian menegaskan diri.
Sebulan  kemudian,  19  September  1945,  dari  pelbagai  penjuru  orang  mara
berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan "kemerdekaan"
mereka, "Indonesia" mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya
menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat,  sengit, dan penuh
korban,  ketika  ratusan  pemuda  melawan  kekuatan  militer Belanda  yang
hendak membuat negeri ini "Hindia Belanda" kembali.  Dari medan perang
itu  Pramoedya  Ananta  Toer  mencatat  dalam  Di  Tepi  Kali Bekasi:  sebuah
revolusi  besar  sedang  terjadi,  "revolusi  jiwa-dari  jiwa  jajahan  dan  hamba
menjadi jiwa merdeka....".
Walhasil, sebuah subyek ("jiwa merdeka") lahir. Agaknya itulah makna dari
mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi "tulang yang berserakan, antara
Krawang dan Bekasi", seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua
kita  hafal.  Subyek  lahir sebagai sebuah  laku  yang  "sekali berarti/sudah  itu
mati",  untuk  memakai  kata-kata  Chairil  lagi  dari  sajak yang  lain.  Sebab
subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik,bukan seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: "Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak
yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa."
Tan  Malaka  menulis  kalimat  itu  dalam  Aksi  Massa  yang  terbit  pada  1926.
Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya
80
pula,  "Revolusi  timbul  dengan  sendirinya  sebagai  hasil  dari  berbagai
keadaan."
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang
heroik  dari  sang  X  yang  berbuat,  yang  terkadang  disambut  sebagai  "hero"
atau  "pelopor".  Sebab  tiap  revolusi  digerakkan  oleh sebuah  atau  sederet
pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau
lebih.  Dan  ketika  revolusi  hendak  jadi  perubahan  yang  berkelanjutan,  ia
butuh  ditentukan  oleh  satu  agenda.  Ia  juga  akan  dibentuk  oleh  satu  pusat
yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan
bahwa  Revolusi  Agustus  "belum  selesai",  mengutarakan  sebuah  rumus.  Ia
sebut  "Re-So-Pim":  Revolusi-Sosialisme-Pimpinan.  Bagi  Bung  Karno,
revolusi  Indonesia  mesti  punya  arah,  punya  "teori",  yakni  sosialisme,  dan
arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi".
Tan  Malaka  tak  punya  rumus  seperti  itu.  Tapi  ia  tetap  seorang  MarxisLeninis yang yakin akan perlunya "satu partai yang  revolusioner", yang bila
berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran "pimpinan".
Bahwa  ia  percaya  kepada  revolusi  yang  "timbul  dengan  sendirinya",  hasil
dari  "berbagai  keadaan",  menunjukkan  bagaimana  ia,  seperti  hampir  tiap
Marxis-Leninis,  berada  di  antara  dua  sisi  dialektika:  di  satu  sisi,  perlunya
"teori"  atau  "kesadaran"  tentang  revolusi  sosialis; di  sisi  lain,  perlunya
(dalam  kata-kata  Tan  Malaka)  "pengupasan  yang  cocok  betul  atas
masyarakat Indonesia".
Di  situ,  ada  ambiguitas.  Tapi  ambiguitas  itu  agaknya  selalu  menghantui
agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.
***
TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang
bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.
Beberapa  pekan  setelah  17  Agustus  1945,  di  Serang,  wilayah  Banten,  Tan
Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh
kiri  radikal  di  bawah  tanah  itu  berembug  dengan  sang  tokoh  sosial
demokrat.  Tan  Malaka  dan  Sjahrir  secara  ideologis berseberangan;  seperti
halnya  tiap  Marxis-Leninis,  Tan  Malaka  menganggap  seorang  sosialdemokrat sejenis Yudas.
Tapi  seperti  dituturkan  kembali  oleh  Abu  Bakar  Lubis  -orang  yang
menyatakan  pernah  dapat  perintah  Presiden  Soekarno  untuk  menangkap
Tan  Malaka-dalam  pertemuan  di  Serang  itu  Tan  Malaka  mengajak  Sjahrir
untuk  bersama-sama  menyingkirkan  Soekarno sebagai  pemimpin revolusi.
Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan
81
Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persensaja dari pengaruh
Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada  sikap  meremehkan  dalam  kata-kata  Sjahrir  itu.  Konon  ia  juga
menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih
dulu sebelum ambil sikap.
Jika  benar  penuturan  A.B.  Lubis  (saya  baca  dalam  versi  Inggris,  dalam
jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah
perselisihan: sang "radikal" tak cocok dengan sang "pragmatis".
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotskytentang "revolusi
terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesiayang tak punya kelas borjuasi yang kuat-revolusi sosialis harus berlangsung
tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti
Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap
"borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru setelah itu,"tahap sosialis".
Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan setengah-kolonial", kaum
borjuis  terlampau  lemah  untuk  menyelesaikan  agenda  revolusi  tahap
pertama:  membangun  demokrasi,  mereformasi  pemilikan  tanah,  dan
menciptakan  pertumbuhan  ekonomi.  Maka  kaum  proletarlah yang  harus
melaksanakan  revolusi  itu.  Begitu  tercapai  tujuannya,  kelas  buruh
melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis".
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal-bahkan bagi Rusia pada
tahun  1920-an,  di  suatu  masa  ketika  Lenin  terpaksa  harus  melonggarkan
kendali  Negara  atas  kegiatan  ekonomi,  dan  kelas  borjuis  muncul  bersama
pertumbuhan  yang  lebih  pesat.  Di  Indonesia  agenda  Trotskyis  itu  bisa
seperti  garis  yang  setia  kepada  gairah  1945.  Dilihat  dari  sini,  niat  Tan
Malaka  tak  salah:  ia,  yang  melihat  dirinya  wakil  proletariat,  harus
menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Tapi  Sjahrir,  sang  "pragmatis",  juga  benar:  pengaruh Tan  Malaka  di
kalangan  rakyat  tak  sebanding  dengan  pengaruh  Bung  Karno.  Dunia
memang  alot.  Di  sini  "pragmatisme"  Sjahrir  (yang  juga  seorang  Marxis),
sebenarnya  tak  jauh  dari  tesis  Tan  Malaka  sendiri.  Kita  ingat  tesis
pengarang  Madilog  ini:  revolusi  lahir  karena  "berbagai  keadaan",  bukan
karena adanya pemimpin dengan "otak yang luar biasa".
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti "berbagai keadaan" di
luar  dirinya?  Gyorgy  Lukacs,  pemikir  Marxis  yang  oleh  Partai  Komunis
pernah  dianggap  menyeleweng  itu,  membela  dirinya  dalam  sebuah  risalah
yang  dalam  versi  Jerman  disebut  Chvostismus  und  Dialektik,  dan  baru
diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahundipendam.
Dari sana kita tahu, Lukacs pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia
mengecam  "chvostismus".  Kata  ini  pernah  dipakai  Lenin  untuk
menunjukkan  salahnya  mereka  yang  hanya  "mengekor"  keadaan  obyektif
82
untuk  menggerakkan  revolusi.  Bagi  Lenin  dan  bagi  Lukacs,  revolusi  harus
punya komponen subyektif.
Tentu,  ada  baku  pengaruh  antara  dunia  subyektif  dan dunia  obyektif;  ada
interaksi  antara  niat  dan  kesadaran  seorang  revolusioner  dan  "berbagai
keadaan"  di  luar  dirinya.  Tapi,  kata  Lukacs,  di  saat  krisis,  kesadaran
revolusioner  itulah  yang  memberi  arah.  Penubuhannya  adalah  Partai
Komunis.
Tapi  seberapa  bebaskah  "kesadaran  revolusioner"  itu dari  wacana  yang
dibangun  Partai  itu  sendiri?  Saktikah  Partai  Komunis  hingga  bisa  jadi
subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini
harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah "lautan borjuis kecil".
Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili
"borjuis  kecil"  itu.  Ia  tak  akan  berangan-angan  seperti  Tan  Malaka  yang
hendak  merebut  kepemimpinan  Bung  Karno.  Di  bawah  Aidit,  PKI  bahkan
akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada  1965  terbukti  strategi  ini  gagal.  PKI  begitu  besar  tapi  kehilangan
kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saatyang menentukan,
tatkala  militer  dan  partai  "borjuasi  kecil"  yang  selama  ini  jadi  sekutunya
menghantamnya.  PKI  terbawa  patuh  mengikuti  jalan  Bung  Karno,  sang
Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung  di  bawah  wacana  "persatuan  nasional",  agenda  radikal  tersisih
dan  sunyi.  Terutama  dari  sebuah  Partai  yang  mewakili  sebuah  minoritasyakni  proletariat  di  sebuah  negeri  yang  tak  punya  mayoritas  kaum  buruh.
Tan  Malaka  sendiri  mencoba  mengelakkan  ketersisihan  itu  dengan  tak
hendak  mengikuti  garis  Moskow,  ketika  pada  1922  ia  menganjurkan
perlunya  Partai  Komunis  menerima  kaum  "Pan-Islamis"-yang  bagi  kaum
komunis adalah bagian dari "borjuasi"-guna mengalahkan imperialisme.
Tapi  ia  juga  akhirnya  sendirian. Sang radikal,  yang ingin mengubah dunia
tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dantidak. Ia muncul
menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah
makhluk legenda.
Sebuah  legenda  memang  memikat.  Tapi  dalam  pembebasan  mereka  yang
terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama
dengan dongeng yang sempurna.
Jakarta, 7 Agustus 2008.
Goenawan Mohamad
83
(Bukan) Seseorang dalam Arus Uta (Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi ma Revolusi ma Revolusi
Bonnie Triyana
Sejarawan-cum-wartawan
TAN  Malaka  adalah  legenda.  Pada  1950-an,  di  berbagai  kota  dan  desa  di
Minangkabau,  setiap  orang  tua  menceritakan  kepada  anak-anaknya
kehebatan  Tan  Malaka,  yang  konon  bisa  menghilang  secara  gaib  dan
berpindah  dari  satu  tempat  ke  tempat  lain,  yang  jaraknya  terpaut  ratusan
kilometer, hanya dalam satu kedipan mata.
Mitos  yang  hadir  di  tengah  masyarakat  itu  tak  lain  karena  "riwayat
hidupnya  bagaikan  cerita  detektif  yang  penuh  ketegangan,"  kata  Dr  Alfian
dalam tulisannya, "Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian". Matu
Mona  alias  Hasbullah  Parinduri  meminjam  sosok  Tan  Malaka  untuk
karakter  Pacar  Merah  dalam  roman  Pacar  Merah.  Muhammad  Yamin
menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan
Washington  yang  merancang  Republik  Amerika  Serikat  jauh  sebelum
merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina
sebelum  revolusi  terjadi.  Rudolf  Mrazek  menyebut  Tan  Malaka  sebagai
manusia  komplet.  Ia  begitu  hebat:  pemikir  yang  cerdas dan  aktivis  politik
yang lincah.
Dengan  sederet  puja-puji  itu,  kenapa  justru  ia  tidak  mendapat  posisi
penting di republik ini?
Setelah  melalui  20  tahun  masa  pengasingan  di  luar  negeri,  Tan  Malaka
memasuki  kembali  gelanggang  politik  saat  situasi  Republik  tak  menentu
dan nasib para pemimpinnya di ujung tanduk. Soekarnodan Hatta disebutsebut akan diadili oleh Sekutu dengan tuduhan penjahat perang kolaborator
Jepang.  Ketangkasan  dalam  mengatur  strategi  berpolitik  telah  membuat
Soekarno  terkesan  dan  menunjuk  Tan  Malaka  sebagai  pengganti  presiden
apabila sesuatu terjadi pada Soekarno. Kecurigaan untuk menerima kembali
Tan Malaka dalam percaturan politik Republik ditunjukkan oleh sikap Hatta
yang mendesak Soekarno menambah tiga orang lain dalam testamen politik
itu: Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Koesoema Soemantri.
Ada dua kesempatan emas untuk tampil di panggung politik yang kemudian
ditolaknya.  Tan  Malaka  menolak  tawaran  Soekarno  untuk  sebuah  jabatan
tak  resmi  di  luar  kabinet  pertama  yang  telah  dilantik pada  4  September
1945.  Pertimbangannya,  status  pemerintahan  Republik  masih  belum  jelas,
masih berkolaborasi dengan Jepang. Kedua, menurut versi Tan Malaka, ia
menolak  tawaran  Sjahrir  cum  suis  untuk  menjadi  Ketua  Partai  Sosialis
dengan  alasan  "tidak  ingin  menjadi  teman  separtai  kaum  sosialis,  yang
kebanyakan  masih  mau  berkompromi  dengan  kapitalis-imperialis  itu".  Ia
84
pun  mengatakan,  "Belum  sampai  waktunya  saya  untuk  keluar  berterangterangan memimpin sesuatu partai pula."
Pengalaman  hidup  puluhan  tahun  diburu  agen  rahasia  negeri-negeri
imperialis  membuatnya,  "Jadi  orang  yang  selalu  waspada  dan  tertutup,"
kata penulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze. Dan ia lebih berhati-hati
dalam  bertindak  untuk mewujudkan (mengutip Ben  Anderson)  "khayalankhayalan tertentu... dalam proses revolusi yang sedang berkembang itu".
Tan Malaka "bergairah" kembali ketika menyaksikan heroisme para pemuda
dalam  pertempuran  Surabaya.  Semangat  itulah  yang  dilihatnya  sebagai
modal  untuk  menjalankan  revolusi  total  menuju  kemerdekaan  seratus
persen  dengan  kekuatan  aksi  massa.  Dalam  brosur  Moeslihat  yang  ditulis
tiga  minggu  setelah  pertempuran,  ia  mengajak  semua  pihak  bersatu
melawan serangan musuh dari luar, membentuk laskar rakyat, membagikan
tanah kepada rakyat jelata, memperjuangkan hak buruhdalam mengontrol
produksi, membuat rencana ekonomi perang, dan melucutisenjata Jepang.
Kepemimpinan yang kuat dan organisasi perjuangan yang solid adalah dua
hal yang, menurut dia, sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.
Gagasan-gagasan Tan Malaka mengundang simpati beberapa kelompok dari
berbagai  aliran  yang  kecewa  terhadap  kinerja  kabinet  Sjahrir.  Pada  3
Januari  1946,  untuk  pertama  kalinya  sejak  meninggalkan  Indonesia  pada
1922,  Tan  Malaka  menjadi  pembicara  utama  dalam  sebuah  kongres  besar
Persatuan  Perjuangan  yang  menaungi  141  organisasi  perjuangan.  Melalui
Persatuan  Perjuangan,  Tan  Malaka  berhasil  menyatukan  sejumlah  besar
golongan  yang  berbeda  keyakinan,  taktik,  dan  garis  politik.  Dalam  waktu
singkat, Persatuan Perjuangan berhasil menjadi kelompok oposisi terkuat.
Program  minimum  yang  dikemukakan  Tan  Malaka  pada  kongres  pertama
Persatuan  Perjuangan  mencakup  tujuh  inti  pokok,  antara  lain  berunding
atas pengakuan kemerdekaan 100 persen, melucuti tentara Jepang, menyita
aset  perkebunan  milik  Belanda,  dan  menasionalisasi  industri  milik  asing
yang beroperasi di Indonesia. Tujuh inti pokok adalah respons Tan Malaka
terhadap  kinerja  Sjahrir  yang  terkenal  akomodatif  terhadap  keinginan
Belanda.
Tan  Malaka  terombang-ambing  di  antara  permainan  politik  penguasa  dan
oportunisme politik yang menghinggapi sebagian besar  pengikut Persatuan
Perjuangan.  Ia  tak  sempat  mendidik  kader-kadernya  sendiri  untuk
berkomitmen tinggi pada perjuangan sebagai akibat terlalu lama berada di
pengasingan. Sekelompok kecil anak muda di sekelilingnya lebih cenderung
menampakkan  diri  sebagai  simpatisan  daripada  memenuhi  syarat  untuk
disebut sebagai kader.
85
Ketika Sjahrir mengumumkan Lima Program Pokok, yang kemudian disebut
sebagai Lima Pokok Soekarno (isinya antara lain mengakomodasi tujuh inti
pokok),  beberapa  organisasi  anggota  Persatuan  Perjuangan-antara  lain
Pemuda  Sosialis  Indonesia,  Gerakan  Rakyat  Indonesia, Barisan  Tani
Indonesia, dan Partai Katolik-mulai berbalik mendukung Sjahrir. Masyumi,
yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan, pun menerima posisi Menteri
Penerangan yang dijabat oleh M. Natsir pada kabinetSjahrir II.
Intrik  demi  intrik  disusun  demi  menjatuhkan  Tan  Malaka dari  panggung
politik  yang  baru  dilakoninya.  Atas  tuduhan  mengacau keadaan  dan
berbicara  serta  bertindak  menggelisahkan,  Tan  Malaka ditangkap  pada  17
Maret  1946.  Selang  empat  bulan  kemudian,  beberapa  gelintir  anggota
Persatuan  Perjuangan  juga  ditangkap  terkait  dengan  keterlibatan  mereka
dalam  upaya  kudeta  yang  gagal  pada  3  Juli  1946.  Insiden  itu  sekaligus
menandai  bubarnya  Persatuan  Perjuangan.  Sjahrir  menuduh  Tan  Malaka
berada  di  balik  aksi  kudeta.  Tapi,  sampai  pembebasannya  dua  tahun
kemudian, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan.
Selama  dua  setengah  tahun  masa  penahanannya,  Tan  Malaka  menulis
beberapa buku, termasuk otobiografinya, Dari Penjarake Penjara. Praktis ia
tak bisa turut mewarnai jalannya revolusi Republik yang telah dirancangnya
sejak  1925  seperti  dalam  karyanya,  Naar  de  Republiek Indonesia.  Tan
Malaka  dibebaskan  pada  September  1948  semasa  pemerintah  Perdana
Menteri Hatta. Harry A. Poeze berpendapat pembebasan itu tak lepas dari
taktik  politik  Hatta  untuk  mengimbangi  kekuatan  Musso  yang  baru  saja
datang  dari  Moskow  pada  Agustus  1948.  Sekelompok  kecil  pengikut  Tan
Malaka yang dipimpin dr Muwardi telah terlebih dulumendirikan Gerakan
Revolusi  Rakyat  untuk  menandingi  gerak  politik  Front Demokrasi  Rakyat
pimpinan  Amir  Sjarifuddin  yang  di  kemudian  hari  bergabung  dengan
Musso.
Keluar  dari  penjara,  Tan  Malaka  mendirikan  Partai  Murba  untuk
merealisasi gagasan-gagasannya. Tapi partai ini terlalu kecil dengan jumlah
pendukung  yang  terbatas  dan  kurang  lincah  bermanuver di  tengah  iklim
politik  yang  fluktuatif.  Ia  kembali  menjadi  orang  yang  bergerak  di  balik
layar  dengan  tak  menjadi  Ketua  Partai  Murba.  Tan  Malaka  lebih  memilih
menggalang  kekuatan  tentara  dan  rakyat  di  Kediri,  Jawa  Timur,  untuk
menghadapi  Agresi  Belanda  II  berdasarkan  bukunya,  Gerilya  Politik
Ekonomi.
Ada dilema yang dihadapi Tan Malaka yang menyebabkan  dia tak menjadi
seseorang  dalam  arus  utama  revolusi  pada  republik  yang  baru  ini.  Ia
seorang  tokoh  terkenal,  sekaligus  tidak  terkenal.  Namanya  dikenal  dari
karya-karya  yang  ia  tulis  semasa  berada  di  luar  negeri.  Tapi  nama  Tan
Malaka  lebih  banyak  diperbincangkan  sebagai  sosok  misterius  yang
dipenuhi  mitos.  Ia  tak  lagi  memiliki  relasi  politik  yang  luas  dan  erat  baik
86
pada  kelompok  "kolaborator",  terlebih  pada  kelompok  "bawah  tanah"
pimpinan Sjahrir.
Aktor-aktor  utama  di  panggung  politik  Indonesia  pada masa-masa  awal
kemerdekaan  telah  terisi  oleh  mereka  yang  datang  dari dua  atau  tiga
generasi  di  bawahnya.  Kemunculan  Tan  Malaka  yang  tiba-tiba  di  masamasa awal kemerdekaan, legenda, bahkan mitos tentang kehebatannya, dan
karier  politik  di  masa  lalu  yang  cemerlang  tak  banyak membantunya
memenangi pertarungan politik di era revolusi.
Pembungkaman  Tan  Malaka,  menurut  Ben  Anderson,  telah  mengakhiri
setiap  harapan  yang  pernah  ada  bahwa  Indonesia  akan memilih  jalan
perjuangan daripada jalan diplomasi. Tan Malaka menawarkan sebuah jalan
Merdeka  100  Persen,  tapi  itu  mustahil  terjadi  dalam  gelombang  revolusi
yang dahsyat saat itu. Dan hanya ia sendiri yang tahu betul apa yang harus
dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kalau  kesuksesan  berpolitik  diukur  dari  seberapa  besar  kekuasaan  yang
diperoleh,  bukan  di  sana  tempat  Tan  Malaka.  Bukan  pula  pada  pelajaran
sejarah  di  sekolah-sekolah  yang  tak  mencantumkan  namanya,  kendati  dia
pahlawan nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 53
Tahun 1963.
Kesuksesan Tan Malaka terletak pada sikap konsistendalam berpolitik dan
orisinalitas  pemikirannya  yang  berpihak  kepada  rakyat.  Pentingnya  ilmu
pengetahuan untuk membangun masyarakat, seperti yang  ditulisnya dalam
Madilog dan beberapa brosurnya yang menganjurkan kemandirian bangsa,
menjadi relevan bila melihat kondisi bangsa dewasa ini.
87
Warisan Tan Malaka Warisan Tan Malaka
Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MENGAPA  Tan  Malaka  tidak  berhasil  membesarkan  Partai Murba?
Jawabnya  jelas,  karena  ia  ditembak  mati  di  Kediri  tiga  bulan  setelah
mendirikan  partai  itu.  Pilihan  hari  pembentukan  partai  itu,  7  November
1948-bertepatan dengan hari revolusi Rusia-tentu tak sembarangan. Murba
muncul  setelah  Partai  Komunis  Indonesia  tersingkir  pasca-Peristiwa
Madiun,  September  1948.  Karena  itu  Murba  dicitrakan sebagai  partai
komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu  pula  yang  kemudian  menyebabkan  keduanya  bukan  hanya  bersaing
sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai
pemberontakan  PKI  1926/1927  antara  Tan  Malaka  dan  Musso  berdampak
panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya
memiliki  berbagai  kesamaan  dengan  Tan  Malaka.  Namun,  ketika  ditanya
wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila
ia  punya  kesempatan,  katanya,  yang  pertama  dilakukannya  adalah
menggantung Tan Malaka.
Sejak  awal  sudah  terjadi  perdebatan  apakah  Murba  akan  dijadikan  partai
kader  atau  partai  massa.  Namun  yang  jelas  partai  ini lahir  dalam  kancah
revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. AdaChaerul Saleh di Jawa
Barat  dengan  Barisan  Bambu  Runcing.  Sukarni  dan  kawan-kawan  yang
menyebar  dari  Yogya  ke  Jawa  Tengah,  dan  Tan  Malaka  sendiri  di  Jawa
Timur  yang  bergabung  dengan  batalion  yang  dipimpin  Mayor  Sabarudin.
Ketiga  upaya  itu  akhirnya  gagal.  Chaerul  Saleh  ditangkap,  lalu
diperintahkan  Presiden  Soekarno  untuk  studi  ke  Jerman.  Dan  sebelum
gerakan  kelompok  Tan  Malaka  terkristalisasi,  terjadilah  agresi  militer  II
Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak tokoh seperti Iwa
Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono. Walaupun
terdiri  dari  pemuda  yang  bersemangat,  dalam  organisasi mereka  kurang
andal.  Kisah  dan  nama  besar  Tan  Malaka  dijadikan  legenda,  tetapi
pemikirannya  tidak  dijabarkan  dalam  bentuk  aksi.  Mesin  (pengkaderan)
partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidakmemiliki penerbitan serius,
kecuali  Pembela  Proklamasi  yang  terbit  20  edisi.  Upaya  mendekatkan
Murba  dengan  PKI  seperti  dirintis  Ibnu  Parna  dari  Acoma  (Angkatan
Communis  Muda)  ditolak  elite  PKI.  M.H.  Lukman  menulis  "Tan  Malaka
Pengkhianat Marxisme-Leninisme" (Bintang Merah, 15 November 1950).
88
Pemilu  1955  adalah  pengalaman  pahit  sekaligus  kehancuran  partai  (yang
kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi
yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak berhasil
masuk parlemen.
Demokrasi  terpimpin  memberikan  peluang  bagi  Murba.  Soekarno
menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember
1959,  dihadiri  Presiden.  Chaerul  Saleh  dan  Prijono  masuk  kabinet,  Adam
Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya,
Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Pertentangan  antara  Murba  dan  PKI  menajam.  Ketika  PKI semakin  kuat,
Murba  bekerja  sama  dengan  militer  dan  pihak  lain  menjegal  dengan
membentuk  Badan  Pendukung  Soekarnoisme  (BPS).  Namun  BPS
dibubarkan  Bung  Karno.  Sukarni  dan  Syamsudin  Chan  ditahan  pada  awal
1965.  Murba  dibekukan  dan  kemudian  dibubarkan  pada  September  1965
karena  dituduh  menerima  uang  US$  100  juta  dari  CIA  untuk
menggulingkan  Presiden.  Pada  17  Oktober  1966  Soekarno  merehabilitasi
partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada  awal  Orde  Baru,  Adam  Malik  menjadi  Menteri  Luar  Negeri  dan
kemudian  Wakil  Presiden.  Namun  posisinya  ini  tidak  berpengaruh  bagi
Partai Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971-dua bulan setelah wafatnya
Sukarni,  tokoh  partai  ini-Murba  beroleh  49  ribu  suara  (0,09  persen
pemilih).  Tetapi  kegagalan  utama  Murba  disebabkan  oleh  stigma  rezim
Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Barumenabukan sosok Tan
Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan
dari  buku  pelajaran  sejarah  di  sekolah.  Dalam  pemilu  selanjutnya  Murba
berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba,
yang menyebut dirinya "Musyawarah Rakyat Banyak" itu, ikut pemilu pada
1999. Sayang, mereka hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih).
***
Tan  Malaka  membentuk  jaringan  revolusioner  yang  hebat  dalam
perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun, dari
Pandan  Gadang  (Suliki),  Bukittinggi,  Batavia,  Semarang,  Yogya,  Bandung,
Kediri,  Surabaya,  Amsterdam,  Berlin,  Moskow,  Amoy,  Shanghai,  Kanton,
Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang.
Meskipun  sempat  memimpin  Partai  Komunis  Hindia  Belanda  pada  1921,
Tan  Malaka  justru  menolak  pemberontakan  PKI  pada  1926/1927.  Ia  sama
sekali  tidak  terlibat  dalam  peristiwa  Madiun  1948.  Murba  dalam  berbagai
hal bertentangan dengan PKI.
89
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada 1
Juni  1927.  Walaupun  bukan  partai  massa,  organisasi  ini  hidup  selama
sepuluh  tahun  pada  saat  partai-partai  nasionalis  di Tanah  Air  lahir  dan
mati.  Pari  dianggap  berbahaya  oleh  intel  Belanda,  dan  para  aktivisnya
diburu.  Kemudian  tibalah  saatnya  Tan  Malaka  berselisih  jalan  dengan
Komunis  Internasional  (Komintern).  Bagi  Komintern,  Pan-Islamisme
sebuah bentuk imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme,
kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade, pascakemerdekaan, perjuangan Tan
Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut. Ia memperoleh testamen
Bung  Karno  untuk  menggantikan  bila  yang  bersangkutan tidak  dapat
menjalankan  tugas.  Namun  sejak  1946  Tan  Malaka  menentang  diplomasi
yang  merugikan  Indonesia.  Sebagai  pemimpin  Persatuan  Perjuangan  yang
terdiri dari 142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru
dilakukan  bila  Belanda  mengakui  kemerdekaan  Indonesia 100  persen.
Posisi  ini  membuat  Tan  Malaka  berhadapan  diametral  dengan  Perdana
Menteri  Sjahrir  sehingga  di  kalangan  sosialis  pun  narasi  tentang  Tan
Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik Revolusi,karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut Trotsky, apakah Persatuan
Perjuangan  itu  merupakan  front  bersatu  untuk  revolusi  permanen?
Tampaknya  tidak.  Motivasi  organisasi-organisasi  itu  hanyalah  menolak
dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan
gagal, Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka
ditangkap  pada  Maret  1946  dan  tetap  ditahan  sampai  September  1948.
Ironis,  ia  dipenjarakan  di  dalam  negeri  dua  setengah tahun-lebih  lama
daripada waktu ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan
selama puluhan tahun pada era kolonial. Dalam situasikrusial, Tan Malaka
tidak bisa mempengaruhi jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang
ditahan, terutama setelah peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno  mengakuinya  sebagai  seorang  guru,  dalam  hal  pengetahuan
revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang beruntung, Tan
Malaka  yang  sudah  berjuang  puluhan  tahun  di  mancanegara  tidak  punya
peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati SoekarnoHatta.  Meski  Harry  Poeze  punya  dokumentasi  yang  menunjukkan  bahwa
Tan  Malaka  berada  di  belakang  gerakan  pemuda,  seraya memobilisasi
massa  mengikuti  rapat  akbar  di  Ikada  pada  19  September  1945.  Ada
beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan Malaka di lapangan Ikada,
Jakarta.  Di  dalam  foto  Tan  tampak  berjalan  seiring  dengan  Bung  Karno
(tinggi  mereka  berbeda,  Soekarno  172  sentimeter  sedangkan  Tan  Malaka
165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan Malakadalam sebuah
Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh  Hatta. Tetapi Tan
90
Malaka  tetap  bergerak  di  bawah  tanah  dan  ragu  untuk tampil  secara
terbuka.  Mungkin  ini  disebabkan  pengalaman  pribadinya  yang  lebih  dari
dua  puluh  tahun  dikejar-kejar  dan  (hidup)  dalam  ilegalitas.  Seperti
dikatakan  orang-orang  dekatnya,  Tan  Malaka  sulit  kembali  sebagai  orang
"normal".  Tan  Malaka  baru  muncul  ke  permukaan  pada  Januari  1946,
ketika melihat diplomasi pemerintah sangat merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab ancaman dan tantangan
zaman  masa  kini.  "Dari  dalam  kubur  suara  saya  terdengar  lebih  keras
daripada di atas bumi," kata Tan Malaka ketika akan ditangkap polisi Hong
Kong  pada  1932.  Tan  Malaka  tidak  mewariskan  partai,  tetapi  ia
meninggalkan  pemikiran  brilian  yang  dapat  diserap  partai  mana  saja  di
Tanah Air.
91
Trio Minang Bersimpang Jalan Trio Minang Bersimpang Jalan
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunisIndonesia, di
Berlin,  Jerman,  pada  pertengahan  Juli  1922  itu  berlangsung  gayeng.
Mohammad  Hatta  sengaja  datang  dari  Belanda.  Tan  Malaka  juga.  Tan
berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
"Bukankah  komunisme  itu  mengesahkan  diktator,  Bung?  Karl  Marx
menyebut diktator proletariat," Hatta, 20 tahun, menyela.
"Itu  hanya  ada  pada  masa  peralihan,"  Tan  menukas.  Dia melanjutkan,
"Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat.Kaum buruh merintis
jalan  ke  arah  sosialisme  dan  komunisme  yang  terselenggara  untuk  orang
banyak  di  bawah  pimpinan  badan-badan  masyarakat.  Jadi  bukan  diktator
orang-seorang."
Hatta  menceritakan  kembali  percakapan  itu  dalam  Memoir (1979).  Dalam
buku  itu  Hatta  setuju  pada  pandangan  Tan,  yang  lebih  tua  tujuh  tahun.
Bahkan  ia  mengomentarinya:  jika  begitu  Tan  pasti  tak  setuju  dengan  cara
otoriter  Joseph  Stalin  memimpin  Rusia.  Tapi,  kepada  Z. Yasni  yang
mewawancarainya  pada  1977,  Hatta  mengatakan  bahwa  dalam  diktator
proletariat yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.
Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang
komunisme.  Ia  menganjurkan  koperasi  dalam  menegakkan  ekonomi
Indonesia.  Sebaliknya,  Tan  percaya,  jika  digabung,  Pan-Islamisme  dan
komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya.
Menurut  Anwar  Bey,  bekas  wartawan  Antara  yang  menjadi  sekretaris
pribadi  Adam  Malik,  Hatta  dan  Tan  sudah  seperti  musuh.  Kepada  Bey,
Hatta  buka  kartu  kenapa  ia  selalu  curiga  dan  menentang  Tan.  "Dia  selalu
menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan," katanya.
Hatta,  kata  Bey,  sebetulnya  sudah  tak  senang  kepada Tan  sejak  di
Amsterdam.  Pada  1927,  setahun  setelah  "pemberontakan" Partai  Komunis
Indonesia  yang  gagal,  Hatta  meminta  tokoh-tokoh  komunis  menyerahkan
pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua
PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak.
Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno
dan didengar Anwar Bey, sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. "Padahal,
Tan  Malaka  hanyalah  berpandangan  bahwa  pemimpin  revolusi  tak  boleh
dipegang orang selain komunis," kata Bey.
92
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945,
sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta
menawari  Tan  ikut  dalam  pemerintahan.  "Tidak,  dua  (Soekarno-Hatta)
sudah  tepat.  Saya  bantu  dari  belakang  saja,"  kata  Tan.  Hatta  menganggap
penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda.
Tak  mengherankan  ketika  Soekarno  keceplosan  membuat  testamen  lisan
yang  isinya  akan  menyerahkan  kekuasaan  kepada  Tan  jika  ia  ditangkap
sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema
Soemantri, dan Wongsonegoro. "Agar mewakili semua kelompok," katanya.
Selain  dengan  Hatta,  Tan  Malaka  juga  berselisih  paham  dengan  Sutan
Sjahrir,  yang  juga  berasal  dari  Minang.  Menurut  Adam  Malik  dalam
Mengabdi  Republik  (1978),  pada  awal-awal  kemerdekaan Sjahrir  menolak
bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia
menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta.
Setelah  yakin  Indonesia  merdeka  secara  de  jure,  Sjahrir-yang  menganut
ideologi sosial-demokrat-ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda.
Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia
"merapat"  ke  kubu  Inggris-Amerika  sebagai  "penguasa"  baru  nusantara.
Sekutu  memilih  Sjahrir  sebagai  juru  runding  karena  menganggap  "Bung
Kecil" itu berpikiran modern dan disukai Belanda.
Sjahrir  kemudian  gencar  mengampanyekan  politik  diplomasi.  Dalam
kampanyenya,  seperti  tertuang  dalam  pamflet  Perjuangan  Kita,  Sjahrir
telak-telak  menyatakan  akan  menyingkirkan  semua  kolaborator  Jepang.
Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga JenderalSoedirman sebagai
salah  satu pemimpin  tentara  Pasukan  Pembela Tanah  Air (Peta) bentukan
Jepang.
Perselisihan  makin  runcing  ketika  Sjahrir  menjadi  perdana  menteri  dan
mengubah  sistem  politik  dari  presidensial  menjadi  parlementer.  Praktis  ia
dan  Amir  Syarifuddin  yang  berkuasa.  Meski  tak  banyak komentar  lisan,
dalam  Demokrasi  Kita,  Wakil  Presiden  Hatta  mengecam  perubahan  itu.
"Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,"
katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapatke kubu Tan Malaka
yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940,
muncul  tiga  dwitunggal  yang  punya  jalan  masing-masing  menghadapi
politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan SoedirmanTan Malaka. "Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya
tak  segan  mengambil  kebijaksaan  sendiri,"  kata  Soedirman  kepada  Adam
Malik.
93
Soedirman  dan  Tan  Malaka  lalu  mengumpulkan  seluruh  elemen  politik  di
Purwokerto,  Jawa  Tengah.  Pertemuan  ini  menghasilkan  faksi  Persatuan
Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai
politisi-cum-sejarawan:  Muhammad  Yamin.  Ia  aktif  di  Persatuan,  tapi
sering  jalan  dengan  sikapnya  sendiri.  Tanpa  konsultasi  dengan  pimpinan
Persatuan,  Yamin  gencar  mengkritik  secara  terbuka  politik  diplomasi
Sjahrir.  Sikap  frontal  Yamin  ini  kian  memanaskan  situasi  yang  berakhir
dengan  mundurnya  Sjahrir  dari  kursi  perdana  menteri  pada  28  Februari
1946.
Situasi  adem  itu  tak  berlangsung  lama.  Tak  lama  kemudian  Soekarno
kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat
kubu  Soedirman-Tan  kembali  meradang.  Saking  marahnya,  para  pemuda
Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan  Amir Syarifuddin
yang akan masuk Istana Negara.
Bahkan  saling  tangkap  pun  terjadi.  Amir  memerintahkan  tentara
menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan
memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama
membebaskan  sandera  ketika  Soekarno  turun  tangan.  Tapi  konflik  tak
begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan  Harry A.  Poeze  berpendapat,  perbedaan  trio  Minang  itu  karena
mereka  lahir  dari  lingkungan  yang  berbeda,  meski  sama-sama  belajar
Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adatTan seorang raja
tapi  miskin  secara  ekonomi,  sedangkan  Hatta-Sjahrir  kelas  menengah
secara  ekonomi.  Tan  orang  udik,  Hatta  dari  Bukittinggi  dan  Sjahrir  dari
Padangpanjang dari keluarga pedagang.
Meski  sama-sama  dibuang,  Hatta-Sjahrir  masih  menerima  penghasilan.
Sedangkan  Tan  tak  punya  pendapatan  pasti  dalam  pelarian,  hidupnya
susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha
di  Banten  Selatan.  Pasase  hidup  yang  membuatnya  kian mantap  menjadi
Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda
di  Deli.  Ia  melihat  langsung  bagaimana  orang  sebangsanya  ditindas
menjalani kuli kontrak.
Berbeda  dengan  Hatta,  kendati  sering  berseberangan, hubungan  pribadi
Tan  dengan  Sjahrir  relatif  bagus.  Menurut  Poeze,  Sjahrir  pernah  dua  kali
menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa,
Tan menolak.
94
Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan
Rizal Adhitya Hidayat
Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul
SAMPAI  kematiannya  yang  tragis  sebagai  tumbal  revolusi,  lebih  dari  20
tahun  hidup  Tan  Malaka  dihabiskan  untuk  merantau  di  negeri  lain.  Dari
agen  Komintern  untuk  Asia  di  Kanton  sampai  menjadi  free  agent  bagi
dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga
hidup  merdeka  seratus  persen.  Dan  Madilog,  buku  yang ditulisnya  dalam
persembunyian  dari  Kempetai,  polisi  rahasia  Jepang  (1943),  adalah
warisannya yang paling otentik.
Tan  menginginkan  Madilog-singkatan  dari  Materialisme, Dialektika,  dan
Logika-sebagai  panduan  cara  berpikir  yang  realistis,  pragmatis,  dan
fleksibel.  Inilah  warisan  perantauannya  yang  berasal  dari  pemikiran  Barat
untuk  mengikis  nilai-nilai  feodalisme,  mental  budak,  dan  kultus  takhayul
yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa?  Sebab, Tan berpikir,
mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak
mempunyai  riwayat  kesejarahan  sendiri  selain  perbudakan.  Tak
mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan
sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.
Madilog  adalah  solusinya.  Inilah  sebuah  presentasi  ilmiah  melalui
serangkaian  proses  berpikir  dan  bertindak  secara  materialistis,  dialektis,
dan  logis  dalam  mewujudkan  sebuah  tujuan  secara  sistematis  dan
struktural.  Segala  dinamika  permasalahan  duniawi  dapat  terus  dikaji  dan
diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batasbatasnya bisa ditangkap oleh indra manusia.
Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah jugasintesis perantauan
dari  seorang  Tan  yang  berlatar  belakang  budaya  Minangkabau.  Ini
terjabarkan  ke  dalam  dua  sense  of  extreme  urgency  point pemikiran  Tan
Malaka  demi  membumikan  Madilog  dalam  ranah  Indonesia.  Pertama,
Madilog  lahir  melalui  sintesis  pertentangan  pemikiran di  antara  dua  kubu
aliran  filsafat,  yaitu  Hegel  dengan  Marx-Engels.  Hegel  dengan  filsafat
dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh
(absolute  idea)  hanya  dapat  tercapai  melalui  perkembangan  dinamis,  dari
taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi.
Semua  berkembang,  terus-menerus,  berubah  tapi  berhubungan  satu  sama
lain.  Hegel  lebih  memfokuskan  pemikiran  bahwa  untuk  mencapai
kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting daripada matter (benda).
Sementara  itu,  bagi  Marx-Engels,  proses  dialektika  ini  lebih  cocok
diterapkan  dalam  ranah  matter  melalui  revolusi  perpindahan  dominasi
95
kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang
sebenarnya,  yaitu  masyarakat  tanpa  kelas.  Jadi  matter bagi  Marx-Engels
lebih penting daripada ide.
Nah,  dalam  Madilog,  Tan  Malaka  mencoba  mensintesiskan  kedua
pertentangan  aliran  filsafat  ini  untuk  mengubah  mental  budaya  pasif
menjadi  kelas  sosial  baru  berlandaskan  sains;  bebas  dari  alam  pikiran
mistis.  Melalui  sains,  mindset  masyarakat  Indonesia  harus  diubah.  Logika
ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis
dari  taraf  perpindahan  gerakan  kelas  sosial  dari  tingkatannya  yang  paling
rendah  sampai  paling  tinggi  berupa  kelas  sosial  baru yang  berwawasan
Madilog.  Inilah  proses  "merantau"  secara  pemikiran  karena  berbagai
benturan ide yang terjadi.
Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting
konsep  rantau  dalam  budaya  Minangkabau  adalah  mengidentifikasi  setiap
penemuan  baru  selama  merantau  demi  pengembangan  diri.  Karakter
masyarakat  Minangkabau  adalah  dinamis,  logis,  dan  antiparokial.  Konflik
batin  khas  perantau  ditepisnya  dengan  tradisi  berpikir  rasional,  didukung
dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan  menanamkan cara
berpikir  yang  logis.  Sementara  itu,  merantau  adalah  juga  mencari
keselarasan  hidup;  yang  tersusun  dari  dinamika  pertentangan  dan
penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang  umum berlaku di
masa  mudanya  membuatnya  memahami  baik  dinamisme  Barat  maupun
dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia
yang terpisahkan (Mrazeck, 1999).
Sebagai  sintesis  hasil  perantauannya,  Madilog  merupakan  manifestasi
simbol  kebebasan  berpikir  Tan  Malaka.  Ia  bukan  dogma yang  biasanya
harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis
yang  cenderung  mengkaji  hafalan  sebagai  kaum  bermental budak/pasif
yang  sebenarnya.  Di  sinilah  filsafat  idealisme  dan  materialisme  ala  Barat
dan  konsep  rantau  disintesiskan  Tan  Malaka.  Lembar  demi  lembar
ditulisnya  di  bawah  suasana  kemiskinan,  penderitaan, dan  kesepian  yang
begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncakkualitas orisinal
pemikiran  terbaik  Tan  Malaka  yang  dikumpulkannya  dari  Haarlem,
Nederland  (1913-1919),  sampai  kelahiran  buah  pikirnya  itu  di  Rawajati
(1943).

0 komentar

Posting Komentar