Rabu, 10 Desember 2014
[Buku] Tan Malaka, Bapak Republik Yang Terlupakan
1
DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI
11 AGUSTUS 2008
ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di
mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan.
Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah
politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang
membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam
perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh
abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno,
melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun,
tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI
membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan
kekuasaan, Bung Karno memilih Musso-orang yang telah bersumpah
menggantung Tan karena pertikaian internal partai-ketimbang Tan.
Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan.
Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat
nama-salah satunya Tan-apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap.
Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu
berbunyi: "...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan
pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan
revolusioner, Tan Malaka."
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di
kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup.Ketika Harry
Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu,
mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru
sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam
pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu
pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar
di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudianPoeze datang. Poeze
pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan,
tersembunyi di balik lemari sekolah.
Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa
akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah
perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki,
Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas
secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek
Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu
dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia
Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928),
dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
2
Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah
pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia.
Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung
Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa
Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu
tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung
pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi
buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya,
Indonesia Menggugat.
W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan
kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" ke dalam lagu Indonesia Raya
setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk "Khayal
Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan
laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorangyang tahu kewajiban
putra tumpah darahnya."
Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia
menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini
kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan
dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaanyang waktu itu
belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan
menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan".
Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze
bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan,
seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan
mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi
kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak
banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun
mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari
pelbagai daerah bukan perkara mudah.
Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan
dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yangpernah didatangi
Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di
Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian.
Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada
1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap
jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi
jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang
menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua
dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang
ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
3
Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku
Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut
dalam tahanan di Hong Kong. "Sekonyong-konyong tiga orang memegang
kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya.
Semua dilakukan serobotan," ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari
dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong
Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada
Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan
yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di
lapangan itu dan menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa
dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap
Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi
Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang
menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada
pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu.
Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres
Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan
gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika
tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana
kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi,
kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan
bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot
revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih.
"Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak," tulis Tan. Singkat
kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai.
Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu:
kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan
orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia
seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim"
(siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah
menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah;dua-tiga generasi
di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini,
ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang
lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali
riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat
bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir,
Mohammad Natsir, dan lainnya.
4
TIM EDISI KHUSUS HARI KEMERDEKAAN
Penanggung Jawab:Yos Rizal Suriaji
Pemimpin Proyek: Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Kurie Suditomo
Penyunting: Idrus F. Shahab, Hermien Y. Kleden, Leila S. Chudori, Arief
Zulkifli, M. Taufiqurrohman, Yos Rizal Suriaji, Amarzan Loebis, Bina
Bektiati, Budi Setyarso, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, Putu Setia, Toriq
Hadad, Yosep Suprayogi
Penulis: Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Kurie Suditomo, Yos Rizal
Suriaji, Bagja Hidayat, Yandi M. Rofiyandi, Sunudyantoro, Sapto Pradityo,
Adek Media Roza, Untung Widyanto, Anne L. Handayani, Muhammad Nafi,
Yudono Yanuar, Asmayani Kusrini, Yosep Suprayogi, Budi Riza, Nunuy
Nurhayati
Reporter: Asmayani Kusrini (Belanda), Aris Andrianto (Purwokerto),
Febrianti (Padang), Dwijo Maksum (Kediri), Kukuh S. Wibowo (Surabaya),
Rina Widiastuti, Bunga Manggiasih, Yugha Erlangga (Jakarta)
Penyunting Bahasa:Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Foto: Mazmur A. Sembiring, Bismo Agung, Nurharyanto,Novi Kartika
Riset Pustaka:Hendriyanto, Endang Ishak, Indria Sari S.
Desain Visual:Gilang Rahadian, Kendra H. Paramita, Kiagus Auliansyah,
Danendro Adi, Fitra Moerat R., Hendy Prakasa Tata Letak: Agus Darmawan
Setiadi, Aji Yuliarto, Tri W. Widodo
5
Be BeBe Berakhir di Gunung Wilis rakhir di Gunung Wilis rakhir di Gunung Wilis
11 AGUSTUS 2008
SEMULA berniat jadi guru, di separuh jalan Ibrahim Datuk Tan Malaka
mengganti cita-cita. Itu bermula ketika ia bersekolah di Rijks
Kweekschool, Belanda. Di Kota Haarlem yang nyaris bangkrut ditinggal
ratusan pabrik bir yang gulung tikar, ia berkenalandengan sosialisme. Tapi
ia menemukan "laboratorium"-nya sepulang dari Belanda tatkala menjadi
guru anak-anak buruh perkebunan teh Belanda di Deli, Sumatera Utara.
Inilah jejak perjuangan Tan Malaka.
HAARLEM, BELANDATeman-teman dekatnya di sekolah memanggilnya Ieb atau Ipie.
1. SUMATERA BARAT Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool,
Haarlem, Belanda. Berangkat dari Teluk Bayur, Oktober 1913.
2. HAARLEM, BELANDABerkenalan dengan politik.Saat pulang kampung pada
November 1919, cita-citanya cuma satu: mengubah nasib bangsa Indonesia.
3. DELI, SUMATERA UTARAMenjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh
Belanda. Hengkang ke Semarang pada 1921.
4. SEMARANGBergabung dengan Sarekat Islam. Aktif menyatukan gerakan
komunis dengan Islam untuk menghadapi imperialisme Belanda. Gara-gara ini,
pada 13 Februari 1922 ia ditangkap Belanda di Bandung.
5. JAKARTA1 Mei 1922, Tan dibuang ke Amsterdam.
6. BELANDAMenjadi calon anggota parlemen nomor 3 di Partai Komunis
Belanda.
7. JERMANMelamar menjadi legiun asing, tapi ditolak. Di Berlin, bertemu
Darsono, pentolan Partai Komunis Indonesia.
8. RUSIANovember 1922, mewakili Partai Komunis Indonesia dalam konferensi
Komunis Internasional (Komintern) keempat di Moskow. Diangkat sebagai
Wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton. Pindah ke sana pada Desember
1923.
9. KANTONMenerbitkan majalah The Dawn dan menulis buku Naarde Republiek
Indonesia pada 1925. Menerima kabar ayahnya meninggal.
10. FILIPINAJuni 1925 menyelundup ke Manila untuk menyembuhkansakit paruparunya. Memakai nama Elias Fuentes, bekerja sebagai koresponden El
Debate.
11. SINGAPURAAwal 1926 masuk Singapura memakai nama Hasan Gozali,
orang Mindanao. Menulis buku Massa Actie.
12. THAILANDJuli 1927 mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok.
13. FILIPINAAgustus 1927 ditangkap polisi Filipina. Tengah malam, September
1927, diusir dan dititipkan di kapal Suzanna tujuanPulau Amoy di Cina.
6
14. Pulau Amoy (Xiemen)
15. SHANGHAIPada 1930 masuk Shanghai dengan menyamar sebagai Ossario,
wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Oktober 1932 pindah ke
Hong Kong karena pecah perang antara Cina dan Jepang.
16. HONG KONGTan tertangkap. Pada Desember dibuang ke Shanghai.
17. PULAU AMOYKabur dari kapal. Pada 1936 mendirikan sekolah bahasa
Inggris dan Jerman. Ketika Jepang menyerang Amoy setahun kemudian, ia lari
ke Burma.
18. SINGAPURAIa bisa turun di Singapura, "Namun saya tiada mau memakai
kesempatan itu, karena dengan begitu saya akan kehilangan uang US$ 25,"
tulis Tan. Ini uang yang diminta nakhoda sebagai jaminan bahwa dia akan turun
di Rangoon.
19. BURMATiba di Rangoon pada 31 Agustus 1937. Sebulan di Rangoon, ia
kembali ke Singapura.
20. SINGAPURAMengajar bahasa Inggris dan matematika di sekolah Tionghoa.
Ketika Jepang menyerbu, ia pulang ke Indonesia melalui Penang pada Mei
1942.
21. PENANG, MALAYSIABerlayar ke Medan pada 10 Juni 1942 dengan mengaku
sebagai Legas Hussein.
7
PERIODE JAWA
DARI Medan Tan memulai petualangan selanjutnya menuju tanah Jawa hingga akhir hayat.
PADANGMampir di Padang, mengaku sebagai Ramli Hussein, lalu melanjutkan perjalanan
ke Lampung.
JAKARTATiba pada Juli 1942, tinggal di daerah Rawajati. Di sini menulis Madilog dan Aslia.
BANTENPada 1943 menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten,
menggunakan nama Ilyas Hussein.
JAKARTA Menggerakkan pemuda menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini
kawasan Monas), 19 September 1945.
PURWOKERTO1 Januari 1946, menggalang kongres Persatuan Perjuangan untuk
mengambil alih kekuasaan dari tentara Sekutu.
MADIUNTan dan Sukarni ditangkap di Madiun 17 Maret 1946, karena Persatuan
Perjuangan dituduh akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Sejak itu, keduanya hidup dari
penjara ke penjara di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
MAGELANGJuni 1948, keduanya dipindahkan ke penjara Magelang. Tan menulis Dari
Penjara ke Penjara. Pada 16 September 1948 dibebaskan.
YOGYAKARTATan dan Sukarni mendirikan Partai Murba, 7 November 1948.
GUNUNG WILIS, KEDIRITentara Republik Indonesia menangkap dan mengeksekusi Tan
pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, karena dituduh melawan Soekarno-Hatta.
Kala itu Tan bersama Jenderal Soedirman-yang berjuang di Yogyakarta-sedang melawan
agresi Belanda.
SUMATERA BARAT Sebelum ke Belanda ditahbiskan sebagai pemangku adat dengan
nama Ibrahim Datuk Tan Malaka.
BEKAS STASIUN SAKETI, BANTENStasiun kereta menuju Bayah, tempat Tan
menyaksikan ribuan romusha sekarat di bawah tekananJepang.
8
Jalan Sunyi Tamu dari Bayah Jalan Sunyi Tamu dari Bayah
IA memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein. Datang dari Bayah,
Banten Selatan, pria paruh baya itu bertamu ke rumah Sukarni di Jalan
Minangkabau, Jakarta, awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh,
B.M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Tamu jauh itu hendak
menghadiri kongres pemuda di Jakarta.
Memakai baju kaus, celana pendek hitam, dan topi perkebunan ditenteng di
tangan, tamu itu disambut tuan rumah. Setelah sedikitbasa-basi, Hussein
menyampaikan analisisnya tentang kemerdekaan dan politik saat itu.
Situasi memang lagi genting. Penjajah Jepang sudah ditubir jurang.
Ulasan Hussein tentang proklamasi membuat Sukarni terpukau. Pikiran
Hussein sama persis dengan tulisan-tulisan Tan Malaka yang selama ini
dipelajari Sukarni. Setelah mendengar analisis Hussein, Sukarni makin
mantap: proklamasi harus segera diumumkan.
Sejarah mencatat, Hussein adalah Ibrahim Sutan Datuk Tan Malaka yang
tengah menyamar. Sejak awal Sukarni curiga, tamunya tak mungkin hanya
orang biasa-meski ia tak berani bertanya. "Ia heran, bagaimana mungkin
orang sekaliber Hussein hidup di wilayah terpencil," kata sejarawan Belanda
Harry A. Poeze.
Karni malah waswas. "Ia takut kalau Hussein mata-mata Jepang," kata
Anwar Bey, bekas wartawan Antara dan koresponden Buletin Murba.
Kekhawatiran yang campur aduk memaksa Sukarni memindahkan rapat ke
rumah Maruto Nitimihardjo di Jalan Bogor Lama-sekarang Jalan Saharjo,
Jakarta Selatan. Sebelum pergi, Sukarni meminta tamunya menginap satu
malam. Hussein tidur di kamar belakang.
Pada saat rapat, analisis Hussein mempengaruhi pikiran Sukarni. Ide-ide
Hussein dilontarkannya dalam rapat. "Sukarni mendesak proklamasi jangan
ditunda," kata Adam Malik. Para pemuda setuju.
Sepulang rapat, Sukarni masih penasaran pada Hussein. Tapi lagi-lagi ia
ragu bertanya. Sukarni baru bertemu besok paginya ketika tamunya mau
pulang. "Ia berpesan agar Hussein mempersiapkan pemuda Banten
menyongsong proklamasi," kata Anwar Bey, kini 79 tahun.
Kesaksian itu terungkap pada saat Sukarni memberikan sambutan dalam
acara Sewindu Hilangnya Tan Malaka di Restoran Naga Mas, Bandung,
Februari 1957. Anwar Bey malam itu hadir di sana.
9
Dari pertemuan itu, Tan sendiri menafsirkan, Chaerul dan Sukarni
mengenal ide-ide politiknya. Tapi ia belum berani membuka jati diri. "Saya
masih menunggu kesempatan yang lebih tepat," katanya dalam memoar
Dari Penjara ke Penjara.
Ia lalu pulang ke Bayah, kembali bekerja sebagai juru ketik. Nama Hussein
tetap digunakan. Saat itu usianya 48 tahun.
***
HUSSEIN kembali muncul di Jakarta pada 6 Agustus 1945. Ia membawa
tas. Isinya celana pendek selutut, kemeja, dan kaus lengan panjang kumal.
Kali ini yang dituju rumah B.M. Diah, Ketua Angkatan Baru, yang juga
redaktur koran Asia Raya, satu-satunya koran yang terbit di Jakarta.
Utusan Bayah itu menanyakan kabar mutakhir situasi perang. Setelah satu
jam Diah memberikan informasi, Hussein menyatakan pendapatnya.
"Pimpinan revolusi kemerdekaan harus di tangan pemuda," katanya.
Tapi hubungan Hussein dengan Diah berlangsung singkat. Besoknya Diah
ditangkap Jepang gara-gara menuntut kemerdekaan dan menentang sikap
lunak Soekarno-Hatta. Tahu Diah ditangkap, Hussein pulang ke Bayah.
Di sana ia terus bergerak. Tiga hari kemudian dia terlibat rapat rahasia
dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah
jam itu digelar di rumah M. Tachril, pegawai Gemeenschappelijk
Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken-Gabungan Perusahaan Listrik
Bandung dan Sekitarnya.
Di sini Hussein mengobarkan pidato yang menggelora. "Kita bukan
kolaborator!" katanya. "Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan
sebagai hadiah." Kekalahan Jepang, menurut dia, tinggal menunggu waktu.
Pidato itu dilukiskan Poeze dalam buku terbarunya Verguisd en Vergeten
Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949.
"Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami
bersumpah mewujudkan proklamasi itu," kata Hussein di ujung pidatonya.
Bila Soekarno-Hatta tidak mau menandatangani, Hussein memberikan
jawaban tegas: "Saya sanggup menandatanganinya, asalseluruh rakyat dan
bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya."
Hussein diutus kembali ke Jakarta. Ia diminta menjalin kontak dengan
Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat mengantarnya ke stasiun Saketi,
Pandeglang. Hussein naik kereta ke Jakarta.
***
10
SITUASI Jakarta tidak menentu. Kebenaran dan desas-desus berkelindan
satu sama lain. Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana.
Para pemuda bergerak di bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke
rumah lain. Usaha Tan Malaka menjalin kontak dengan pemuda tak
kesampaian.
Kesulitan Tan bertambah karena kehadirannya tempo hari di rumah
Sukarni menyebar dan menjadi pergunjingan. Para pemudabingung siapa
sebenarnya Ilyas Hussein. Karena itu para pemuda jaga jarak bila Hussein
muncul.
Peluang Tan menjalin kontak kian teruk karena sikap hati-hatinya yang
berlebihan. Sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian,
Hussein merasa di bawah bayang-bayang penangkapan.
Tan akhirnya berhasil menemui Sukarni di rumahnya pada14 Agustus sore.
Ia mengusulkan agar massa pemuda dikerahkan. Tapi Sukarni sibuk. Di
rumah itu banyak orang keluar-masuk. Banyak pula hal yang
disembunyikannya, termasuk berita takluknya Jepang.
Ia juga khawatir rumahnya digerebek Kempetai. Itu sebabnya, Sukarni pergi
meninggalkan Hussein. Seperti sebelumnya, ia diminta menunggu di kamar
belakang. Kali ini bersama dua orang yang tak dikenal.
Salah satunya Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng31. Menurut Khalid,
Hussein sempat bertanya di mana tempat penyimpanan senjata Jepang. "Ia
menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan
kemerdekaan," kata Khalid dalam ceramah di Gedung Kebangkitan
Nasional, Agustus 1978.
Khalid juga yakin, Sukarni sudah tahu bahwa Husseintak lain Tan Malaka.
Soalnya, sebelum Khalid diminta menemui utusan Banten itu, Sukarni agak
lama menunjukkan foto lama orang-orang pergerakan. "Di antaranya foto
Tan Malaka waktu masih muda," kata Khalid. Poeze menyangsikan hal itu.
Menurut dia, Sukarni hanya menduga-duga.
Malam itu Sukarni sempat pulang. Tapi setelah itu menghilang. Hussein
besoknya berusaha menemui Chaerul Saleh di Jalan Pegangsaan Barat 30,
tapi Chaerul tidak ada di rumah. Karena di sepanjangjalan santer terdengar
kabar Jepang menyerah perang, Hussein kembali ke rumah Sukarni. Tapi
usahanya sia-sia.
Hussein tidak tahu, Sukarni dan Chaerul akan menculik Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok. Aksi itu dilakukan karena Soekarno-Hatta ngotot
proklamasi dilakukan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan pemuda ingin merdeka tanpa campur tangan Jepang. Setelah
11
berdebat di Rengasdengklok, Soekarno-Hatta bersedia meneken
proklamasi. Teks proklamasi disiapkan di rumah Laksamana Maeda.
Naskah itu besoknya dibacakan di pekarangan rumah Soekarno, di
Pegangsaan Timur 56. Upacara berlangsung singkat. Penguasa militer
Jepang melarang berita proklamasi meluas di radio dan surat kabar. Itu
sebabnya, Tan tidak tahu ada proklamasi. Ia tahu setelah orang ramai
membicarakannya di jalan-jalan.
Terbatasnya peran Tan itu, kata Poeze, sungguh ironis. Padahal Tan orang
Indonesia pertama yang menggagas konsep republik dalam buku Naar de
Republiek Indonesia, yang ditulis pada 1925. Buku kecil ini kemudian
menjadi pegangan politik tokoh pergerakan, termasuk Soekarno.
Dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Adam Malik melukiskan
peristiwa itu sebagai "kepedihan riwayat". Sukarni bertahun-tahun
membaca buku politik Tan. Tapi pada saat ia membutuhkan pikiran dari
orang sekaliber Tan, Sukarni sungkan bertanya siapa Hussein
sesungguhnya. "Ia malah membiarkannya pergi jalan kaki, lepas dari
pandangan mata," kata Adam Malik.
Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Rupanya sejarah
proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya
mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah
tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan
manusia."
***
Setelah proklamasi, Tan berusaha menemui pemuda. Tapi mereka terus
bergerak di bawah tanah. Pada 25 Agustus Tan akhirnya datang ke rumah
Ahmad Soebardjo di Jalan Cikini Raya 82. Keduanya pernah bertemu di
Belanda pada 1919. "Pembantu kami mengatakan ada tamu ingin
berjumpa," kata Soebardjo. Tamu itu duduk di pojok ruangan.
Soebardjo kaget. "Wah, kau Tan Malaka," katanya. "Saya kira sudah mati."
Tan menjawab sambil tertawa. "Alang-alang tak akan musnah kalau tidak
dicabut dengan akar-akarnya." Setelah sempat bersenda-gurau, Soebardjo
menawari Tan tinggal di paviliun rumahnya.
Sejak itu Tan diperkenalkan kepada beberapa tokoh seperti Iwa Koesoema
Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, Boentaran Martoatmojo. Ia juga
dipertemukan dengan Nishijima Shigetada, Asisten Laksamana Maeda. Di
depan Nishijima, ia bicara tentang revolusi, struktur politik, gerakan massa,
hingga propaganda.
12
Nishijima terheran-heran. "Bagaimana mungkin orang yang tampak seperti
petani ini bisa menganalisis segala-galanya dengan begitu tajam," katanya.
Setelah lebih dari dua jam berbincang, Soebardjo menjelaskan bahwa
kawannya ini tak lain Tan Malaka. Nishijima terkejut. Ia bangkit lalu
menjabat tangan Tan lebih erat.
Kepada tamunya, Soebardjo meminta keberadaan Tan dirahasiakan.
Sepekan menetap di rumah Soebardjo, lewat perantara Nishijima, Tan
pindah ke rumah pegawai angkatan laut Jepang di Jalan Theresia. Ia sempat
ke Banten membangun jaringan gerilya, lalu balik ke Jakarta. Pada pekan
kedua September, ia pindah ke Kampung Cikampak, 18 kilometer sebelah
barat Bogor. Sejak itu ia bolak-balik ke Jakarta.
Di Jakarta, kaum pemuda terus bergerak. Mereka melihatpemerintah tidak
bekerja mengisi kemerdekaan meski kabinet telah dibentuk. "Mereka cuma
kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan," kata Adam Malik. "Seperti tidak
ada rencana."
Itu sebabnya, sebagian pemuda mengusulkan demonstrasi. Tapi sebagian
lain ingin membentuk Palang Merah dan mengurus tawanan perang.
Pemuda yang berkumpul di Jalan Prapatan 10, sekarang Jalan Kwitang,
terbelah.
Pemuda prodemonstrasi meninggalkan Jalan Prapatan menuju Menteng 31.
"Ini kesempatan kita mempraktekkan Massa Actie," kata Sukarni mengutip
buku Tan yang menjadi pegangan pemuda. Setelah itu mereka membentuk
Komite van Actie. Komite ini mengambil alih sarana transportasi dan
mengibarkan bendera Merah-Putih di mana-mana.
Karena kabinet belum ada kegiatan, Soebardjo-saat itu sudah Menteri Luar
Negeri-meminta nasihat Tan yang lalu mengusulkan agar propaganda
dilakukan lewat semboyan-semboyan. "Tan ikut mengusulkan katakatanya," kata Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto.Semboyan itu ditulis
pemuda di tembok-tembok, mobil, dan kereta api hingga tersebar ke luar
Jakarta, dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar menarik perhatian
dunia.
Sejak itu Soekarno mendengar kemunculan Tan. Ia meminta Sayuti Melik
mencarinya. Dua tokoh itu akhirnya diam-diam bertemu dua kali pada awal
September 1945. Pertemuan itu menjadi rahim lahirnya testamen politik.
Isinya: "Bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pimpinan perjuangan akan
diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir, dan Wongsonegoro."
Kasak-kusuk kehadiran Tan makin santer. Para pemuda membicarakannya
di Menteng 31. Tan saat itu tinggal di rumah Pak Karim, tukang jahit di
Bogor. Sukarni dan Adam Malik mencarinya ke sana. Mereka berhasil
13
bertemu, tapi ragu identitas Tan. "Apalagi saat itu banyak muncul Tan
Malaka palsu," kata Hadidjojo.
Untuk memastikan, para pemuda membawa Soediro-kenalan Tan di
Semarang pada 1922-beberapa hari kemudian. Sesudah itu mereka
membawa guru Halim, teman sekolah Tan di Bukittinggi. Tan juga dicecar
soal Massa Actie karena banyak Tan Malaka palsu tidak bisa menjelaskan isi
buku tersebut.
Maruto bahkan menyarankan agar pemuda tidak begitu saja mempercayai
Tan. Ia rupanya mendengar Tan sudah bertemu Soekarno. Tapi setelah
mendengar kata-kata Tan, kaum pemuda yakin tokoh legendaris itu antifasis.
Tan juga sepakat dengan aksi pemuda Menteng 31. "Ia mengusulkan
demonstrasi yang lebih besar," kata Hadidjojo. Demonstrasi digelar untuk
mengukur seberapa kuat rakyat mendukung proklamasi. Ide ini melecut
pemuda menggelar rapat akbar di Lapangan Ikada. "Tan berada di balik
layar," kata Poeze.
Pemuda mendapat kuliah dari Tan tentang perjuangan revolusioner.
Persinggungan pemuda dengan Tan berlangsung antara 8dan 15 September
1945. Sekelompok pemuda, antara lain Abidin Effendi, Hamzah Tuppu,
Pandu Kartawiguna, dan Syamsu Harya Udaya, diperkenalkan kepada Tan.
Sukarni lalu mengirim Hamzah, Syamsu, dan Abidin ke Surabaya untuk
mengorganisasi para pelaut.
Di Jakarta, kelompok pemuda menggelar rapat. Mereka menyiapkan
demonstrasi pada 17 September-tepat sebulan setelah proklamasi. Tapi
unjuk rasa diundur dua hari. Ada anekdot, tanggal itu dipilih karena para
pemuda jengkel dimaki-maki Bung Karno bulan sebelumnya."Bung Karno
marah karena pemuda menggelar pawai di taman Matraman pakai obor dua
hari setelah proklamasi," kata Hadidjojo mengutip Maruto, ayahnya.
Pamflet aksi disebar dan ditempel di mana-mana. Sukarni keluar-masuk
kampung, menemui kepala desa, tokoh masyarakat, pemuda, hingga kiai,
agar datang ke Lapangan Ikada. Mahasiswa meminta Soekarno hadir juga.
Tapi presiden pertama itu menolak.
Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong datang. Senapan
mesin Jepang dibidikkan ke arah kerumunan. Tapi gelombang massa terus
berdatangan. Jumlahnya diperkiran 200 ribu. Di bawah terik, mereka
menunggu berjam-jam. Salah satu yang hadir almarhum Pramoedya Ananta
Toer. "Itulah pertama kali saya saksikan orang Indonesia tidak takut lagi
pada Dai Nippon," kata Pram, saat itu berusia 20.
14
Sementara sidang kabinet pagi itu terbelah. Sebagianmenteri setuju hadir
di Ikada. Sedangkan yang menolak takut ada pertumpahan darah. Rapat
berjalan alot. Pukul empat sore, Soekarno memutuskan datang
menenteramkan rakyat yang sudah menunggu berjam-jam. "Saya tidak akan
memaksa. Menteri yang mau tinggal di rumah silakan," katanya.
Rombongan Soekarno-Hatta pergi menuju Ikada. Poeze menduga, Tan
Malaka ikut dalam rombongan. "Ia satu-satunya yang memakai topi, jalan
berdampingan dengan Soekarno menuju podium," kata Poeze.
Di mimbar Soekarno berpidato lima menit. Suaranya lunak. Ia meminta
rakyat tetap tenang dan percaya pada pemerintah, yang akan
mempertahankan proklamasi. Massa diminta pulang. Setelah itu, barisan
bubar meninggalkan lapangan.
Hasil demonstrasi itu menyesakkan Tan. Pidato itu, katanya, tidak
menggemborkan semangat berjuang. "Tidak mencerminkan massa aksi dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
15
Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah proklamasi, ia
diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar desasdesus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya,
Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis
buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter pribadinya,
menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan datang.
Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju
rumah Soeharto-sekarang Apotek Titimurni-di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian itu mengaku
bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa "Abdulradjak" ke kamar
belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto
menunggu di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua
tokoh dalam gelap itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa Actie-buku
yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib
revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi
pembicaraan, sementara Soekarno lebih banyak diam. "Tan lebih
berpengalaman dalam perjuangan," kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan
tentang revolusi, kata Sayuti, belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung Karno. Tan
mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan
datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia
mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata,"Jika nanti terjadi
sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi, saya
harap Saudara yang melanjutkan." Sebelum menutup pertemuan, ia
memberi Tan sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom
Sekitar Testamen untuk Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan,
September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali ini di rumah
dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan
Pelopor di masa pendudukan Jepang.
16
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh
mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di
ujung percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus
obor kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu. Dalam
memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas
kehormatan dan tanda kepercayaan. "Saya sudah cukup senang bertemu
Presiden Republik Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya
idamkan," katanya.
***
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat kabinet
pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan
menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam
perjuangan. Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain adalah Tan
Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan
pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat.
Juga ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap
berkolaborasi dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka, Iwa
Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad
Soebardjo. Iwa dan Gatot saat itu Menteri Kesehatandan Jaksa Agung. Pada
30 September, mereka sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi
bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan
pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: "Kenapatidak bicara dulu
kepada saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu TanMalaka."
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar. Tongkat
revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka
mewakili aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah,
Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman
representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon Soebardjo mengajak
bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut Soekarno-Hatta
besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa menyulut
kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta
juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain
17
memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar
pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti Soekiman
dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok
Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah
semuanya setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga.
Soekarno-Hatta lalu menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan
teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan salinan teks
itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah Hatta
memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan
kubunya kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam
bukunya Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi
menghambat penyampaian teks itu.
***
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling Jawa. Menurut
Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo-salah seorang aktivis
Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini
Gedung Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta- amplop yang dibawa Tan tak
hanya berisi wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti
Melik. Bung Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satupaket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan Suryono. Atas
usul Djohan Syahruhzah-belakangan menjadi Sekretaris Jenderal Partai
Sosialis Indonesia-Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des
waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang
menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap
Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. "Malam itu saya sempat
memijatnya," kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama
Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara
Cina terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir itu
kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang
dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa
ditemani Djohan. "Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum
retak," kata Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua kubu itu
rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan Perjuangan-
18
kumpulan 141 organisasi politik-Tan menentang kebijakan diplomasi yang
dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung penjara. Ia
bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno
ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah
menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak
melakukan kudeta. Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke
penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang itu. Ia
mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri
Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka"diamankan" sebelum
delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yaminbelakangan terbukti.
Dalam persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddinmengatakan Tan
dan kelompoknya ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang
mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik palsu. Isinya
menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi
kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari
kebohongan itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan
pemberian testamen, tapi batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi testamen asli
dan naskah proklamasi lewat kurir. "Amplop itu diterima ayah saya," kata
Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan dakwaan. Tapi
bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi ilegal.
Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 daripenjara Magelang,
Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah
proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan
Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan
akan bergerilya ke Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu
memberinya surat pengantar dan satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur
Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen,
Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata
sejarawan Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari
1949.
19
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei 1972,
polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip
buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in
Indonesia (1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik
Tan Malaka merebut kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak
pendapat Kahin. Menurut dia, pertemuan dan pembuatan testamen atas
prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.-atas hasil wawancara dengan
Hatta-menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum
ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju.
Sedangkan Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya,
dalam perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat kabar reda setelah
S.K. Trimurti-istri Sayuti-menulis surat pembaca di harian Sinar Harapan,
akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya
menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu
mengaku menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang
sering menemani Tan sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan, Trimurti
menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang
dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu
mengatur pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara, Trimurti
menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya,
Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. "Setelah itu kami
pulang dengan perasaan lega," kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di
tengah bara api.
20
Si Mata Nyalang di Balai Societeit
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah, menyala-nyala.
Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer
dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap
gedung bioskop. Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka
wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan
laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat petang
itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di
Jawa. "Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang
datang," ujar pria yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat Partai
Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan
Pemuda Islam Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan
Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat jelata berjejal-jejal. Mereka
antusias, karena Panglima Besar Jenderal Soedirman juga di tengahtengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api. Mereka
yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan
Solo turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di
Stasiun Raya, kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah
dengan sukarela menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau
gula merah. Tak hanya untuk konsumsi rapat, barang-barang yang
terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan rakyat
jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan
penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto
dianggap merupakan basis kuat, karena itu Tan memilihnya untuk
tempat kongres para pemimpin berbagai organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet Gandhiwijaya.
Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar.
Dari Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. "Slamet
menjual sawah untuk biaya kongres," kata Nirwan, yang menjadi
Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan mendeklarasikan Partai
Murba pada November 1948.
21
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri
menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran
Madiun, Jawa Timur, 1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek
pembangunan, seperti jalan dan waduk. Belum semua proyek
rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia Timur,
termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut
peneliti dan penulis buku tentang Tan Malaka, HarryA. Poeze, koper
Slamet masih penuh uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan
politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan Patikraja,
Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan
kereta api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan
Serajoedal Staatspoor, mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun
Raya Purwokerto-Gombong yang melalui Kedungrandu. Jalur ini
melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936, dua
perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda di
Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kirikanan rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukitbukit hijau. Rumah Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon
petai cina. Di belakang rumah mengalir Kali Pematusan, sekaligus
pembatas rumah dengan sawah. "Dulu saya suka memetik klandingan
(petai cina) di situ," ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan garasi
mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet
sebagai priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan,
termasuk Darmuji, umumnya takut bertamu. "Saya dan Den Slamet
kan beda," katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di rumah ini
pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan
istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin
diambil dari bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua.
Perintis Gunawan, 49 tahun, anak Slamet yang kini tinggal di
Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari ibunya.
22
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera
bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. "Kalau
Tan lari ke selatan, ibu saya bilang larinya ke utara," kata Perintis.
Rumah Slamet dijaga Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan.
Di sini ada ikan yang dinamai Yopi. "Jika tangan Tan menaburkan
pakan, Yopi langsung menyaut," kata Perintis, mengingat kisah dari
ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober 1920, adalah
aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November
tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa
Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi
Belanda II pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah
milik sendiri, satu kilometer dari rumah lama. Slamet
mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak itu rumah tidak
dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri
bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si
Kuan, pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini
bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini menekuni
industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia
meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis
kemerdekaan. Kini, meja dan kursi tempat Tan berdiskusi dengan
Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu jati bulat telur itu
semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di
Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio
Republik Indonesia di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng
Wijono, 70 tahun, ahli sejarah ekonomi Purwokerto, gedung itu
beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda bernama Societeit.
Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah Republik
berdiri, disebut Balai Prajurit. "Tapi orang-orang tua lebih suka
menyebutnya Societeit," kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari rumah
Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak
peserta kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat
Yogyakarta terbitan 6 Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze
23
dalam bukunya, menggambarkan peserta rapat terdiam menahan
napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman. Jarang
sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat
melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih muda.
Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar.Mata agak kecil
tapi tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah
dengan nyata karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin.
Pakaian sederhana. Berkemeja dan bercelana pendek dan berkaos
kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak sepakat
dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri
Sjahrir. Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas
masuknya Sekutu ke Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk
mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk
pemerintah rakyat, membentuk tentara rakyat, melucuti tentara
Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, menyita perkebunan
musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak.
Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi
dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan
maling di rumahnya. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah
Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di kongres: "Lebih
baik di atom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100
persen." Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk
Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada 15
Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan.
Dibuka pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia
mengundang Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta,
dan anggota kabinet. Tapi, yang datang hanya Menteri Luar Negeri
Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo, dan
24
Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo
mengirimkan wakil mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka,
Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan ditangkap. Ia
lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta,
Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba
bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru
Meer Uitgebreid Lager OnderwijsAdabiyah Padang, juga orang PariPartai Republik Indonesia. Anwar kelak menjadi wartawan Antara
dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik. Mereka diutus pemuda
Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan mereka tak
banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. "Tan hanya
bilang teruskan perjuangan," kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di Malang,
Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara
meninggalkan Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945.
Tapi, karena banyak wakil berada di Jawa Barat dan Jakarta,
konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui wakil-wakil
organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya
Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1
Januari 1946 di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat
bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan besar.
Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19
Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul
Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan
Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi)
menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini,
menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi
Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus
dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia.
25
Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis
Ignas Kleden
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu
dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20
tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh
dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922,
diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila,
Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia
menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia.
Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang
paling lama di Tiongkok.
Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya
tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan
Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali.
Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika
menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee,
orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa
Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk
kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan
menjadi Ilyas Hussein.
Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia
menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di
Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, "Tan
Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacammacam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan
Melayu." Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah
dilakukannya.
Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis
Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada
urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat Komintern dengan tugas
mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang
mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia
menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi
kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign
Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup
uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah
atas walau tanpa ijazah.
Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah
kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar
negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke
26
Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di
Mojokerto (1946-1947).
Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yatsen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia
membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak
sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut TanMalaka, Dr Sun
bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis.
Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan
analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang
effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu
satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya
memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada
percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal.
Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawanTan Malaka karena
ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak
mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada
komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan
tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr
Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya
mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan
penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa
menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang
Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen,
nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo
borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai
pejuang kemerdekaan.
Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya
dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar
terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa
yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata
dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno
selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu
untuk berjuang mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga
pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang
tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno
telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasangagasan politiknya.
Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama
pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar
belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang
menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya
menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur
tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan
kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete
27
independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan
ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda
revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945.
Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnumnya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan ratarata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan.
Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama
tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan
sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari
pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan
ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum
(jembatan keledai).
Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme
diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir
alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi
berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika
berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam
rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika
menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air
dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap
setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius.
Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme.Tesis utama filsafat
ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan
kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan
masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan
perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk
merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam
merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow
dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di
negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk
menentang imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona
oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia
dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan
penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis,
melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia
dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang
untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk
kemerdekaan tanah airnya.
Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap
gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis
tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua
tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum
28
dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don't lose your head!
Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal
dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan
akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan
kepala di tanah air yang amat dicintainya.
29
Gerilya Dua Sekawan Gerilya Dua Sekawan
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di rumah besar di
dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa Tengah.
Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia
kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk menemui
Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis
Gunawan, putra bungsu Slamet-kini 49 tahun-mendapat cerita pertemuan
kedua tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu mencari Herman,
sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu sebelum
masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. "Ibu langsung
disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan," kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku tentang Tan,
mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Merekabertemu pertama
kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946.
"Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi," katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45, bahkan
menyebut Tan dan Soedirman sebagai "dwitunggal". Ia menyamakan
hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan SyahrirAmir Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memilikiurat dan akar
di kalangan pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan
bekas romusha. "Di bawah pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu
menyerang pos dan kubu pertahanan Jepang," Adam menulis.
Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi
pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, "kemerdekaan harus seratus
persen" dan "berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen".
Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin
memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa
pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan
dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin
Barisan Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima Divisi III Mayor
Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946.
Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara
Wirogunan. Aksi ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan
Letnan Kolonel Soeharto, penanggung jawab keamanan Yogyakarta-kelak
menjadi presiden-agar menangkap Sudarsono.
30
Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman merenggang.
Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno.
Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan
membantu laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan Jenderal
Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, iamendukung penuh
semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah
mencatat, Tan dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer
Belanda II pada 1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Haji
Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke Bangka.
Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di
Jawa Tengah.
Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50 orang. Ia
bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia
pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa
Belimbing, Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang
kemudian menjadi Gerilya Pembela Proklamasi.
Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama "Dari Markas Murba
Terpendam". Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya
melawan Belanda seperti Soedirman.
31
Kerani yang Baik Hati Kerani yang Baik Hati
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah
memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal
usianya. Parino, dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo
pada Februari 1917. Sedangkan data Romusha Kecamatan Bayah
mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo 1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari, Bayah,
Banten Selatan-sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari
Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang
batu bara. Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang
diingatnya, "Saya belum menikah, tapi sudah disunat," ujarnya sambil
tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai
pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada
1 April 1943. Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang
dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Parino. Di kawasan
pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka singgah dan bekerja
sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal masyarakat
Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat
mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis.
"Kalau enggak salah, orangnya sangat pintar," kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi satu-satunya
tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang
datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada
perusahaan swasta sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari Sumatera
dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai
oleh kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam
memenuhi kebutuhan batu bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka
membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayahsekitar 90 kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke
lokasi penambangan seperti Gunung Madur, Tumang, dan Cihara.
32
Kini beberapa lokasi masih ditambang penduduk, sedangkan yang
lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia butuh
penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di
Bayah membutuhkan 30 pekerja-bukan romusha. Tan melamar tanpa
ijazah. Dia mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah
menengah pertama) dua tahun dan pernah menjadi juru tulis di
Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50 pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir di
Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi.
Dia lalu meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat cerita
tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang
artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang
banyaknya korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi,
kalau jarak Saketi ke Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang
dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari Jakarta
menuju Bayah dan Labuan. Tempo-bersama penulis buku Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poezemenelusuri rute perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan
itu telah menjadi tempat tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya,
58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti beroperasi pada 1950-an,
disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum menghuni
gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja
dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia
berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan
umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam
kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh
tentara Jepang, karena penyakit kudis, disentri, dan malaria
mewabah di sana. Waktu itu, penyakit dan kelaparan menjadi faktor
utama kematian romusha di Bayah.
33
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia sering
berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian
mereka. Dalam memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha
meninggal setiap bulan. Hingga akhir pendudukan Jepang, luas
tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya
kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka
membelikan makanan buat romusha dari upahnya sendiri. "Kita
dapat mempraktekkan rasa tanggung jawab terhadap golongan
bangsa Indonesia yang menjadi korban militerisme Jepang," kata Tan
suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan
kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul
dengan mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia
mencoba berbicara mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya
sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram beras
setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang.
Dalam salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan
mengatakan hitung-hitungan upah romusha hanya di atas kertas.
Tulisan itu dia buat di Surabaya pada November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat percakapan
dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. "Seratus ton arang itu
diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga
romusha pun digedor," ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama
sekali tidak mengeluarkan bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib
romusha. Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan
bagi seribu romusha. Mereka membangun rumah sakit di pinggiran
Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun sayur dan buahbuahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua Badan
Pembantu Keluarga Peta-organisasi sosial yang membantu tentara
bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan
Pembantu, Tan lebih leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan,
seperti pertunjukan sandiwara atau sepak bola.
34
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan.
Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha.
Mereka pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan
Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di
Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di
Bayah-kini menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan
lebih sering menjadi wasit. Selesai bermain, dia biasanya mentraktir
para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Tan
menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato
bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah
itu, Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno
meminta pekerja tambang membantu berjuang dengan meningkatkan
produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan
hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman
untuk para tamu. Para penanya rupanya sering mendapat jawaban
guyon sinis. Kepada Son-co (Camat) Bayah, misalnya, Sukarjo
mengejek supaya ikut kursus "Pangreh Praja".
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan
talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak
lebih tepat kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin
kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa
Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah.
Menurut dia, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar
membela kemerdekaan yang ada daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarnomungkin tidak
pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan
itu dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan
romusha dan nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi
keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu
Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan.
35
Pertemuan itu untuk memilih dan mengirimkan wakil Banten ke
pertemuan Jakarta. Tan-sebagai Hussein-didaulat menjadi wakil
Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda Jawa.
Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya
berbicara sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti
Harsono Tjokroaminoto, Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan mencatat
data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan
rencana pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya
dengan berorasi di muka umum. Besoknya, Jepang membatalkan
pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang kerusuhan.
Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai
(polisi militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein.
Tapi penyelidikan terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman
sudah menyerang dan Rusia menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia memanfaatkan
situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensipemuda di Jakarta
pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan
dan mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan Sukarni. Dia
tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di
Jakarta. Akhir Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin
Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil
naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze
mengatakan naskah itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti sepeninggal
Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer
kedua Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu
romusha pada 1950-an. "Rasanya dulu lebih ramai ketimbang
sekarang," kata Haji Sukaedji, 73 tahun, warga kelahiran Bayah,
kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....
36
Naskah dari Rawajati Naskah dari Rawajati
DI DESA Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia
menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi di
rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pukul enam pagi hingga
pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog
(Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli
1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen-sekarang Museum Nasional-
untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak
di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki-kadang butuh
waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di
museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di
perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, "Sorenya
kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata," tulis Tan dalam
memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madilog merupakan
bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan
Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama
pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama
seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan
rujukan dari perpustakaan di museum yang dikunjunginya. "Tan ingin
mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri,"
kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze,
dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,
mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang
merdeka dan sosialis. "Tulisan itu merupakan karya orisinal Tan," ujar
Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda.
Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan
Jepang. Karena aktivitasnya inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah
datang dan menggeledah gubuknya.
37
Karena tak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta
maaf kepada Tan. Sang pejabat tak tahu Tan telah menyembunyikan kertaskertasnya di kandang ayam.
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog
juga dibawanya bertualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru
memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, "Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah
mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta
akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya."
38
Bolsyewik yang Terbuang Bolsyewik yang Terbuang
Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan Palu Arit, Bintang Bulan, dan Tan
Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dalam Partai Komunis. Mendukung
aliansi dengan Islam, ia sering tak sepaham dengan teman seperjuangan.
SEMARANG, 25 Desember 1921. Malam semakin larut, namun suhu dalam
Kongres II Partai Komunis Indonesia malah memanas. Selain udara pengap
oleh 1.500 orang peserta, hawa dalam ruangan juga tambah panas akibat
pidato Abdul Muis, anggota Central Sarekat Islam. Dia mengungkit silat
kata antara Partai Komunis dan beberapa tokoh Sarekat tentang Pan-Islam,
beberapa bulan sebelumnya. Muis juga mengungkap lagi kritik Komunis
Internasional terhadap gerakan Pan-Islam yang didukung sebagian anggota
Sarekat.
Padahal, beberapa menit sebelumnya, Ibrahim Datuk Tan Malaka, telah
mengingatkan perlunya persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat
Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis,
kedua partai semestinya bersatu karena tujuannya sama: mengusir
imperialis Belanda.
Di mata Tan, silang pendapat kedua partai hanyalah bagian dari politik
pecah belah imperialis. "Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita
perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada
musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia,"
katanya. Pendapat Tan ini didukung Kiai Haji Hadikusumo, tokoh
Muhammadiyah di Sarekat Islam. Menurut Hadikusumo, mereka yang
memecah-belah persatuan rakyat berarti bukan muslim sejati.
***
Ketika mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging alias
Perhimpunan Sosial Demokrasi di Hindia pada 9 Mei 1914, semula
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet tidakingin terlibat politik.
Dia ingin sekadar mempropagandakan sosialisme. Namun, ketika
Perhimpunan yang mayoritas anggotanya orang Belanda di Hindia makin
terlibat dalam politik lokal, kebutuhan melebarkan pengaruh pun makin
besar.
Usaha pertamanya menggalang kerja sama dengan Insulinde bubar dalam
setahun. Sneevliet, yang semula begitu terpesona dengan karisma Dr Tjipto
Mangunkusumo, pemimpin Insulinde, gagal menyeret Tjipto ke "kiri".
Belakangan, Sneevliet bahkan mengkritik Tjipto. "Dia kurang memihak
kelas proletar," katanya.
39
Pada saat hubungan dengan Insulinde putus, sebenarnya Perhimpunan
sudah mulai melirik Sarekat Islam. Jalur masuk ke Sarekat ini terbuka lewat
Suharsikin, istri pemimpin Sarekat, Haji Omar Said Tjokroaminoto.
Suharsikinlah pengelola rumah indekos yang ditempati Alimin, Musso,
Soekarno, dan juga S.M. Kartosuwirjo di Surabaya. Selain tempat mondok,
rumah Tjokroaminoto juga kantor pusat Sarekat. Sneevliet, Adolf Baars, dan
anggota Perhimpunan seperti Semaun dan Darsono, acap terlibat diskusi
rutin di rumah itu.
Penyusupan pengaruh Perhimpunan lebih mulus karena beberapa
anggotanya seperti Semaun, Alimin, dan Darsono juga merangkap anggota
Sarekat. Semaun, misalnya-aktivis buruh kereta api-sudah masuk ke
Sarekat sejak 1914 dan sempat menjabat sebagai sekretaris cabang
Surabaya.
Semangat merengkuh kelompok Islam ke dalam barisan komunis
sebenarnya juga dilakukan Partai Komunis Rusia. PadaFebruari 1918, tiga
bulan setelah Revolusi Bolshevik, Partai Komunis Rusia membentuk
komisariat khusus organisasi Islam sebagai corong propaganda ke negaranegara berpenduduk mayoritas muslim. Namun aliansi tak bisa mulus.
Karena Pemimpin Partai Komunis Rusia, Vladimir Ilyich Lenin, tetap
menjaga jarak dengan kekuatan Islam. "Tidak boleh melebur, tapi tetap
menjaga independensi karakter gerakan proletar," kata Lenin. Hingga pada
Kongres II Komunis International pada Juli 1920, kedua kekuatan pecah,
karena Komunis menilai Pan-Islam hanya memperkuat posisipara mullah.
Sikap Komunis Internasional ini mempersulit usaha Perhimpunan-yang
kemudian bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia setelah
bergabung dengan Komunis Internasional-merebut pengaruh dalam Sarekat
Islam. Hubungan Partai Komunis Indonesia dengan Sarekat kian buruk
setelah Darsono dan Baars menyerang kepemimpinan Tjokroaminoto. Itu
ditambah propaganda kelompok anti-Partai Komunis dalam Sarekat yang
dimotori duo Agus Salim-Haji Fachrudin.
Adalah Tan Malaka yang terus berusaha merangkul kembali Sarekat Islam.
Dia bahkan mengkritik Darsono dan Baars yang dianggapnya telah
menjauhkan komunis dan Islam. Untuk merebut hati kaum muslim, Partai
Komunis juga mendukung perbaikan peraturan ibadah haji.
Ketika pemimpin Muhammadiyah mengundang Tan berpidato tentang
komunisme, dengan penuh semangat dia menyanggupi. Sayangnya, Tan
keburu ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Hanya tiga bulan menjabat
Ketua Partai Komunis, pada 29 Maret 1922, dari Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta, Tan kembali meninggalkan Indonesia menuju Belanda.
40
Kendati sudah jauh dari Indonesia, Tan tetap mengkampanyekan aliansi
komunis-Islam. Dalam Kongres IV Komunis Internasional di Petrograd,
Rusia, pada November 1922, Tan meminta mereka meralat sikap atas PanIslam. Menurut Tan, Pan-Islam merupakan perjuangan seluruh bangsa
muslim merebut kemerdekaan. "Jadi bukan hanya perjuangan kemerdekaan
terhadap kapitalisme Belanda, tapi juga Inggris, Prancis, dan kapitalisme di
seluruh dunia," katanya dalam bahasa Jerman. Aplaus panjang menyambut
Tan pada saat turun panggung.
Sayang, usaha Tan gagal. Perpecahan tak dapat dicegah. Kelompok Islam di
Sarekat memaksa "orang-orang kiri" keluar dari partai. Kelompok pecahan
ini kemudian menjadi Sarekat Islam Merah, yang terafiliasi dengan Partai
Komunis.
***
Di Partai Komunis, popularitas dan pengaruh Tan cepat melesat. Kurang
dari setahun sejak dia diperkenalkan Sutopo, aktivis Budi Utomo, dengan
Semaun dan Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta,
Tan sudah menduduki posisi puncak Partai Komunis.
Terusir dari Indonesia pun tak membuatnya kehilanganposisi. Pada Januari
1923, Komunis Internasional memilih Tan sebagai pengawas untuk
Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Namun, ada
saja yang tak setuju.
Salah satunya Pieter Bergsma, pengurus Partai KomunisIndonesia. Dalam
suratnya kepada Semaun, Bergsma menyatakan telah berusaha mencegah
penunjukan Jep-panggilan Tan. Baik Bergsma maupun Semaun
berpendapat, Tan terlalu cepat mendapat posisi setinggi itu. Begitu juga
dengan Alimin dan Musso. Menurut Alimin, Komite Eksekutif Komunis
Internasional tak pernah memberikan mandat veto kepada Tan. "Orang
yang benar-benar jujur dan paham cara kerja seorang propagandis bukan
orang yang suka mengklaim dirinya penting dan punya kekuasaan," Alimin
mengkritik Tan.
***
Sejak awal, perencanaan aksi pemberontakan terhadappenjajah Belanda itu
berantakan. Keputusan tidak dibuat dengan solid. Menurut Djamaluddin
Tamin, rapat di Prambanan, Jawa Tengah, pada 25 Desember 1925-lah yang
memutuskan aksi itu. Yang hadir sebelas kamerad, termasuk Alimin dan
Musso. Namun Alimin membantah ikut rapat perencanaan pemberontakan
tersebut-dia mengatakan tahu rencana itu belakangan. Sedangkan para
pemimpin utama Partai, seperti Semaun, Tan, Musso, Darsono, dan Ali
Archam, ada di pengasingan atau di bui.
41
Selain itu, dana cekak. Uang untuk membayar ongkos perjalanan kader
partai sering tak ada. Alat propaganda partai seperti koran Api pun
terancam semaput.
Tatkala partai "kurang darah", massa pendukung justru kian hilang sabar,
ingin aksi secepatnya. Perintah Partai pada 5 Agustus-empat bulan sebelum
rapat Prambanan-untuk menunda pemogokan tidak digubris. Serikat buruh
di tiga kota, Surabaya, Medan, dan Batavia, tetap mogok, dan akhirnya
"patah" dengan cepat.
Padahal, rencananya, pemogokan dilakukan bertahap. Surabaya menjadi
titik awal pemberontakan. Tapi, akibat kekalahan di tiga kota itu, mereka
tak lagi punya banyak pilihan, melawan atau ditumpas."Kami percaya, akan
lebih terhormat mati dalam perlawanan daripada mati tanpa pernah
melawan," ujar Darsono. Maka rapat Prambanan pun memutuskan
pemberontakan.
Untuk mengatasi kekurangan dana, Alimin, yang ketika itu ada di
Singapura, diutus ke Moskow. Selain berharap restu Komunis Internasional,
mereka juga butuh duit, pasokan senjata, dan kalau perlu tentara. Sebelum
ke Moskow, mereka ingin memastikan dukungan Semaun dan Tan, dua
wakil partai di Komunis Internasional, terhadap rencana Prambanan.
Semaun, yang berkantor di Amsterdam, Belanda, menolak undangan ke
Singapura. Alimin pun berangkat menemui Tan di Filipina pada Januari
1926. Seperti dia perkirakan, Tan menolak rencana Prambanan. "Sikapnya
begitu dingin. Dia juga merasa dilangkahi," kata Alimin. Sebagai tanggapan,
Tan menulis Massa Actie. Dia beralasan, untuk tujuankecil, Partai Komunis
sudah punya cukup kekuatan. "Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi
nasional umum, mereka betul-betul belum kuasa."
Menurut Tan, apa yang dilakukan Partai Komunis baru sebatas putch,
gerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan
rakyat. Kata Tan, "Membuat putch di negeri seperti Indonesia (terutama di
Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapi dandilindungi militer serta
mata-mata modern-sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib,
takhayul, dan dongeng-samalah artinya dengan "bermain api": tangan
sendiri yang akan hangus."
Tapi Alimin tidak menjelaskan sikap Tan itu kepada beberapa kamerad lain
yang berkumpul di Singapura. Dia hanya mengatakan Tan terlalu sakit
untuk berdiskusi dan menolak mendukung rencana Prambanan. Dia juga
mengatakan, Tan menyuruh mereka berangkat sendiri ke Moskow. Musso
dan Alimin, dua pendukung utama rencana Prambanan, memutuskan
pemberontakan jalan terus.
42
Di Manila, Tan mulai tak sabar menunggu kabar dari Alimin. Ternyata,
Tanlah yang meminta Alimin mengumpulkan seluruh pimpinan Partai
Komunis di Singapura. "Saya tidak berniat melarang pemberontakan, tapi
cuma mau menyampaikan pendapat dan kritik," ujar Tan, beberapa bulan
setelah pemberontakan.
Tak kunjung ada kabar, Tan menyusul ke Singapura, tapi di sana hanya
bertemu Subakat, salah satu agen partai. Alimin dan Musso sudah
berangkat ke Moskow. Merasa ditelikung, Tan didukung Subakat dan
Suprodjo, salah satu pimpinan partai, mengirim surat ke seluruh pimpinan
partai soal sikapnya.
Partai Komunis pun terbelah, sebagian di belakang Tan, yang lain tetap
mendukung rencana Prambanan. Komunis Internasional yang semula
diandalkan pun lepas tangan. Joseph Stalin, Sekretaris Jenderal Partai
Komunis Uni Soviet, menolak mendukung pemberontakan yang tak
terorganisasi dan hampir pasti bakal gagal.
Secara sporadis, pemogokan diikuti sabotase dan perlawanan bersenjata
tetap terjadi di Batavia, Tangerang, daerah Priangan, Solo, Pekalongan, dan
berakhir di Silungkang, Sumatera Barat. Dimulai pada 12 November 1926
tengah malam dan padam pada 12 Januari 1927. Alimin melempar
kesalahan kepada Komunis Internasional.
Sejak itu, Tan Malaka berpisah dengan Partai Komunis. Bersama Subakat
dan Djamaluddin Tamin, dia medirikan Partai Republik Indonesia pada
Juni 1927 di Bangkok, Thailand. Tan memang sempat bertemu Alimin pada
1931 dan keduanya membicarakan pemulihan kerja sama, tapi gagal.
Tiga puluh tahun kemudian, Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit,
mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang
persiapan dan minim koordinasi. "Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan
Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah
perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite,
pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sangpemecah belah".
43
Peniup Suling bagi Anak Kuli Peniup Suling bagi Anak Kuli
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah perusahaan
Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta
yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya
Herr Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor satunya di Deli.
Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang ini kerap
beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera
memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan
dirinya. Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan berbicara
kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua
tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya
pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuanpendidikan itu untuk
mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus
perasaan.
"Anak kuli adalah anak manusia juga," kata Tan Malaka. Dia sengaja
mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau pengawas
perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang
uang. Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu
lebih "brutal" ketimbang bapaknya. Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini
bisa menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling
ditakuti pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan bertemu Dr Janssen,
direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran diri. Dia
merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah
sangat mengganggu kerjanya. Tan Malaka mengakui ada empat perkara
perbedaan dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia
menentukan sikap itu. Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan
bagi anak kuli; ketiga, menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli;
serta keempat menyangkut hubungannya dengan para kuliperkebunan.
Tan melihat sumber semua perbedaan itu dari kacamata Marxisme, yakni
konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya sebagai
pertentangan antara "Belanda-Kapitalis-Penjajah" dan "Indonesia-KuliJajahan". Janssen tidak mencegah keinginan Tan untukmundur, karena dia
juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan
Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke
Jawa.
44
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu Tuan W untuk
menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang menempuh
sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta. Namun ada yang
menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Delimerupakan keluarga
kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan.
"Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria
yang sesungguhnya," kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas
di Deli, menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari
Tionghoa. Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan siswanya dan
mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma
datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat,
kemauan, dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua
informasi yang diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai
sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung keluh-kesah
para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat berbagai
peraturan kontrak yang tak bisa dipahami. Tan melihat para kuli itu
terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus "hawa nafsu jahat"
permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang
tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap
membuat marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin memantapkan Tan
bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, "Kemerdekaan rakyat hanya
bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan." Ini semua, kata Tan, untuk
menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang
berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres Sarekat Islam
di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS Tjokroaminoto,
Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam tersebut. Kala
itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam dan
komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono
lebih berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang. "Kehadirannya
menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia," ujar
Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya
sepakat membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner.
Sarekat Islam memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan
45
Malaka berjanji mendirikan perguruan yang cocok bagikebutuhan dan jiwa
"rakyat Murba", sebutan Tan untuk kaum proletar.
Dalam brosur bertajuk "SI Semarang dan Onderwijs", Tan Malaka
menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya
pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan sepertiberhitung, menulis,
ilmu bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum
pemilik modal. Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan
berdemokrasi. Ini untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh,
kepercayaan pada diri sendiri, harga diri, dan cinta kepada rakyat miskin.
Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi kebawah.
Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru tulis seperti
tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan keluarga,
sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah rakyat ini berasal
dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca tulisan
warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata
Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli.
"Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia," kata
Poeze.
Hari pertama pembukaan "sekolah Tan", ada lima puluh siswa datang
mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa
baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua
anak berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan
meminta dukungan orang tua. Para siswa yang bercelanamerah kemudian
melakukan defile sembari menyanyikan lagu internasional.
Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak yang
menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di
lingkungan Sarekat Islam. "Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal
pahlawan," kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200
orang. Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan kursus untuk
mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang ada
untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah
rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota
besar di Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di
daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikansekolah rakyat,
setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di Kota
Kembang itu 300 siswa baru mendaftar. Tahun-tahun berikutnya sekolah
46
rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang
bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan
celana merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota
Hermelin. Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang
mampu menyihir hewan dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga
mereka terus mengikuti sang peniup seruling.
Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis, sekolah rakyat
model Tan Malaka ini lantas bermunculan. "Di antara pekerjaan murid
termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda,
Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern."
Ensiklopedia ini juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis
yang aktif, yang kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah rakyat yang
dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda
menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan
minyak. Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner,
tempat Tan menjadi wakil ketua. Pencipta "sang peniup suling" ini pun
dibuang ke Nederland.
47
Bertemu Para Bolsyewik Tua Bertemu Para Bolsyewik Tua
BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon
Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka "dewa" komunisme yang
menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka
beruntung bisa bertemu dengan mereka.
Komunis muda van Hindia ini tiba di Moskow pada Oktober 1922, dari
Jerman. Dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh,
dan cepat akrab dengan para Bolsyewik di Negeri Beruang Merah itu.
Kamarnya, di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah
para pemuda dan pelajar.
Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres
keempat, Tan-yang melapor sebagai wakil Indonesia-diajak ikut rapat-rapat
persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak
suara.
Kongres Komintern ke-4 akhirnya berlangsung pada 5 November-5
Desember 1922. Di sini Tan bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia,
termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.
Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit.
Giliran Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman
patah-patah, dia menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama
antara komunis dan Islam.
Kata Tan, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada
250 juta muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan
imperialisme-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.
Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan
ada di tangan petinggi partai, para Bolsyewik tua. Karena itu, di akhir pidato
dia berkata, "Maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita
mendukung Pan-Islamisme?"
Tan berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang
membangkitkan semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma
mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus berpidato.
"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah
telah memberi ovasi padanya," tulis Gerard Vanter untuk harian De
Tribune. "Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia
yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam."
48
Esoknya, giliran Lenin angkat bicara. Ruang pertemuan penuh sesak.
Datang terlambat, Tan naik ke panggung dan duduk di tepinya, berharap
bisa mendengarkan Lenin dari dekat. Tapi, sebelum Lenin tiba, panggung
"disterilkan".
Seorang pengawal Lenin menarik tangan Tan sangat keras, sehingga ia
terjerembap. Toh, menurut Harry Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka,
Pergulatan Menuju Republik jilid I, Tan tetap terkagum-kagum mengikuti
pidato Lenin.
Gagasan Tan mendapat dukungan penuh delegasi Asia. Tapi kenyataan itu
tak terlalu disukai oleh Karl Radek, pemimpin Komintern yang
membawahkan urusan Asia.
Setelah Kongres usai dan para utusan kembali ke negeri masing-masing,
Tan bingung harus ke mana. Dia tak ingin kembali ke Belanda. Balik ke
Indonesia pun tak mungkin.
Tan sempat meminta Komintern menyekolahkan dia, tapi ditolak. "Belum
terbuka kursi profesor buat Saudara," ujar seorang temannya, mengolokolok.
Untuk mengisi waktu luang, Radek meminta dia menulis sebuah buku.
Bahan-bahan untuk menulis dipesankan dari Belanda. Tan dibebaskan
menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia.
"Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik,"
tulis Tan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Buku itu akhirnya terbit
pada 1924, dengan judul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja
Vostoke atawa Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit.
Pemerintah Rusia mencetak lagi buku itu sebanyak 5.000 eksemplar pada
1925. Tapi Tan tak sempat menunggu "kelahiran" buku yang dia tulis dalam
bahasa Rusia itu. Pada akhir 1923, dia sudah berada di Kanton, Cina,
sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur.
49
Dukungan untuk Pan Dukungan untuk Pan- -- -Islamisme Islamisme Islamisme
DI Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menganjurkan
kerja sama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme.
Gagasannya tak didukung, tapi pidatonya mendapat tepukan
gemuruh peserta kongres. Petikannya:
.... Pan Islamisme punya sejarah panjang. Pertama saya ingin
bercerita tentang pengalaman kami bekerja sama dengan kelompok
muslim di Hindia. Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi
beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juga anggota-mungkin juga tiga atau empat juta.
Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar danmuncul secara
spontan.
Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu
anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di dalam. Pada
1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program
kami. Perkumpulan Islam itu mendorong masyarakat desa
mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan. Semboyannya:
petani miskin menguasai semuanya, proletar menguasai segalanya!
Jadi SI telah melakukan propaganda yang sama dengan Partai
Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.
Tapi karena ada kritik yang tak mengenakkan para pimpinan SI, pada
1921 terjadi perpecahan. Perpecahan ini dan hasil Kongres Komintern
Kedua: berjuang melawan Pan-Islamisme, kemudian dimanfaatkan
oleh pemerintah. Apa yang mereka katakan kepada kaum tani muslim
yang sederhana? Mereka bilang: Lihat, Komunis tidak hanya
memecah-belah, mereka juga ingin merusak agama kalian! Itu luar
biasa bagi para petani. Mereka kemudian berpikir: Saya telah
kehilangan segalanya di dunia, apakah saya juga harus kehilangan
surga? Jangan sampai itu terjadi! Beginilah cara orang muslim
sederhana berpikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen
pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami.
[Ketua sidang: "Waktu Anda selesai."] Saya datang dari Hindia, 40
hari di perjalanan [tepuk tangan hadirin].
SI meyakini propaganda kami atau, peribahasanya, tetap bersama
kami dalam perut mereka, meski dalam hatinya mereka tetap SI
dengan surganya. Tapi karena kami tak mampu memberi mereka
50
surga, mereka kemudian memboikot pertemuan-pertemuan kami dan
kami tidak bisa lagi berpropaganda.
Mulai awal tahun lalu kami membangun kembali hubungan dengan
SI. Dalam kongres di bulan Desember tahun lalu kami mengatakan
bahwa kaum muslim yang ikut dalam kaukus dan di negara lain yang
bekerja sama dengan Soviet melawan kapitalisme sangat paham
agama kalian. Kami juga mengatakan, jika mereka ingin
mempropagandakan agama mereka, silakan, tapi tolong lakukan itu
di masjid, bukan di ruang-ruang sidang.
Dalam sebuah dengar pendapat kami pernah ditanyai: Apakah kalian
muslim-ya atau tidak? Kalian percaya Tuhan- ya atau tidak?
Bagaimana kami menjawabnya? Ya, jawab saya, ketika menghadap
Tuhan saya seorang muslim, tapi manakala berhadapan dengan
manusia saya bukan muslim, karena Tuhan sendiri bilang ada banyak
setan di antara manusia! Jadi kami mengalahkan pimpinan mereka
dengan Quran di tangan. Dan dalam kongres tahun lalu, melalui para
anggota mereka, kami memaksa para pemimpin SI untuk bekerja
sama lagi.
Ketika sebuah mogok massal pecah pada Maret tahun lalu, pekerja
muslim membutuhkan kami karena orang kami yang memimpin para
buruh kereta. Pimpinan SI bilang: Kalau kalian ingin bekerja sama
dengan kami, maka bantulah kami. Tapi ini tidak menyelesaikan
masalah. Jika nanti kami kembali pecah, pemerintah pasti akan
kembali menggunakan isu Pan-Islamisme. Karena itu, soal PanIslamisme harus segera diputuskan.
51
Tan Vs Pemberontakan 1926 Tan Vs Pemberontakan 1926- -- -1927 1927 1927
Mestika Zed
Sejarawan Universitas Negeri Padang
DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di
Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan
mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada
pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan
pemerintah.
Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat
pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak
sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga
berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang
semua simbol rezim kolonial di kota itu.
Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil
sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara
berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang
ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka
dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang
dihukum gantung.
Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera
Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di
Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya,
juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa
kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir
pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau
bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses iniberjalan sampai
akhir 1930-an.
Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab
kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai,
Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak
setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan
yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri
atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin
Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan,
Solo, awal 1926.
52
Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya,
Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa
pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah
bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masihdiperlukan
pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang
kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.
Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan
untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat
organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi "pemanasan" dan agitasi di
tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada
Alimin dan kawan-kawannya.
Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis
pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926,
terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana
kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana
pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi
bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua
partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan
pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau
dibuang ke Digul.
Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik.
Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda
mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki
kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti
bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda
dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebunkebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam
penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan
di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku.
Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan
memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih
penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini
antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut.
Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir
ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal
lelah "menjual" gagasannya memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang
53
tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia
hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar
polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secaradiam-diam pada
zaman Jepang (1942).
Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan,
yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan
yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai
Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari
kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia
mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan
Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan
separtainya yang lama.
Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional
(Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli
memanfaatkan Komintern bagi kepentingan "hegemoni"
internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum
nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga
cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing
internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka.
Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan
Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi
(komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian
karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian
lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya
sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler
yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis.
Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis
yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi
masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di
masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek
Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa
pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.
"Ini harus kita cegah," tulisnya. "Akan tetapi tidak dengan [cara]
memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu
program yang benar-benar ingin memajukan kepentingankepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara
jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas
54
yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat
menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya..."(halaman 26,
28).
Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka
memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis
sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu.
Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad
Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai
pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian
juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka,
1933).
Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan
Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang
masih memerlukan penyempurnaan sampai "cetak-biru" Indonesia
Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu,
sebab "aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini," tulis Tan
dalam Naar de Republiek Indonesia, "akan berlangsung lama, tetapi
pasti membawa kemenangan (1925: 65).
Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan
kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah
malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk
memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu "dihujat dan
dilupakan" oleh bangsanya sendiri.
55
Gerilya di Tanah Sun Man Gerilya di Tanah Sun Man
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923.
Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun
Puyi, The Last Emperor, praktis hanya "boneka". Negeri itu larut dalam
tarik-menarik antara kekuatan Asing-terutama Inggris, Amerika, serta
Jepang-dan para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina
merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini
Guangzhou-kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta. Toh,
bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cumaada tiga jalan utama,
satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang
cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton
istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun
Man, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik
Cina, tinggal di kota ini.
Tak lama setelah menetap, Tan mengunjungi dokter Sun, diantar ketua
partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina Selatan
itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di sana,
Tan juga bertemu dengan anaknya, dokter Sun Po, dan rekan
seperjuangannya, Wang Chin Way.
"Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja," tulis Tan
dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, mengenang pertemuan itu.
"Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa." Dia
begitu girang.
Mereka membicarakan banyak hal. Sun Man, misalnya, menyarankan agar
Indonesia bekerja sama dengan Jepang melawan Belanda. Tapi Tan tak
yakin pejuang Indonesia bisa bekerja sama dengan imperialis Jepang.
Demikianlah, setiap hari dia bepergian untuk membina hubungan dengan
para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Hingga pada
Juni 1924 Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada konferensi
Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu.
Dari Indonesia datang Alimin dan Budisutjitro. Konferensi enam hari ini
hendak menggalang "gerakan" para pelaut dan buruh pelabuhan di kawasan
Pasifik. Tan memimpin rapat pada hari kedua. Seharusnya Sun Man
memberikan pidato pembukaan, tapi batal.
Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu
Lintas Biro Kanton yang baru didirikan. Tugas pertamanya menerbitkan
56
majalah "merah" bagi para pelaut. Ini membuatnya pusing. Di samping sulit
mencari percetakan yang memiliki koleksi lengkap huruf latin, Tan masih
harus belajar bahasa Inggris.
Alhasil, The Dawn baru terbit beberapa bulan kemudian. Cetakannya sangat
jelek. Karena kekurangan huruf, huruf kapital bisa muncul di mana saja.
Kata "Pacific", misalnya, tercetak sebagai "PacifiC". Menyusul penerbitan
majalah ini, Tan mencetak sebuah buku tipis berjudul Naar de Republiek
Indonesia. Ini buku pertama yang menggagas sebuah negara merdeka
bernama Republik Indonesia.
Kerja berat serta suhu Kanton yang teramat dingin membuat sakit paru Tan
kambuh. Dia mengunjungi dokter Lee. Mengira Tan terkena tuberkulosis,
dokter memberikan "suntikan emas"- terapi paling modern saat itu. Tan
malah pingsan. Untunglah, setelah diinjeksi penawar racun, ia segera sadar.
"Kami sangka Tuan sudah meninggal," kata dokter itu.
Tan lalu menemui dokter Rummel, orang Jerman yang telah lama membuka
praktek di Kanton. Kali ini diagnosisnya physical breakdown, kecapaian.
"Sebaiknyalah Tuan pergi tinggal di tropik, di negeri panas, beristirahat,"
katanya.
Mendengar nasihat dokter, pikiran Tan langsung tertuju ke Jawa. Perasaan
rindu Tanah Air pun muncul. Maka, pada 29 Agustus 1924, dia bersurat
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock, minta izin pulang ke
Jawa. Dia juga berkirim kabar ke Moskow dalam surat tertanggal 24
September. "Mungkin beberapa hari mendatang saya akan ke berlibur
seminggu ke Makau untuk kesehatan saya," tulisnya dengan nama samaran
Hassan.
Permohonannya ditolak Gubernur Jenderal Fock. Tapi ketika itu, dengan
nama Elias Fuentes, Tan sudah menyusup ke Filipina untuk mendapatkan
hawa yang lebih segar. Tak sampai dua tahun, dia ditangkap polisi Filipina
yang berada di bawah "genggaman" intel Amerika, Belanda, dan Inggris.
Pada Agustus 1927, Tan kembali ke Tiongkok sebagai orang buangan.
Turun di Amoy, kini Xiemen, Tan berkelana ke tempat-tempat lain. Ketika
angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo Kun atawa Tentara Ke-19,
bentrok dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, dia ada di sana.
Sebenarnya pasukan ini datang untuk membebaskan Hu Han Min yang
ditangkap Chiang Kai-shek. Dua orang penting Kuomintang ini bertikai
sejak Sun Man meninggal pada 1925. Namun, ketika Tentara Ke-19 tiba, Hu
sudah dibebaskan. Mereka pun menyerbu markas Jepang di Szu Chuan
Road, Yang Tzepoo.
57
Shanghai kacau-balau. Menggunakan nama Ong Song Lee,Tan menyingkir
ke Hong Kong. Kejadian di Filipina berulang, polisi Hong Kong
menangkapnya. Untunglah Inspektur Murphy, pemimpin polisi Inggris di
daerah koloni itu, tak mau menyerahkan Tan kepada polisi Belanda.
Setelah lebih dari dua bulan menahannya di penjara, Murphy memutuskan
membuang Tan ke Shanghai. Tapi, di Pelabuhan Amoy, Tan berhasil
mengecoh polisi Hong Kong yang diam-diam mengawalnya dan meloloskan
diri ke darat.
Tinggal di kota pulau itu, penyakit Tan kambuh. Sinse Choa, tabib lokal di
Desa Chia-be, memberinya dua jenis ramuan untuk dimasak bersama bebek
dan penyu. Mula-mula Tan harus menghabiskan enam ekor bebek yang
digodok dengan ramuan, seminggu satu. Setelah itu, makan satu-dua ekor
penyu, juga digodok bersama ramuan. Ajaib, sakit yang 10 tahun terakhir
merongrongnya perlahan-lahan hilang. "Makanan mulai mudah
dihancurkan dan tidur mulai nyenyak! Inilah rasanya pangkal kesehatan,"
tulis Tan di buku Dari Penjara ke Penjara.
Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa Asing. Namun
dia akhirnya harus meninggalkan Tiongkok untuk selamanya ketika Jepang
menyerang Amoy pada 1937. Menggunakan nama Tan Min Siong, seorang
Tionghoa terpelajar, dia berlayar menuju Rangoon, Burma.
58
Penggagas Awal Republik Ind Penggagas Awal Republik Indonesia onesia onesia
BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air
berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka
nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa
ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal
keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.
Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun
menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: "Jiwa saya dari
sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk
Indonesia dengan buku ini sebagai alat."
Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa
eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil
masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia
berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang
kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia.
Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini-setiap kali dengan karbon
rangkap tujuh.
Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin
Klub Debat Bandung, membaca buku Tan. "Bung Karno selalu
membawanya," kata Sayuti Melik, seperti dikutip Hadidjojo Nitimihardjo
dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek.
Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik
dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia.
Pada subbab terakhir, "Halilintar Membersihkan Udara", Tan mengecam
kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan
perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: "Kepada kaum intelek kita seruhkan....
Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan
yang senantiasa menjadi semakin keras?"
Bukan cuma Soekarno yang selalu membawa-bawa Naar ke mana-mana,
Muhammad Yamin juga memuja Tan. Bagi Yamin-yang kemudian
bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak
ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George
Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai.
59
No Le Toqueis, Jawa! No Le Toqueis, Jawa!
" .... Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!"
Manuel Quezon berseru-seru.
WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan Malaka.
Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa
bekas ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika
menyebut Tan, seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu
dengan nama intim: Indonesia Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin
segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka,
Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah
berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang
Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan
julukan berbau rasis, "saudara kecil kita yang berkulit cokelat".
Sepanjang 1925-1927, Tan tiga kali mondar-mandir ke Manila. Paspornya
berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Howard
Law, atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di
teman-teman yang menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial
yang eksil dari Hindia Belanda.
Tan sendiri awalnya hanya ingin tetirah, istirahat dari kesibukan
mendirikan organisasi Komintern (Komunis Internasional) biro Kanton.
Lagi pula, hawa Kanton yang super dingin tak cocok bagi paru-parunya.
Tapi Filipina selalu istimewa di dalam hatinya. Inilah satu simpul dari
pertautan Aslia, singkatan dari Annam (Vietnam), Siam (Thailand), Burma,
Filipina, Malaka (Malaysia-Singapura), dan Australia Utara. Sudah lama ia
percaya negeri-negeri yang berpaut sejarah sejak 5.000 tahun lalu ini mesti
bangkit dari kolonialisme dan bergabung di bawah Federasi Republik
Indonesia. Gagasan itu dituangkan dalam naskah buku berjudul Aslia, yang
ditulis bersamaan dengan Madilog, hampir dua dekade setelah ia ke
Filipina. Sayang, naskahnya tak ditemukan hingga sekarang.
Dalam biografi Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan belajar bahasa
Tagalog dari Nona Carmen, putri bekas pemberontak Filipina, yang bersama
ibunya mengelola sebuah asrama Filipina di Kanton. Di asrama ini ia
berkenalan dengan Mariano Santos, dosen Filipina yang bersimpati pada
kemerdekaan Indonesia. Lewat Apolinario, kakak Mariano yang punya
posisi tinggi di Manila University, Tan mendapat tumpangan pertama.
Darinya pula Tan mengenal Francisco Verona, seorang pemimpin serikat
buruh, dan mulai menulis teratur di harian yang dipimpin Verona, El
Debate.
60
Tan kemudian banyak bergaul dengan kalangan serikat buruh, wartawan,
dan kaum nasionalis. Partai Komunis Filipina memang belum terbentuk
hingga 1930, tapi Harry Poeze dalam Pergulatan Menuju Republik: Tan
Malaka 1925-1945 mengatakan Tan bergaul akrab dengan mereka yang
kemudian terlibat di dalamnya. Antara lain Crisando Evangelista, pemimpin
serikat buruh kiri seperti Capadcia, Balgos, dan Dominggus Ponce dari
gabungan serikat buruh Legianaros del Trabajo.
Tan senang hidup di Filipina. Teman banyak, dukunganluas, dan udaranya
mirip dengan Tanah Air-meski beberapa kali ia sempat jatuh sakit. Poeze
menduga di sinilah bukunya, Naar de Republiek Indonesia, dicetak kedua
kalinya, meski dalam kata pengantar Tan menyebut "Kanton dan Tokyo,
1925". "Tokyo sebagai tempat penerbitan dimaksudkan untuk menipu
polisi," Poeze menulis.
Gerak-gerik klandestin khas Tan berakhir ketika seorang pemburu hadiah
menjebaknya di kantor El Debate suatu malam. Rupanya, korespondensi
antara polisi rahasia Amerika, Inggris, dan Belanda sudah demikian giat
mencari jejaknya enam bulan terakhir. Sehari setelah ia ditangkap, 13
Agustus 1927, Tan mengisi halaman muka The Philippine Herald dengan
huruf besar-besar: "Seorang Jawa yang diduga agen Bolsyewik yang selama
beberapa waktu diamat-amati polisi sehubungan dengan tersebarnya
propaganda Bolsyewik di Filipina tertangkap malam lalu oleh polisi dan
dinas rahasia."
Ramailah surat kabar Filipina, yang di bawah koloni Amerika tergolong
lumayan bebas, oleh berita tentang Tan. La Vangardia mengemukakan
alasan Tan ditangkap: permohonan dari pemerintah Hindia Belanda. The
Manila Daily Bulletin mengungkapkan hal serupa. La Vangardia dan La
Opinion mengungkapkan simpati terhadap perjuangan Tan. Bahkan harian
Taliba menyatakan malu Tan terancam diusir. Mereka ingin Tan diberi
suaka di Filipina.
Lihatlah sebuah kartun di harian El Debate yang menggambarkan guardia
civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha menangkap Tan. Sedangkan
Tan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi Filipina: Jose Rizal dan
Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar, pahlawankemerdekaan yang tewas
dalam pembuangan di Barcelona, 1896. "No Le Toqueis!" katanya. Artinya,
"Jangan Tangkap!"
Tan bebas setelah pendukungnya membayar 6.000 peso sebagai jaminan.
Tapi kasusnya batal ke pengadilan karena pemerintah kolonial Amerika
keburu mengusirnya dengan tuduhan paspor palsu. Bukan cuma itu,
sahabat-sahabat Tan yang terpandang bisa ikut terseret.
61
Tan pun pergi, meski berat hati. "Karena membawa-bawaorang-orang yang
memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, saya mengalah,"
katanya. Tak kurang dari Emilio Aguinaldo, pemimpin pemberontakan 1898
yang kemudian didaulat menjadi Presiden Filipina pertama, ikut
menyatakan Tan sebagai "seorang patriot, pemimpin besar revolusioner,
yang layak mendapat suaka".
Seperti diungkapkan Quezon kepada Yamin, para pendukung Tan ini
kemudian memberinya sangu 3.000 dolar untuk menempuh perjalanan
menuju Amoy (Xiemen). Quezon mengatakan rakyat Filipina sangat hormat
terhadapnya.
"Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose Rizal. Hati sangat
terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patungtelah menjadi batu,
yang lain masih hidup berjiwa. Dua orang pahlawan kemerdekaan;
pahlawan tuan-tuan dan pahlawan kami. Sungguhlah tuan kaya! Jadi
bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!" Manuel
Quezon berseru-seru.
62
Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku
AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah "hamil tua". Dari
persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis
buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut
dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu
terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaanBelanda. Banyak
pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut
penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memangsedang panas saat
itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan
Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan disana-sini, Massa Actie
adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah
ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah
daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme,
menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan
rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa;
desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. "Massa aksi terjadi
dari orang banyak yang bergerak," katanya.
Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan
pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia;
gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan
Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk
Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris."Mari kita satukan
100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas
seluruh benua Asia dan samuderanya," Tan menulis.
Dan Massa Actie pun memberikan pedoman aksi bagi kemerdekaan. Satu
yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto Nitimihardjo,
Ketua Indonesische Studieclub yang bersama kelompoknya mengadakan
Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo
kepada Tempo, saat itu Maruto dan aktivis lain, Sugondo Djojopuspito,
menggandeng seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus. Dialah
Wage Rudolf Supratman.
"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," kata
Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan
waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah
lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie:
"Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu.
Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia
tempat darahmu tertumpah."
63
Republik dalam Mimpi Tan Malaka Republik dalam Mimpi Tan Malaka
Hasan Nasbi A.
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku
Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin
tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti
sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam
pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia
harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan
Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa
pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.
Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib
Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian
itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk
mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada
perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka
berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam
barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai
dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun.
Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu
lurus untuk diajak sedikit membungkuk.
Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit mencari manusia
yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader
Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan Malaka. Namun, di
tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin
adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan Persatuan Perjuangan
pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon diplomasi bambu runcing.
Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh
Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam
Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang
dalam "Program Minimum" Persatuan Perjuangan Tan Malaka.
Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut yang kukuh itulah
ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli, bahkan mengagetkan.
Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi.
Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang.
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku.
Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Gejolak
revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah
perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun, lewat antara lain
64
buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta
Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang
tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaikini, karena Tan selalu
menunjukkan pola pemikirannya.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan
republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah.
Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada
terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga
bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap
menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh
ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan
Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari
belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas
menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat
lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi
pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat
bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas
menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas
dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip
Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para
pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir
tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah
memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia
(Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga
tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik
Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias
politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malakaadalah sebuah negara
efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka,
pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen
hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat
undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan
antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak
yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif
selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orangorang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen).
65
Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali
dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah
menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat.
Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para
anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya
mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar
menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang
memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili.
Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergodauntuk berselingkuh
dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk
dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang
parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian
menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang
menginvasi negara lain.
Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung
tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara
dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan
Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang
harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan
Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas
memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan
berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan
kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat
keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang
pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pastibermuara di parlemen.
Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang
bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam
mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh
organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa
atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala nasional seperti
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat
terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada
pemisahan antara si pembuat aturan dan si pelaksana aturan. Di dalam
organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksanaharian, dan ada
sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan
dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.
66
Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di
sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat
organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar
kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah
menjadi serakah. Kongres organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat
tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua
tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika
kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan
mereka.
Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti
di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar.Sebab, sudah demikian
lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan
organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita
mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN,
bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga yang tak
demokratis.
Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan gagasan Tan Malaka naif
dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di
awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan total mengikuti Tan Malaka.
Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak bisa lepas dari belenggu
zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam
gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan meminta rakyat
Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting
adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika,
Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuahperhitungan, tapi
menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.
67
Macan dari Lembah Suliki Macan dari Lembah Suliki
Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat
julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali
jatuh cinta, semuanya pupus di tengah jalan: Tan tidak pernah menikah.
Perhatiannya hanya untuk perjuangan.
Si Badung dari Pandan Gadang
Tan Malaka kecil dikenal pemberani. Sering kena jewer puser. Rajin
bersembahyang dan hafal Quran.
HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih
kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu
utama, dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri
juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan "Tan Malaka". Rumah
itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh,
120 kilometer timur laut Padang.
Rumah ini tadinya didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka. Tapi,
sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadimuseum. Buku-buku
karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat
tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ. "Barang-barang ini dikumpulkan
oleh keluarga," kata Hengky Novaron, salah satu keturunan yang kini
menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.
Hampir seabad lampau, pada 1912, gelar Datuk Tan Malaka disematkan
kepada remaja bernama Ibrahim. Rumah gadang itulah tempat Ibra, begitu
dia dipanggil, dibesarkan. Sebuah rumah bersejarah karena pernah menjadi
dapur umum pada masa perang Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia.
Ibra dilahirkan di sebuah surau-juga dijadikan tempat tinggal-yang cuma
beberapa langkah dari rumah gadang. Kini surau itu tidak ada. Tanah
tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.
Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka.
Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2
Juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim, teman seperjuangan Tan, dalam
Kematian Tan Malaka. Ayah Tan, Rasad, berasal dari puak Chaniago,
sedangkan ibunya, Sinah, berpuak Simabur. Ibra adalah sulung dari dua
bersaudara. Adiknya bernama Kamaruddin, enam tahun lebih muda
daripada sang kakak.
68
Syahdan, menurut penuturan Tan kepada Djamaluddin, leluhur Tan Malaka
dari garis ibu adalah pendatang dari Kamang, Bukittinggi. Mereka
meninggalkan Kamang karena tanah di sana kurang subur. Pada awal abad
ke-19, mereka berkelana mencari tempat baru. Dalam perjalanan ke utara,
mereka singgah di sebuah lembah. Mereka mendapati serumpun pandan
besar yang di bawahnya mengalir mata air. Lembah subur inilah yang
dipilih menjadi tempat tumbuh beranak-pinak.
Dari pihak ayah, Zulfikar, keponakan Tan, menuturkan bahwa leluhurnya
datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi. "Waktu
itu keluarga kami lari dan menetap di lembah Pandan Gadang," kata putra
Kamaruddin ini. Meski cuma 23 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh,
lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.
Pemerintah kolonial Belanda menempatkan seorang kontrolir, pejabat
setingkat camat, di Pandan Gadang. Penanda kekuasaan Belanda pada
waktu itu adalah penduduk diwajibkan menanam kopi di seperlima lahan
untuk diserahkan kepada pemerintah. Pada 1908 pemerintah Belanda
mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.
Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan
lumbung padi, surau, dan beberapa kolam ikan. Pandan Gadang mirip
lukisan-lukisan pemandangan desa yang terpajang di pasar seni. Berlatar
perbukitan, dirimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan
sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah.
Sawah dipanen dua kali setahun. Air gunung siap mengaliri sawah dan
mengisi empang sepanjang tahun. "Kami memang bukan orangberada, tapi
semua di lembah itu adalah milik kami," ujar Zulfikar,yang kini berusia 60-an tahun.
***
Ibra adalah potret bocah lelaki Minangkabau. Gemar sepak bola, main
layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu
tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di
rumah ibunya. "Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak
pernah meninggalkan sembahyang. Ia hafal Quran," kata Zulfikar,
mengenang kesaksian Kamaruddin.
Soal bandel dan nekat ini dikisahkan Tan dalam Dari Penjara ke Penjara
Jilid I. Ketika mengunjungi ayahnya yang ditugaskan di Tanjung Ampalu,
Sawahlunto, Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberang Sungai
Ombilin. Orang dewasa pun kewalahan menyeberang sungai selebar 50
meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. "Maka
tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras."
69
Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh
besar menyeretnya ke tepian sungai. "Setelah ingatankembali, tiba-tiba Ibu
sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran."
Baru beberapa kali kena pukul, Ibra "diselamatkan" ayahnya. Demi
menghindarkan Ibra dari pukulan sang ibu, Ibra diikat Rasad di pinggir
jalan dan menjadi tontonan anak-anak.
Sinah tak habis akal. Dia lantas mengadukan anaknya sendiri ke Guru
Gadang (guru kepala). Akibatnya, Ibra kena hukuman yang paling
mengerikan buat anak-anak ketika itu: jewer puser. Entah karena kelewat
badung entah sial, selanjutnya Ibra sudah terbiasa dengan jewer puser ini.
Bahkan kerap ia merasa selalu menjadi anak yang paling dipersalahkan dan
satu-satunya yang dihukum.
Sampai sekarang saya masih heran kenapa saya saja yang menjadi sasaran
pilin pusar (jewer pusar) itu. Pernah dilakukan setelah saya hampir hanyut
karena menyelam di bawah perahu yang menyeberang sungai. Lain kali
ketika main sembur-semburan air. Pernah pula ketika permainan "perang
jeruk" yang berujung saling lempar batu. Saya dihukum seperti "penjahat
perang", dikurung di kandang ayam dan pilin pusar itu juga.
Si badung, untungnya, amat cerdas hingga terbit kagum para guru di
Sekolah Kelas Dua. Mereka merekomendasikan Ibra untuk melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Guru Negeri untuk Guru-guru Pribumi di Fort de
Kock-sekarang Bukittinggi. Ini satu-satunya lembagalanjutan bagi lulusan
Sekolah Kelas Dua, setelah menempuh pendidikan lima tahun.
Bukan perkara gampang masuk Fort de Kock. Sebutannya saja "Sekolah
Raja". Cuma anak ningrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk sekolah itu.
Ayah Ibra hanya pegawai rendahan. Sakti Agra, dalam buku Tan Malaka
Datang, menyebut Rasad bekerja sebagai mantri suntik atau vaksinator.
Tapi, menurut cerita Kamaruddin, ayahnya adalah mantri yang bertugas
mengatur distribusi garam-yang dimonopoli penguasa-di kampung. Yang
jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden (f).
Padahal biaya makan per bulan saja Ibra memerlukan sekitar f 8.
Para guru Sekolah Kelas Dua tak putus asa. Mereka tetap berjuang agar Ibra
bisa sekolah ke kota benteng. Asal-usul keluarga Ibra, dari pihak ibu,
dianggap cukup untuk alasan mendaftar. Tan Malaka senior adalah salah
satu pendiri Pandan Gadang dan juga membawahkan beberapa datuk.
Fakta itu ditambahi keterangan tentang kecerdasan Ibra yang luar biasa,
meski waktunya lebih banyak habis buat main bola dan renang. Walhasil,
pada 1907 Ibra terdaftar di Fort de Kock.
***
70
Rudolf Mrazeck, penulis buku Tan Malaka, menyebut Fort de Kock adalah
rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya. Merantau adalah
jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa
nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem matrilineal, juga
adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang
mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera "terusir" dari kampung.
Di Bukittinggi, Ibra berkenalan dengan budaya negeri penjajahnya. Dia
belajar bahasa Belanda. Dia bergabung dengan orkes sekolah sebagai
pemain cello, di bawah pimpinan G.H. Horensma. Hobi lamanya juga tak
pernah hilang: main sepak bola. Sama seperti di kampung, Ibra-yang
dipanggil Ipie oleh Horensma-banyak menghabiskan waktu luangnya buat
sepak bola.
Horensma di kemudian hari menganggap Ipie seperti anaknya sendiri. Dia
sering mengingatkan Ipie agar meluangkan waktu lebih banyak buat belajar.
Tapi sia-sia. Anak pedalaman Suliki ini tetap saja gemar bermain. Untung
saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap
pelajaran. Ia selalu menjadi siswa yang paling cerdas hingga Horensma
begitu terkesima. Ipie juga dikenal sebagai sosok santun dan ramah.
Ketika musim liburan tiba, Ipie kembali ke Pandan Gadang. Di rumah, ia
memastikan adiknya, Kamaruddin, belajar sungguh-sungguh. Ia memang
tidak mengajari adiknya, "Tapi dia marah jika adiknyayang cuma satu itu
mendapat nilai rendah," kata Zulfikar. Pernah suatu ketika Kamaruddin
mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeretadiknya ke empang
dan berulang kali membenamkannya. "Bodoh, kamu harus belajar!"
Setahun sebelum ujian teori akhir, Ipie dipanggil pulang oleh keluarga besar
di Suliki. Ia harus menerima penobatan sebagai pemangku Datuk Tan
Malaka, menggantikan pemegang gelar terdahulu yang sudah uzur. Sudah
menjadi adat, pelekatan gelar disertai pertunangan yang telah diatur
keluarga. Tapi Ipie menolak dijodohkan. Penolakan itu mengecewakan
keluarga besar. Suasana pesta pun kurang meriah.
Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya. Pada
1913 ia merampungkan ujian teori akhir dan ikut praktek mengajar di
sekolah rendah pribumi. Entah kenapa, Ipie tidak menyelesaikan masa
praktek yang tinggal satu tahun. Di sekolah rendah ini, dia mendapat
kesenangan baru: mengajar baris-berbaris. Kelak, di Eropa, ketertarikan
pada dunia militer mendorong Ipie melamar sebagai legiun asing tentara
Jerman. Sayangnya, Jerman tidak membentuk legiun asing. Impian Tan
memasuki dunia militer tak tercapai.
Horensma menyarankan agar sang datuk muda belajar di Belanda. Atas
bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka wargamengumpulkan f 30
71
per bulan untuk biaya sekolah Ipie di Belanda, Rijkskweekschool.
Jaminannya adalah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah
tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya. Kelak, utang itu tak
terbayar dan dilunasi Horensma. Ipie pun cuma dua-tiga kali mencicil
kepada Horensma.
Ipie menyertai Horensma ke Belanda pada Oktober 1913. Dari keluarga,
hanya Kamaruddin yang melepasnya di Teluk Bayur. Menurut Zulfikar,
setelah kepergian itu, Ipie putus hubungan dengan keluarga. Ia cuma dua
kali menyambangi Suliki, itu pun sebentar, pada 1919 dan 1942. Satusatunya surat yang ia kirim justru ditujukan ke Syarifah-siswi semata
wayang di Fort de Kock. "Isinya ungkapan cinta, tapi tak berbalas," kata
Zulfikar.
Dari Bukittinggi, cakrawala Ibra betul-betul meluas. Dia kemudian
menjejakkan kaki dan turut mengukir sejarah melalui persinggahannya di
berbagai kota dunia, dari Manila sampai Rusia.
72
Cita Cita- -- -cita Revolusi dari Tanah Haarlem cita Revolusi dari Tanah Haarlem cita Revolusi dari Tanah Haarlem
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para
pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan
bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote
Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ
termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun;
dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasiKota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama
kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan
bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah
guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti
ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih
berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunanbangunan tua yang berbeda.
Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan bersama
beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang
menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru
yang merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur
sekolah guru PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai
dasarnya menjadi semacam studio pembuatan perlengkapan dapur.
Dindingnya terdiri dari bata merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan
tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat, sebuah jalan kecil
di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang lebarnya tak lebih
dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an di pengujung
jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad ke-20.
"Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan
gelap," demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara.
Rumah ini masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan
yang cantik, rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik
nan elegan.
Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries. Toko buku
inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di
Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual bukubekas itu sekarang
menjual buku baru.
73
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada walaupun tak bisa
dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko dibawahnya. Dari luar
terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran jendela yang
sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di Haarlem,
Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang
tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu
daerah chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
***
Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan Haarlem
yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik
penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang
punggung kota ini juga bertumbangan. "Belum lama di Belanda, sudah
terasa konflik antara jasmani dan keadaan," kata Tandalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya sebagai calon
guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim, serta
kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan
khas Eropa. "Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara
pengolahnya tak keruan," ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya sanggup
tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood. Baru
setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan
dan Studi Hindia belanda (NIOS)-atas bantuan pensiunan mayor jenderal
A.N.J. Fabius-Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan
Gerrit van Der Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi
oleh kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi. Menurut catatan
administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916,disusul wafatnya
sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand Anthonie
van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung Rijkweekschool di tepi
Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda. Pada 1915,
Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis
berhadapan dengan kanal kecil-yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak
seperti gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung
baru di Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk
sampai ke sini setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20menit.
74
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota Haarlem kala itu,
sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisikoran Panorama pada
1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool, termasuk Tan.
***
Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas
dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van
der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. "Pemuda ini banyak bakat dan
energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar,"
tutur Van Der Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia berbakat dalam ilmu
pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa orang Hindia
tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu tumbuh-tumbuhan
karena harus menghafalnya. "Bencinya lebih besar ketimbang benci makan
roti dan keju," ujarnya.
Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai bergaul
sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main biola
bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian
Minangkabau kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang kencang. Tan
bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya seringterluka lantaran tak
bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar
mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam
kondisi sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan tak pernah
mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada musim
panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal 1916
kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah.
Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
***
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik
Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, Herman
Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan
Jerman, dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah
bergolak. Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius
bagi Tan Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, "Politik bagi saya adalah
terra incognita," ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan mendengar
sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman dan
Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan
75
antiimperialisme. De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk
merupakan media yang selalu dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik dunia. Perang
yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Selain
membaca koran-koran "kiri", dia mulai lapar informasi politik. De Vries
semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat.
Buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi
santapannya, seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to
Power) karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French
Revolution karya Thomas Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari
buku ini Tan Malaka mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite
(kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
"Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai
revolusioner," tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
***
Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum. Jarak
Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah
jam. Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze
Koopmans. Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap
sama seperti ketika Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu dikelilingi pohon
rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati rumah yang
sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu
ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini
menolak menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga
yang menghuni rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar, hidup tak
sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup
borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang
mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij
yang proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917 juga memberi
keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme. Berbagai
gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun
berseliweran dalam benak Tan.
Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki Hadjar
Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda
Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah,
76
untuk pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini
bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis yang awet
hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi.Penghuninya sedang
tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah
Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan
nan cantik yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian untuk izin mengajar
sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja agar bisa
membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif
mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang
sering diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya merasa sudah
saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan dan mulai
membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar
namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam
tahun, Tan memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib bangsa Indonesia.
Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali lagi ke
Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan
politik.
77
Sobatmu Selalu, Ibrahim Sobatmu Selalu, Ibrahim
Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku
telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari
Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenangsenang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas
kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih
di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yangdikirimkan Tan Malaka
kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum,
usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam
sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos
terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil
tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang
terkenal sebagai pantai nudis-karena sering dikunjungi kelompok yang
jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim
Datuk Tan Malaka kepada sahabat karibnya selama di Belanda, Dick J.L.
van Wijngaarden. Dia adalah teman curhat Ibrahim dalam segala hal.
Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di
Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.
Kedekatan Ipie atau Ieb-panggilan akrab Tan Malaka-dengan Dick
tergambar dalam surat-menyurat yang cukup teratur dikirimkan hampir
setiap bulan, sejak Tan Malaka pindah ke Bussum pada 1916 hingga 1921
ketika sudah kembali ke Tanah Air. Isi surat Tan selalu tentang apa yang
dilakukannya sehari-hari. Nyaris tidak pernah menyentuh soal-soal politik.
Tan juga sering mengadu soal betapa sulitnya ujian untuk mendapatkan izin
mengajar sebagai guru. Sebaliknya, surat Dick van Wijngaarden kepada Tan
lebih sering berisi kata-kata pemberi semangat agar mereka berdua samasama tak menyerah di zaman yang sulit itu.
Van Wijngaarden menyimpan dengan rapi semua surat Tan Malaka.
Sayangnya, surat-surat Van Wijngaarden untuk Tan Malaka tak satu pun
yang tersisa. Hingga suatu hari datanglah surat dari Harry Poeze, peneliti
dari Universitas Amsterdam, yang mengabarkan soal penelitian terhadap
tokoh komunis Indonesia itu.
78
Van Wijngaarden langsung mewariskan semua surat Tan Malaka kepada
Poeze yang sudah melakukan penelitian sejak 1970-an. "Dick bilang, siapa
lagi yang bisa menyimpan dan memanfaatkan surat-surat ini kalau bukan
saya," kata Poeze kepada Tempo.
Beruntung Poeze menemukan Dick yang masih hidup dan menyimpan
sebagian bukti tertulis Tan Malaka. "Van Wijngaarden yang paling banyak
menyimpan surat dan kartu pos dari Tan Malaka," ujarnya.
Sahabat Tan Malaka yang lain adalah Arie de Waard, kawan sekelasnya di
sekolah guru di Haarlem. Keakraban itu terjalin ketika De Waard ditugasi
direktur sekolah membantu Ibrahim memahami pelajaran sekolah. "Karena
saya senang padanya, saya tak keberatan. Ibrahim diperintahkan selalu
memperhatikan nasihat-nasihat saya," demikian tutur De Waard dalam
suratnya kepada Poeze.
Dengan De Waard inilah Tan banyak mendiskusikan pikiran politiknya. De
Waard pun menjadi paham kenapa nilai-nilai pelajaran Tan Malaka
menurun. Rupanya, Tan sedang kecanduan membaca buku-buku politik.
"Mulanya susah payah saya mengajaknya untuk belajar kembali... sekarang
saya tahu mengapa angka-angka rapornya menurun," tulis De Waard.
Tapi, menurut De Waard, kebiasaan Tan mengemukakan pendapatnya
tentang revolusi menghasilkan nilai positif lain. "Dia telah belajar
menyatakan pikirannya dengan baik sekali."
Selama enam tahun pertama di Belanda antara 1913 dan 1919, Tan tak
hanya akrab dengan Dick dan De Waard. Sepucuk surat lain untuk Poeze
dari C. Wilkeshuis menegaskan hal ini. "Ia segera diterima dalam
masyarakat kelas kami. Tak ada sama sekali apa yang disebut 'diskriminasi
bangsa'. Kami menganggapnya sebagai orang Hindia Timur yang menarik
perhatian," tulis Wilkeshuis.
Tapi tentu saja yang paling berjasa bagi kehidupan Tan Malaka adalah G.H.
Horensma, warga Belanda di Bukittinggi yang mensponsori pendidikan
guru Ibrahim. Berkat dialah, Ibrahim tercatat sebagai orang Indonesia
pertama yang diterima di sekolah guru Haarlem.
79
Tan Malaka, Sejak Agustus Itu Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah
rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang
hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.
Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh
bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas
pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk
sebuah wacana.
Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di
sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan
ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang
kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim
kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak
mampu menyebut diri dengan suara penuh, "kami, bangsa
Indonesia"apalagi sebuah "kami" yang bisa "menyatakankemerdekaan".
Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno,
adalah "menjebol dan membangun". Wacana kolonial yang menguasai
penghuni wilayah yang disebut "Hindia Belanda" jebol, berantakan. Dan
"kami, bangsa Indonesia" kian menegaskan diri.
Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara
berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan "kemerdekaan"
mereka, "Indonesia" mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya
menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.
Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh
korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang
hendak membuat negeri ini "Hindia Belanda" kembali. Dari medan perang
itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah
revolusi besar sedang terjadi, "revolusi jiwa-dari jiwa jajahan dan hamba
menjadi jiwa merdeka....".
Walhasil, sebuah subyek ("jiwa merdeka") lahir. Agaknya itulah makna dari
mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi "tulang yang berserakan, antara
Krawang dan Bekasi", seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua
kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang "sekali berarti/sudah itu
mati", untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab
subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik,bukan seorang hero.
Dalam hal ini Tan Malaka benar: "Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak
yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa."
Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926.
Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya
80
pula, "Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai
keadaan."
Itulah Revolusi Agustus.
Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang
heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai "hero"
atau "pelopor". Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet
pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau
lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia
butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat
yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.
Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan
bahwa Revolusi Agustus "belum selesai", mengutarakan sebuah rumus. Ia
sebut "Re-So-Pim": Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno,
revolusi Indonesia mesti punya arah, punya "teori", yakni sosialisme, dan
arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi".
Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang MarxisLeninis yang yakin akan perlunya "satu partai yang revolusioner", yang bila
berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran "pimpinan".
Bahwa ia percaya kepada revolusi yang "timbul dengan sendirinya", hasil
dari "berbagai keadaan", menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap
Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya
"teori" atau "kesadaran" tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya
(dalam kata-kata Tan Malaka) "pengupasan yang cocok betul atas
masyarakat Indonesia".
Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui
agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.
***
TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang
bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.
Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan
Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh
kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial
demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti
halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosialdemokrat sejenis Yudas.
Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis -orang yang
menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap
Tan Malaka-dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir
untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi.
Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan
81
Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persensaja dari pengaruh
Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.
Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga
menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih
dulu sebelum ambil sikap.
Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam
jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah
perselisihan: sang "radikal" tak cocok dengan sang "pragmatis".
Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotskytentang "revolusi
terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesiayang tak punya kelas borjuasi yang kuat-revolusi sosialis harus berlangsung
tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti
Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap
"borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru setelah itu,"tahap sosialis".
Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan setengah-kolonial", kaum
borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap
pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus
melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh
melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis".
Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal-bahkan bagi Rusia pada
tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan
kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama
pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa
seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan
Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus
menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.
Tapi Sjahrir, sang "pragmatis", juga benar: pengaruh Tan Malaka di
kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia
memang alot. Di sini "pragmatisme" Sjahrir (yang juga seorang Marxis),
sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis
pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena "berbagai keadaan", bukan
karena adanya pemimpin dengan "otak yang luar biasa".
Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti "berbagai keadaan" di
luar dirinya? Gyorgy Lukacs, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis
pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah
yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru
diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahundipendam.
Dari sana kita tahu, Lukacs pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia
mengecam "chvostismus". Kata ini pernah dipakai Lenin untuk
menunjukkan salahnya mereka yang hanya "mengekor" keadaan obyektif
82
untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukacs, revolusi harus
punya komponen subyektif.
Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada
interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan "berbagai
keadaan" di luar dirinya. Tapi, kata Lukacs, di saat krisis, kesadaran
revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai
Komunis.
Tapi seberapa bebaskah "kesadaran revolusioner" itu dari wacana yang
dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi
subyek yang tanpa cela, sesosok hero?
Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini
harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah "lautan borjuis kecil".
Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili
"borjuis kecil" itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang
hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan
akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.
Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan
kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saatyang menentukan,
tatkala militer dan partai "borjuasi kecil" yang selama ini jadi sekutunya
menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang
Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.
Terkurung di bawah wacana "persatuan nasional", agenda radikal tersisih
dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritasyakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh.
Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak
hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan
perlunya Partai Komunis menerima kaum "Pan-Islamis"-yang bagi kaum
komunis adalah bagian dari "borjuasi"-guna mengalahkan imperialisme.
Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia
tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dantidak. Ia muncul
menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah
makhluk legenda.
Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang
terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama
dengan dongeng yang sempurna.
Jakarta, 7 Agustus 2008.
Goenawan Mohamad
83
(Bukan) Seseorang dalam Arus Uta (Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi ma Revolusi ma Revolusi
Bonnie Triyana
Sejarawan-cum-wartawan
TAN Malaka adalah legenda. Pada 1950-an, di berbagai kota dan desa di
Minangkabau, setiap orang tua menceritakan kepada anak-anaknya
kehebatan Tan Malaka, yang konon bisa menghilang secara gaib dan
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jaraknya terpaut ratusan
kilometer, hanya dalam satu kedipan mata.
Mitos yang hadir di tengah masyarakat itu tak lain karena "riwayat
hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan," kata Dr Alfian
dalam tulisannya, "Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian". Matu
Mona alias Hasbullah Parinduri meminjam sosok Tan Malaka untuk
karakter Pacar Merah dalam roman Pacar Merah. Muhammad Yamin
menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan
Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum
merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina
sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai
manusia komplet. Ia begitu hebat: pemikir yang cerdas dan aktivis politik
yang lincah.
Dengan sederet puja-puji itu, kenapa justru ia tidak mendapat posisi
penting di republik ini?
Setelah melalui 20 tahun masa pengasingan di luar negeri, Tan Malaka
memasuki kembali gelanggang politik saat situasi Republik tak menentu
dan nasib para pemimpinnya di ujung tanduk. Soekarnodan Hatta disebutsebut akan diadili oleh Sekutu dengan tuduhan penjahat perang kolaborator
Jepang. Ketangkasan dalam mengatur strategi berpolitik telah membuat
Soekarno terkesan dan menunjuk Tan Malaka sebagai pengganti presiden
apabila sesuatu terjadi pada Soekarno. Kecurigaan untuk menerima kembali
Tan Malaka dalam percaturan politik Republik ditunjukkan oleh sikap Hatta
yang mendesak Soekarno menambah tiga orang lain dalam testamen politik
itu: Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Koesoema Soemantri.
Ada dua kesempatan emas untuk tampil di panggung politik yang kemudian
ditolaknya. Tan Malaka menolak tawaran Soekarno untuk sebuah jabatan
tak resmi di luar kabinet pertama yang telah dilantik pada 4 September
1945. Pertimbangannya, status pemerintahan Republik masih belum jelas,
masih berkolaborasi dengan Jepang. Kedua, menurut versi Tan Malaka, ia
menolak tawaran Sjahrir cum suis untuk menjadi Ketua Partai Sosialis
dengan alasan "tidak ingin menjadi teman separtai kaum sosialis, yang
kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu". Ia
84
pun mengatakan, "Belum sampai waktunya saya untuk keluar berterangterangan memimpin sesuatu partai pula."
Pengalaman hidup puluhan tahun diburu agen rahasia negeri-negeri
imperialis membuatnya, "Jadi orang yang selalu waspada dan tertutup,"
kata penulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze. Dan ia lebih berhati-hati
dalam bertindak untuk mewujudkan (mengutip Ben Anderson) "khayalankhayalan tertentu... dalam proses revolusi yang sedang berkembang itu".
Tan Malaka "bergairah" kembali ketika menyaksikan heroisme para pemuda
dalam pertempuran Surabaya. Semangat itulah yang dilihatnya sebagai
modal untuk menjalankan revolusi total menuju kemerdekaan seratus
persen dengan kekuatan aksi massa. Dalam brosur Moeslihat yang ditulis
tiga minggu setelah pertempuran, ia mengajak semua pihak bersatu
melawan serangan musuh dari luar, membentuk laskar rakyat, membagikan
tanah kepada rakyat jelata, memperjuangkan hak buruhdalam mengontrol
produksi, membuat rencana ekonomi perang, dan melucutisenjata Jepang.
Kepemimpinan yang kuat dan organisasi perjuangan yang solid adalah dua
hal yang, menurut dia, sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.
Gagasan-gagasan Tan Malaka mengundang simpati beberapa kelompok dari
berbagai aliran yang kecewa terhadap kinerja kabinet Sjahrir. Pada 3
Januari 1946, untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Indonesia pada
1922, Tan Malaka menjadi pembicara utama dalam sebuah kongres besar
Persatuan Perjuangan yang menaungi 141 organisasi perjuangan. Melalui
Persatuan Perjuangan, Tan Malaka berhasil menyatukan sejumlah besar
golongan yang berbeda keyakinan, taktik, dan garis politik. Dalam waktu
singkat, Persatuan Perjuangan berhasil menjadi kelompok oposisi terkuat.
Program minimum yang dikemukakan Tan Malaka pada kongres pertama
Persatuan Perjuangan mencakup tujuh inti pokok, antara lain berunding
atas pengakuan kemerdekaan 100 persen, melucuti tentara Jepang, menyita
aset perkebunan milik Belanda, dan menasionalisasi industri milik asing
yang beroperasi di Indonesia. Tujuh inti pokok adalah respons Tan Malaka
terhadap kinerja Sjahrir yang terkenal akomodatif terhadap keinginan
Belanda.
Tan Malaka terombang-ambing di antara permainan politik penguasa dan
oportunisme politik yang menghinggapi sebagian besar pengikut Persatuan
Perjuangan. Ia tak sempat mendidik kader-kadernya sendiri untuk
berkomitmen tinggi pada perjuangan sebagai akibat terlalu lama berada di
pengasingan. Sekelompok kecil anak muda di sekelilingnya lebih cenderung
menampakkan diri sebagai simpatisan daripada memenuhi syarat untuk
disebut sebagai kader.
85
Ketika Sjahrir mengumumkan Lima Program Pokok, yang kemudian disebut
sebagai Lima Pokok Soekarno (isinya antara lain mengakomodasi tujuh inti
pokok), beberapa organisasi anggota Persatuan Perjuangan-antara lain
Pemuda Sosialis Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Barisan Tani
Indonesia, dan Partai Katolik-mulai berbalik mendukung Sjahrir. Masyumi,
yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan, pun menerima posisi Menteri
Penerangan yang dijabat oleh M. Natsir pada kabinetSjahrir II.
Intrik demi intrik disusun demi menjatuhkan Tan Malaka dari panggung
politik yang baru dilakoninya. Atas tuduhan mengacau keadaan dan
berbicara serta bertindak menggelisahkan, Tan Malaka ditangkap pada 17
Maret 1946. Selang empat bulan kemudian, beberapa gelintir anggota
Persatuan Perjuangan juga ditangkap terkait dengan keterlibatan mereka
dalam upaya kudeta yang gagal pada 3 Juli 1946. Insiden itu sekaligus
menandai bubarnya Persatuan Perjuangan. Sjahrir menuduh Tan Malaka
berada di balik aksi kudeta. Tapi, sampai pembebasannya dua tahun
kemudian, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan.
Selama dua setengah tahun masa penahanannya, Tan Malaka menulis
beberapa buku, termasuk otobiografinya, Dari Penjarake Penjara. Praktis ia
tak bisa turut mewarnai jalannya revolusi Republik yang telah dirancangnya
sejak 1925 seperti dalam karyanya, Naar de Republiek Indonesia. Tan
Malaka dibebaskan pada September 1948 semasa pemerintah Perdana
Menteri Hatta. Harry A. Poeze berpendapat pembebasan itu tak lepas dari
taktik politik Hatta untuk mengimbangi kekuatan Musso yang baru saja
datang dari Moskow pada Agustus 1948. Sekelompok kecil pengikut Tan
Malaka yang dipimpin dr Muwardi telah terlebih dulumendirikan Gerakan
Revolusi Rakyat untuk menandingi gerak politik Front Demokrasi Rakyat
pimpinan Amir Sjarifuddin yang di kemudian hari bergabung dengan
Musso.
Keluar dari penjara, Tan Malaka mendirikan Partai Murba untuk
merealisasi gagasan-gagasannya. Tapi partai ini terlalu kecil dengan jumlah
pendukung yang terbatas dan kurang lincah bermanuver di tengah iklim
politik yang fluktuatif. Ia kembali menjadi orang yang bergerak di balik
layar dengan tak menjadi Ketua Partai Murba. Tan Malaka lebih memilih
menggalang kekuatan tentara dan rakyat di Kediri, Jawa Timur, untuk
menghadapi Agresi Belanda II berdasarkan bukunya, Gerilya Politik
Ekonomi.
Ada dilema yang dihadapi Tan Malaka yang menyebabkan dia tak menjadi
seseorang dalam arus utama revolusi pada republik yang baru ini. Ia
seorang tokoh terkenal, sekaligus tidak terkenal. Namanya dikenal dari
karya-karya yang ia tulis semasa berada di luar negeri. Tapi nama Tan
Malaka lebih banyak diperbincangkan sebagai sosok misterius yang
dipenuhi mitos. Ia tak lagi memiliki relasi politik yang luas dan erat baik
86
pada kelompok "kolaborator", terlebih pada kelompok "bawah tanah"
pimpinan Sjahrir.
Aktor-aktor utama di panggung politik Indonesia pada masa-masa awal
kemerdekaan telah terisi oleh mereka yang datang dari dua atau tiga
generasi di bawahnya. Kemunculan Tan Malaka yang tiba-tiba di masamasa awal kemerdekaan, legenda, bahkan mitos tentang kehebatannya, dan
karier politik di masa lalu yang cemerlang tak banyak membantunya
memenangi pertarungan politik di era revolusi.
Pembungkaman Tan Malaka, menurut Ben Anderson, telah mengakhiri
setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan
perjuangan daripada jalan diplomasi. Tan Malaka menawarkan sebuah jalan
Merdeka 100 Persen, tapi itu mustahil terjadi dalam gelombang revolusi
yang dahsyat saat itu. Dan hanya ia sendiri yang tahu betul apa yang harus
dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kalau kesuksesan berpolitik diukur dari seberapa besar kekuasaan yang
diperoleh, bukan di sana tempat Tan Malaka. Bukan pula pada pelajaran
sejarah di sekolah-sekolah yang tak mencantumkan namanya, kendati dia
pahlawan nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 53
Tahun 1963.
Kesuksesan Tan Malaka terletak pada sikap konsistendalam berpolitik dan
orisinalitas pemikirannya yang berpihak kepada rakyat. Pentingnya ilmu
pengetahuan untuk membangun masyarakat, seperti yang ditulisnya dalam
Madilog dan beberapa brosurnya yang menganjurkan kemandirian bangsa,
menjadi relevan bila melihat kondisi bangsa dewasa ini.
87
Warisan Tan Malaka Warisan Tan Malaka
Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba?
Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah
mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November
1948-bertepatan dengan hari revolusi Rusia-tentu tak sembarangan. Murba
muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa
Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan sebagai partai
komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya bersaing
sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai
pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak
panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya
memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya
wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila
ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah
menggantung Tan Malaka.
Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba akan dijadikan partai
kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini lahir dalam kancah
revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. AdaChaerul Saleh di Jawa
Barat dengan Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan kawan-kawan yang
menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka sendiri di Jawa
Timur yang bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor Sabarudin.
Ketiga upaya itu akhirnya gagal. Chaerul Saleh ditangkap, lalu
diperintahkan Presiden Soekarno untuk studi ke Jerman. Dan sebelum
gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi, terjadilah agresi militer II
Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak tokoh seperti Iwa
Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono. Walaupun
terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi mereka kurang
andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda, tetapi
pemikirannya tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan)
partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidakmemiliki penerbitan serius,
kecuali Pembela Proklamasi yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan
Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu Parna dari Acoma (Angkatan
Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman menulis "Tan Malaka
Pengkhianat Marxisme-Leninisme" (Bintang Merah, 15 November 1950).
88
Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus kehancuran partai (yang
kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi
yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak berhasil
masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba. Soekarno
menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember
1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam
Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya,
Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI semakin kuat,
Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal dengan
membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS
dibubarkan Bung Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal
1965. Murba dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965
karena dituduh menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk
menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi
partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri dan
kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak berpengaruh bagi
Partai Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971-dua bulan setelah wafatnya
Sukarni, tokoh partai ini-Murba beroleh 49 ribu suara (0,09 persen
pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan oleh stigma rezim
Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Barumenabukan sosok Tan
Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan
dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pemilu selanjutnya Murba
berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba,
yang menyebut dirinya "Musyawarah Rakyat Banyak" itu, ikut pemilu pada
1999. Sayang, mereka hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih).
***
Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang hebat dalam
perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun, dari
Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung,
Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton,
Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia Belanda pada 1921,
Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada 1926/1927. Ia sama
sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Murba dalam berbagai
hal bertentangan dengan PKI.
89
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada 1
Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini hidup selama
sepuluh tahun pada saat partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan
mati. Pari dianggap berbahaya oleh intel Belanda, dan para aktivisnya
diburu. Kemudian tibalah saatnya Tan Malaka berselisih jalan dengan
Komunis Internasional (Komintern). Bagi Komintern, Pan-Islamisme
sebuah bentuk imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme,
kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade, pascakemerdekaan, perjuangan Tan
Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut. Ia memperoleh testamen
Bung Karno untuk menggantikan bila yang bersangkutan tidak dapat
menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan Malaka menentang diplomasi
yang merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin Persatuan Perjuangan yang
terdiri dari 142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru
dilakukan bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen.
Posisi ini membuat Tan Malaka berhadapan diametral dengan Perdana
Menteri Sjahrir sehingga di kalangan sosialis pun narasi tentang Tan
Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik Revolusi,karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut Trotsky, apakah Persatuan
Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk revolusi permanen?
Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu hanyalah menolak
dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan
gagal, Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka
ditangkap pada Maret 1946 dan tetap ditahan sampai September 1948.
Ironis, ia dipenjarakan di dalam negeri dua setengah tahun-lebih lama
daripada waktu ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan
selama puluhan tahun pada era kolonial. Dalam situasikrusial, Tan Malaka
tidak bisa mempengaruhi jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang
ditahan, terutama setelah peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam hal pengetahuan
revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang beruntung, Tan
Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak punya
peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati SoekarnoHatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa
Tan Malaka berada di belakang gerakan pemuda, seraya memobilisasi
massa mengikuti rapat akbar di Ikada pada 19 September 1945. Ada
beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan Malaka di lapangan Ikada,
Jakarta. Di dalam foto Tan tampak berjalan seiring dengan Bung Karno
(tinggi mereka berbeda, Soekarno 172 sentimeter sedangkan Tan Malaka
165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan Malakadalam sebuah
Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan
90
Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara
terbuka. Mungkin ini disebabkan pengalaman pribadinya yang lebih dari
dua puluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti
dikatakan orang-orang dekatnya, Tan Malaka sulit kembali sebagai orang
"normal". Tan Malaka baru muncul ke permukaan pada Januari 1946,
ketika melihat diplomasi pemerintah sangat merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab ancaman dan tantangan
zaman masa kini. "Dari dalam kubur suara saya terdengar lebih keras
daripada di atas bumi," kata Tan Malaka ketika akan ditangkap polisi Hong
Kong pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan partai, tetapi ia
meninggalkan pemikiran brilian yang dapat diserap partai mana saja di
Tanah Air.
91
Trio Minang Bersimpang Jalan Trio Minang Bersimpang Jalan
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunisIndonesia, di
Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng.
Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan
berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
"Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx
menyebut diktator proletariat," Hatta, 20 tahun, menyela.
"Itu hanya ada pada masa peralihan," Tan menukas. Dia melanjutkan,
"Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat.Kaum buruh merintis
jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang
banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator
orang-seorang."
Hatta menceritakan kembali percakapan itu dalam Memoir (1979). Dalam
buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun.
Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara
otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Tapi, kepada Z. Yasni yang
mewawancarainya pada 1977, Hatta mengatakan bahwa dalam diktator
proletariat yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.
Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang
komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi
Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan
komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya.
Menurut Anwar Bey, bekas wartawan Antara yang menjadi sekretaris
pribadi Adam Malik, Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Kepada Bey,
Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. "Dia selalu
menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan," katanya.
Hatta, kata Bey, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di
Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah "pemberontakan" Partai Komunis
Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan
pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua
PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak.
Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno
dan didengar Anwar Bey, sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. "Padahal,
Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh
dipegang orang selain komunis," kata Bey.
92
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945,
sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta
menawari Tan ikut dalam pemerintahan. "Tidak, dua (Soekarno-Hatta)
sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja," kata Tan. Hatta menganggap
penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda.
Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan
yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap
sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema
Soemantri, dan Wongsonegoro. "Agar mewakili semua kelompok," katanya.
Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan
Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam
Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak
bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia
menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta.
Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir-yang menganut
ideologi sosial-demokrat-ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda.
Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia
"merapat" ke kubu Inggris-Amerika sebagai "penguasa" baru nusantara.
Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap "Bung
Kecil" itu berpikiran modern dan disukai Belanda.
Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam
kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir
telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang.
Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga JenderalSoedirman sebagai
salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan
Jepang.
Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan
mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia
dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan,
dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu.
"Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,"
katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapatke kubu Tan Malaka
yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940,
muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi
politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan SoedirmanTan Malaka. "Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya
tak segan mengambil kebijaksaan sendiri," kata Soedirman kepada Adam
Malik.
93
Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di
Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan
Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai
politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi
sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan
Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi
Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir
dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari
1946.
Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno
kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat
kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda
Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin
yang akan masuk Istana Negara.
Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara
menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan
memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama
membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak
begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena
mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar
Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adatTan seorang raja
tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah
secara ekonomi. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari
Padangpanjang dari keluarga pedagang.
Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan.
Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya
susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha
di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi
Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda
di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas
menjalani kuli kontrak.
Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi
Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali
menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa,
Tan menolak.
94
Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan
Rizal Adhitya Hidayat
Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul
SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20
tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari
agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi
dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga
hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam
persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah
warisannya yang paling otentik.
Tan menginginkan Madilog-singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan
Logika-sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan
fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat
untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul
yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir,
mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak
mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak
mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan
sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.
Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah melalui
serangkaian proses berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis,
dan logis dalam mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan
struktural. Segala dinamika permasalahan duniawi dapat terus dikaji dan
diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batasbatasnya bisa ditangkap oleh indra manusia.
Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah jugasintesis perantauan
dari seorang Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini
terjabarkan ke dalam dua sense of extreme urgency point pemikiran Tan
Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia. Pertama,
Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu
aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat
dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh
(absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari
taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi.
Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama
lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai
kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting daripada matter (benda).
Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok
diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi
95
kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang
sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels
lebih penting daripada ide.
Nah, dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua
pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif
menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran
mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika
ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis
dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling
rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan
Madilog. Inilah proses "merantau" secara pemikiran karena berbagai
benturan ide yang terjadi.
Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting
konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap
penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter
masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik
batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung
dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara
berpikir yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari
keselarasan hidup; yang tersusun dari dinamika pertentangan dan
penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di
masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun
dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia
yang terpisahkan (Mrazeck, 1999).
Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan manifestasi
simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya
harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis
yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif
yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat
dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar
ditulisnya di bawah suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang
begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncakkualitas orisinal
pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari Haarlem,
Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati
(1943).
Tags :
Tan Malaka
0 komentar
Posting Komentar