Mohammad Natsir
Politisi
dan da’i sejati. Itulah sebutan yang nampaknya tidak berlebihan jika
disematkan pada sosok laki-laki pejuang Islam: Mohammad Natsir. Ia lahir
di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli
1908. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai juru tulis kontrolir
di kampungnya. Ibunya bernama Khadijah. Ia dibesarkan dalam suasana
kesederhanaan dan dilingkungan yang taat beribadah.
Laki-laki Pintar dan Cerdas
Natsir mulai menuntut ilmu
tahun 1916 di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah, Padang kemudian
pindah di HIS Solok. Sore hari belajar di Madrasah Diniyah dan malam
hari mengaji ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Tamat dari HIS tahun 1923,
Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (SMP) (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) Padang. Disanalah ia mulai aktif berorganisasi di Jong
Islamieten Bond (JIB) atau Perkumpulan Pemuda Islam cabang Sumatra Barat
bersama Sanoesi Pane. Aktivitas utama organisasi ini pada saat itu
adalah menentang para misionaris kristen di wilayah Sumatra Utara.
Natsir adalah laki-laki cerdas.
Sejak muda ia mahir berbahasa Inggris, Arab, Belanda, Prancis, dan
Latin. Karena kecerdasannya, tamat dari MULO pada 1927, Natsir mendapat
beasiswa studi di AMS (Algemere Middlebare School) A-II setingkat SMA di
Bandung dan lulus tahun 1930 dengan nilai tinggi. Ia sebenarnya berhak
melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan
orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah
ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai
negeri dengan gaji tinggi.
Tetapi, semua peluang itu tidak
diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada
masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Di kota inilah ia berkenalan
dengan H. Agus Salim dari Syarekat Islam, Ahmad Soorkaty pendiri
organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan A. Hasan, pendiri Persatuan Islam
(Persis). Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki
studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan A. Hasan. Tahun
1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs).
Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam
(Pendis) Bandung.
Aktivis Sejati
Sedari muda Natsir aktif
berorganisasi. Berbagai aktivitas dakwah dan politik dijalaninya dengan
penuh kesungguhan hingga akhir hayatnya. Berikut ini
organisasi-organisasi dan berbagai jabatan yang sempat diembannya:
Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung.
Mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung.
Direktur Pendidikan Islam, Bandung.
Menerbitkan majalah Pembela Islam, dalam melawan propaganda misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan kaki tangan asing.
Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho).
Memimpin Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI).
Menjadi pimpinan Direktorat Pendidikan, di Jakarta.
Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta.
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Anggota MPRS.
Pendiri dan pemimpin partai MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)
Dalam
pemilu 1955, yang dianggap pemilu paling demokratis sepanjang sejarah
bangsa, Masyumi meraih suara 21% (Masyumi memperoleh 58 kursi, sama
besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi).
Capaian suara Masyumi itu belum disamai, apalagi terlampaui, oleh
partai Islam setelahnya, hingga saat ini.
Menentang
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda dan
mengajukan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal
ini dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir. Akhirnya RIS dibubarkan dan
seluruh wilayah Nusantara kecuali Irian Barat kembali ke dalam NKRI
dengan Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri-nya. Penyelamat NKRI,
demikian presiden Soekarno menjuluki Natsir.
Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Anggota
Parlemen. Penentang utama sekulerisasi negara, pidatonya “Pilih Salah
Satu dari Dua Jalan; Islam atau Atheis” di hadapan parlemen, memberi
pengaruh yang besar bagi anggota parlemen dan masyarakat muslim
Indonesia.
Anggota Konstituante.
Menyatukan kembali Aceh yang saat itu ingin berpisah dari NKRI.
Mendirikan dan memimpin Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang cabang-cabangnya tersebar ke seluruh Indonesia.
Wakil Ketua Muktamar Islam Internasional, di Pakistan.
Aktif menemui tokoh, pemimpin dan dai di negara-negara Arab dan Islam untuk membangkitkan semangat membela Palestina.
Anggota Dewan Pendiri Rabithah Alam Islami (World Moslem League), juga pernah menjadi sekjennya.
Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia).
Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London.
Pendiri
UII (Universitas Islam Indonesia) bersama Moh. Hatta, Kahar Mudzakkir,
Wahid Hasyim, dll. Juga enam perguruan tinggi Islam besar lainnya di
Indonesia.
Hingga akhir hayatnya, tahun
1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami
dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.
Tokoh Dunia Islam
Mohammad Natsir sangat
dihormati oleh dunia Islam. Ia adalah ulama, da’i militan yang tidak
pernah menyerah kepada lawan, dan selalu membela kebenaran. Dunia Islam
mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara.
Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon)
dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu
perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga
menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah)
atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400
Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India,
Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal
Abul A’la al-Maududi.
Dunia mengakuinya, namun di
negerinya sendiri mulai dari rejim Soekarno dan Soeharto telah memandang
sebelah mata. Ia beberapa kali masuk penjara dan sampai dilarang pergi
keluar negeri oleh pemerintahan Soeharto karena ketokohannya yang sangat
disegani dan dihormati di kancah perpolitikan Islam.
Penulis Tangguh
Disamping mahir berorganisasi
sehingga menjadi negarawan ulung, Natsir juga berkarya dalam dunia
perbukuan untuk mewariskan tsaqafah-nya. Karya-karya Mohammad Natsir
antara lain: Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah), Ikhtaru Ahadas Sabilain
(Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), Shaum (Puasa), Capita Selecta I, II,
dan III, Dari Masa ke Masa, Agama dalam Perspektif Islam dan masih
banyak lagi.
Natsir memang bukan sekedar
ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi
yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan
ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Tulisan-tulisan
Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.
Haus Ilmu
Natsir juga dikenal sebagai
pribadi yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ia selalu
mengambil manfaat dan inspirasi dari para pejuang dan orang-orang saleh.
Diantara tokoh dunia Islam yang mempengaruhinya adalah Muhammad Amin
Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi.
Syuhada Bahri (Ketua DDII)
menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga
menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga
Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn
Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.
Mencintai Dunia Pendidikan
Kecintaan Natsir di bidang
pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah
universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan
besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia,
Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas
Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir
juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok
Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima
gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Cita-citanya yang belum tercapai
Agus Basri dalam sebuah
wawancara bertanya kepada Natsir, “Adakah sesuatu yang belum tercapai?”
Ia menjawab: “Hingga sekarang ini, yang belum tercapai, sama seperti
keinginan saya waktu jadi Perdana Menteri: orang-orang yang rukun,
beragama, ada tasamuh, toleransi antara umat beragama yang satu dengan
umat yang lain, itu ndak tercapai. Iya, Baldatun thoyyibatun wa robbun
ghafur (Negara sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang ndak atau
belum juga tercapai…”
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan padanya. Semoga ada generasi baru yang meneruskan cita-citanya. Amin…
Sumber Tulisan:
Seabad Mohammad Natsir, Mengenang Sosok Da’i negarawan yang tangguh, www.muslimdaily.net
Mengenang Seabad Mohammad Natsir, Adian Husaini
Mengenang Moh. Natsir : Mujahid Dakwah Legendaris, Agus Basri.
0 komentar
Posting Komentar