Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Rabu, 10 Desember 2014

[Buku] Tan Malaka: Aksi Massa


Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
Ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura.
Sumber: Diambil dari buku "Aksi Massa" terbitan Teplok Press, 2000.
Dimuat ke HTML oleh Ted Crawford dan Ted Sprague.
PENGANTAR PENULIS
Alles was besteht ist wert,
dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)
Asia sudah bangun!
Lambat  laun  bangsa-bangsa  Asia  yang  terkungkung  itu  tentu  akan  memperoleh
kebebasan  dan  kemerdekaan.  Tetapi  tidak  ada  seorang  pun  yang  dapat  mengatakan  bi lamana  dan  dimana  bendera  kemerdekaan  yang  pe rtama  akan  berkibar.  Siapa  yang
menyelidiki  sedalam-dalamnya  perekonomian  Timur,  politik  dan  sosiologi  akan  dapat
menunjukkan  halkah  rantai  yang  selemah-lemahnya  dalam  rentengan  rantai  panjang
yang  mengikat  perbudakan  Timur.  Indonesialah  halkah  rantai  yang  lemah  itu.  Di
Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Imperialisme  Belanda  lebih  tua  dan  lebih  kuno  dari  pada  imperialisme  Inggris  dan
Amerika,  dipisahkan  oleh  satu  lembah  yang  tak  dapat  diseberangi  dari  jajaha nnya.
Negeri  Belanda,  karena  tidak  mempunyai  bahan-bahan  untuk  industrinya,  dari  dahulu
hanya mengusahakan pertanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke seluruh Indonesia sangat luasnya.
Pusat  industri  Belanda  sekarang  terletak  di  Indonesia,  sedang  pusat  perdagangan  dan
keuangannya  ada  di  negeri  Belanda.  Bankir,  industrialis  dan  saudagar  tinggal  di  negeri
Belanda,  sedang  buruh  dan  tani  di  Indonesia.  Jika  kita  perhatikan  kedua  lautan  yang
memisahkan  Belanda  dengan  Indonesia  itu,  serta  tidak  pula  kita  lupakan  perbedaan
bangsa,  agama,  bahasa,  adat-istiadat  antara  penjajah  dan  si  terjajah,  antara  pemeras
dan si terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaulan yang luar biasa
di dunia imperialisme waktu sekarang. Luar biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada.
Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia putus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme
Belanda  (samasama  mau  menggencet  buruh  dan  tani)  menyebabkan  imperialisme
Belanda  sukar  sekali  membereskan  krisis  ekonomi  di  Indonesia.  Dimanakah  ada  di
Indonesia  tuan-tuan  tanah  bumiputra  seperti  di  Mesir,  India  dan  Filipina  yang  dapat
menunjang  kaum  imperialisme  untuk  membela  kepentingan-kepentingan  ekonomi
mereka?  Dan  dimanakah  ada  kaum  modal  bumiputra  yang  kuat,  yang  meminta-minta
kekuasaan dalam politik perekonomian-nya seperti di India?
Tuan-tuan  tanah  Indonesia  yang  sedikit  berarti  telah  lama  menjadi  gembala,  kuli  atau
kuli  tinta!  Bangsa-bangsa  Eropa,  Tionghoa  dan  dan  Arab  menguasai  semua  perdagangan
besar,  menengah  ataupun  kecil!  Bangsa  Indonesia  yang  menengah  atau  yang  kecil  telah
lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pema sukan barang-barang
pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Belanda, kaum intelektual jadi kurang.
Sebab  itu,  kendatipun  kaum  saudagar  bumiputra  seperti  India,  mau  menyokong  mereka
mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab  ketiadaan  kaum  modal  tuan  tanah  bumiputra  itu,  maka  setiap  aksi  parlementer
dari partai nasional mana pun tidak berguna.
Bagaimanakah  "bapak  gula"  dan  "nenek  minyak"  di  negeri  Belanda  akan  dapat
memberikan  hak  pemilihan  umum  kepada  bangsa  Indonesia?  Atau  dengan  lain  arti:
mempercayakan  kekuasaan  politik  kepada  wakil-wakil  tani  dan  buruh  yang  miskin?  Jika
sekiranya  di  belakang  kaum  intelektual,  berdiri  tuan -tuan  tanah  dan  kaum  modal
bumiputra  yang  akan  mereka  wakili  di  parlemen,  tentulah  akan  berlainan  keadaan  itu.
Dan cakap angin tentang "perubahan  dalam pemerintahan di Indonesia" ada juga artinya
sedikit.  Imperialis  Belanda  berangsur-angsur,  lambat  laun  dapat  menyerahkan
pemerintahan  itu  kepada  bangsa  Indonesia  yang  cakap  dan  jujur.  Bukankah  melindungi
modal bumiputra, sebagian juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah
sekarang  ini  nyatalah  bahwa  flap  pemerintahan  bangsa  Indonesia  haruslah  tunduk
kepada  kemauan  modal  asing  yang  besar-besar.  Dan  pemerintahan  seperti  itu  tak  akan
diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya,  Indonesia  tak  mempunyai  faktor-faktor  ekonomi,  sosial  ataupun  intelektual
buat  melepaskan  diri  dari  perbudakan  ekonomi  dan  politik  di  dalam  lingkungan
imperialisme Belanda. Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam
arti  yang  seluas-luasnya  dengan jalan  menguasai  setengah,  tiga perempat,  hingga tujuh
per  delapan  parlemen  lenyap  buat  selamanya.  Impian  seorang  makhluk  seperti
Notosuroto  yang  mengangan-angankan  Nederlandia  Raja  akan  tetap  jadi  lamunan  orang
yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik ada di tangan rakyat. Dan
Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan
aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan  Rakyat  kadang-kadang  boleh  dimasuki!  Tetapi  bukan  dipergunakan  sebagai
senjata  yang  sah  untuk  memperoleh  pemerintahan  nasional  yang  bertanggung  jawab
penuh  dengan  perantaraan  Dewan  Rakyat  bekerja  sama  dengan  imperialis  Belanda.
Tetapi guna mengembangkan usaha revolusioner hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh
dengan  perantaraan  aksi-aksi  parlementer  samalah  dengan  seseorang  di  Gurun  Sahara
yang  membum  fatamorgana.  Tetapi  siapa  yang  mempergunakan  sekalian
pengetahuannya  untuk  aksi  massa  yang  teratur,  niscaya  memperoleh  kemenangan  itu
seumpama "ayam pulang ke kandangnya".
Soal  kemerdekaan  Indonesia  bukanlah  satu  soal  yang  terbatas  di  Indonesia  saja,  yang
dapat  dipecahkan  dengan  perantaraan  kongres  dan  putusan-putusan  yang  lembek  di
Dewan  Rakyat,  jangan  dikata  lagi  dengan  perantaraan  kelakar-kelakar  ekonomi  dan
kebudayaan  di  warung  kopi.  Soal  itu  mempunyai  hubungan  yang  sangat  rapat  dengan
kekuasaan Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.
Salah  satu  sebab  —  dan  ini  bukan  sebab  yang  terkecil  —  mengapa  Amerika  tidak  juga
memberikan  kemerdekaan  yang  seluas-luasnya  kepada  orang  Indonesia  Utara  (Filipina)
yang  menurut  perkataan  kawan  ataupun  lawannya  telah  lama  matang  (seperti  kata
surat-surat  kabar  imperialisme  Amerika  di  Manila)  adalah  bahwa  kemerdekaan  Filipina
berarti  satu  pemberontakan  dan  penyembelihan  di  Asia  melawan  kekuasaan  kulit  putih
(a general revolt in Asiatic countries against white authority, uprising being attended by
slaughter).  Kelepasan  Indonesia  (pusat  arti  ilmu  bumi  dan  peperangan  Asia,  penduduk
lima kali lebih besar dari Filipina dan dengan perdagangan in ternasional) mustahil tidak
berarti  sebagai  satu  pistol  yang  ditujukan  kepada  kekuasaan  Barat  terutama  Inggris  di
Asia.
Belum  lama  ini  bekas  putra  mahkota  Wilhelm  menerangkan  kepada  seorang  wakil  dari
United  Press  di  Locarno  yang  diumumkan  oleh  radio  ke  seluruh  dunia,  bahwa  bila
manusia yang berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul Anglosakson (Inggris,
Prancis  dan  Belanda)  niscaya  bangsa  Melayulah  yang  pertama  kali  akan  menyebab kan
kesusahan.  Pengharapan  imperialistis  dan  sindiran  macam  apakah  yang  dimaksud  putra
mahkota  yang  senewen  itu,  bagi  kita  tetap  nyata:  bahwa  Indonesia  sekarang  bukan
Indonesia  pada  beberapa  tahun  yang  lalu.  Indonesia  telah  mengambil  tempat  yang
penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena  itu,  kemenangan  yang  diperoleh  dengan  jalan  damai  dan  parlementer  sama
sekali  tak  boleh  dipikirkan.  Bukankah  hal  serupa  itu  tepat  mengganggu  ketentraman
kapitalis  di  Timur?  Bila  suatu  hari  Indonesia  terlepas  dan  mempertahankan
kemerdekaannya  dari  musuh-musuh  dalam  dan  luar  negeri,  tentulah  hal  tersebut
ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni yang disebabkan oleh aksi massa: dari massa
dan untuk massa.
Kalau  penjajahan  Belanda  selama  300  tahun  itu  tidak  berupa  perampokan  (membunuh
habis  industri  bumiputra)  niscaya  derajat  kaum  intelektual  kita  jauh  berbeda  dari
keadaan  sekarang!  Dan  kita  tentulah  mempunyai  semangat  kecerdasan  (inteligensia)
yang  menurut  asal,  didikan  dan  perasaan  menjadi  pemuka  dari  tuan-tuan  tanah,  industri,  saudagar  dan  pegawai  bumiputra.  Pun  juga  akan  timbul  pergerakan  demokrasi
dan kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama (kompromis) dengan bangsa Belanda
atas pertolongan buruh dan tani seperti di India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas  ketiadaan  kaum  modal  bumiputra,  intelegensia  kita  tak  kuat  berdiri.  Ia  melayanglayang  di  antara  rakyat  dengan  pemerintah.  Ia  tidak  mempunyai  perasaan  ingin
mengorbankan  diri  seperti  yang  ditunjukkan  nasionalis  di  negeri-negeri  lain.  Ia  tidak
mempunyai  alat-alat  perasaan,  pemikiran  yang  mendekatkan  dirinya  kepada  massa
(rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelektual kita jauh dari massa.
Mereka  tidak  mempunyai  satu  kesaktian  yang  dapat  mempengaruhi  dan  menarik  hati
rakyat.  Kaum  intelektual  kita  tidak  beroleh  kepercayaan  dan  simpati  massa  untuk
menggerakkan  mereka,  membuat  aksi-aksi  serta  memimpin  mereka.  Tambahan  lagi,
sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas
mereka  dan  belum  menjadi  buruh  terpelajar.
Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah
mereka  banyak,  tentulah  mereka  akan  luntang-lantung  dan  merasakan  kemelaratan
sebagai buruh industri dengan penuh "kegembiraan" dalam medan perjuangan.
Kecepatan  timbulnya  kelas  intelektual,  kekecewaan  terhadap  Budi  Utomo  (B.U.)  dan
National Indische Party (N.I.P.) serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka
ke jurusan yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa pal (1
pal = 1.5 kilometer) jauhnya dari massa serta dalam keaktifan dan politik terjejer sangat
jauh  di  belakang  dibandingkan  dengan  kelas  mereka  di  lain  koloni,  tetapi  mereka  telah
mulai  bangun  dari  tidur.  "Jubah  malaikat"  dari  Notosoeroto  telah  dilemparkan  mereka,
dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi revolusioner. Sekarang dari beberapa universitas di
negeri Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengaran oleh
kaum intelektual yang ada di Indonesia.
Tetapi  harapan  buruh  dan  tani  di  Indonesia  tidak  cuma  persetujuan  hati  saja  dari
intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti -bukti.
Selama  kaum  terpelajar  kita  melihat  bahwa  perjuangan  kemerdekaan  sebagai  masalah
akademi  saja,  selama  itulah  perbuatan-perbuatan  yang  diharapkan  itu  kosong  belaka.
Biarlah  mereka  melangkah  keluar dari  kamar  belajar  menyeburkan  diri  ke  dalam  politik
revolusioner yang aktif.
Gelombang  pemogokan,  pemboikotan  dan  demonstrasi  yang  beralun-alun  setiap  hari
bertambah  besar,  melalui  rapat  nasional  menuju  ke  Federasi  Republik  Indonesia,  inilah
jalan mereka, tidak lain!
Tan Malaka
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS
I. REVOLUSI
II. IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1.  Pengaruh Luar Negeri
2.  Bangsa Indonesia yang Asli
3.  Pengaruh Hindu
4.  Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
5.  Tarunajaya
6.  Diponegoro
III. BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
1.  Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan
2.  Sebab-Sebab Perbedaan
3.  Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
a.  India
b.  Filipina
c.  Indonesia
IV. KAPITALISME INDONESIA
1.  Kapitalisme yang Masih Muda
2.  Tumbuh Tidak dengan Semestinya
3.  Kapital Indonesia Itu Internasional
V. KEADAAN RAKYAT INDONESIA
1.  Kemelaratan
2.  Kegelapan
3.  Kelaliman dan Perbudakan
VI. KEADAAN SOSIAL
VII. KEADAAN POLITIK
1.  Tinjauan ke Belakang
a.  Pokok Undang-Undang Minangkabau
b.  Perwakilan Rakyat atau Soviet
2.  Dewan "Rakyat" Kita!
3.  Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat
VIII. REVOLUSI DI INDONESIA
1.  Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi
2.  Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
IX. PERKAKAS REVOLUSI KITA
1.  Partai dan Sifat-Sifatnya
2.  Program Nasional Kita
3.  Tugas dan Organisasi Partai
X. SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI INDONESIA
1.  Kegagalan Partai Borjuis
a.  Budi Utomo
b.  National Indische Party
c.  Sarekat Islam
2.  Bagaimana Sekarang?
3.  De Indonesische Studieclub
XI. FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
XII. KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM PROLETAR DI INDONESIA
I
REVOLUSI
Revolusi  itu  bukan  sebuah  ide  yang  luar  biasa,  dan  istimewa,  serta  bukan  lahir  atas
perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang
dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak
dapat  diciptakan  dengan  otaknya  sendiri.  Sebuah  revolusi  disebabkan  oleh  pergaulan
hidup,  suatu  akibat  tertentu  dari  tindakan-tindakan  masyarakat.  Atau  dalam  kata-kata
yang  dinamis,  dia  adalah  akibat  tertentu  dan  tak  terhindarka n  yang  timbul  dari
pertentangan  kelas  yang  kian  hari  kian  tajam.  Ketajaman  pertentangan  yang
menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial,
politik,  dan  psikologis.  Semakin  besar  kekayaan  pada  satu  pihak  semakin  beratlah
kesengsaraan  dan  perbudakan  di  lain  pihak.  Pendeknya  semakin  besar  jurang  antara
kelas  yang  memerintah  dengan  kelas  yang  diperintah  semakin  besarlah  hantu  revolusi.
Tujuan  sebuah  revolusi  ialah  menentukan  kelas  mana  yang  akan  memegang  kekuasaan
negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan".
Di  atas  bangkai  yang  lama  berdirilah  satu  kekuasaan  baru  yang  menang.  Demikianlah,
masyarakat feodal didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini
sekarang berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu
masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas", lain halnya jika semua manusia yang
ada  sekarang  musnah  sama  sekali  tentulah  terjadi  proses  :  werden  undvergehen,  yakni
perjuangan  kelas  terus-menerus  hingga  tercapai  pergaulan  hidup  yang  tidak  mengenal
kelas (menurut paham Karl Marx).
Di  zaman  purba  waktu  ilmu  (wetenschap)  masih  muda,  semua  perjuangan  dalam
kegelapan  (kelas-kelas)  diterangi  (dibereskan)  oleh  agama  yang  bermacam-macam;
perjuangan  golongan  menyerupai  keagamaan,  umpamanya  pertentangan  Brahmanisme
dan  Budhisme,  Ahriman,  Zoroastria  dengan  Ormus  (terang  dengan  gelap),  Mosaisme
dengan  Israilisme,  kemudian  Katholisme  dengan  Protestanisme.  Akan  tetapi,  pada
hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik.
Kemudian  sesudah  ilmu  dan  percobaan  menjadi  lebih  sempurna,  sesudah  manusia
melemparkan  sebagian  atau  semua  "kepicikan  otak"  (dogma),  setelah  manusia  menjadi
cerdas  dan  dapat  memikirkan  soal  pergaulan  hidup,  pertentangan  kelas  disendikan
kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia
tidak  membutuhkan  atau  mencari-cari  Tuhan  lagi,  atau  ayat-ayat  kitab  agama,  tetapi
langsung  menuju  sebab  musabab  nyata  yang  merusakka n  atau  memperbaiki
kehidupannya.  Di  seputar  ini  sajalah  pikiran  orang  berkutat  dan  ia  dinamakan  cita -cita
pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan.
Tatkala  kehidupan  masih  sangat  sederhana  dan  terutama  tergantung  kepada  pekerjaan
tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja raja,  biarpun  bodohnya  seperti  kerbau,  "boleh  menaiki  singgasana  dengan  pertolongan
pendeta dan bangsawan", menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara  pemerintahan  serupa  itu  menjadi  sangat  sempit  tatkala  teknik  lebih  maju  dan
feodalisme  yang  sudah  bobrok  itu  pun  merintangi  kemajuan  industri.  Kelas  baru,  yaitu
"borjuasi" yang menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme), merasa tak senang
sebab  ketiadaan  hak-hak  politik.  Mereka  meminta  supaya  pemerintahan  diserahkan
kepada mereka yang lebih cakap dan pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan" oleh
rakyat.  Cita-cita  politik  borjuasi  adalah  demokrasi  dan  parlementarisme.  Ia  menuntut
penghapusan  sekalian  hak-hak  feodal  dan  juga  menuntut  penetapan  sistem  penghasilan
dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka
dalam nyala revolusi. "Revolusi borjuasi" tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang tak
mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri Prancis sebagai
pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.
Nasib  raja  Prancis  (yang  digulingkan)  diderita  juga  oleh  raja  Rusia  yang  mencoba-coba
mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan kekerasan
di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita  revolusioner  berjalan  terus  tanpa  mengindahkan  adanya  pukulan,  peluru  dan
siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di dalam guagua  yang  gelap,  di  dalam  tambang-tambang  di  Siberia,  di  dalam  penjara  yang  mesum,
dingin  dan  sempit  itu,  angan-angan  dan  kemauan  revolusioner  memperoleh  pelajaran
yang  tak  ternilai.  Kerajaan,  gereja  dan  Duma  (parlemen  di  Rusia)  dalam  waktu  yang
singkat  habis  disapu  oleh  gelombang  revolusioner  yang  tak  terbendung.  Dalam  revolusi
buruh  bulan  November  1917  kelihatan  bahwa  kelas  buruh  mempunyai  kekuatan  dan
kemauan yang melebihi borjuasi.
Raja  Inggris,  George  III,  yang  tak  mengindahkan  riwayat  negerinya  sendiri  menyangka
bahwa  armada  yang  kuat  dan  kebesaran  kekayaannya  dapat  merintangi  tumbuhnya
kesosialan.  Bangsa  Amerika  Utara  dengan  tak  mengindahkan  jumlahnya  yang  kecil,
kurangnya  pengalaman  dalam  soal  penerangan,  uang  dan  lain-lain  alat  material,  dapat
mencapai  kemerdekaannya  sesudah  mengadakan  perlawanan  habis-habisan  yang  tak
kenal lelah itu.
Baru  setelah  kungkungan  ekonomi  dan  politik  berhasil  diputuskan  dari  imperialisme
Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan kebudayaan
yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya  ia  belum  dua  kali  menceburkan  diri  kedalam  revolusi  (pada  tahun  1860),
Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.
Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian
umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun yang
lalu  (1868)  menghancurkan  sekalian  hak-hak  feodal  dengan  perantaraan  revolusi?
Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.
Pendeknya  dengan  jalan  revolusi  dan  perang  kemerdekaan  nasionallah  (yang  dapat
dimasukkan  dalam  revolusi  sosial!),  maka  sekalian  negeri  besar  dan  modern  tanpa
kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.
Revolusi  bukan  saja  menghukum  sekalian  perbuatan  ganas,  menentang  kecurangan  dan
kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.
Di  dalam  masa  revolusilah  tercapai  puncak  kekuatan  moral,  terlahir  kecerdasan  pikiran
dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Satu  kelas  dari  suatu  bangsa  yang  tidak  mampu  mengenyahkan  peraturan-peraturan
kolot  serta  perbudakan  melalui  revolusi,  niscaya  musnah  atau  terkutuk  menjadi  budak
abadi.
Revolusi adalah mencipta!
II
IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
Riwayat  Indonesia  tak  mudah  dibaca,  apalagi  dituliskan.  Riwayat  negeri  kita  penuh
dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada
seorang  jua  ahli  riwayat  dari  Kerajaan  Majapahit  atau  Mataram  yang  mempunyai
persamaan  dengan  ahli  riwayat  bangsa  Roma  kira-kira  di  zaman  1400  tahun  yang  silam,
seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli
riwayat yang jujur.
Paling  banter  kita cuma  mempunyai  tukang-tukang  dongeng, penjilat-penjilat  raja  yang
menceritakan  pelbagai  macam  keindahan  dan  kegemilangan  supaya  tertarik  hati  si
pendengar.
Tetapi meskipun demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar
kejadian  yang  sesungguhnya.  Tak  usah  terlampau  jauh  kita  langkahi  batas  itu,  niscaya
berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan riwayat -riwayat
negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu, terbayanglah kebenaran,
tampaklah  Kepulauan  Indonesia,  kerajaan-kerajaan  dan  kota-kotanya  yang  berdiri  dan
kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap, berperang, kalah dan menang, kekayaan,
kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa
di  Malaka,  Sumatera  dan  Jawa  berdiri  negeri-negeri  yang  besar.  Di  Borneo  Tengah  pun
ada  satu  kerajaan  yang  agaknya  tak  seberapa  kurangnya  dari  Kerajaan  Majapahit.  Di
sana berdiri kota-kota yang besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang indah-indah,
sebagaimana  yang  dibuktikan  oleh  barang-barang  yang  dijumpai  di  dalam  tanah  hingga
waktu sekarang.
Dapat pula dipastikan, bahwa Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat
feodalisme,  dan  bahwa  ia  jauh  tercecer  dari  feodalisme  di  Eropa.  Bangsa  Yunani  j auh
lebih  tinggi  dari  bangsa  Indonesia  —  dalam  hal  ini  Majapahit  bila  kerajaan  ini  dianggap
sebagai tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan negeri, politik, ilmu
hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal c ita-cita
pemerintahan  negeri.  Berabad-abad  pemerintahan  itu  bukan  untuk  dan  milik  rakyat.
Perkataan:  "Bagi  Tuankulah,  ya,  Junjunganku,  kemerdekaan,  kepunyaan  dan  nyawa
patik," pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di
sana  tak  ada  Orachus,  Magna  Charta  dan  tak  ada  pengetahuan  yang  diselidiki  dengan
betul-betul  seperti  yang  dipergunakan  Aristoteles,  Pythagoras  dan  Photomeus.
Pengetahuan  mendirikan  gedung-gedung  dan  ilmu  obat-obatan  kita  masih  dalam
tingkatan  percobaan.  Keajaiban  Borobudur  kita  tak  seajaib  segitiga  Pythagoras,  sebab
yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai
macam pengetahuan. Di manapun tak ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak
kecerdasan pikiran!
Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran;
tambahan  lagi  bangsa  Barat  di  Zaman  Kegelapan  (Abad  Pertengahan)  pun  sudah
mengenal itu. Lagi pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua,
bahwa  masyarakat  kita  senantiasa  memperoleh  dari  luar  dan  tak  pernah  mempunyai
cita-cita  sendiri.  Agama  Hindu,  Budha  dan  Islam  adalah  barang-barang  impor,  bukan
keluaran negeri sendiri.
Selain itu, cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat.
Mesin  penggerak  segenap  pemasukan  agama  Hindu,  Budha  dan  Islam  sampai  kepada
masa  kedatangan  kapitalisme  Belanda,  serta  semua  perang  saudara  di  waktu  itu  adalah
berada  di  luar  negeri.  Indonesia  adalah  wayangnya  senantiasa,  dan  luar  negeri
dalangnya.
2. Bangsa Indonesia yang Asli
Di zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu
ke  luar  negerinya  —  Hindia-Belakang  —  dan  melarikan  diri  ke  Nusantara  Indonesia,
mereka  telah  mempunyai  suatu  peradaban.  Pak  tani  di  zaman  itu  menjelma  menjadi
bajak  laut  yang  sangat  buas  dan  ditakuti  orang.  Dengan  Vintas  (semacam  perahu)
kecilnya,  mereka  mengarungi  seluruh  kepulauan  antara  dua  lautan  besar,  antara
Amerika  dan  Afrika.  Penduduk  asli  dari  India  dan  Oceania  ditaklukannya.  Rimba  raya
hingga  puncak  gunung  dijadikannya  huma.  Rumah  yang  bagus-bagus  didirikannya,
permainan dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah
kepada pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan
saja  menentang,  tetapi  dapat  pula  mengundurkan  laskar  Mongolia.  Bajak  laut  bernama
Pakodato  dari  Kerajaan  Singapura  di  Semenanjung  Tanah  Melayu  pada  tahun  500  dapat
menggeletarkan  Kerajaan  Tiongkok  dan  Hindustan  dengan  angkatan  armada  serta
pedangnya.
3. Pengaruh Hindu
Agaknya  hawa  tropika  di  lingkungan  katulistiwalah,  yang  terutama  menyebabkan  teknik
kita  tak  maju.  Hawa  yang  subur  dan  melemahkan  itu,  serta  sedikitnya  penduduk,
menjadikan kaum tani yang senang hidupnya itu, tinggal diam dan menerima, sedangkan
kepulauan  yang  sangat  banyak  itu  menarik  hati  penduduk  di  pantai-pantai,  kepada
perantauan  dan  pengalaman.  Menurut  riwayat  dapat  diketahui  bahwa,  sesudah  dibawa
pengaruh  Hindu,  kebudayaan  mereka  bertambah  naik  dan  mereka  mulai  berkenalan
dengan  perampas.  Kejadian  itu  berlangsung  sesudah  bangsa  kita  bercampur  darah
dengan  penjajah-penjajah  bangsa  Hindu.  Kini  terbayanglah  dalam  benak  kita  kejadiankejadian  yang  dapat  digambarkan  oleh  kejadian-kejadian  itu,  yang  membangkitkan
tenaga  terpendam  itu  jadi  dinamis.  Bukan  oleh  percaturan  hidup  kita  sendiri  (melawan
atau  antara  kelas-kelas)  maka  penguraian  kita  perihal  teknik  kebudayaan  feodalistis
seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar.
Biarlah  kita  tinggalkan  di  sini  perihal  peraturan  matriarchaat  (pusaka  turun  kepada
kemenakan) di Minangkabau yang berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya
yang terpencil. Dengan mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita tinggalkan
pula riwayat Sriwijaya dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garisgaris yang besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh agama Hindu dan
Budha,  demikianlah  kata  orang  kepada  kita.  Bangsa  yang  lebih  pintar  itu  mengajarkan
pemerintahan  negeri,  teknik  kebudayaan  yang  lebih  sempurna.  Penduduk  Pulau  Jawa
yang  suka  damai  itu  belum  mempunyai  pertentangan  kelas  dalam  anti  yang  seluasluasnya.  Mereka  tidak  memberi  kesempatan  kepada  pengikut -pengikut  agama  Hindu
untuk  mempertaruhkan  kepercayaan  mereka  dalam  sebuah  pertentangan,  yakni
Hinduisme  yang  aristokratis  dan  Budhisme  yang  lebih  demokratis.  Ketajaman
pertentangan  agama,  oleh  masyarakat  Jawa  yang  tidak  mengenal  kelas  itu,  dapat
diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau Jawa
yang  asli.  Siwa,  Wisnu,  dan  dewa-dewa  agama  Budha  yang  di  negeri  asalnya  satu  dan
lainnya  bermusuhan  serta  berpisah-pisah,  hidup  bersama  di  Pulau  Jawa  dengan
damainya.
Dalam hal yang seperti itu, Islam pun datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu
dan Budha.
Penduduk  Jawa  sekarang  adalah  "kristalisasi"  dari  bermacam-macam  agama  ketuhanan
dan  agama  dewa-dewa  (animisme).  Ia  bukan  seorang  animis,  bukan  seorang  Hindu,
bukan  seorang  Budha,  bukan  seorang  Kristen  dan  bukan  seorang  Islam  yang  sejati.
Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.
4. Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah
Di kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur yang diperintah oleh Raja Jayabaya, seorang
yang  cerdik  dan  pandai,  lagi  bijaksana,  ada  seorang  ahli  nujum  yang  bernama  Empu
Sedah,  yang  selalu  gundah  karena  sangat  curiga  terhadap  pengaruh  luar  negeri  yang
makin lama semakin besar. Dalam tulisannya disebutkan: "Sebuah revolusi di Pulau Jawa
akan  timbul,  dipimpin  oleh  orang  yang  berkulit  kuning  dan  akan  memperoleh
kemenangan  buat  beberapa  lama".  Dalam  perkataan  sindirannya  tertulis  "akan
memerintah seumur jagung".
Tidakkah  ramalan  itu  kemudian  terbukti  dengan  kemenangan  seorang  Tionghoa  Jawa
bernama Mas Garendi yang dalam waktu yang singkat menggenggam kota Kartasura?
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar.
Sudah  pada  tempatnya  bangsa  Tionghoa  itu  sedapat  mungkin  mempergunakan
bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka!
Bila  maksud  ini  tak  berhasil  dengan  pengaruhnya  itu,  adakalanya  dengan  jalan  revolusi
mereka  mencoba-coba  merebut  pemerintahan  negeri.  Tetapi,  supaya  mereka  dapat
tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan satu kelas.
Mereka haruslah menjadi anak negeri atau bercampur darah dengan bumiputra. Barulah
mereka  dapat  menaklukkan  raja  dengan  perantaraan  kaum  tani  yang  tidak  senang  itu.
Karena bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak
memperoleh  bantuan  militer  dari  tanah  air  mereka,  maka  tak  lamalah  mereka  sanggup
mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.
Rupanya  Empu  Sedah  mengerti  betapa  kebencian  rakyat  dan  revolusi  yang  akan  pecah.
Sedang  kekuatan  nasional  tak  cukup  kuat  menahan  revolusi  sosial  tersebut.  Itulah  yang
menimbulkan kegundahannya.
Di  Kerajaan  Majapahit  berdiri  beberapa  perusahaan  batik,  genteng  dan  kapal  dengan
kapital  yang  cukup  besar.  Dalam  beberapa  perusahaan  bekerja  ribuan  kaum  buruh.
Nahkoda-nahkodanya  telah  ada  yang  dengan  kapal-kapalnya  berlayar  sampai  ke  Persia
dan  Tiongkok.  Boleh  jadi  sungguh  besar  modalnya,  malah  modal  orang  asing.  Saudagarsaudagar  yang  kaya  di  bandar-bandar  seperti  Ngampel,  Gresik,  Tuban,  Lasem,  Demak
dan  Cirebon  agaknya  adalah  bangsa  asing  atau  yang  sudah  bercampur  darah  dengan
orang-orang  Jawa.  Nahkoda  Dampu-Awang,  menurut  ceritanya  yang  berlebih-lebihan,
mempunyai  kapal  yang  layarnya  setinggi  Gunung  Bonang  dan  kekayaannya  kerapkali
dijadikan  ibarat,  rasanya  seorang  Tionghoa-Jawa.  Satu  statistik  di  zaman  itu  tak  ada
pada  kita!  Tetapi  banyak  bangsa  yang  diam  di  Pulau  Jawa  dapat  dibuktikan  dengan
perkataan  seorang  pujangga  Majapahit,  bernama  Prapanca,  "Tidak  henti-hentinya
manusia  datang  berduyun-duyun  dari  bermacam-macam  negeri.  Dari  Hindia-Muka,
Kamboja,  Tiongkok,  Annam,  Campa,  Karnataka,  Guda  dan  Siam  dengan  kapal  disertai
tidak  sedikit  saudagar  ahli-ahli  agama,  ulama  dan  pendeta  Brahma  yang  ternama,  siap
datang dijamu dan suka tinggal.‖
Sudah  tentu,  penduduk  bandar-bandar  yang  makin  lama  makin  maju  itu  merasa
memperoleh  rintangan  dari  kaum  bangsawan  di  ibukota.  Sebagaimana  terjadi  di  negeri
Eropa,  penduduk  bandar  meminta  hak  politik  dan  ekonomi  lebih  banyak.  Dari
pertentangan  antara  pesisir  dengan  darat,  perdagangan  dengan  pertanian,  penduduk
dengan  pemerintah,  timbullah  satu  revolusi  yang  membawa  Pulau  Jawa  ke  puncak
ekonomi dan pemerintahan.
Bila  bandarnya  mempunyai  industri  dan  perdagangan  nasional  yang  kuat,  niscaya  Jawa
akan  mengalami  satu  revolusi  sosial  yang  dibangkitkan,  dipecahkan  dan  dipimpin  satu
revolusi  sosial  yang  dibangkitkan, dipecahkan  dan  dipimpin  oleh  tenaga-tenaga  nasional
seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis.
Tetapi  Jawa  sesungguhnya  dikungkung  oleh  ramalan  Empu  Sedah  :  "orang  asing  akan
memimpin".
Seorang  keturunan  Hindu  bernama  Malik  Ibrahim  pada  tahun  1419,  dengan  membawa
agama  yang  belum  dikenal  orang  di  Pulau  Jawa,  datang  di  Gresik  yang  ketika  itu
penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh
dikatakan,  dengan  kedatangannya  yang  membawa  agama  Islam  ketika  itu,  bumiputra
bagaikan memperoleh "durian runtuh", karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan
antara penduduk pesisir dengan ibukota.
Keadaan  bertambah  kusut,  dan  pada  akhirnya  sampai  ke  puncaknya,  yaitu  penyerangan
terhadap  raja-raja  yang  dipimpin  oleh  seorang  Tionghoa-Jawa,  bernama  Raden  Patah.
Dengan  perbuatannya,  Raden  Patah  menghancurkan  kerajaan  yang  ada.  Hal  itu
menunjukkan  lagi  bahwa  seorang  asing,  dengan  membawa  paham  baru  (agama  Islam)
dan  untuk  mempertahankan  kedudukan  saudagar-saudagar  asing  di  pesisir  itu,  berhasil
menjatuhkan  kerajaan  bangsawan  setengah  Hindu.  Kerajaan  Demak  berdiri  dengan
kemashurannya!  Tetapi  akhirnya  terpecah  belah  oleh  perang  saudagar  yang  dinyalanyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat.
Jipang  bermusuhan  dengan Pajang,  Demak  dengan  Mataram.  Semua  perang  saudara  ini,
besar atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan
kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.
5. Tarunajaya
Sebagaimana  di  Kerajaan  Roma  dan  Tiongkok,  gundukan  pengendali  pemerintahan  yang
tidak  mencocoki  kebenaran  di  ibukota  disapu  oleh  kekuatan  baru  dari  daerah;
demikianlah,  darah  Kerajaan  Mataram  akan  dibersihkan  dan  dikuatkan  oleh  Tarunajaya
serta kawan-kawannya.
Seorang  putera  Indonesia  datang  dari  Makasar  yang  mengetahui  jiwa  (psikologi)  rakyat
Jawa  mendapat  pengikut  yang  besar,  serta  berhasil  mengalahkan  Raja  Mataram  yang
keluar  dari  garis  kebenaran  itu.  Pulau  Jawa  khususnya  dan  Indonesia  umumnya  akan
mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa. Ramalam
Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu
kerbau putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer matane).
Dengan  datangnya  kekuasaan  Belanda  lenyaplah  segala  sesuatu  yang  menyerupai
kemerdekaan.  Pengaruh  bangsa  asing  dan  percampuran  darah  dengan  bangsa  Asia  lain lain menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik
"ditelan"  bangsa  itu  (Belanda)  dengan  kekerasan  dan  kecurangan,  seperti  yang  belum
pernah  dikenal  oleh  bangsa  Indonesia!  Pemerasan  yang  serendah -rendahnya
(kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya  tak  dapat melawan  kekuasaan  Belanda  yang  memakai  senjata  asing  (Barat).
Maka  kucing  melihat  keadaan  ini  dan  untuk  pertama  kali  dipergunakanlah  jalan  politik
devide  et  impera,  memecah-belah  dan  menguasai,  yang  mashur  itu.  Sesudah  Raja
Mataram  berjanji  kepada  Kompeni  Hindia  Timur  untuk  memberikan  kekuasaan  dan
tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.
Panembahan di  Madura,  seorang  kawan dari  Tarunajaya,  disumbat  oleh  Kompeni  Hindia
Timur  dengan  mas  intan  dan  perkataan  yang  manis-manis  hingga  mereka  dapat
bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api": Belanda, raja dan kawan
lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni
Hindia Timur sendiri!
Kerajaan  Mataram  yang  tak  semanggah  itu mendapat  "kemenangan"  atas  sokongan  yang
tak  langsung  dari  Kompeni,  namun  suatu  hal  yang  tak  semanggah  itu  lambat  laun  akan
menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.
6. Diponegoro
Jalan  raya  dari  Anyer  ke  Banyuwangi  yang  mesti  mempertalikan  daerah -daerah  yang
dirampok  itu  dibangun  oleh  Gubernur  Jenderal  Daendels  dengan  cucuran  peluh  dan
taruhan  nyawa  orang  Jawa.  Dengan  adanya  jalan  itu,  proses  penanaman  kapital  jadi
teratur.  Tetapi  proses  itu  tidak  secara  sukarela  diterima  oleh  bangsa  Indonesia.  Ia
adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandarbandar  didesak.  Pelayaran  dimonopoli  oleh  Belanda,  bumiputra  dilarangnya  mempunyai
hak  milik.  Pemasukan  katun  dari  Barat  yang  murah  harganya  menghancurkan  industri
dan  perdagangan,  baik  yang  kecil  maupun  yang  sedang.  Borjuasi  Jawa  atau  setengah
Jawa  dapat  meneruskan  langkahnya,  yakni  perjalanan  antara  feodalisme  menuju
kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya;
begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.
Seorang  anak  jantan  dengan  kemauannya  yang  keras  seperti  baja,  berpengaruh  laksana
besi  berani,  yakni  seorang  laki-laki  yang  di  dalam  dadanya  tersimpan  sifat -sifat  putera
Indonesia  sejati,  tak  berdaya  mengubah  nasib  yang  malang  itu.  Jika  Diponegoro
dilahirkan  di Barat  dan  menempatkan  dirinya  di  muka  satu  revolusi  dengan  sanubarinya
yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi.
Tetapi  ia  "menolong  perahu  yang  bocor",  kelas  yang  akan  lenyap.  Perbuatanperbuatannya,  meskipun  penuh  dengan  kesatriaan,  dalam  pandangan  ekonomi  adalah
kontra-revolusioner.  Dan  sangat  susah  dipastikan,  macam  apakah  Diponegoro  dalam
pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa cita-citanya adalah "Singgasana
Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro  menunjang  kesuburan  modal  serta  perluasan  jalan.  Karena  itu,  ia
menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak
pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital
nasional.  Pendeknya,  ia  tidak  mempunyai  program  politik  atau  ekonomi.  Ia  merasa
didesak  oleh  kekuasaan  baru  dan  setelah  dia  lihat  bahwa  kekuasaan  baru  itu
mempergunakan  kekuasaan  Mataram  yang  bobrok  itu  sebagai  alat,  maka  kedua  musuh
itu pun diterjangnya.
Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner,  Diponegoro dalam
perjuangannya  melawan  Mataram  dan  Kompeni  pastilah  berdiri  di  sisi  borjuasi  itu.
Dengan  begitu  niscaya  dapatlah  tercipta  suatu  perbuatan  yang  mulia  dan  pasti.  Tetapi
itu  tak  ada,  borjuasi  yang  berbau  keislaman  dalam  lapangan  ekonomi  dihanc urkan  oleh
kapital  Belanda  sama  sekali.  Dalam  kekecewaan  yang  hebat  terhadap  Mataram  dan
Kompeni,  dapatlah  ia  mempersatukan  diri  di  bawah  pimpinan  Kyai  Mojo,  seorang  ahli
agama Islam yang fanatik dan bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik  satu  kesimpulan  terhadap  pemberontakan  Diponegoro  bukanlah  satu  pekerjaan
yang  mudah.  Karena  hal  ini  sesungguhnya  perjuangan  kaum  borjuasi  Islam  Jawa
menentang  kapital  Barat  yang  disokong  oleh  satu  kerajaan  yang  hampir  tenggelam
(Mataram).
Akibatnya  sungguh  jelas.  Tak  ada  seorang  pun  mampu,  bagaimanapun  pintarnya,
menolong satu kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang
makin lama makin kuat.
Satu  kelas  baru  mesti  didirikan  di  Indonesia  untuk  melawan  imperialisme  Barat  yang
modern.
Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?
Pertama,  bahwa  riwayat  kita  ialah  riwayat  Hindu  atau  setengah  Hindu;  kedua  bahwa
perasaan  sebagai  kemegahan  nasional  jauh  dari  tempatnya;  dan  yang  penghabisan,
bahwa  setiap  pikiran  yang  mencitakan  pembangunan  (renaissance)  samalah  artinya
dengan  menggali  aristokratisme  dan  penjajahan  bangsa  Hindu  dan  setengah  Hindu  yang
sudah terkubur itu.
Bangsa  Indonesia  yang  sejati  dari  dulu  hingga  sekarang  masih  tetap  menjadi  budak
belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.
Kebangsaan  Indonesia  yang  sejati  tidak  ada  kecuali  ada  niat  membebaskan  bangsa
Indonesia yang belum pernah merdeka itu.
Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan.
Riwayat  bangsa  Indonesia  baru  dimulai  jika  mereka  terlepas  dari  tindasan  kaum
imperialis.
III
BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
1. Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan
"Tuhan menciptakan dunia menurut gambaran-Nya sendiri".
Orang  asing  yang  menjajah  Asia  selama  300  tahun  adalah  untuk  memenuhi  kebutuhan
mereka  masing-masing  dan  mereka  memerintah  negeri-negeri  taklukannya  dengan
berbagai cara. Adapun secara ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi sebagai
berikut.
a. Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
b.  Monopoli,  yang  dalam  praktiknya  sama  dengan  perampokan,  masih  terus  dilakukan
oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.).
c. Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.
d. Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.
Cara-cara imperialis lain hampir dapat disamakan dengan cara yang tersebut di atas.
Adapun cara penindasan dalam politik adalah seperti di bawah ini.
a.  Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan
menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina.
b. Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a
seperti Belanda.
c.  Imperialisme  setengah  liberal,  yakni  imperialisme  yang  memberikan  kekuasaan  yang
sangat  terbatas  kepada  bumiputra  yang  berkuasa  (raja-raja  atau  kepala  negara  yang
turun-temurun seperti Inggris di India).
d.  Imperialisme  liberal,  yakni  imperialisme yang  memberikan  kemerdekaan  sepenuhnya
kepada  tuan  tanah  yang  besar  serta  kepada  borjuasi  bumiputra  yang  mulai  naik,
misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.
2. Sebab-Sebab Perbedaan
Perbedaan dalam cara pemerasan dan penindasan terhadap si terjajah disebabkan bukan
oleh  perbedaan  tabiat  manusia  di  negeri-negeri  imperialis  tersebut.  Tetapi  karena
kedudukan  kapital  dari  masing-masing  negeri  waktu  mereka  sampai  di  Asia,  dan  juga
cara menjalankan kapital tersebut.
Waktu Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia, mereka belum terlepas
sama  sekali  dari  feodalisme.  Portugis  dan  Spanyol  adalah  negeri  pertanian,  pekerjaan
tangan, kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).
Barang-barang  industri  yang  dapat  dijual  di  pasar-pasar  tanah  jajahan  belum  ada.
Mereka  datang  ke  koloni-koloni  untuk  merampok  hasil-hasil  di  sana  lalu  dijual  dipasar
Eropa  dengan  harga  tinggi.  Karena  mereka  sangat  keras  memeluk  agama  Katholik  yang
baru  saja  mengusir  Islam  dari  Spanyol,  maka  bangsa  Indonesia  yang  memeluk  agama
animis  di  Filipina  itu  dipaksa  menjadi  orang  Kristen.  Siapa  yang  tidak  suka  mengikut
paksaan itu dipancung dengan pedang.
Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun 1600,
sebagian  besar  dari  feodalisme  Belanda  telah  didesak  oleh  borjuasinya.  Mereka  telah
melepaskan  diri  dari  tindasan  feodalisme  serta  Katholikisme  dan  mengambil  jalan
menuju  perdagangan  merdeka,  liberalisme  dan  Protestanisme.  Negeri  Belanda  ada  di
dalam zaman kapitalisme muda.
Inggris  yang  pada  tahun  1750  dapat  berdiri  tetap  di  India,  sebenarnya  telah  100  tahun
lamanya menyelami revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell.
Setelah  itu  kapitalisme  Inggris  semakin  maju  dengan  sangat  cepatnya,  disertai  dengan
paham-paham  perdagangan  bebas,  liberalisme,  konstituationalisme  dan  kepercayaan
merdeka.
Amerika  sampai  di  Filipina  pada  tahun  1898  setelah  mengalami  dua  revolusi  borjuasi
(1775  dan  1860).  Ia  kokoh  memegang  paham  Monroe,  demokrasi  dan  politik  pintu
terbuka.
3. Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
Sebagai buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari
tanah jajahannya (Siapakah yang akan dihalaukan sekarang).
Sekalipun  semangat  revolusioner  di  Indonesia  sudah  matang  dan  menyala -nyala  tetapi
persediaan belum cukup, maka imperialisme Belanda masih berdiri.
Dengan  jalan  memberikan  konsesi-konsesi  yang  besar,  kalau  terpaksa,  serta  politik
kompromis  kepada  segolongan  orang  India,  maka  imperialisme  Inggris  masih  berdiri  di
sana.
Dengan  berkedok  untuk  mengasuh,  menolong  dan  mengasihi  manusia  serta  memberikan
otonomi-ekonomi,  politik  ekonomi  yang  besar  kepada  bumiputra  di  Filipina  maka,
imperialisme Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.
a. India
Meskipun  Waren  Hasting  dan  Lord  Clive  membunuh  dan  merampok,  perbuatan  mereka
tidak boleh disamakan dengan perbuatan Daendels, van den Bosch serta lain -lain, sebab
sistem  kolonial  Inggris  dari  segi  "material  dan  riwayat"  jauh  lebih  mendingan  daripada
sistem  Belanda  (tentu  saja  kita  tak  menghendaki  imperialisme  macam  apa  pun).  Nafsu
membunuh dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat menghancurkan kemauan
bangsa India.
Kemauan  itu  memperlihatkan  dirinya  terutama  dengan  barang-barang  hasil  India  yang
belum  dirampok  oleh  Inggris.  Setelah  mengalami  beberapa  perjuangan  politik  dan
ekonomi,  dapatlah  bangsa  India  mendirikan  industri,  pertanian  besar,  dan  perdagangan
besar  nasional.  Selain  itu,  imperialisme  Inggris  mengadakan  sekolah  dari  tingkatan
terendah  sampai  sekolah-sekolah  tinggi  (lebih  dari  lima  universitas)  dan  semenjak
beberapa  lama  telah  mengadakan  sistem  pemerintahan  sampai  kepada  "dominion"  atau
lebih jauh lagi. India telah mempunyai seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr.
C.  Bose  dan  Dr.  Naye  yang  termashur  ke  seluruh  dunia.  Sekalian  kaum  terpelajar  ini
dilahirkan dalam pengakuan imperialisme Inggris.
Karena  Inggris  di  negerinya  sendiri  mempunyai  bahan-bahan  untuk  industri  (arang  dan
besi), dengan sendirinya ia menjadi bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas pada
permulaannya,  dijadikanlah  India  sebagai  kebun  kapas.  Selain  itu,  sebagai  negeri
industri  yang  mempunyai  penghasilan  yang  amat  besar,  Inggris  membutuhkan  pasar pasar.  Karena  itulah,  tanah  Inggris  (negeri  industri  semata  itu)  terpaksa  bekerja
bersama-sama  dengan  India,  meskipun  pada  permulaannya  secara  tak  langsung.
Bukankah  firma-firma  dan  maskapai-maskapai,  baik  impor  atau  ekspor  dalam
perdagangan  yang  sedemikian  besarnya  antara  Inggris  dan  India,  membutuhkan  kaum
saudagar  pertengahan  bangsa  India  sebagai  perantaraan?  Dan  lagi  bukankah  tak
selamanya  "bayonet"  dapat  memaksa  suatu  bangsa  untuk  membeli  barang -barang?  Mau
tak  mau  ia  mesti  menaikkan  taraf  hidup,  jika  ia  ingin  memperoleh  pembelian  yang
tetap.  Inilah  yang  memaksa  imperialisme  Inggris  memberikan  pendidikan  Barat  kep ada
segolongan  bangsa  India.  Sekolah  Tinggi  pertama  di  Benggala  yang  sekarang  sudah
berusia  100  tahun,  yang  pada  mulanya  hanya  boleh  dimasuki  oleh  anak  orang  kaya  dan
aristokrasi, kemudian dibenarkan juga buat anak orang biasa.
Dalam  waktu  yang  singkat,  sekolah-sekolah  tinggi  itu  pun  menghasilkan  sekian  banyak
kaum  terpelajar,  hingga  birokrasi  Inggris  tak  dapat  menerima  mereka  sama  sekali.
Timbullah  di  sana  kelas  yang  terdidik  secara  Barat  dan  yang  merasa  tak  senang,  yaitu
kaum buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir beberapa orang pemimpin pergerakan
kemerdekaan  yang  terkenal  sebagai  ekstrimis,  yakni  kaum  kiri.  Demikianlah,
imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali kuburnya sendiri.
Dengan pimpinan Tilak yang termashur itu, timbullah aksi boikot pada tahun 1900-1905.
Maksudnya  supaya  industri  dan  perdagangan  nasional  hidup,  yaitu  dengan  jalan
memboikot  barang-barang  pabrik  Inggris  yang  diimpor  ke  India  (kapas  ditanam  di  India,
sesudah  itu  dikirimkan  ke  negeri  Inggris,  dengan  harga  yang  be rlipat  ganda  dijual  pula
kepada pembeli bangsa India).
Dengan  mempergunakan  barang-barang  yang  belum  dirampok  "sebagai  senjata",  kaum
terpelajar  memperoleh  kemenangan.  Tuan  tanah  yang  besar-besar  dan  saudagarsaudagar  memberikan  pertolongan  berupa  kapital,   semangat  dan  alat  untuk  memenuhi
program  kaum  ekstrimis.  Meskipun  penuh  dengan  rintangan-rintangan  politik,  ekonomi,
keuangan  dan  alat  yang  luar  biasa  dapat  jugalah  Tilak  dan  kawan-kawannya  meraih
kemenangan.  Berbagai  industri,  termasuk  industri  tenun  —  industri  nasional  waktu
sekarang  —  adalah  buah  tangan  yang  terpenting  dari  Tilak  dan  kawan-kawannya.  Pun
industri  itu  sudah  mempunyai  lapangan  internasional.  Sebagian  besar  kemenangan  itu
juga tergantung pada pertolongan buruh dan tani bangsa India.
Berdiri  di  atas  kemenangan  Tilak,  dapatlah  Mr.  Gandhi  meraih  kemenangan  dalam
pergerakan noncooperation atau gerakan boikot. Hampir semua pabrik tenun di Bombay
(lebih kurang 200 jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak dan tenaga India.
Kapas  Inggris  terpukul  dalam  persaingan  yang  hebat,  bukan  saja  di  India  tetapi  juga  di
Afrika, Melayu, Tiongkok dan lama-kelamaan juga di Eropa.
Undang-undang perdagangan India belakangan ini melindungi kapas keluaran India. Tidak
sedikit kebun-kebun firma dan bank sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin
oleh  bangsa  India.  Industri-industri  seperti  arang  dan  besi;  serta  industri  logam  yang
modern  sekarang  dipegang  oleh  bangsa  India.  Jika  waktu  perang  dunia  Inggris  membeli
gerobak  kereta  api  dari  "Tata  Coy",  sekarang  (semenjak  lebih  kurang  2  tahun)  ia
membuat  perjanjian  akan  membeli  juga  mesin-mesin  kereta  api.  Pendeknya,  tanpa
kekerasan  imperialisme  Inggris,  kapital  nasional  India  berdiri  —  yang  berakibat
perjuangan yang tak mau kalah, yang kadang-kadang menimbulkan pertumpahan darah.
India  sekarang  ada  di  zaman  industri  besar  yang  modern.  Negeri  Inggris  bukan  lagi  jadi
pusat  bengkel  di  dunia  meskipun  di  dalam  kerajaannya  sendiri;  dan  India  bukan  lagi
kebun kapas bagi Britania.
Setelah Inggris  takluk  dalam  percaturan ekonomi, terpaksalah  ia mengakui  kemenangan
India  dalam  politik.  Di  sana  sekarang  berdiri  industri  nasional  yang  kepentingan
materialnya  dalam  beberapa  hal  bersamaan  dengan  kepentingan  penjajah.  Tinggal  lagi
bagi  Inggris  memberikan  konsesi-konsesi  politik  kepada  wakil-wakil  tuan  tanah  yang
besar dan borjuasi modern.
Memang  inilah  artinya  kerja  islah  pemerintahan  negeri  yang  telah  bertahun-tahun
dilakukan  —  MontageuChelmsfordsplan.  Daerah  besar-besar  yang  berpenduduk
50,000,000  seperti  Benggala  dan  Daerah  Tengah  setelah  diadakan  islah  (hervorming)
dengan  perantara  majelis-majelis  daerah,  hampir  jatuh  ke  tangan  bangsa  India
sepenuhnya.  Pemilihan  dewan  yang  tertinggi  (Duma  bangsa  India),  dipengaruhi  oleh
kaum Swaray, militer, perguruan, dan pengadilan, dalam beberapa tahun ini disediakan -ditempati oleh putera-putera India yang cakap dan setia.
Meskipun  demikian,  belumlah  ada  satu  perwakilan  rakyat  (parlemen)  dan  kabinet  yang
bertanggung  jawab.  Sungguhpun  islah  pemerintahan  India  jauh  lebih  sempuma  dari
Dewan  Rakyat  ala  Belanda,  tetapi  belum  sampai  seperti  Dominion  Canada,  konstitusi
Filipina atau Mesir. Tetapi sejumlah pemimpin dan kaum ekstremis dapat ditarik hatinya
oleh  islah  itu.  Karena  itu  pergerakan  kaum  revolusioner  untuk  sementara  waktu
"terkandas" hingga imperialisme Inggris memperoleh kesempatan untuk menarik napas.
b. Filipina
Keadaan  di  Filipina  berlainan  sedikit  dengan  di  India.  Bangsa  Amerika  datang,  pada
tahun  1898,  waktu  bangsa  Filipina  telah  "tiga  perempat  berhasil"  melemparkan
kekuasaan  Spanyol.  Awalnya  Amerika  berlaku  sebagai  kawan,  tetapi  setelah  kokoh
pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina  -Amerika yang 33 tahun
lamanya (1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika,
bangsa  Filipina  sudah  dapat  menunjukkan  beberapa  nasionalis  besar  seperti  Dr.  Rizal
(yang  ditembak  orang  Spanyol  dari  belakang);  seorang  organisator,  Bonifacio,  seorang
diplomat Mahbini dan panglima perang Luna serta Aquinaldo.
Karena  itu  perlulah  dipakai  suatu  tipu  daya  yang  sangat  fisik  untuk  mengelabui  mata
sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik, seperti rakyat Filipina itu.
Disebabkan  oleh  kebesaran  dan  kekayaan  Amerika  dan  oleh  salah  satu  paham  antiimperialisme  di  antara  bangsa  Amerika  yang  berpengaruh,  dengan  segera  k aum
imperialis mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara "Senat" dan " House
of  Representative",  sekarang  boleh  dikatakan  ada  di  dalam  tangan  bumiputra.  Semua
wakil  dari  kedua  dewan  itu  —  kecuali  dari  beberapa  daerah  Islam  —  dipilih  dengan  hak
memilih  yang  sepenuh-penuhnya  dan  semuanya  adalah  orang  Filipina.  Sebagian  besar
gubernur  dari  daerah-daerah  adalah  juga  orang  Filipina.  Hanya  beberapa  kepala
departemen  saja  orang  Amerika.  Di  dalam  satu  konstitusi,  Amerika  mesti  berjanji  akan
memberikan "kemerdekaan" yang seluas-luasnya "kepada bangsa Filipina setelah mereka
dapat menunjukkan kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap".
Sekolah rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.
Perusahaan yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra
sepenuhnya.  Beberapa  pabrik,  rumah-rumah  perdagangan  dan  maskapai-maskapai  kapal
adalah  kepunyaan  atau  dipimpin  oleh  orang  Filipina.  Empat  buah  Universitas  dan
beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina dalam jumlah
besar  untuk  mempertahankan  bangsa  yang  12,000,000  jiwa  itu  dari  tipu  daya  dan
kecurangan Amerika.
Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan semua anak-anak masuk
sekolah.  Hingga  sampai  ke  sudut-sudut  yang  jauh,  selain  dari  bahasa  sendiri,  pemudapemudanya mengerti bahasa Inggris.
Biarpun  perguruan  di  sana  tak  menyenangkan  hati  seorang  Belanda  yang  terpelajar
seperti  Dr.  Nieuwenshuis  -  yang  tentu  sekali  akan  selamanya  menjilat-jilat  kudis
pemerintahannya  sendiri,  sambil  menghinakan  perbuatan  orang  lain,  tetapi  karena
ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu tak dapat
berbuat sesuka hatinya sendiri.
Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f 540,000,000 lebih banyak
daripada  tahun  1924  kepada  Inggris,  timbullah  pikiran  orang  Amerika  untuk  membuka
kebun di Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.
Tetapi  pemimpin-pemimpin  Filipina  bekerja  keras  untuk  menghindari  terkaman
"serigala-karet" bangsa Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh
tanah  yang  luas  untuk  kebun  karet,  dalam  konsesi  —  berkat  usaha  pemimpin-pemimpin
Filipina,  anggota  Senat  dan  House  dengan  hukum  tanah  (landwet)  nya  yang  lama
ditentukan  bahwa  "tidak  lebih  dari  2500  acres  (satu  acre  4840  yard  persegi)  yang  boleh
disewakan  kepada  orang  asing. Belum berapa  lama  berselang  serigala  karet itu,  dengan
perantaraan  Firestone  datang  meminta  konsesi  untuk  kebun  karet  itu.  Mereka  disambut
dengan perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".
Pemimpin-pemimpin  Filipina  berpendapat  bahwa  apabila  Amerika  menanam  kapitalnya
di  Filipina,  selain  rakyat  segera  akan  menjadi  sengsara  (seperti  di  Jawa)  juga  Amerika
akan  mendapat  satu  alasan  untuk  merintangi  kemerdekaan  Filipina.  Imperialisme
Amerika  yang  tidak  kurang  cerdiknya  dari  imperialisme  Anglosakson  bukankah  kelak
dapat  mengatakan,  bahwa  satu  kegoncangan  boleh  jadi  akan  muncul  karena  kepergian
Amerika  yang  belum  pada  waktunya?  Kepentingan-kepentingan  Amerika  membahayakan
di Filipina.
Inilah  sebabnya  maka  pemimpin-pemimpin  Filipina  dengan  tergesa-gesa  mengeluarkan
hukum  tanah  tersebut  dari  kitab  undang-undang  dan  membeberkannya  kepada  seluruh
rakyat... Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.
Sebuah  bangsa  yang  sudah  terbuka  matanya  seperti  Filipina,  tambahan  pula  diberi
wawasan  oleh  surat-surat  kabar  bumiputra  (disebabkan  sekolah  tinggi  yang  dikutuki  Dr.
Nieuwenshuis  yang  terpelajar  itu!),  dapat  melihat  dan  melaksanakan  kebenaran  dari
pemimpin-pemimpinnya.  Dengan  diiringi  oleh  seluruh  rakyat,  dapatlah  pemimpinpemimpin  Filipina  setiap  waktu  memanah  serigala  karet  imperialisme  Amerika  dengan
panah hukum tanah yang liat itu.
Tidak  seorang  pun  yang  mencela  sistem  perguruan  yang  tidak  nasional  itu  selain  dari
pemimpin-pemimpin  Filipina  sendiri.  Selain  itu  pun  ada  kesulitan-kesulitan  untuk
mengambil  peran  perdagangan  dari  bangsa  asing.  Tetapi  semuanya  mereka  sekata
(semufakat)  bahwa  sistem  perguruan  yang  sehat  dan  perubahan  ekonomi  yang  sebaik baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai kemerdekaan bangsa.
Dan  di  sudut  dunia  manakah  hal  itu  dipandang  secara  berlainan?  Adanya  Gubernur
Jendral  yang  mempunyai  hak  mencegah  (recht  van  veto)  menjadi  rintangan  bagi  islah
ekonomi  yang  semata-mata  bagi  bangsa  Filipina.  Itulah  sebabnya,  saudara-saudara  kita
di  sebelah  utara  sana  masih  terus  berjuang  semata-mata  untuk  kemerdekaan  yang
seluas-luasnya.
Konsesi  yang  besar-besar,  yang  dengan  terpaksa  diberikan  oleh  Amerika  mulai  25  tahun
yang  silam  tak  dapat  mendinginkan  sanubari  bangsa  Filipina  untuk  merampas  hak
kelahiran dan kemerdekaannya.
Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu negeri yang terkuat dan
terkaya  di  atas  dunia),  tetapi  "perampok  di  tepi  Laut  Utara  (Belanda)  yang  termashur
itu", niscaya telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.
Inggris  menguasai  karet  lebih  dari  dua  pertiga  dan  Amerika  memakai  72  %  dari  hasil
dunia.  Disebabkan  masih  berlakunya  "Stevenson  Rubber  Restriction's  policy",  tuan-tuan
kebun  dan  mereka  yang  mempunyai  monopoli,  bangsa  Inggris  sajalah  yang  menguasai
karet  sedunia  ini  —  verslag  kamer  van  koophandel  Amerika  yang  diumumkan  dalam
Manila Tribune, 26 Juli '25.
c. Indonesia
Keadaan  India  dan  Filipina  yang  saya  kemukakan  di  atas,  saya  maksudkan  untuk
menambah pengetahuan kita tentang imperialisme.
Perihal  Indonesia,  sekarang  dan  nanti,  akan  kita  uraikan  di  belakang  dengan  panjang
lebar.  Setelah  memperhatikan  semua  yang  diuraikan  di  atas,  niscaya  tak  sudah  bagi
pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang dilakukan
orang  Belanda.  Karena  itu,  kita  tidak  akan  berlama-lama  menggambarkan  hongi-hongi
(merica  di  Ambon),  kebun  kopi  yang  sekarang  dipanggil  penanam  merdeka.  Semuanya
telah terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.
Jauh  dari  maksud  kita  mengatakan  bahwa  sekalian  kejadian  itu  adalah  semata -mata
perbuatan  "manusia"  Belanda.  Kita  sendiri  telah  cukup  mengenal  pekerti  dan  tabiat
bangsa Belanda. Tetapi lagak dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seoran g bangsa
Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan bengis.
Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka
hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.
Juga  sekarang  negeri  itu  masih  tetap  tinggal  sebagai  negeri  tani  dan  saudagar.  Dan  ia
tidak  akan  menjadi  lain,  karena  ia  tak  mempunyai  bahan  dasar  untuk  industri  besar,
yakni  arang,  besi  dan  kapas.  Sekiranya  negeri  Belanda  tidak  mempunyai  tanah  jajahan
niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.
Setinggi-tingginya  ia  hanya  satu  negeri  tani  dan  saudagar-saudagar  kecil  yang  sunyi
seperti Denmark.
Dengan  keberanian  dan  kemauan  seorang  bajak  laut  serta  ketamakan  seorang  tukang
warung  kopi  yang  kecil,  habislah  sekalian  hasil  negeri  Indonesia  dirampasnya.  Tak  ada
sebutir  batu  pun  untuk  perumahan  ekonomi  bumiputra  yang  ketinggalan.  Bagaimana
mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini !
(Hoe  kan  men  okk  vooruitziensheid  en  staatsmanschap  van  een  piraat  -  kruidenier
verwachten!).
Sebelum  datang  Kompeni  Hindia-Timur,  orang  Tionghoa,  Hindu-Arab  (lama-kelamaan)
menjadi orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda
datang  ke  Indonesia  dan  balik  ke  negerinya  dengan  karung  yang  penuh  berisi.  Di  sana
dihambur-hamburkan  uang  Indonesia  dan  di  sanalah  mereka  menyedot  dana  pensiunnya
dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi Indonesia!
Sekiranya  negeri  Belanda  adalah  sebuah  negeri  industri  yang  maju  niscaya  lambat  laun
terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik yang lain.
Ia  tentu  akan  memakai  politik  liberal  terhadap  orang  Jawa  atau  Indo -Jawa  serta
bangsawan  Jawa.  Dengan  demikian,  kemajuan  politik  dan  ekonomi  sebagai  sekarang
terjadi  di  Filipina  dan  India,  boleh  juga  terjadi  di  Indonesia.  Biarpun  Belanda  semenjak
20  tahun  belakangan  ini  mulai  mengindustrialisasi  Indonesia,  tetapi  tujuannya  tetap
monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar negeri.
Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap sebagai di zaman Daendels
dan  van  den  Bosch.  Hanya  suara  revolusi  yang  gemuruh  sajalah  yang  dapat  menimbun
jurang yang dalam itu.
Tetapi  agaknya  oleh  karena  hal  inilah  maka  Indonesia  dan  negeri-negeri  Asia  yang  lain
kelak memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari
pertentangan  sosial  yang  tajam  di  Indonesia  itu,  satu  masa  niscaya  akan  timbul  kodrat
baru  yang  dapat  melepaskan  Indonesia  dan  seluruh  Asia  dari  tindakan  Barat  untuk
selama-lamanya.
IV
KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang dalam beberapa hal tak sama
dengan  kapitalisme  yang  tumbuh  dan  dibesarkan  dalam  negerinya  sendiri,  yakni  Eropa
dan Amerika Utara.
1. Kapitalisme yang Masih Muda
Karena  kapitalisme  di  Indonesia  masih  muda,  produksi  dan  pemusatannya  belumlah
mencapai  tingkat  yang  semestinya.  Kira-kira  seperempat  abad  belakangan  baru  dimulai
industrialisasi  di  Indonesia.  Baru  pada  waktu  itulah  dipergunakan  mesin  yang  modern
dalam perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah.
Industri  Indonesia,  terutama  industri  pertanian,  masih  tetap  terbatas  di  Jawa  dan  di
beberapa  tempat  di  Sumatera.  Tanah  yang  luas,  yang  biasanya  sangat  subur  dan
mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera, Borneo,
Sulawesi  dan  pulau-pulau  yang  lain  masih  menunggu-nunggu  tangan  manusia.  Meskipun
Pulau  Jawa  dalam  hal  perkebunan  dan  alat-alat  angkutan  sudah  mencapai  tingkatan
yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba raya.
Industri  modern  yang  sebenarnya  tidak  akan  diadakan  di  Pulau  Jawa.  Ia  akan  tetap
tinggal  menjadi  tempat  industri  pertanian.  Sebab  logam -logam  seperti  besi,  arang,
minyak  tanah,  emas  dan  lainnya,  tidak  atau  hanya  sedikit  sekali  didapat  di  sana.
Sumateralah  yang  menjadi  tempat  industri  modern  yang  sebenarnya.  Hal  ini  sekarang
sebagian  kecil  telah  terbukti.  Arang,  minyak  tanah,  emas  dan  timah  hasil  Sumatera
(kelak juga besi) besar artinya, baik di kalangan nasional maupun internasional.
Inggris,  negeri  industri  yang  tertua  di  dunia,  pada  pertengahan  abad  yang  lalu
mengadakan  perubahan  yang  tepat  dalam  perindustriannya.  Negeri-negeri  Eropa  yang
lain  dan  Amerika  Utara  mengikuti  pula  berangsur -angsur.  Teknik  dan  peraturan  bekerja
di  sana  sekarang  telah  sampai  pada  tingkat  yang  setinggi-tingginya  seperti  yang  belum
pernah  dikenal  oleh  riwayat  dunia.  Tenaga  produksi  dan  distribusi  jauh  melewati  batas
keperluan  nasional.  Eropa  dan  Amerika  Utara  telah  menjadi  negeri  kapitalis  yang
matang.
Kapital memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan produksi industri dan produksi
pertanian. Makin maju kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di desa -desa
ditarik  ke  kota-kota.  Bukankah  di  kota  sewaktu  keadaan  politik  dan  ekonomi  baik,  kita
peroleh lebih banyak pekerjaan, lebih banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak
kesenangan  daripada  di  desa-desa?  Pada  tahun  1790  di  kota-kota  berdiam  3.4%  dan  di
desa-desa  96.6%  penduduk  dari  seluruh  penduduk,  dan  pada  tahun  1920  menjadi  51  %
dan  49%.  Di  tahun  1870  angka-angka  itu  jadi  21%  dan  79%  dan  di  tahun  1910  jadi  51  %
dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada tahun 1920 lebih kecil dari penduduk
kota.  Angka-angka  ini  membuktikan  secara  nyata  pada  kita  perihal  kemajuan  kota -kota
Amerika,  sebagai  akibat  dari  kemajuan  industrialisasi.  Di  negeri  Inggris  proses
pembagian  itu  (perihal  kota  dan  desa)  sama  teratur  dan  sama  cukupnya.  Pada  tahun
1850  di  kota-kota  berdiam  49%  penduduk  dari  seluruh  penduduk.  Pada  tahun  1900
perbandingan  ini  menjadi  77%  dan  23%,  (The  relation  Governement  to  industry,  M.L.
Regua).
Menurut  foods  No.  73  tahun  ini, jumlah penduduk  dan  kota-kota yang  mempunyai  lebih
10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru 60% dari seluruh penduduk.
Jika  kita  pakai  perbandingan  antara  penduduk  kota  dan  desa  sebagai  ukuran  kemajuan
industri satu-satu negeri, niscaya industri Indonesia masih di dalam keadaan bayi.
Jika  kita  ambil  pula  jumlah  panjangnya  jalan  kereta  api  untuk  menggambarkan
kemajuan  industri  selaku  penjelasan  uraian  kita  yang  di  atas,  nyatalah  kepada  kita
bahwa  negeri  Jerman,  dengan  177,000  mil  persegi  luasnya  dan  penduduknya  yang  lebih
sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan kereta api, sedang
Indonesia  yang  luasnya  735,000  mil  persegi,  pada  tahun  1919  hanya   ada  mempunyai
3,914 mil.
Perihal  jumlah  perdagangan  (impor-ekspor)  di  Indonesia  1924  (sesudah  perang  dunia)
ada f 2,208,800 (menurut  International Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913
[sebelum  perang]  ada  f  13,375,000.000).  Angka-angka  ini  menunjukkan  kemunduran
kita.  Tetapi  jika  dibandingkan  dengan  negeri  seperti  Inggris,  India,  dan  Filipina,
kelihatannya  Indonesia  belum  berapa  mundur.  Dan  bila  dibandingkan  dengan  Turki,
Siam,  dan  Tiongkok,  Indonesia  jauh  lebih  baik.  Dengan  membuat  perbandingan  i tu
sebagaimana  yang  sudah  kita  lakukan,  sebetulnya  ini  telah  melebihi  dari  kemestian.
Maksud kita tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya kapitalisme di Indonesia.
2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapitalisme  di  Indonesia  tidak  dilahirkan  oleh  cara-cara  produksi  bumiputra  yang
menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan
asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra.
Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa dan Amerika, nyatalah p ada kita
bahwa  cara  produksi  yang  tua  berturut-turut  digantikan  oleh  yang  muda.  Biasanya
kejadian itu tidak tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga cukup jelas. Kejadian
yang belakangan ini ialah oleh adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun
keadaan  saat  itu,  ia  adalah  kemajuan  menurut  alam,  sebab  tenaga  yang  mendorongkan
pada kemajuan itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.
Sebagaimana  yang  telah  kita  tunjukkan,  kemajuan  industri  di  setiap  negeri  sejajar
dengan timbulnya kota-kota yang mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti
barang-barang  besi,  perkakas  pertanian,  obat-obatan  dan  lain-lain.  Desa-desa
mengeluarkan  beras,  sayur-mayur,  binatang  ternak,  susu  dan  lain-lain.  Barang-barang
kota  yang  berlebih  —  yakni  barang  itu  dipandang  penduduk  kota  sebagai  keperluan
hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih itu.
Di  Amerika  pada  waktu  yang  biasa  seperti  pada  tahun  1913,  selagi  negeri  ini  terpencil
dan  kurang  imperialistis,  seperti  sekarang  ini,  boleh  dikatakan  sama  besarnya
perbandingan antara barang-barang industri dengan pertanian (harga pasar antara kedua
barang  itu  hampir  sama).  Jadi  dalam  pemandangan  ekonomi  kota  memenuhi  keperluan
desa, desa memenuhi keperluan kota.
Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana mestinya,
tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota kita tak dapat dianggap sebagai konsentrasi
dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa
maupun  untuk  perdagangan  luar  negeri,  dari  kapitalis-kapitalis  bumiputra.  Mesin-mesin
pertanian,  keperluan  rumah  tangga,  bahan-bahan  untuk  pakaian  dan  lain-lain  tidak
dibuat  di  Indonesia,  tetapi  didatangkan  dari  luar  negeri  oleh  badan -badan  perdagangan
imperialistis.  Desa-desa  kita  tak  menghasilkan  barang  kebutuhan  untuk  kota-kota,
karena  untuk  mereka  sendiri  pun  tak  mencukupi.  Beras  misalnya,  makanan  rakyat  yang
terutama  mesti  didatangkan  dari  luar,  di  tahun  1921  seharga  f  114,160,000,  meskipun
bangsa  kita  umumnya  sangat  pandai  mengerjakan  tanahnya  dan  semua  syarat  untuk
menghasilkan  beras  bagi  keperluan  sendiri  bahkan  dapat  pula  mengeluarkan  berasnya
yang  berlebih.  Desa-desa  kita  mengeluarkan  gula,  karet,  teh,  dan  lain-lain  barang
perdagangan  yang  mengayakan  saudagar  asing,  tetapi  memiskinkan  dan  memelaratkan
kaum  tarsi;  kota-kota  kita  bukanlah  menjadi  pusat  ekonomi  bangsa  Indonesia,  tetapi
terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan -setan
uang luar negeri.
Bahan  yang  menyebabkan  kapitalisme  bukanlah  Indonesia  —  mengingat  riwayat  negeri
kita yang tersebut di atas — teranglah bagi kita.
Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi cultuur stelsel, monopoli stelsel dan
gencetan  pajak  yang  tak  ada  ampunnya.  Dan  pemasukan  saudagar-saudagar  Tionghoa
yang teratur di zaman Kompeni Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat -alat
sosial ekonomi dan teknik nasional yang kuat.
Jika  sekiranya  bangsa  Indonesia  tidak  dirampok,  dan  mempunyai  kepandaian  teknik,
serta  dipengaruhi  oleh  orang  asing,  tentulah  orang  Indonesia  ada  kesempatan  untuk
memenuhi kemauan alam.
Boleh jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau dengan perantara pemboikotan
nasional  (seperti  di  India)  kaum  menengah  Indonesia  atau  Indo  dengan  jalan
mengumpulkan kapital nasional mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan nasional
seperti tenun besi.
Demikianlah,  kapital  Indonesia  timbul  dengan  teratur  pula  antara  lapisan-lapisan  sosial
Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu kecil
sekarang sudah menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang besar -besar. Penempa
besi,  tukang  tukang  gula,  saudagar  batik  yang  dulu  kecil  menjadi  pemimpin  industri
logam, gula atau tenun. Tetapi imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan
apa  pun  untuk  bangsa  Indonesia,  semua  habis  diangkut  ke  negerinya.  Ia  memuntahkan
kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.
Maju  ke  dalam  perjuangaan  ekonomi  melawan  raksasa  asing,  dengan  maksud
meningkatkan industri nasional sama dengan "menjaring angin".
3. Kapital Indonesia Itu Internasional
Imperialisme  Inggris  dengan  industri  nasionalnya  yang  nomor  wahid  dan  armada  yang
luar biasa, semenjak semula merasa perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan
tuan-tuan  tanah  bangsa  India,  untuk  mempertahankan  diri  terhadap  borjuasi  bumiputra
yang  baru  timbul.  Tetapi  tatkala  yang  tersebut  belakangan  ini  keluar  dari  medan
perjuangan  dengan  kemenangan  (di  tahun  1900-1905  dan  1919-1922),  Inggris
mengulurkan tangannya.
Bersama  dengan  raja-raja,  tuan-tuan  tanah  dan  borjuasi  India  yang  baru  itu,  dia  pergi
memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya imperialisme
Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.
Imperialisme Belanda memukul dan menendang "kerbau" yang sabar itu, sekian lamanya,
hingga sekarang kerbau itu mempergunakan tanduknya.
Belanda  kecil  yang  di  waktu  dulu  menelan  segalanya  untuk  dirinya  sendiri,  sekarang
terpaksa membagi-bagikan itu dengan negeri-negeri yang lebih kuat.
Adapun  kekurangan  kapital  dan  industri,  adalah  sebab  yang  terpenting  dari  tindakan
Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun, kapital Inggris memegang peranan besar di
Indonesia. Raffles yang bijaksana  itu sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum
ia  dapat  mengelabui  mata  Belanda-tani  itu.  Setelah  perang  dengan  Napoleon  berhenti,
Inggris  mengembalikan  sekalian  koloni  Belanda.  Perbuatan  ini  seakan -akan  sangat
bertentangan  dengan  politik  yang  waktu  itu  dipakai  Inggris,  tetapi  setelah  dicermati
perbuatan  itu  adalah  politik  Inggris  yang  selicin-licinnya  dan  semurah-murahnya  dalam
memakai  Belanda  sebagai  opas  untuk  kapital  yang  ditanamnya  di  Indonesia.  Apakah
pengambilalihan  seluruh  administrasi  yang  ada  di  Indonesia  memberi  tanggung  jawab
dan kesusahan kepada Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun belakangan ini makin
hari  makin  besar,  bagi  Belanda  —  kecil  sangat  mengkhawatirkan,  dan  bangsa  Indonesia
sekarang  tak  sabar  lagi,  hingga  Belanda  sekarang  berniat  memakai  "politik  pintu
terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan
politik  Belanda  di  Timur.  Dalam  kata-kata  biasa,  ia  berbunyi:  "Dan  terhadap  kapital
Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga d ari tidurnya, semestinya Belanda lebih
kuat  bila  mempunyai  Amerika  yang  demokratis.  Tetapi  negeri  ini  mesti  ditarik  ke
Indonesia.  Kapitalnya  ditanam  di  Indonesia  dengan  segala  daya  upaya  dan,  jika  perlu,
diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan
dengan Belanda".
Uang dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah
berkata terus terang di dalam kamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah
karena  undang-undang  di  Indonesia  sekarang.  Kunjungan  Fock  ke  Manila  pada  tahun
1923,  dan  kedatangan  beberapa  kapal  perang  ke  Filipina,  mendudukkan  seorang  konsul
jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian
juga  menghambur-hamburkan  uang  buat  reklame,  pamflet  dan  majalah  yang  selama
bertahun-tahun  memuat  perihal  Jawa  sang  negeri  ajaib  (Java  the  Wonderland).
Semuanya  itu  adalah untuk  memikat pelancong-pelancong  dan  kapitalis  Amerika  supaya
datang berduyun-duyun ke Indonesia.
Berapa besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada angka-angka di bawah ini.
Dalam  buku  Handbook  voor  cultuur  en  handsondernemingen  in  Ned.  India  ditulis  oleh
Agulvant,  kapital  yang  ditanam  di  Indonesia  ditaksir  sejumlah  f  3.270.000.000.  Di
antaranya f 1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000. Dalam bank dan
perdagangan f 750,000,000.
Perusahaan  kapal,  kereta  api  dan  tram  masing-masingnya  f  250.000.000,  f  220.000.000
dan  f  200,000,000.  Tambang-tambang  f  70,000,000  dan  maskapai-maskapai  asuransi  f
60,000,000.
Kapital  yang  ditanam  di  Sumatera  Timur  pada  tahun  1924  sejumlah  f  439,000,000.  Di
antaranya  55.3%  kepunyaan  Belanda  dan  44.7%  kepunyaan  bangsa  asing.  Kapital  bangsa
asing  yang  ditanam  dalam  industri  pertanian  sejumlah  f  200,000,000.  Di  antaranya  f
147,500,000  adalah  kapital  Inggris,  f  300,000,000  milik  Prancis  dan  Belgia,  f  15.700.000
milik Jepang dan f 4.000.000 milik Jerman (International Ocean. No. 6, 1926).
Luas  kebun  karet  pada  tahun  1924  sebesar  241,357  bau  [note  1].  Di  antaranya  42.2%
kepunyaan  bangsa  asing  dan  32.4%  kepunyaan  Inggris.  Berhubung  dengan  monopoli
Inggris, kapital karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat meningkatnya
di  Sumatera.  Luas  kebun  teh  di  Jawa  116,664  bau.  Kepunyaan  bangsa  asing  23.8%  dan
Inggris 17.8%.
Dari  tujuh  macam  hasil  utama  yang  dikirimkan  ke  pasar-pasar  di  seluruh  dunia,  ekspor
gula  di  tahun  1924,  f  491,100,000  atau  32.1  %  dari jumlah  ekspor.  Karet  f  202,600,000,
atau  13.2%  dari  ekspor.  Minyak  tanah  f  158,300,000,  tembakau  f  123,600,000,  kopra  f
97,400,000,  teh  f  93,600,000  dan  kopi  f  56,600,000  yakni  masing-masing  10.3%;  8.1%;
6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari jumlah ekspor semuanya.
Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya 42.55% dari semua ekspor dan
ke negeri Belanda hanya 19.7%, sedang 40.4% dari Inggris dan tanah jajahannya.
Jadi  teranglah,  bahwa  perdagangan  Inggris  di  Indonesia  lebih  besar  dari  semua  negeri
asing, sedangkan di dalam perusahaan minyak dan kebun-kebun yang terpenting, kapital
Inggris memegang peranan yang terbesar di antara kapital   bukan Belanda. Jadi tidaklah
mengherankan mengapa orang Belanda tergesa-gesa memikat kapital Amerika.
Betul beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat Inggris menjalankan politik
karet  dengan  cara  monopoli,  Amerika  mulai  menanam  kapitalnya  di  kebun  karet  di
Sumatera  Timur.  Akan  tetapi,  hal  itu  belum  menjadi  satu  kepastian,  apakah  Amerika
hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa saja, sebab di Mindanau (Filipina
Selatan) dan Liberia ada tanah yang subur untuk kebun karet.
Mengakui  dan  melindungi  industri  bumiputra  yang  modern  seperti  di  India  menurut
pandangan  ekonomi  baru  tidak  akan  ada  sama  sekali,  sebab  industri  bumiputra  modern
memang  tidak  ada.  Rakyat  hanya  diperas,  diinjak-injak  dan  ditipu.  Pemecatan  kaum
buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin lama makin erat. Ekonomi
rakyat  tak  perlu  disebut-sebut  sebab  negeri  Belanda  terutama  bergantung  pada  kapital
luar negeri.
[note 1] 1 bau = 500 tombak persegi atau 7096 m2.
V
KEADAAN RAKYAT INDONESIA
1. Kemelaratan
Berapa  ribu,  bahkan  berapa  ratus  ribu  rakyat  Indonesia  yang  meringkuk  dengan  perut
kosong  di  atas  balai-balai  setiap  hari  saat  melepas  lelahnya,  tak  terjelaskan  dengan
tepat.  Pemerintah  punya  catatan  angka-angka  yang  lengkap  tentang  kebun-kebun  dan
perusahaan  yang  menguntungkan,  terutama  nama-nama  orang  yang  wajib  membayar
pajak,  tetapi  lupa  memberi  kepastian  tentang  penghidupan  rakyat  seluruhnya.  Betul
kadang-kadang  dibentuk  oleh  pemerintah  suatu  panitia,  tapi  badan  itu  tak  mewakili
rakyat,  dan  tentu  saja  panitia  itu  tidak  pernah  mendakwa  kapital  besar,  meskipun
mencela  saja.  Pemeriksaan  "teratur"  dan  "merdeka"  sebagai  bukti  maksud-maksud  yang
suci, belum pernah kedengaran.
Jika  kita  mau  tahu  berapa  jumlah  buruh  industri,  kebun-kebun  dan  pengangkutan,
tentulah  dengan  jalan  itu  kita  ketahui  berapa  banyaknya  "budak  belian  kolonial"  yang
kelaparan di Indonesia sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada
perusahaan  besar-besar  itu,  mereka  harus  menjual  atau  menyewakan  tanahnya,  hingga
akhirnya kehilangan tanah dan mata pencaharian.
Hal  itu  tidak  mungkin  disebabkan  oleh  ketakpedulian  dan  kelalaian  pemerintah.
Meskipun  kita  bekerja  dengan  angka-angka  yang  tak  cukup,  ini  belum  berarti  bahwa
keadaan  rakyat  Indonesia  adalah  buku  yang  tertutup  bagi  kita;  bahkan  sebaliknya  tak
dapat  diduga  bahwa  dua  sampai  tiga  juta  budak  yang  tertindas  menerima  upah  yang
hanya  cukup  bertahan  agar  mati  kelaparan.  Bagian  yang  terbesar  dari  mereka
berorganisasi.  Mereka  itu  misalnya  buruh  kereta  api,  tukang  sapu,  kuli  barang  dan
tukang  rem,  yang  mulai  bekerja  dengan  gaji  f  15  —  dengan  satu  sampai  dua  rupiah
kenaikan  setiap  tahun  —  dan  mencapai  maksimum  f  30  sampai  f  40  sebulan  apabila
mereka sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman kapitalisme, dan hal  ini
sangat  menyedihkan,  mengingat  kepada  kecermatan  dan  tanggung  jawab  sekumpulan
buruh itu bergantung hidup beribu-ribu manusia.
Jika beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak berani meminta tambah
gajinya;  Jika  kaum  tani  yang  kehilangan  tanah  hanya  bekerja  beberapa  bulan  dalam
setahun  dengan  gaji  30  atau  40  sen  sehari,  yakni  di  waktu  memotong  tebu;  jika  250
sampai  300  ribu  kuli  kontrak  —  yang  dinamakan  "kuli  merdeka"  di  Sumatera  Timur  —
mendapat  upah  30  sampai  40  sen  sehari,  siapakah  yang  berani  mengatakan  bahwa  di
masa  ini  seseorang  (meskipun  ia  seorang  inlander!),  dengan  anak  bininya,  dapat  hidup
sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang yang
berkata  seperti  itu,  ia  adalah  seekor  keledai  atau  lebih  hina  lagi  adalah  seorang
"pengkhianat".
Tukang-tukang  besi  segolongan  buruh  yang  besar  gajinya  di  negeri -negeri  lain,  di
Surabaya  sangat  rendah  gajinya,  tinggal  seperti  di  kandang  anjing,  makanan,  pakaian
dan  keperluan  hidup  lain-lain  tak  cukup,  hingga  kekallah  mereka  jadi  mangsa  lintah
darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40 rupiah.
Di  Surabaya  yang  dikenal  sebagai  kota  dagang,  gaji itu  berarti  sekadar  penghalang  agar
jangan sampai mati.
Siapakah  nama  gubernur  jendral  yang  pada  suatu  hari  dengan  malu-malu  menceritakan
bahwa  beribu-ribu  kuli  di  pelabuhan  Jakarta,  sebab  upah  mereka  tidak  cukup  untuk
menyewa  gubuk  yang  sangat  dicintai  oleh  orang-orang  Jawa?  Sudah  begitu  memalukan
dan  tak  menentunya  nasib  kaum  buruh  yang  nota  bene  masih  kerja  itu,  bagaimanakah
halnya kaum penganggur yang makin lama makin banyak itu?
Dalam Verslag van de Suiker Enquete Commissie (hlm. 99) kita baca kalimat yang sangat
berarti:  "Agaknya  setengah  dari  keluarga  rakyat  di  Pulau  Jawa  termasuk  orang  yang
mempunyai  tanah,  dan  selebihnya  hidup  dari  perusahaan  dan  perdagangan  bumiputra
ataupun  bukan.  Di  sana  tentulah  beratus  ribu  manusia  yang  tak  punya  apa -apa,  yang
kadang-kadang  bekerja  pada  salah  seorang  peladang  dan  dengan  tidak  pada  tempatnya
menamakan  dirinya  petani".  Selain  itu,  di  kota-kota  tidak  sedikit  orang  yang
bergelandangan di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala petang. Kita
tidak mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang berapa jumlahnya.
Tetapi  siapapun  yang  pernah  tinggal  di  kota  gula  seperti  Banyumas,  Solo,  Kediri  dan
Surabaya, serta ia sungguh memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang dengan
"kesabaran"  dan  "kebetahan"  rakyat  menanggung  kesusahannya,  bahwa  pajak  jauh
melewati kesanggupan penduduk, tidak asing lagi bagi orang-orang pemerintah.
Semua dan  setiap  yang  bernyawa  (meskipun  dia  tidak  berpencaharian)  mesti  membayar
pajak.  Kutipan-kutipan  dari  segala  pihak  dapat  kita  cantumkan,  tetapi,  karena  kita
anggap tidak berfaedah, tak perlu kita tambahkan di sini.
(Sepintas  lalu  kita  katakan  bahwa  industri  besar -besar  dan  kongsi-kongsi  perdagangan
juga  membayar  pajak.  Akan  tetapi,  hal  itu  adalah  perkara  perjanjian  belaka,  karena
dengan  berbagai  cara,  pajak  itu  dapat  ditimpakan  di  atas  kepala  rakyat  Indonesia  yang
melarat dan tak punya hak lagi itu).
Padoux,  penasihat  pemerintah  Tiongkok  dalam  "Memorandum  for  the  National
Commission  for  Study  of  Financial  Problem",  menentukan  bahwa  setiap  kepala  di
Filipina,  Indo-Cina,  Prancis,  Siam,  Indonesia,  dan  Tiongkok  masing-masing  membayar
pajak $7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.
Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia! yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali Indo -Cina,
Prancis,  dan  dua  belas  kali  Tiongkok.  Perhitungan  itu  diambil  menurut  perbandingan
sebelum  tahun 1923. Waktu itu masih ada "Inlandsch Verponding"  —  satu perbuatan hina
yang  tidak  tahu  malu  —  sebagaimana  yang  belum  pernah  dilakukan  oleh  seorang  raja
yang selalim-lalimnya di Jawa.
Mr.  Yeekes  menerangkan  dalam  "de  Opbouw"  (tahun  1923)  bahwa  pendapatan  rakyat
Indonesia  pukul  rata  f  196  setahun.  Dari  pendapatan  itu  banyak  yang  harus  dikeluarkan
sebagai  pembayar  pajak,  dan  di  luar  Jawa  untuk  rodi  pula,  hingga  pendapatan  sebulan
tinggal f 13. Satu angka yang jauh di bawah minimum. Perhitungan Mr. Yeekes  ini adalah
untuk  seluruh  Indonesia,  jadi  penda-patan  rakyat  di  Jawa  Tengah  tentu  lebih  sedikit
lagi.
Kita  di  zaman  modern  ini  sedih  dan  heran  melihat  orang  Jawa  yang  tinggal  di  pondok pondok  rombeng  atau  tak  bertempat  tinggal  sama  sekali,  kelaparan  dan  berpakaian
kotor  compang-camping,  hidup  dalam  iklim  yang  sangat  membahayakan  sebagai  di
Indonesia,  kurang  terawat  kesehatannya,  disebabkan  wabah  malaria,  cacing  tam -\bang,
kolera dan sampar; "hanya" ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.
Suatu keuletan yang patut dipuji!
2. Kegelapan
Masih  saja  "pemerintah  tani  dan  tukang  warung"  Belanda  takut  kepada  Universitas  dan
Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok
"buruh  intelektual".  Ia  sudah  berbuat  keliru  dalam  pandangan  politik  pengajaran  Inggris
dan  mengambil  kesimpulan  yang  salah.  Ia  terlalu  bodoh  untuk  memikirkan  bahwa
berhubung  dengan  wawasan  dan  kecakapan  imperialisme  Inggrislah,  maka  dulu  sudah
ada  kaum  terpelajar  di  India  yang  pada  masa  sulit  kerapkali  membantu  pemerintah
Inggris,  dan  juga  berkat  adanya  kelas  intelektual,  termasuk  juga  kaum  ekstrimis,  maka
Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang
luas.  Dan  pula  karena  Inggris  bekerja  sama  dengan  borjuasi  b umiputra  modern,  di
lapangan  politik  dan  ekonomi,  maka  Inggris  dapat  memerintah  terus  di  India  walaupun
digempur oleh gerakan noncooperation baru-baru ini.
Pemerintah  Belanda  di  dalam  perdebatan  selalu  mengemukakan  pelbagai  keberatan
terhadap  pendirian  universitas  di  Indonesia,  yaitu  keberatan  yang  hanya  dapat  diterima
oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan
dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.
1.  Bahwa  pemerintah  ini,  sesudah  menyesal,  seharusnya  sekarang  menjadikan  dirinya
pendidik  rakyat  Indonesia  dengan  belanja  rakyat  sendiri  dan  sepatutnya  memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong
kosong.
2.  Bahwa  bangsa  Indonesia  baik  otak  maupun  kebangsaan  tidak  lebih  tinggi,  juga
sebaliknya  tidak  lebih  rendah  dari  bangsa  mana  saja,  dan  bahwa  mereka  itu  sungguh
matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun.
3.  Bahwa  universitas  Indonesia  yang  pertama  tak  perlu  cangkokan  atau  tiruan  dari
Eropa,tetapi  dengan  memperhatikan  perguruan  tinggi  di  Eropa  berdasarkan  pada
kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.
Filipina  —  yang  12  juta  penduduknya  —  sudah  mempunyai  empat  universitas  dan
beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak
belum mempunyai sebuah juga.
Sekejap  pun  tak  kita  lupakan,  bahwa  bila  "orang  Belanda"  mendirikan  universitas  di
Indonesia,  pengajarannya  niscaya  dan  pasti  lebih  tinggi  daripada  di  koloni  lain
sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di mana
pun.  Tanpa  mempedulikan  tabiat  menurutkan  kata  hati  sendiri  itu,  kita  hanya  ingin
mengatakan kepada Belanda, "Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"
"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!"
Tetapi,  selain  duit  yang  bagi  seorang  Belanda  lebih  berat  timbangannya  daripada  cita cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari
si Belanda tani dusun yang dungu itu.
Belum  selang  berapa  lama  Tuan  Hardeman,  Kepala  Departemen  Pengajaran,
menerangkan  dalam  sidang  Dewan  Rakyat  bahwa  mendirikan  suatu  perguruan  tinggi
belum  tentu  melahirkan  buruh  terpelajar,  karena  kebutuhan  akan  buruh  pelajar  itu
untuk  sementara  waktu  ini  berkurang,  disebabkan  kesukaran  ekonomi  yang  nanti  tentu
akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok" seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30
Juni.
Akibat politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin
memastikan,  dengan  angka-angka,  bahwa  perguruan  rendah,  menengah  dan  tinggi,
semenjak  dulu  tidak  cukup  untuk  rakyat  yang  berjumlah  55  juta.  Hal  itu  harus  diakui
tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya "pemerintah".
Kita  lewati  sepintas  lalu  sekolah-sekolah  tinggi  yang  sudah  beberapa  tahun,  katanya,
mengeluarkan  berpuluh-puluh  dokter,  mister,  dan  insinyur.  Kita  tujukan  pembicaraan
sebentar  kepada  soal sekolah  rendah.  Jumlah  anakanak  yang  harus  masuk  sekolah  pada
tahun  1919  adalah  sebagai  berikut:  H.I.S.  1%,  Sekolah  Rakyat  5%,  Sekolah  Desa  8%
sampai  14%.  Lebih  kurang  86%  anak-anak  yang  seharusnya  bersekolah  tak  mendapat
tempat  (menurut  laporan  kongres  N.I.O.G.  tahun  1923  yang  diumumkan  dalam  Indische
Courant).  Mereka  yang  bisa  membaca  dan  menulis  sekarang  ditaksir  5%  sampai  6%,
mungkin juga 2% sampai 3%.
Jumlah  belanja  perguruan  di  tahun  1919  menurut  kabar  yang  sah  adalah  f  20,000,000
dan  f  75,000,000  untuk  150,000  orang  anak-anak  Eropa  dan  f  12,500,000  untuk  anakanak  dari  55,000,000  tukang  bayar  pajak  rakyat  Indonesia.  Pada  tahun  1923  belanja
perguruan  itu  f  34.452.000.  Jadi,  untuk  seorang  anak  bumiputra  pada  waktu  itu
dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.
Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik  kepada rakyat yang tak
senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f
156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain
tahun  akan  dibelanjakan  f  300,000,000.  Satu  beban  yang  be rat  sekali  di  atas  bahu  si
Kromo yang merana itu.
Kita,  kaum  revolusioner,  pada  tahun  1921  bermaksud  untuk  memperbaiki  keteledoran
pemerintah  dalam  pendidikan  itu  dengan  mendirikan  sekolah-sekolah  sendiri.  Dengan
menempuh  pelbagai  macam  kesusahan,  seperti  kesulitan  teknis,  kepegawaian,
keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah
dengan  kira-kira  50,000  orang  murid  dan  jumlah  itu  bertambah  banyak.  Akan  tetapi,
sekolah  itu  digencet  dengan  kekerasan.  Dengan  alasan  yang  tak  cukup  setiap  waktu
guru-guru  di  sekolah  itu  dilarang  mengajar,  dan  orangtua  murid-murid  ditakut-takuti.
Pukulan  penghabisan  dijatuhkan  Serikat  Hijau  (sebuah  kumpulan  penyamun  yang
dikerahkan,  diupah  dan  dipimpin  oleh  pemerintah  dan  orang-orangnya).  Penyamun
upahan  ini  disuruh  membakar  sekolah,  menakut-nakuti  dan  menganiaya  orang,  murid
dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah  pergerakan  rakyat  yang  sehat  menuju  ke  pemberantasan  buta  huruf  yang
dipimpin  dengan  gembira  dan  tak  memandang  susah  payah  oleh  kaum  revolusioner  di
Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula.
Politik  pemerintah  ini  dalam  soal  pengajaran  boleh  disimpulkan  dengan  perkataan:
"bangsa  Indonesia,  harus  tetap  bodoh  supaya  ketenteraman  dan  keamanan  umum  ter
pelihara" .
3. Kelaliman dan Perbudakan
Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat
kita  hidup  di  dalam  keadaan  yang  tak  mengenal  atau  mempunyai  hak.  Pak  tani  tak
pernah  sehari  juga  mendapat  kepastian  tentang  kepemilikan,  kemerdekaan  bahkan
nyawanya  sekalipun.  Setiap  tahun  skrup  pajak  rakyat  semakin  keras  putarannya.  Kaum
buruh  tidak  boleh  mengadakan  perhimpunan  atau  mengemukakan  keberatannya.
Permohonan  rakyat  yang  pantas  tidak  didengarkan.  Pendidikan  dan  pemimpin  rakyat
yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena
itu,  dengan  tidak  diperiksa  terlebih  dahulu,  dimasukkan  ke  dalam  penjara,  disekap  di
kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati. Permintaan dan
protes  yang  beralasan  dimusnahkan  oleh  birokrasi  yang  rupanya  lebih  suka  tenggelam
dalam kebusukannya sendiri.
Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan
mencela  sikap  pemerintah  Belanda,  seperti  yang  tertulis  dalam  buku  beliau  Indonesier
en  zijn  Grond.  Indonesia  boleh  jadi  mempunyai  tidak  kurang  dari  70%  penduduk  yang
hidup  dari  pertanian;  dan  karena  itulah,  maka  penting  bagi  seorang  terpelajar  —  yang
kehormatan  dan  kedudukannya  belum  pernah  dicurangi  orang  —  supaya  mendengar
apakah  yang  sudah  diperbuat  terhadap  si  tani  dalam  beberapa  tahun  oleh  sebuah
kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa
itu.
Kita  bukan  hendak  mengorek-orek  yang  sudah  terjadi  maka  lebih  dulu  diperbincangkan
kejadian-kejadian  semenjak  60  tahun  dari  abad  yang  silam.  Siapa  saja  tentu  tahu  dan
membenarkan  perkataan  bahwa  di  tahun-tahun  itu  "orang  Jawa  dianiaya".  Akan  tetapi
tidak  semua  orang  dengan  lekas  melihat  macam  apa  dan  sampai  ke  mana  batas
penggencetan  atas  milik  kaum  tani  itu.  Untuk  mengetahui  hal  ini,  tak  usah  kita  baca
buku-buku  kelaliman  pemerintah  Belanda  ini  sebagai  "kaum  penghasut  dan  penyebar
kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.
Kesewenang-wenangan  Daendels,  biar  bagaimana  busuknya,  masih  dapat  dianggap  luar
biasa.  la  mempunyai  kekuasaan  sendiri  atas  sawah  dan  ladang  rakyat  untuk  menggaji
pegawai bumiputra (hlm. 12 dan dll).
Seterusnya  van  Vollenhoven  berkata:  "dibandingkan  dengan  peratusan  raja-raja  Jawa
yang  hampir  sama  busuk  dengan  kebiasaan  kita,  "masih  terbatas"  dalam  kerajaannya
saja, Kedu, Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh
pulau itu" (hlm. 16).
Pegawai-pegawai  desa  mengambil  suatu  kepunyaan  rakyat  yang  baik  untuknya  dan
diberikannya  yang  buruk  kepada  rakyat  yang  bodoh.  Semua  itu  perbuatan  sewenangwenang (hlm. 17).
"Apakah  yang  kita  harapkan  sekarang?‖  tanya  van  Vollenhoven  seterusnya.  Apakah  kita
berangsur-angsur  akan  menghentikan  kerewelan  perkara  sawah  ladang  karma  pajak
tanah  (ini  sudah  terjadi).  Apakah  kita  berang,sur-angsur  tidak  lagi  akan  mengambil
sawah  ladang  dan  kebun  paksaan  rakyat  (ini  sudah  terjadi).  Apakah  kita  akan
mengurangi dan menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah
kepunyaan  rakyat  (ini  sudah  terjadi).  Dan  selanjutnya  kita  belajar  mendiamkan  tangan
kita yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).
Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang
mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia
menghadap  Presiden  Pengadilan  Negeri,  ia  akan  dijawab,  "Tidak  ada  waktu!"  dan  bila
orang  itu  pergi  minta  perlindungan  Wali  Negeri,  "Sri  Paduka  Tuan  Besar  tidak  b erkenan
menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd" (hlm.
26).
Seringkali  terjadi  di  tengah-tengah  sebidang  tanah  yang  akan  diberikan  pemerintah
kepada  tuan-tuan  besar  kebun  ada  sawah  atau  ladang  bumiputra.  Menurut  undan gundang,  tanah  itu  tidak  boleh  diambil  kecuali  jika  untuk  keperluan  pemerintah  sendiri.
Akan  tetapi  dalam  praktiknya  orang  berikhtiar  membujuk  si  inlander  supaya  mau
menukar  haknya  dengan  uang  (hlm.  26).
Berikut  ini  adalah  kesimpulan  dari  Prof.  van.  Vollenhoven  yang  tak  dapat  dicela
kebenaran dan kenyataannya itu.
"Tetapi  rupanya  inilah  yang  sepenting-pentingnya  orang  Indonesia  yang  punya  tanah
sendiri,  sungguh  sangat  susah  akan  mempunyai  perasaan  selain  dari  pelanggaran  terus
menerus;  dusta  dan  penipuan  atas  hak  tanahnya  yang  sah  di  atas  kertas,  sebagai  daya
upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya
ia jangan dapat mempergunakannya" (hlm. 28).
Kita  masih  dapat  mengutip  beberapa  gugatan  dan  kesimpulan  van  Vollenhoven  yang
berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat undang-undang,
dengan  merusak  dan  melanggar  undang-undang  itu  sendiri  dan  tentang  sebab-sebab
pemberontakan  di  Sumatera,  Borneo,  yakni  pencurian  tanah.  Akan  tetapi,  kutipan
tersebut di atas sudah memadai.
Dan  tidakkah  semua  kenaikan  pajak  sekarang  itu  adalah  suatu  kesewenang-wenangan
yang  kasar  jika  kita  menggunakan  perkataan  Prof.  van  Vallenhoven  itu  sendiri?  Adakah
rakyat  kita  diberitahu  waktu  pemerintah  mengambil  suatu  keputusan  da n
memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?
Tidak  pernah!  Persis  sebagaimana  pemerintah  tidak  pernah  bertanya  kepada  kita,
"Apakah kita menyukainya atau tidak?"
Bangsa  Indonesia  yang  55  juta  itu  tidak  mempunyai  wakil  seorang  jua  pun  dalam
pemerintahan  ini  yang  boleh  memperdengarkan  suara  atau  nasihat,  protes  atau  celaan.
Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai nasib kita, tak
pernah  kita  sukai  dan  kita  pilih.  Mereka  tak  dapat  kita  hentikan  sebab  kita  tak  pun ya
kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada mereka, lain
tidak!  Kesimpulannya,  sekalian  dan  peraturan  yang  menguasai  kita  di  Indonesia  dibuat
sesuka  hati  mereka  sendiri  dan  pembayaran  pajak  dalam  teori  atau  praktik,  semu anya
adalah "pencurian".
Marilah  kita  perhatikan  nasib  300.000  kuli  kontrak,  yang  "katanya"  dilindungi  oleh
pemerintah  ini.  Upah  yang  kurang  lebih  f  12  sebulan  sungguh  hampir  tak  cukup  untuk
membeli  pakaian  yang  biasanya  koyak-koyak,  sebab  setiap  hari  dipakai  kerja  di  kebun.
Sehari  bekerja  14  sampai  18  jam,  sebab  kebun-kebun  tembakau  biasanya  jauh  letaknya
dari  pondokan  kuli,  lebih  tepat  kandang  kuli,  meskipun  di  dalam  kontrak  hanya  tertulis
10 jam.
Perlakuan  pengawas-pengawas  kebun  bangsa  Eropa  lebih  tepat  digambarkan  sebagai
penikaman, pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan
"kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah terjadi pergaulan sosial
yang  diracuni  oleh  judi,  candu  dan  persundalan  yang  merendahkan   tabiat  kuli-kuli  dan
menyebabkan  mereka  banyak  berutang  kepada  majikannya,  hingga  kontrak  mereka
terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang
kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak" yang diakui oleh
pemerintah.  Dalam  kontrak  itu  disebutkan  mereka  "tak  boleh  berorganisasi  dan  mogok"
— yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit
mendingan seperti di negeri-negeri  lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu
hanya dapat dipertahankan oleh "saudagar budak" di zaman biadab.
Marilah  kita  ingat  kejahatan-kejahatan  yang  dilakukan  di  Deli.  Marilah  kita  ingat
penganiayaan  baru-baru  ini  yang  dilakukan  oleh  orang-orang  Eropa  di  Lampung  dan
Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan
lebih  dari  dongeng,  yaitu  ringannya  hukuman  yang  dijatuhkan  oleh  pemerintah  atas
"bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum  buruh  industri,  perkebunan  dan  pengangkutan  yang  beratus  ribu  atau  beberapa
juta  di  Jawa  dan  lainnya,  yang  diperbudak  tidak  dengan  kontrak,  yang  katanya  "buruh
merdeka",  bernasib  tak  lebih  baik  daripada  budak  kontrak  asli.  Satu  per  satu  kakinya
diikat  dengan  rantai  aturan,  hingga  tak  dapat  berorganisasi  dan  berjuang  melawan
kapitalis  yang  sewenang-wenang.  Di  dalam  Dewan  Rakyat,  Majelis  Tinggi  dan  Rendah,
dan  surat-surat  kabar  yang  berlain-lainan  tujuan  itu,  telah  berulang-ulang
diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita
ulang  lagi  di  sini,  atau  kita  uraikan  hukum-hukum  paksa  itu.  Sekali  lagi  dikatakan
undang-undang  itu  bukanlah  menurut  perasaan  modern,  tetapi  aturan  paksa  yang
dihadapkan  oleh  segerombolan  kaum  birokrat  kepada  buruh  Indonesia,   buat  pengikat
segala daya upaya mereka menuju perbaikan nasib.
Semua  undang-undang  yang  dijalankan  itu  menyebabkan  kita  teringat  kepada  zaman
biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik
gerakan  sehingga  tak  dapat  kita  terus-terang  mengatakan  atau  menulis  sesuatu
mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.
Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin pemimpin yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin
dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang
sebab  dianggap  berbahaya  atau  secara  khianat  ditikam,  dibacok,  diketok  kepalanya
sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila  diceritakan  kepada  rakyat  bahwa  seorang  pemimpin  yang  dicintai,  seperti  Haji
Misbach  yang  katanya  mati  "disebabkan  demam  hitam"  pada  satu  pembuangan  yang
ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.
Bilamana  rakyat  mendengar  bahwa  seorang  pemuda  yang  terpelajar  dan  sopan,  seperti
Soegono  kita,  pemimpin  V.S.T.G  yang  katanya  "membunuh  diri"  dalam  penjara,
sedangkan  pada  kepala  dan  tangannya  terdapat  bekas-bekas  penganiayaan  dan  sebuah
jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa", juga tidak boleh mengajukan
protes sama sekali.
Dan  pemerintah  yang  "katanya"  jadi  pengasuh  dan  pelindung  rakyat  kita,  tidak
mengadakan  pemeriksaan  saksama  tentang  sebab-sebab  kematian  yang  sekonyong-
konyong  dari  pemimpin  rakyat  yang  cakap  berjuang  dengan  dada  terbuka  dan  pendek
kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian
moral  akan  mengakui  dan  membetulkan  kesalahannya  dan  menghukum  yang  bersalah
menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.
(Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan  di  Indonesia  hanya  bagi  segolongan  kecil  yaitu  si  penjajah  kulit  putih.  Bagi
bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.
VI
KEADAAN SOSIAL
Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ratus tahun dalam dunia imperialistis
yang  disebut  kolonisator  menciptakan  pertentangan  sosial  dan  kebangsaan  yang  satusatunya  di  seluruh  Asia.  Di  satu  pihak  tampak  kapital  yang  beranak  pi nak  dalam
pertanian  yang  sangat  modern,  dengan  produksi  yang  sangat  tinggi  dan  dengan  jalinan
hubungan  internasional  yang  bersatu  dalam  sejumlah  sindikat  dan  trust  yang  memberi
untung  yang  berlipat ganda.  Di  lain  pihak,  tampak  kaum  tani,  pedagang-pedagang  kecil
dijadikan  buruh.  Mereka  berjubel-jubel  sebagai  buruh  industri  di  kota-kota  dan  buruh
tani di kebun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbudakan dan kegelisahan.
Jika  pertentangan  kelas  yang  sebenarnya  menyerupai  satu  jurang  yang  tak  dapat
ditimbun,  yang  di  negeri-negeri  Barat  dan  Jepang  menimbulkan  sosialisme,  anarkisme
dan  bolsyevisme,  di  Indonesia  jurang  itu  diperdalam  lagi  oleh  pertentangan  bangsa
Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting,
tetapi  mungkin  sekali  dapat  memancing  perang-perang  kemerdekaan.  "Pertentangan"
Belanda kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan
negeri-negeri  lain.  Pertentangan  ini  lahir  dalam  bentuk  yang  setajam-tajamnya.
Ketajaman  itu  bukan  saja  disebabkan  oleh  ketiadaan  kapital  modern  dar  bangsa
Indonesia,  melainkan  juga  oleh  perbedaan  agama,  bangsa,  bahasa,  adat  istiadat  antara
penjajah dan si terjajah.
Di  negeri-negeri  kapitalis  yang  maju,  pertentangan  sosial  terbagi  atas  dua  kelas:  kelas
kaum  kapitalis  dengar  para  pengikutnya  dan  kelas  buruh.  Kaum  kapitalis  ialah  yang
mempunyai  tanah,  pabrik,  kereta  api,  kapal  dan  bank,  dan  menambah  kekayaan  dalam
keadaan  biasa  dengan  jerih  payah  kaum  buruh  yang  tidak  dibayar,  yang  dilukiskan  ole h
Marx "met de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka yang
kepunyaan  dan  tanahnya  dirampas  oleh  kapitalis.  Mereka  yang  dulunya  adalah  petani
dan  pedagang  kecil,  tetapi  waktu ini  segala  miliknya punah  sama  sekali  kecuali  tenaga,
badan  dan  nyawa.  Harga  tenaga  ini  "tunduk"  kepada  turun  naiknya  harga  di  pasar
tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah
ini  disebabkan  oleh  "undang-undang  besi"  dalam  "tawar-menawar"  di  pasar  tenaga  —
tidak  dapat  menutup  harga  kerja  yang  dilakukan  (karena  persaingan  hebat  di  pasar
tenaga  dan  kecemasan  akan  mati  kelaparan,  terpaksa  buruh  itu  menerima  upah  yang
serendah-rendahnya).
Supaya  dapat  mengadakan  pemerasan  atas  kelas  bu ruh  yang  jumlahnya  lebih  besar,
kelas  kapitalis  yang  jumlahnya  kecil,  mempergunakan  "senjata  gaib",  seperti  se kolah,
gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara,
dan  justisi.  Parlemen,  masjid,  gereja,  sekolah  dan  surat-surat  kabar  berdaya  upaya
menidurkan  dan  melemahkan  hati  buruh  dengan  pendidikan  yang  banyak  mengandung
racun.  Bila  mereka  tak  dapat  berlaku  seperti  itu,  dipergunakanlah  penjara,  polisi  dan
militer.
Persaingan  ekonomi  sesama  kaum  kapitalis  menyebabkan  timbulnya  kongsi.  Mereka
dapat  melawan  musuh-musuhnya  yang  terpencil.  Kalau  kongsi  dalam  persaingan  "matimatian"  tak  dapat  menaklukkan  lawannya,  ia  mencoba  mengadakan  kompromi.  Kedua
kongsi  yang  dulunya  bermusuhan,  sekarang  menjadi  satu  sindikat.  Demikianlah  mereka
dapat  menaikkan  harga  barangbarangnya  dengan  sesuka  hati,  sehingga  merugikan  si
pembëli (buruh dan tani miskin).
Jadi,  sindikat itu adalah  gabungan  dari  beberapa  kongsi.  Akan  tetapi  kongsi  bekerja  itu
menurut  caranya  sendiri  dan  merdeka  seperti  biasa.  Supaya  kekuatannya  bertambah
besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk perjuangan ekonomi, dibentuklah satu  trust.
Jadi,  sindikat  mempunyai  banyak  ketua,  sedangkan  trust  seorang  saja,  dan  begitu  juga
cara  kerjanya,  sebuah  trust  dapat  secara  lebih  sempurna  menguasai  pasar  dunia
daripada sindikat.
Di  pasar  negeri-negeri  Barat,  terutama  Amerika,  kita  lihat  sejumlah  tambang  arang,
industri  besi,  pabrik-pabrik  minyak  dan  maskapai  kapal  yang  dulunya  terpecah-pecah
sekarang  bersatu  dalam  trust  yang  besar,  dikepalai  oleh  raja-raja  trust.  Kita  dengar
nama-nama seperti Morgan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan
Ford Raja Mobil.
Di  Jerman  kita  lihat  bagaimana  trust  yang  banyak  itu  diikat  menjadi  satu  "gabungan
trust".  Pabrik-pabrik  besi,  arang  dan  kertas,  maskapai  kapal  dan  kereta  api  semuanya
tunduk  di  bawah  pimpinan  Stinnes  yang  baru  meninggal  dunia.  Demikianlah,  Stinnes
dapat  menguasai  harga  bahan-bahan  mentah  dan  barang-barang  pabrik,  selanjutnya
ongkos  pengangkutan  dan  advertensi  dari  barang-barang  pabrik  itu.  Pembentukan  trust
seperti  ini  ditiru  pula  oleh  bank-bank  yang  menyatukan  diri  dari  maskapai  menjadi
sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan trust.
Bank  meminjamkan  uang  kepada  industri  dan  perkebunan;  bank  itu  senantiasa
bertambah  kaya  oleh  bunga  uang  yang  tinggi,  yang  dibayar  oleh  si  peminjam.  Akan
tetapi,  bunga  uang  yang  tinggi  itu  ditarik  si  peminjam  dari  buruh  mereka,  dan  si  buruh
menarik  hanya  dari  keringat  dan  tenaganya.  Kepada  negara,  bank  juga  meminjamkan
uang  yang  mesti  dibayar  dengan  bunga  yang  tidak  rendah.  Bank  negara  pada  gilirannya
menarik  pajak  yang  banyak  sekali  dari  kaum  buruh  (sebab  merekalah  yang  terbanyak
jumlahnya)  untuk  membayar  utang  itu  beserta  bunganya.  Ke  negeri -negeri  asing,  bank
memimjamkan  uangnya  dengan  bunga  yang  serupa.  Bank,  "benteng  kapitalisme",  jadi
penguasa  industri,  pertanian  dan  pemerintahan  suatu  negeri,  dan  dengan  penanaman
modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.
Supaya  tetap  memperoleh  bunga,  maka  ia  jugalah  yang  mengangkat  dan
memberhentikan  kepala-kepala  industri,  ahli  negara  dan  ahli  politik,  dan  langsung  atau
tidak  menggaji  atau  menyuap  mereka.  Dengan  adanya  trust  maka  ditaruhnya  pimpinan
perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi
pemimpin  industri,  pengangkutan,  pertanian  perdagangan,  negara  dan  politik,
pendeknya masyarakat kapitalis modern.
Dengan  memperhatikan  hal  tersebut  di atas,  tampaklah  kepada  kita  bahwa  makin  maju
kapitalisme,  makin  sedikit  orang  yang  berharta  dan  jumlah  kaum  buruh  miskin  menjadi
lebih  besar.  Di  negeri-negeri  kapitalistis  yang  cerdas  seperti  Inggris,  Jerman  dan
Amerika,  jumlah  buruh  yang  pandai  dan  yang  tidak  kurang  lebih  75%  dari  penduduk.
Jumlahnya pemangku tangan,  tetapi  berkapital  dan  produksi  makin  lama  makin  sedikit.
Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apaapa,  makin  lama  makin  banyak,  dan  organisasi  mereka  demikian  pula.  Pertentangan
kaum  pemangku  tangan  dengan  buruh  miskin  makin  lama  semakin  tajam  dan  akhirnya
menimbulkan revolusi sosial.
Di  Indonesia  proses  kapitalisasi  itu  hampir  tidak  berbeda  dengan  garis-garis  besar  yang
diuraikan  di  atas.  Saudagar-saudagar  Indonesia  dan  perusahaan  yang  kecil-kecil  sudah
lama lenyap dari masyarakat.
Beberapa  juta  jiwa  sekarang  hidup  dalam  keadaan  "pagi  makan,  petang  tidak".  Mereka
tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Ke kuasaan atas
tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan
dalam  tangan  beberapa  sindikat  seperti  Avros,  Suikersyndikaat,  Handeslvereeniging
Amsterdam  dan  lain-lain.  Pimpinan  sindikat-sindikat  besar  itu  tergantung  di  tangan
beberapa orang kapitalis.
Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di Indonesia  —  berhubungan dengan satu
dan  lain  hal  —  lebih  tajam  daripada  apa  yang  kelihatan  oleh  mata.  Keuntungan  besar
dari  gula,  minyak,  karet,  kopi,  teh  dan  lain-lain  sebagian  besar  mengalir  ke  Eropa,  ke
kantong bangsa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indonesia, tetapi bukan
sebagai  kenaikan  gaji  buruh,  melainkan  sebagai  penambah  "kapital"  yang  sudah  ada,
buat  jadi  "alat  penghisap"  yang  baru  pula.  Sebagian  besar  keuntungan  itu  ada  di  negeri
Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda.
Kemalangan  nasib  buruh  Indonesia  hanya  dapat  diperbaiki  dengan  jalan  menaikkan  gaji
mereka  yang  sepadan  (dengan  memperhatikan)  harga  barang  keperluan  sehari-hari.
Dengan  pembukaan  beberapa  kebun  besar,  memang  ada  kaum  buruh  atau  penganggur
yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga
banyak  petani  yang  kehilangan  miliknya.  Tambahan  lagi,  karena  perluasan  kapitalisasi
itu,  barang  keperluan  sehari-hari  bertambah  tinggi  harganya.  Sungguh  tak  dapat
dipungkiri  bahwa  kenaikan  harga  barang  dalam  sepuluh  tahun  belakangan  ini  tidak
sejalan dengan kenaikan gaji buruh.
Demikianlah  rakyat  Indonesia  tambah  lama  tambah  miskin  sebab  gaji  mereka  tetap
seperti  biasa  (malahan  kerapkali  diturunkan),  sementara  barang-barang  makanan
semakin  mahal.  Dan  oleh  persaingan  yang  makin  lama  makin  hebat,  karena  cacah  jiwa
cepat sekali bertambahnya dan kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pekerjaan.
Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah kemiskinan dan kemelaratan  tak akan
sepedih  itu  sebab  sisa  keuntungan  yang  sangat  banyak  itu  mungkin  dilemparkan  pada
rakyat. Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pengajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan
kesehatan  mungkin  diperhatikan  dan  diperbaiki.  Sekarang  tak  semua  itu  terjadi,  sebab
untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.
Selain  dari  proses  pengeringan  ini,  pertentangan  sosial  dipertajam  oleh  perbedaan
bangsa  dan  apa  saja  yang  bersangkutan  dengan  hal  itu.  Kaum  kapitalis  berbahasa   lain
dari  rakyat  dan  pemerintah  bukan  pemerintah  rakyat.  Kaum  kapitalis  dan  pemerintah
memeluk  agama  lain,  mempunyai  kesusilaan  dan  kebiasaan  lain,  serta  ideologinya
berbeda  dengan  rakyat.  Dalam  pergaulan  sehari-hari  antara  kapitalis  dan  buruh,  antara
pemerintah  dan  rakyat,  yang  tersebut  tadi  penting  sekali.  Kapitalis  Belanda  tidak
mengenal  buruhnya,  pemerintah  Belanda  mengenal  rakyatnya.  Bukan  dia  tak  ingin
mengenal rakyat.
Meskipun  dia  sekiranya  mau  berbuat  serupa  itu,  tidaklah  mudah  bagi  Belanda  akan
menyelami batin penghuni khatulistiwa ini sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor
yang  perlu,  seperti  pendidikan,  bahasa  pergaulan  sosial  dan  kepercayaan  rakyat.  Oleh
karena  itulah,  Belanda  yang  katanya  "sopan"  kerapkali  mengeluarkan  kata-kata  yang
kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Be landa. Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasa kan kekuasaan Gubernur Jenderal
Amerika  dan  boleh  dikatakan  tidak  mendapat  kesusahan  dari  pembesar-pembesar
Amerika, masih saja terus mereka menuntut kemerdekaannya, demikian jugalah bangsa
Indonesia-selatan  akan  tetap  menagih  kemerdekaan  yang  mutlak  dan  se luas-luasnya.
Sebagaimana seorang manusia tak suka diganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian
pula  rakyat.  Mereka  lama-kelamaan  tak  akan  membiarkan  dirinya  dijajah  atau  dikuasai
oleh bangsa lain.
Terserah  kepada  kita  memperhatikan,  apakah  pertentangan  Belanda  kapitalis  dan
Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!
Pertentangan  ini  lambat  laun  berkurang  bila  pemerintah  sekarang,  bukan  nanti,
mengadakan  perubahan  besar,  perbaikan  ekonomi,  politik  dan  sosial  yang  memperbaiki
keadaan seluruh rakyat Indonesia.
Hak  ini  hanya  terjadi  dengan  mendirikan  industri  baru  (kapas,  karet,  pabrik-pabrik
mesin,  perkapalan,  tambang  dan  lain-lain),  membuka  pertanian  besar-besar  dan
memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah,
memberi bantuan pikiran dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas-bekas petani
yang  miskin,  menaikan  gaji  buruh  dan  mengurangkan  jam  bekerja,  meringankan  atau
menghapuskan pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau kebun-kebun besar, dan
industri  dijadikan  hak  bersama,  yaitu  pemerintah,  memberikan  hak  dalam  pemilihan
umum  yang  seluas-luasnya  kepada  bumiputra,  mendirikan  perwakilan  rakyat  yang
"sejati" yang daripadanya dipilih satu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya
kepada  rakyat  Indonesia,  menghapuskan  segala  badan  birokrasi  yang  tak  berfaedah,
seperti Raad van Indie, de Alt gemeene Secretaris dan lain lain.
Tentu tak akan terjadi!
Setengah  dari  itu  pun  tak  akan  terjadi.  Taruhlah  secara  tiba-tiba  imperialis  Belanda
melemparkan  "politik  warung  kecilnya"  dan  mempergunakan  politik  kolonial
sesungguhnya,  itu  sudah  terlambat!  Sekali  lagi  terlambat!  Imperialisme  Belanda  tak
punya  cita-cita,  keberanian  dan  alat-alat  untuk  mengadakan  perubahan  yang  berarti
sedikit.  Ia  terlalu  "daif"  (lemah)  untuk  melakukannya  dan  tidak  ada  pula  borjuasi
bumiputra  modern  dapat  membantunya.
Adapun  "kapital  luar  negeri"  yang  bertitik-titik  beberapa  dollar  dari  wallstreet  hanya
seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat
dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.
Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima
kekuasaan  politik  di  Indonesia  dari  Belanda  si  tukang  warung  itu.  Jika  terjadi  yang
seperti ini, Amerika dalam waktu yang singkat niscaya akan datang di Indonesia dengan
beberapa  ribu  juta  rupiah.  Tetapi  mustahil!  Sebab  bertentangan  dengan  kepentingan
dan  "kehormatan"  Belanda.  Sebab  kapital  Amerika  yang  besar  di  Indonesia  akan
mendesak  kapital  Belanda  ke  sisi!  Dan  kalau  keuangan  terikat,  kapital  Belanda  tak
berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).
Tentu saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti
kekuasaan  ekonomi  dan  politik  Amerika  akan  bertambah  besar  di  bagian  yang  strategis
dan  penting  sekali  di  Pasifik.  Hal  itu  tentulah  dengan  sekuat-kuatnya  akan  ditentang
oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang
lama dan dahsyat.
Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan musnah, lebih baik ia berbuat sesukanya
sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang)
lebih baik membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.
VII
KEADAAN POLITIK
1. Tinjauan ke Belakang
"Politik"  di  Indonesia  belum  pernah  jadi  "a  common  good",  kepunyaan  umum  rakyat.
Paham  kenegaraan  tak  pernah  melewati  segerombolan  kecil  penjajah  Hindu  atau
setengah Hindu.
Sebagaimana  dalam  kebanyakan  negeri  feodalistis  di  Indonesia,  pemerintahan  negeri
dipegang  oleh  seorang  raja  dan  komplotannya.  Seorang  raja  sesudah  berhasil
menjalankan  peran  "jagoan",  lalu  mengangkat  dirinya  jadi  raja  yang  bertuan.  Anaknya
yang  bodohnya  lebih  dari  seekor  kerbau  atau  seorang  tukang  pelesir,  di  belakang  hari,
menggantikan  ayahnya  sebagai  yang  dipertuan  di  dalam  negeri.  Peraturan  turuntemurun ini "lenyap" apabila seorang "jagoan" baru datang menjatuhkan yang lama, dari
mengangkat dirinya pula jadi raja.
Konstitusi  tidak  ada  yang  menentukan  penobatan  atau  pemaksulan  seorang  raja  dengan
menteri-menterinya, serta menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan cakupan
pengaruhnya  bersandarkan  pada  kekerasan  dan  kemauan  raja,  juga  kepercayaan  dan
perhambaan  masa.  Pemerintahan  dari  rakyat,  untuk  rakyat,  rakyat  sebagai  yang
dikatakan Lincoln tak pernah dikenal di Indonesia.
Kadang-kadang  ada  seorang  rajalela  yang  "agak  adil"  di  panggung  politik.  Akan  tetapi,
hal  ini  adalah  suatu  perkecualian,  kebetulan  dan  keluarbiasaan.  Tidak  ada  yang  dapat
dilakukan  rakyat  jika tiada  raja  yang  begitu  selain  berontak.  Indonesia  hanya  mengenal
pemerintahan beberapa orang dan tak pernah mengenal hukum-hukum yang tertulis.
Keadaan  di  Minangkabau  sedikit  berlainan.  Pemerintahan  oleh  adat  diserahkan  kepada
wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut
undang-undang  tertentu.  Kekuasaan  tertinggi  bernama  "mufakat"  yang  diperoleh  dari
perundangan dalam satu rapat.
Tiap-tiap rapat mesti terbuka seluas-luasnya dan menurut kebiasaan yang pasti. Laki -laki
dan perempuan dalam rapat mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan cara
bagaimanapun  tak  boleh  dikurangi.  Baik  terhadap  perkara  daerah  atau  nasional,
"undang-undanglah" yang berkuasa setinggi-tingginya.
Akan  tetapi,  keadaan  seperti  itu  terdapat  di  Minangkabau  saja,  yaitu  daerah  kecil
terpencil  di  Kepulauan  Indonesia.  Oleh  sebab  itulah,  orang  di  sana  tidak  seberapa
terpengaruh oleh Hindu dan Arab, pendeknya, dalam hal politik.
Meskipun  orang  Belanda,  andaikata  ingin  memperlakukan  rakyat  Indonesia  dengan
hormat  seperti  terhadap  sesamanya,  misalnya  seperti di bagian  lain-lain  dari  Indonesia,
dalam  merancang  dan  menjalankan  undang-undang  dan  dalam  membentuk  dan
memaksulkan pemerintah, "rakyat tidak boleh campur tangan".
a. Pokok Undang-Undang Minangkabau
"Anak kemenakan beraja kepada penghulu,
Penghulu beraja kepada mufakat.
Mufakat beraja kepada alur dan patut".
Demikian pula halnya di Kerajaan Poko-Dato, Sriwijaya, Majapahit dan Mataram.
Karena  rakyat  tidak  campur  tangan  dalam  pemerintahan  negeri,  dapatlah  Kompeni
Hindia-Timur menaklukkan atau berkompromi dengan raja-raja Indonesia, dan mendapat
kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya seluruh Indonesia jatuh ke tangannya.
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
Selama penjajahan Belanda, terlahir nisbah sosial yang lambat laun meminta pemecahan
atas  soal  susunan  negara  tetapi  pemerintahannya  belum  tentu  secara  parlemen  atau
Soviet.
Parlementarisme di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum borjuis sewaktu kekuasaan
sewenang-wenang  merajalela  di  sana  dan  kaum  borjuis  dengan  perniagaan  dan
industrinya  yang  semakin  maju  merasa  digencet  dalam  memperbesar  perusahaannya,
oleh  raja-raja  feodal:  yang  merintangi  dengan  pelbagai  cukai  dan  pajak  yang  tinggi tinggi,  sementara  borjuasi  tidak  mempunyai  hak  politik.  Dalam  keadaan  begitulah  lahir
Magna  Charta,  Cromwellisme,  dan  Revolusi  Prancis.  Selanjutnya  Voltaire,  pemimpin
borjuasi  yang  hebat  habis-habisan  menggempur  agama  Katholik  dan  pendetapendetanya, lalu ia mengajarkan paham "atheis" (memungkiri Tuhan).
Rousseau  menentang  autokrasi  dengan  demokrasi  dan  untuk  menentang  pemerintahan
turun-temurun,  diajarkannya  "kontrak  sosial",  yakni  satu  pemerintahan  yang
mengadakan kontrak dengan rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja hanya boleh
memerintah  selama  ia  berbuat  sesuai  perjanjian;  rakyat  harus  menentangnya  bila
perjanjian itu dilanggar.
Karena  borjuasi  Prancis  merasa  kurang  kuat  melawan  kekuasaan  raja,  bangsawan  dan
pendeta,  bersatulah  mereka  dengan  massa  revolusioner,  yaitu  kaum  buruh  dan  tani.
Akan tetapi, massa ini tidak boleh berkuasa. Mereka semua hanya dipakai sebagai umpan
meriam  dalam  revolusi  borjuasi,  sedang  kekuasaan  dipegang oleh kaum  borjuis.  Dengan
semboyan  "Liberte,  Egalite,  dan  Fraternite"  yang  sekarang  jadi  demokrasi,  liberalisme
dan parlementarisme, mereka dapat merobohkan pemerintah feodalistis.
Sesudah  memperoleh  kekuasaan  politik,  "demokrasi  borjuasi"  menunjukkan  dirinya.
Biarpun  dalam  negara  parlementer,  seperti  Inggris,  Prancis  dan  Amerika,  tiap  rakyat
diberi  hak  dalam  pemilihan,  tetapi  kaum  buruh  dan  si  miskin  di  sana  (orang  yang
terbesar  jumlahnya)  senantiasa  tidak  dapat  mempertahankan  calon -calonnya  dalam
pemilihan  parlemen  sebab  mereka  terkurung  di  dalam  pengaruh  pikiran  borjuis  yang
dikembangkan  di  sekolah-sekolah,  gereja,  surat-surat  kabar,  dan  terlebih  lagi,  karena
mereka  kekurangan  alat-alat  propaganda  (ruangan  rapat,  koran  dan  brosur  yang
semuanya mahal).
Borjuis  dengan  profesor,  jurnalis,  pendeta  dan  kaum  diplomatnya  yang  bergaji  besar,
dapat memperoleh kemenangan waktu pemilihan parlemen.
Karena anggota-anggota parlemen memegang jabatannya selama tiga atau empat tahun,
hubungan  antara  si  pemilih  dengan  yang  dipilih  sangat  renggang.  Mereka  berhadapan
dengan rakyat di waktu pemilihan saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi menjadi
birokrat  sejati.  Oleh  karena  perceraian  Majelis  Rendah  dan  Majelis  Tinggi  (badan  yang
membuat  undang-undang)  dengan  kabinet  (badan  yang  menjalankan  undang-undang)
jatuhlah kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor yang selalu berhubungan
rapat  dengan  bank-bank.  Begitulah  akhirnya,  asas  demokrasi  dan  aturan  parlementer
ditelan  oleh  tuan-tuan  besar  bank  (Morgan  di  Amerika,  Locheur di  Prancis,  dulu  Stinnes
di jerman), itulah "demokrasi resmi": terbentuk karena dana.
Begitulah,  demokrasi  yang  sebenarnya  di  masa  ini  menjadi  diktator  dari  borjuasi
(Cromwellisme,  Napoleonisme  dan  sekarang  berupa  Pascisme)  yang  bersembunyi  di
belakang  pers,  sekolah,  gereja  dan  bertopeng  parlemen  dalam  ketenangan  masa
kecerdasan  kapitalisme  Dan  kekuasaan  politik  yang  sebenar-benarnya,  seperti  ekonomi,
selamanya di tangan borjuasi.
Sovietisme dan parlementarisme sudah saya uraikan dalam brosur "Parlemen atau Soviet"
(dicetak tahun 1911) Oleh sebab itu, di sini hanya pokok-pokoknya yang saya uraikan.
Di  zaman  pergerakan  proletar  dan  revolusi  ini,  kaum  buruh  yang  tak  mau  damai  i tu
mengemukakan  segala  pertentangan  dan  pendiriannya  terhadap  kekuasaan  kaum.
borjuis,  seperti  borjuasi  merobohkan  kaum  feodalis  dalam  perjuangan  rohani  dan
jasmani selama 100 tahun (1740-1848).
Peraturan  ekonomi  komunis  dipertentangkan  dengan  kapitalis,  diktator  buruh  dengan
diktator borjuis, Sovietisme dengan Parlementarisme.
Sebagaimana  parlemen  adalah  ciptaan  borjuasi,  Soviet  adalah  ciptaan  diktator  buruh
yang dengan pertolongan kaum tani menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat politik di
tangan  kaum  buruh  yang  diadakan  sebelum  atau  selama  revolusi.  Soviet  itu  merupakan
keadaan  politik  yang  membelokkan  masyarakat  kapitalisme  ke  arah  komunisme  dengan
jalan  nasionalisasi  segala  alat-alati  produksi  serta  mengurus  sekalian  produksi  dan
distribusi secara komunistis.
Badan-badan  ekonomi,  politik  dan  pendidikan  yang  dibentuk  selama  pemerintahan
diktator  itu,  dipakai  bukan  saja  untuk  melemahkan  dan  menghancurkan  borjuasi  di
gelanggang  politik,  ekonomi,  dan  ideologi,  melainkan  juga  untuk  mencerdaskan  semua
tenaga masyarakat ke arah komunisme.
Sementara buruh mengadakan diktator terhadap borjuis, di dalam kelasnya sendiri sudah
ada  demokrasi  yang  sesungguhnya.  Ia  berkekuasaan  politik  yang  sebenarnya  sebab  ia
menguasai semua alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai semua
alat penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar dengan secukupnya.
Soviet  berikhtiar  menghancurkan  "birokrasi"  yang  biasa  terdapat  dalam  susunan
parlementer. Supaya tercapai maksud ini dijalankan tindakan-tindakan berikut ini.
(1) Waktu pemilihan dipersingkat.
(2) Hubungan si pemilih dengan yang dipilih didekatkan dan si penyusun undang -undang
dengan  si  pelaksana  disatukan  dan  dibentuk  satu  badan  yang  sama-sama  membuat  dan
menjalankan undang-undang.
(3) Wakil-wakil itu kapan saja boleh diangkat dan diberhentikan.
(4) Ke dalam pemerintahan sedapat mungkin dimasukkan kaum buruh.
Kaum buruh yang berkesadaran tinggi, yang seharusnya memegang pemerintahan negeri
karena  kaum  borjuis  akan  selalu  berdaya  upaya  menuntut  kekalahannya  yang  dulu
dirampas  oleh  buruh,  dan  hal  ini  tentulah  dijalankan  mereka  dengan  kontrarevolusi.
Mereka ini disusun dalam partai komunis.
Menurut  keadaan  itu,  nanti  kekuasaan  politik  diperas  sampai  kepada  buruh-buruh
berorganisasi dan serikat sekerja dan akhirnya ke seluruh kaum buruh.
Semestinya,  tiap-tiap  kelas  yang  revolusioner  hendaknya  merampas  dan
mempertahankan  semua  kekuatan  politik.  Karena  kalau  ketentaraman  politik  di  tiap
negeri sudah kokoh, dapatlah usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu,
hiduplah demokrasi ang sesungguhnya.
Indonesia belum pernah mengenal "demokrasi". Dan arena borjuasi bumiputra yang kuat
tak ada, buat sementara waktu, Indonesia tidak akan berkenalan dengan demokrasi itu.
Semua daya upaya untuk memperolehya tidak  akan berhasil, dan boleh dikatakan bahwa
semua cita-cita seperti itu — diktator — demokrasi borjuis - adalah tidak mungkin. Hanya
kelas  buruh  Indonesia  aja  yang  dapat  memegang  diktator  (bila  ia  tetap  insaf  dan
bekerja). Ia menguasai kehidupan ekonomi.
Dan  di  waktu  sekarang,  buruh  merupakan  salah  satu  kelas  yang  mempunyai  organisasi
yang  terkuat  di  Indonesia.  Kita  tak  usah  menyesal  bila  kita  langkahi  zaman  ―demokrasi
tipuan‖ itu!
Kekokohan  politik  Republik  Indonesia  dapat  dipertahankan  oleh  diktator  buruh  yang
kekuasaan  semangatnya  terkandung  dalam  satu  partai  revolusioner  yang  "kuat".  Lama kelamaan kekuasaan politik dapat diperluas kepada tiap-tiap buruh Indonesia.
2. Dewan "Rakyat" Kita!
Perbuatan  birokrasi  yang  buruk  dan  kemunafikan  besar!  Sungguh  hanya  pa da  bangsa
Filistin dahulukah kita dapati kekerasan dan kecurangan seperti sekarang ini?
Di  manakah  rakyat  yang  berdiri  di  belakang  Dewan  Rakyat  itu?  Dan  apakah  yang  sudah
diperbuat  Dewan  Rakyat  yang  mahal  itu  untuk  rakyat?  Di  antara  48  orang  anggota,  20
orang  adalah  bangsa  Indonesia  dan  28  orang  asing  yang  mewakili  kapital  asing.  Dengan
keadaan demikian sia-sialah semua ikhtiar anggota akan mendapat kemenangan suara.
Andaipun  dewan  itu  adalah  dewan  yang  sesungguhnya,  sebenarnyalah  dewan  itu  tak
dapat  berbuat  sesuatupun  sebab  semua  nasihatnya  boleh  dibuang  ke  dalam  keranjang
sampah  oleh  orang  yang  berkuasa  (Dewan  Rakyat  bukanlah  badan  pembuat  undang undang, melainkan badan penasihat).
Jumlah  anggota  bangsa  Indonesia  terlalu  kecil  dan,  oleh  sebab  itu,  mereka  t ak  dapat
menyatakan  kehendak  rakyat.  Jika  kita  ingat  negara Belanda  yang  jumlah  penduduknya
7,000,000  mempunyai  100  orang  anggota  Tweede  Kamer  (anggota  Eeste  Kamer  tidak
masuk),  niscaya  Indonesia  yang  jumlah  penduduknya  55,000,000  sepatutnya  secara
parlemen mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota.
Di antara 20 orang anggota Indonesia yang ada di dalam dewan itu tak seorangpun yang
betul-betul  wakil  rakyat  atau  dipilih  rakyat,  apalagi  untuk  rakyat.  Delapan  orang
diangkat  oleh  Gubernur  Jenderal  dan  kebanyakan  dari  mereka  ini  pemburu  pangkat,
seperti  wakil  Sumatera,  Demang  Loetan,  dan  dari  Jawa,  Dawidjosewojo.  Atau  mereka
itu seperti anak bengal politik seperti contoh yang sebaik -baiknya, ditunjukkan oleh yang
dipertuan  Tuan  Soetadi.  Anggota  lain-lainnya  dipilih  oleh  rapat-rapat  gementee  (PEB),
bukti ini cukup terang! Tak ada faedahnya dalam buku ini kita tuliskan semua kebusukan
birokrasi  Belanda.  Pun  tak  ada  faedahnya  bagi  kita,  kaum  revolusioner,  mengeritik
dengan sungguh-sungguh semua usul-usul yang diperbincangkan atau yang telah diterima
oleh dewan itu. Jika kita tak mau diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan janji yang
manis-manis  dari  pemerintah  ini,  dapatlah  kita  menyimpulkan  semua  politik  kolonial
Belanda sebagai berikut.
1. Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu tak mempunyai hak bersuara tentang politik.
2.  Kapitalis  besar  memerintah  dengan  perantaraan  kaum  birokrat  yang  tak  punya  hati
dan militeris yang picik.
3. Dewan Rakyat itu "seekor lintah" yang melekat di punggung rakyat Indonesia.
3. Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat.
Adakah  harapan  bagi  Indonesia  kelak  akan  memperoleh  semacam  Badan  Perwakilan
Rakyat?  Jawab  yang  pasti:  "tidak".  Mendirikan  Badan  Perwakilan  Rakyat  selama
pertentangan  sosial  dan  kebangsaan  seperti  sekarang,  berarti  matinya  imperialisme
Belanda atau" hancur" mesin politiknya.
Hal ini harus diketahui oleh tiap-tiap bangsa Indonesia!
Ini  bukan  soal  "matang"  atau  "mentahnya"  bangsa  Indonesia  melainkan,  seperti  yang
sudah  berulang-ulang  kita  uraikan  di  bagian  lain  dalam  buku  ini,  disebabkan  oleh
ketiadaan  borjuasi  bumiputra  modern,  yang  kepentingan  ekonominya  sedikit  banyak
sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.
Kalau  di  masa  sekarang  wakil-wakil  dari  seluruh  atau  sebagian  rakyat  Indonesia  dipilih
oleh  orang  Indonesia  dengan  pemilihan  yang  sebebas-bebasnya  niscaya  dengan  segera
akan  menghadapi  masalah  kelas.  Jika  mereka  tak  suka  menipu  si  pemilih,  wakil-wakil
mereka  seharusnya  mengangkut  masalah  perbaikan  ekonomi,  sosial  dan  politik  untuk
melawan  kapital  besar.  Hal  ini  bukanlah  perbaikan  kecil-kecilan  yang  dijalankan
perlahan-lahan  oleh  kaum  birokrat,  melainkan  perubahan  radikal  yang  dikerjakan
dengan cepat dan praktis di bawah pimpinan dan pengawasan wakil-wakil rakyat.
Sebagai  misal  pencuri-pencuri  seperti  pada  Perusahaan  Beras  di  Selat  Jaran  dan
perusahaan  pemerintah  yang  lain  semestinya  tidak  dihukum  dengan  pemecatan  yang
"tidak  terhormat"  seperti  yang  biasanya  dilakukan  pada  pencuri  kecil -kecil.  Tuan-tuan
yang  berbuat  begitu  yang  digaji  oleh  rakyat  tapi  merusakkan  perusahaan  rakyat,
semuanya harus digantung "dengan hormat".
Jika  kelak  wakil-wakil  rakyat  dapat  mengadakan  islah  yang  nyata,  rakyat  akan  merasa,
bahwa  material  dan  moral  mereka  sungguh  bertambah  maju,  dan  soal  "bendera"
(terjajah  atau  terlepas  dari  Belanda)  akan  dilupakan  sementara  waktu.  Bukan  karena
soal  itu  tidak  penting  melainkan  karena  kesukaran  yang  besar -besar  dapat  disingkirkan
dan cita-cita politik sebagian besarnya dapat diwujudkan.
Kita tidak akan memperbincangkan hal bentuk pemerintahan yang akan diadakan seperti
yang  digambarkan  di  atas.  Soal  itu  adalah  soal  angan-angan  dan  susunan  pemerintahan
negeri yang disandarkan kepada "pertimbangan teoretis" belaka.
Pati  soal  itu,  apakah  imperialisme  Belanda  akan  sanggup  kelak  mengadakan  islah -islah
yang  nyata?  Jika  sekali  lagi  kita  ingat  jurang  pertentangan  Belanda-kapitalis  dengan
buruh  Indonesia,  ketiadaan  borjuasi  bumiputra,  kelemahan  dalam  hal  keuangan  dan
kepicikan  politik  imperialis  Belanda,  pertanyaan  itu  tanpa  menanggung  risiko  besar
dapat kita jawab dengan "mustahil!"
Kesimpulannya,  segala  kerewelan  tentang  perubahan  pemerintahan  negeri  di  Indonesia
yang  sekarang  sedang  ramai  diperbincangkan  oleh  orang-orang  pintar  dan  birokrasi
Belanda  itu  membuang-buang  waktu  percuma.  Jika  rakyat  Indonesia  satu  waktu
memperoleh  Badan  Perwakilan  Rakyat,  niscaya  ini  bukan  "karunia  dari  atas"  melainkan
disebabkan "desakan kuat" dari bawah.
VIII
REVOLUSI DI INDONESIA
1. Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi
Masalah  politik,  ekonomi  dan  sosial  yang  mungkin  menimbulkan  revolusi  di  Indonesia
rasanya  tak  perlu  kita  kupas  lagi,  karena  sudah  beberapa  kali  kita  terangkan  di  atas.
Cukuplah dikemukakan kesimpulan yang di bawah ini.
1.  Kekayaan  dan  kekuasaan  sudah  tertumpuk  ke  dalam  genggaman  beberapa  orang
kapitalis.
2.  Rakyat  Indonesia  semuanya  makin  lama  semakin  miskin,  melarat,  tertindas  dan
terkungkung.
3. Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama semakin tajam.
4. Pemerintah Belanda makin lama semakin reaksioner.
5.  Bangsa  Indonesia  dari  hari  ke  hari  semakin  bertambah  kerevolusionerannya  dan  tak
"mengenal damai".
Karena  dugaan  bahwa  imperialis  Belanda  dengan  tiba-tiba  menjadi  cerdas,  cerdik  dan
sanggup mengadakan islah-islah yang merugikan kapitalis besar dapat dipandang sebagai
khayal dalam "Cerita Seribu Satu Malam" maka proses revolusi yang berlangsung sekarang
tidak  akan  tertahan.  Sebaliknya,  perjalanan  makin  lama  semakin  pesat  dan  tiap -tiap
waktu pecahnya revolusi boleh diharapkan.
Apalagi  sebagian  dari  revolusi  itu  sudah  terbukti.  Beberapa  pemberontakan  yang  pecah
dengan  sendirinya  di  Jawa  dan  Sumatera  selama  300  tahun  dalam  "keberkahan"
imperialisme  Belanda  adalah  akibat  perbenturan  kelas  dan  kebangsaan  yang  pada
mulanya  berupa  pemberontakan  agama.  Juga  kekacauan  politik  semenjak  15  tahun,  ini
berupa  berbagai  hasutan  dan  aksi  dan  yang  lebih  jelas  berupa  niatan  dan  perbuatan
anarkis di Jawa dan pembunuhan atas pegawai-pegawai Pamong Praja di Sumatera Barat
yang  melunturkan  kepercayaan  terhadap  kekebalan  imperialisme  Belanda,  semuanya
tergolong akibat perbenturan kelas dan kebangsaan.
Akan  tetapi,  perbenturan  besar  antara  kelas  dan  kebangsaan  yang  dahsyat,  pecah
semata-mata  karena  pertentangan  itu  sendiri  dan  bersifat  modern,  yaitu  berupa
"revolusi", belum terjadi di Indonesia!
Kelak ia pasti melanda seluruh kepulauan ini dan meletus-letus dengan sendirinya.
2. Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
Bagaimana  rupa  revolusi  itu?  Apakah  sifat-sifatnya  yang  ditunjukkan  bila  ia  meletus
besok  atau  lusa?  Inilah  yang  harus  kita,  sebagai  revolusioner,  tanyakan  kepada  diri
sendiri  dan  menjawabnya  sekali,  jika  kita  mau  menjauhi  politik  "terombang-ambing"
seperti  Douwes  Dekker  dan  Tjokroaminoto.  Menurut  jawaban  atas  pertanyaan  itu,  kita
tempa alat-alat revolusi, yaitu program organisasi dan taktik kita.
Pengupasan  yang  cocok  betul  atas  masyarakat  Indonesia  merupakan  syarat  terutama
untuk  mendapat  perkakas  revolusi.  Hal  itu  pulalah  yang  menjadi  syarat  pertama  yang
mendatangkan kemenangan revolusi kita.
Jika  pengupasan  itu  tidak  sempurna  atau  kita  keliru  dengan  ramalan  dan  kesimpulan
kita, kemenangan itu tidak akan pasti atau sebentar saja. Kita tak mempunyai horoskop
yang  dapat  melihat  peristiwa  yang  bakal  terjadi  layaknya  ahli  nujum  meramalkan
kehidupan  seseorang  di  kemudian  hari.  Akan  tetapi,  dengan  Marx  dan  Lenin  sebagai
penunjuk jalan dapatlah kita tentukan sedikit garis-garis besar dari revolusi di Indonesia
(melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu ini).
Tentulah revolusi itu akan berbeda dengan "Pemberontakan Maroko". Hal ini benar sekali
sebab  Indonesia  tenaga  produksinya  lebih  tinggi  (industri,  pertanian,  pengangkutan  dan
keuangan  yang  besar  kuat)  daripada  negeri  tani  kecil  dan  gembala  domba  seperti
Maroko.  Juga  Indonesia,  terutama  Jawa,  tidak  berpegunungan  yang  dapat  didiami  dan
gurun  pasir  luas  tempat  kaum  revolusioner  menyembunyikan  diri  bertahun -tahun  untuk
kemudian setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.
Dan  lagi,  ia  tak  akan  berupa  revolusi  proletar  sejati  seperti  di  Jerman,  Inggris  dan
Amerika  (yang  penduduknya  sebagian  besar  terdiri  dari  kaum  buruh)  karena  kapital
Indonesia  masih  terlalu  muda,  belum  subur  dan  masih  lemah.  Oleh  karena  itu,  kaum
buruh  kita  kalau  dibandingkan  dengan  kaum  buruh  di  negeri  Barat,  jauh  ketinggalan,
baik  kuantitas  maupun  kualitasnya.  Tambahan  pula,  keadaan  kaum  yang  bukan  buruh
yang  juga  akan  turut  mengadakan  revolusi  masih  ada  di  dalam  zaman  revolusi  borjuasi
dan revolusi nasional.
Revolusi  kita  juga  tidak  akan  menyamai  revolusi  borjuasi  seperti  di  Prancis  tahun  1789
karena  borjuasi  kita  masih  terlampau  lemah  dan  feodalisme  sebagian  besar  sudah
dimusnahkan  oleh  imperialisme  Belanda.  Juga  ia  tidak  akan  menyamai  Revolusi  Prancis
tahun  1870  karena  kita  agaknya  mempunyai  tenaga-tenaga  produksi  lebih  cerdas,
tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan.
Akan berlainan pula ia dengan Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah
dan  borjuasinya  muda  yang  oleh  perang  bertahun-tahun  menjadi  sangat  mundur,
sedangkan kaum buruhnya muda, gembira dan dididik menurut aturan Lenin. Kita harus
berjuang  melawan  imperialisme  Barat  meskipun  kecil,  ia  tak  boleh  diabaikan  sebab  ia
mempunyai  tipu  kelicinan  dan  suka  menjadi  "pelayan"  imperialisme  Inggris  yang  besar
itu.
Ia  akhirnya  tidak  akan  menjadi  revolusi  politik  semata -mata  seperti  yang  biasa  akan
terjadi  di  India,  Mesir  dan  Filipina,  yaitu  borjuasi  bumiputra  merebut  kekuasaan  politik
saja  (kekuasaan  parlemen)  karena  kapitalis  nasionalnya  kuat  dan  kaum  intelektualnya
sudah lebih banyak daripada di Indonesia.
Revolusi  Indonesia  sebagian  kecil  menentang  sisa-sisa  feodalisme  dan  sebagian  yang
terbesar  menentang  imperialisme  Barat  yang  lalim.  Ia  juga  didorong  oleh  kebencian
bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.
Pati  revolusi  (sekurang-kurangnya  di  Jawa)  harus  dibentuk  oleh  kaum  buruh  industri
modern,  perusahaan  dan  pertanian  (buruh  mesin  dan  tani).  Benteng-benteng  politik,
terutama  ekonomi  imperialisme  Belanda,  hanya  dapat  dipukul  oleh  kaum  buruh.  Di
sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju tak  pungguh hala
(Kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan memperoleh kemenangan; itu pun di
belakang sekali. Pun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu "tidak" dan jangan
diharap).
Revolusi  Indonesia  yang  memperoleh  kemenangan  akan  mendatangkan  perubahan  yang
tepat  dalam  perekonomian,  politik  dan  sosial  pada  waktu  kecerdasan  kapitalistis
menghadapi  krisis.  Bila  kaum  buruh  kita  tetap  giat,  dapatlah  mereka  memegang  peran
yang terpenting.
IX
PERKAKAS REVOLUSI KITA
Dengan  pelbagai  ragam  suara,  dalam  keadaan  yang  berbeda-beda  dan  oleh  berbagai
golongan  rakyat,  tujuan  politik  kita  sudah  dinyatakan  yaitu  kemerdekaan  nasional.
Tentang tujuan akhir ini, orang di seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang
jalan  yang  akan  ditempuh  serta  alat-alat  yang  akan  dipakai,  berlain-lainan  pendapat
orang.
Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan
kemauan  alam  menyebabkan  bangsa  Indonesia  berubah  cepat  cara  berpikirnya.  Tetapi,
perubahan  cara  berpikir  ini  biasanya  tertinggal  dari  perubahan  ekonomi.  Umumnya
bangsa  kita  secara  lahiriah  tampak  modern  sesuai  dengan  zaman  kapitalis  tetapi  cara
berpikirnya  masih  kuno,  masih  tinggal  di  zaman  dahulu,  seperti  masih  menganut
Mahabarata,  Islam,  dan  berbagai  macam  takhayul  dan  kepercayaan  kepada  hantu,  jin,
kesaktian  gaib,  batu  keramat  dan  lain-lain.  Mereka  masih  terus  seperti  anak-anak  dan
berpikiran fantastis.
Kekalahan  dalam  persaingan  ekonomi  dengan  kapital  Barat  yang  lebih  kuat  itu
menyebabkan  terbitnya  pikiran  tidak  betul  dan  anarkistis  (melanggar  peraturan)  tidak
melihat  sesuatu  dalam  sifatnya  yang  sebenarnya.  Ini  terjadi  terutama  di  kalangan
penduduk dusun-dusun kecil yang baru dikalahkan dan digencet dan sebagian dari kaum
buruh  industri  dan  pertanian  yang  masih  muda  yakni  mereka  yang  baru  dirampas
miliknya.
Sebagaimana  perbedaan  tingkat  dalam  industrialisasi  demikian  pulalah  perbedaan
pikiran  penduduk  di  berbagai  daerah  di  Indonesia.  Kita  tunjukkan  saja  perbedaan
kemajuan  pikiran  antara  penduduk  Jawa  dan  saudara-saudara  kita  di  Halmahera,  atau
antara saudara-saudara yang ada di Surabaya dan Semarang yang telah sadar itu dengan
penduduk  desa  yang  tidak  berindustri.  Di  mana  kapitalisme  tumbuh,  serta  beruratberakar,  di  sana  mulai  hiduplah  rasionalisme  dan  pikiran  yang  sehat  serta  lenyaplah
dengan perlahan-lahan kepercayaan kepada segala takhayul. Jadi, psikologi dan ideologi
jiwa  dan  akal  rakyat  bangsa  Indonesia  sejalan  dengan  kecerdasan  kapitalisme  yang
senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang baru menjadi cerdas.
Sukar  sekali  membawa  sekalian  perbedaan  pikiran  yang  sedang  dalam  transformasi  itu
kepada  satu  cita-cita  yang  sama  membangun  dan  tak  berubah.  Karena  itu  pekerjaan
yang  berat  sekali  bagi  kaum  revolusioner  akan  membawa  seluruh  rakyat  Indonesia
kepada  garis-garis  yang  sesuai  dan  selaras  dengan  aksi-aksi  marxistis.  Ia  mudah
tergelincir menjadi tindakan cari untung, anarki, dan mempercayai jimat -jimat.
Sampai  waktu  ini  belum  ada  satu  partai  yang  pandai  menarik  satu  garis  yang  cocok
dengan  keadaan-keadaan  yang  ada di Indonesia dan  memimpin rakyat  kita  di  sepanjang
garis  itu.  Beberapa  partai  berturut-turut  tersesat  di  jalan  yang  tidak  membawa  ke
tujuan.
Mempercayai  jalan  parlementer  yang  tenteram,  yakni  meretas  jalan  kemerdekaan
Indonesia  dengan  cara  berebut  kursi  dalam  Dewan  Rakyat  dan  meminta-minta  supaya
diberikan kekuasaan politik, kita namai "percobaan untung-untungan" yang menyesatkan.
Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan
yang  mempunyai  borjuasi  bumiputra.  Kerja  bersama  yang  jujur  dengan  golongan
penjajah  Belanda  di  luar  atau  di  dalam  Dewan  Rakyat  adalah  pengkhianatan  terhadap
rakyat Indonesia.
Tidak dimaksudkan bahwa kita selamanya membelakangi Dewan Rakyat. Sebaliknya, bila
besok atau lusa kita mendapat kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk
menduduki Dewan Rakyat, kewajiban kitalah memasukinya. Sungguh kita berbuat keliru
dan  penakut  bila  tidak  bertindak  begitu.  Tetapi,  belum  semenit  juga  kita  bermaksud
bekerja  bersama  di  dalam  Dewan  Rakyat  dengan  perampok  gula,  pencuri  minyak  dan
penyamun  getah,  kita  terpaksa  memasukinya,  menentang,  melakukan  aksi  oposisi
dengan  penuh  keberanian,  dan  memecahkan  topeng  mereka.  Kita  pergunakan  Dewan
Rakyat  sebagai  "Pengadilan  Rakyat"  dan  kita  rintangi  tindakan  pemerintah  dari  dalam.
Dengan  berbuat  demikian,  dapatlah  kita  sekadarnya  mendidik  rakyat  yang  tak  boleh
menulis dan bicara politik di luar Dewan Rakyat itu.
Mempergunakan  cara  yang  sangat  bertentangan  dengan  yang  tersebut  di  atas,  kita
anggap suatu kebodohan pula karena lebih banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti
yang  dipikir-pikirkan  oleh  kebanyakan  bangsa  kita.  Selama  seorang  percaya  bahwa
kemerdekaan  akan  tercapai  dengan  jalan  "putch"  atau  anarkisme,  hal  itu  hanyalah
impian  seorang  yang  lagi  demam.  Dan  pengembangan  keyakinan  itu  di  antara  rakyat
merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.
"Putch"  itu  adalah  satu  aksi  segerombolan  kecil  yang  bergerak  diam -diam  dan  tak
berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan
menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan
massa.  Ia  sekonyong-konyong  keluar  dari  guanya  tanpa  memperhitungkan  lebih  dulu
apakah  saat  untuk  aksi  massa  sudah  matang  atau  belum.  Dia  menyan gka  bahwa  semua
lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu bahwa
massa  hanya  dengar  berturut-turut  dapat  ditarik  ke  aksi  politik  yang  keras  (secara
modern!)  dan  pada  waktu  sengsara  serta  penuh  reaksi  yang  membabi  buta.  "Tukangtukang  putch"  lupa  bahwa  pada  saat  revolusi  ini  kapan  aksi  massa  berubah  menjadi
pemberontakan  bersenjata  tak  dapat  ditentukan  berbulan-bulan  lebih  dulu,
sebagaimana  yang  dapat  dilakukan  oleh  seorang  "tukang-tenung".  ―Revolusi  timbul
dengan  sendirinya  sebagai  hasil  dari  berbagai  macam  keadaan".  Bila  tukang -tukang
"putch" pada waktu yang telah ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba -tiba (seperti
Herr  Kapp  tukang  "putch"  yang  termasyhur  itu),  massa  tidak  akan  memberikan
pertolongan  kepada  mereka.  Bukan  karena  massa  bodoh  atau  tidak  memperhatikan,
melainkan  karena  "massa  hanya  berjuang"  untuk  kebutuhan  yang  terdekat  dan  sesuai
dengan kepentingan ekonomi.
Tiada satu kemenangan politik pun, hingga sekarang, yang diperoleh massa (bukan oleh
segerombolan  militer!)  jika  tidak  dengan  aksi  ekonomi  atau  politik!  Kerapkali  pada
awalnya  orang  melalui  jalan  yang  sah.  Akan  tetapi,  karena  tukang-tukang  putch  keluar
dari jalan yang sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan senjata penggempur pemerintah
maka  99  dari  100  kejadian,  mereka  ditinggalkan  oleh  massa  sebab  mereka  dari  mula
sudah  memencilkan  diri  dari  massa.  Demikian  juga,  99  dari  100  kejadian,  "komplot"
putch  dapat  diketahui  musuh.  Rancangan  putch  selamanya  bocor  karena  setengah
anggotanya  tidak  sabar  dan  mereka  ceramah  atau  karena  pengkhianatan  anggota  yang
ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium mata-mata yang mondar-mandir di manamana.
Membuat  putch  di  negeri,  seperti  Indonesia  (terutama  di  Jawa),  di  tempat  kapital
dipusatkan  dengan  rapinya  dan  dilindungi  oleh  militer  dan  mata-mata  ala  Barat  yang
modern –  sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan dongeng –
samalah  artinya  dengan  "bermain  api":  tangan  sendiri  yang  akan  hangus.  Kaum  anarkis
yang  biasanya  berkata  bahwa  kekuasaan  Barat  yang  kokoh  ini  dapat  dirobohkan  dengan
beberapa butir telur "yang meletup" tidak lebih cerdik daripada seorang yang menembak
batu dengan kepalanya.
Hanya  "satu  aksi  massa",  yakni  satu  aksi  massa  yang  terencana  yang  akan  memperoleh
kemenangan, di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia!
Aksi-Massa  tidak  mengenal  fantasi  kosong  seorang  tukang  putch  atau  seorang  anarkis
atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk
memenuhi  kehendak ekonomi  dan  politik mereka.  Ia  disebabkan  oleh  kemelaratan  yang
besar  (krisis  ekonomi  dan  politik)  dan  siap,  bilamana  mungkin,  berubah  menjadi
kekerasan.  Sebuah  partai  yang  berdasarkan  aksi  massa  yang  tersusun  pasti  mampu
membawa aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan aman.
Sebagian  dari  aksi  massa  menunjukkan  dirinya  dengan  "pemogokan  atau  pemboikotan".
Bila  buruh  yang  berjuta-juta  meletakkan  pekerjaannya  dengan  maksud  tertentu
(menuntut  keuntungan  ekonomi  dan  politik)  niscaya  kerugian  dan  kekalutan  ekonomi
akibat aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras itu.
Menurut kekuatan dan kemenangan kita pada waktu itu, dapatlah kita memperoleh hakhak politik dan ekonomi. Di India pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di
satu pihak ia sangat merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan perdagangan
bumiputra.  Di  Indonesia  ketiadaan  kapital  besar  bumiputra  yang  penting  itu
memberatkan pemboikotan terhadap perdagangan asing.
Bukan  saja  kekuasaan  besar  itu  disebabkan  oleh  ikhtiar  mengumpulkan  kapital  yang
diperlukan,  tapi  juga  meneruskan  pemboikotan  itu.  Kita  mudah  memperkirakan  bahwa
pemboikotan nasional Indonesia yang hebat dan keras sangat dibenci dan dimusuhi oleh
imperialis Belanda yang buas, seperti dia membenci pemogokan umum.
Akan tetapi, pemboikotan di Indonesia bukanlah pekerjaan mustahil. Di Pulau Jawa dan
di  luarnya  bukankah  banyak  kapital  bumiputra  kecil-kecil  yang  kalau  dikumpulkan  ke
dalam  koperasi  nasional  dapat  melahirkan  kapital  yang  sangat  besar.  Tapi  ikhtiar  yang
serupa  itu  terlalu  banyak  meminta  kesadaran,  keaktifan  dari  seluruh  lapisan  penduduk
Indonesia.
Pemboikotan  pajak  yang  dianggap  menjadi  aksi  itu  di  India  tidak  pernah  dilakukan
karena  kekuatiran  borjuasi  terhadap  akibat  revolusioner.  Di  Indonesia  pemboikotan
pajak adalah sebuah senjata ekonomi politik yang sangat sakti.
Tetapi,  perbuatan  seperti  itu  berarti  "melanggar  undang-undang"  dan  hanya  terjadi
dalam  keadaan-keadaan  revolusioner  di  bawah  pimpinan  satu  partai  revolusioner  yang
kuat betul.
Bagian politik dari aksi massa menunjukkan diri dengan demonstrasi dan di India dengan
keengganan  kerja  bersama  mengandung  maksud  politik  dan  ekonomi,  menagih
pemerintahan  sendiri  (home  rule)  dari  imperialisme  Inggris.  Bagian  politiknya  berupa
tindakan meninggalkan hal-hal sebagai berikut:
1. badan-badan pemerintahan;
2. pengadilan pemerintahan;
3. sekolah-sekolah pemerintahan; dan
4. polisi dan tentara.
Tindakan yang keempat, karena takut kepada pemberontakan, tidak pernah dijalankan.
Yang  pertama  sampai  yang  ketiga  tidak  cukup  lama  dilakukan  dan  tak  cukup  memberi
hasil.  Apakah  di  Indonesia  dapat  lebih  lama  dijalankan  dan  lebih  berhasil  daripada  di
India? Pertanyaan ini akan kita jawab kelak dalam satu pembicaraan yang khusus.
Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan
di  gedung  rapat,  dengan  maksud  mengajukan  protes  dan  memperkuat  tuntutan  politik
dan  ekonomi  dan  menunjukkan  kepada  musuh  berapa  besarnya  kekuatan  kita.  "Bila
semboyan dan tuntutan" sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politi k dapat jadi
gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan bentengbenteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.
Di  negeri  yang  berindustri  seperti  Indonesia,  "aksi-massa",  yakni  boikot,  mogok  dan
demonstrasi,  boleh  dipergunakan  lebih  sempurna  sebagai  senjata  yang  lebih  tajam  (di
India  tidak  terjadi  sebab  bumiputra  yang  berkapital  takut  pada  pemogokan  umum  dan
kekuasaan  politik  dari  kaum  buruh,  ketakutan  yang  tak  berbeda  dengan  borjuasi
Inggris!).
Bila sebuah partai revolusioner berhasil mengerahkan kaum buruh yang berjuta-juta agar
meninggalkan  pekerjaannya  dan  yang  bukan  buruh  agar  tak  mau  bekerja  sama  serta
seluruh rakyat berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa melempar
sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat politik moral dari aksi itu
sangat  besar  artinya.  Ia  akan  mendatangkan  keuntungan  dalam  perjuangan  politik  dan
ekonomi  lebih  besar  daripada  seratus  Pemberontakan  Jambi  atau  huru-hara,
pembunuhan  yang  aneh-aneh  dan  dikerjakan  oleh  anggota-anggota  "bagian  B"  dan
tukang-tukang  putch  yang gagah. Kita tidak boleh melupakan bahwa aksi yang akan kita
lakukan  itu  sekarang  dilarang  oleh  undang-undang  tetapi,  tidak  ada  alasan  bagi  kita
untuk meninggalkan jalan satu-satunya itu.
Tambahan  pula,  menjadi  pertanyaan  besar,  apakah  pemerintah  dapat  mempertahankan
larangan  itu,  sekurang-kurangnya  jika  tidak  lekas  patah  arang  oleh  kekalahan  kecil
seperti yang sudah-sudah. Hak-hak manusia yang asli seperti mogok (menolak penjualan
tenaga  sendiri),  boikot  (menolak  kerja  bersama,  membeli  atau  menjual  barang-barang)
dan  hak  berdemonstrasi  (mengumumkan  cita-cita)  akan  lenyap  selama-lamanya  dari
bangsa  Indonesia  kalau  di  belakang  tiap-tiap  orang  Indonesia  berdiri  seorang  serdadu
imperialis yang bersenjata.
Kelebihan  aksi  massa  daripada  putch,  ialah  bahwa  dengan  aksi  massa  perjuangan  kita
dapat dijaga, sedangkan dengan putch, kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam
aksi massa, pemimpin boleh berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu
ini.  Ia  selamanya  dapat  menentukan  berapa  jauh  ia  boleh  mengadakan  tuntutan  politik
dan  ekonomi  tanpa  tidak  menanggung  kerugian  besar  (pengorbanan  mesti  ada  dalam
tiap-tiap  aksi  massa).  Dan  ia  tidak  kehilangan  hubungan  dengan  massa.  Demikian  pun,
hubungan  antara  massa  itu  sendiri  tidak  putus.  Dengan  serangan  sekonyong-konyong,
yaitu  tindakan  keras  tukang-tukang  putch  yang  disengaja  terhadap  musuh,  mereka  dari
awalnya  gampang  diserang  musuh.  Pemimpin  aksi  massa  dengan  memegang  "peta
perjuangan"  di  tangannya  dapat  mempermainkan  musuh  dengan  jalan  maju  selangkahselangkah dan kemudian sekali menggempur habis-habisan.
Aksi massa membutuhkan pemimpin yang revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan cepat
menghitung  kejadian  yang  akan  datang,  waspada  politik.  Ia  harus  juga  bekerja  dengan
kekuatan  nasional  yang  sudah  ada  dan  tidak  mengharapkan  kekuatan  yang  sekadar
lamunan. Selanjutnya, ia harus mengetahui tabiat massa yang dipimpinnya (mengetahui
waktu  dan  cara  bagaimana  reaksi  rakyat  terhadap  kejadian-kejadian  politik  dan
ekonomi).
Ia  harus  pandai  pula  bersemboyan  yang  menyemangatkan  rakyat  sehingga  mengubah
"kemauan  massa"  menjadi  "tindakan  massa".  Selain  itu,  kedudukan  politik  dan  ekonomi
mesti diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai mempergunakannya tanpa raguragu. Disebabkan kelas yang berkuasa (pemerintah) mempunyai laskar yang lengkap dan
senantiasa  siap  siaga  maka  kecakapan  dan  ketangkasan  pemimpin  gerakan  modern  aksi
massa  mesti  mempunyai  pengetahuan  yang  praktis  tentang  politik  dan  ekonomi  dari
negeri  serta  psikologi  rakyat  dan  kemudian  pandai  memperhitungkan  kejadian  kejadian
politik  yang  akan  terjadi.  Terlebih  lagi,  pemimpin  itu  harus  dapat  mempergunakan
"waktu"  dengan  cepat  dan  benar,  juga  mempergunakan  sekalian  pertentangan  di  dalam
masyarakat kapitalistis (juga di dalam laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.
Jadi,  kalau  "tenaga  bodoh"  (seperti  di  zaman  feodal)  dapat  mengadakan  putch,  seorang
pemimpin  pergerakan  massa  yang  modern  haruslah  seorang  manusia  cerdas  dan
bijaksana.
1. Partai dan Sifat-Sifatnya
Apakah yang dinamakan partai? Jika kita mau mengumpulkan dan memusatkan kekuatankekuatan revolusioner di Indonesia dengan jalan aksi massa yang terencana buat meretas
jalan  kemerdekaan  nasional,  tentulah  kita  mesti  mempunyai  satu  partai  ya ng
revolusioner. Adapun, hingga kini Indonesia belum mempunyai partai revolusioner, yang
ada  hanya  perhimpunan-perhimpunan  dari  orang-orang  yang  "berlain-lainan"  pandangan
dan tindakan politiknya. Satu partai revolusioner ialah gabungan orang-orang yang sama
pandangan  dan  tindakannya  dalam  revolusi.  Dan  sebaik-baiknya  perbuatan  revolusioner
adalah tiap-tiap anggota bersama, satu dengan lainnya, dipusatkan.
Untuk  menghilangkan  suatu  perasaan  yang  kurang  baik  dari  tiap-tiap  anggota  partai,
mestilah  tiap-tiap  orang  diberi  hak  bersuara,  mengemukakan  dan  mempertahankan
keyakinannya  dengan  seluas-luasnya.  Dan  sesuatu  keputusan  partai  mestilah  dianggap
sebagai  hasil  permusyawarahan  dan  pertimbangan  bersama-sama  yang  matang  dari
seluruh  anggota.  Tiap-tiap  permusyawarahan  hendaknya  dijalankan  dengan  secara
demokratis  yang  sesungguhnya.  Tiap-tiap  tanda  yang  berbau  birokrasi  dan  aristokrasi
mesti  dicabut  hingga  ke  akar-akarnya.  Tetapi,  birokrasi  dan  otokratisme  dalam  partai
tak  dapat  dihapuskan  dengan  "maki-makian"  atau  dengan  menggebrak  meja  tetapi
dengan  membiasakan  bertukar  pikiran  secara  merdeka  dan  kerja  sama  dari  semua
anggota.  Tiap-tiap  keputusan  partai  mesti  diambil  menurut  suara  yang  terbanyak.  Jika
satu keputusan sudah diterima oleh suara yang terbanyak, mestil ah suara yang terkecil,
meskipun  bertentangan  dengan  keyakinannya,  "  tunduk"  kepada  putusan  dan  dengan
jujur  menjalankan  keputusan  itu.  Jika  tidak  begitu,  niscaya  tak  akan  pernah  sebuah
partai  mencapai  tenaga  yang  revolusioner.  Keputusan  yang  "setengah  betul"  tetapi
dengan  gembira  dikerjakan  oleh  seluruh  barisan  lebih  baik  daripada  keputusan  yang  "
bagus sekali" tetapi dikhianati oleh setengah anggota.
Partai  mesti  mempunyai  "peraturan  besi".  Selanjutnya,  barulah  ia  mampu  memusatkan
tindakan  partai.  Partai  mesti  mempunyai  alat-alat  revolusioner  untuk  memeriksa  dan
memperbaiki  segenap  perbuatan  anggota.  Belumlah  mencukupi  bila  seorang  "mengakui
setuju"  dengan  suatu  keputusan  atau  peraturan  partai.  Ia  mesti  membuktikan  dengan
perbuatan bahwa ia menjalankan keputusan itu dengan betul dan setia terhadap partai.
Perbuatan itu biasanya adalah, misalnya, mencari kawan dalam surat-surat kabar partai,
kursus,  serikat  sekerja  dan  mengerjakan  administrasi  dan  organisasi  partai.  Jika  ia  tak
memenuhi hal-hal tersebut atau  "terbukti", bahwa ia tidak setia kepada partai, mestilah
dijalankan pendisiplinan. Lebih baik ia keluar dari partai daripada ia merusak partai atau
memberikan  teladan  busuk  sebagai  seorang  revolusioner  pemalas  kepada  anggotaanggota yang lain.
2. Program Nasional Kita
Tujuan  politik,  ekonomi  dan  sosial  yang  revolusioner  dari  satu  partai  untuk  negeri
tertentu  dan  jalan  yang  akan  dituntut  bersama,  diterangkan  dengan  "program  nasional"
yang  revolusioner.  Program  itu  ialah  penunjuk  jalan  bagi  partai  dan  harus  diakui,
dipahamkan,  dipertahankan  dan  dikembangkan  oleh  tiap-tiap  anggota.  Perihal  program
nasional  kita  dan  sifat-sifatnya  yang  umum  sudah  cukup  jelas  saya  uraikan  di  dalam
brosur  Naar de republik Indonesia  dan Semangat Muda  (yang masing-masing dikeluarkan
bulan  April  1925  dan  Januari  1926).  Di  sini  masalah  itu  tidak  akan  diuraikan  lagi  dan
silakan  pembaca  membaca  buku-buku  kecil  tersebut.  Tetapi,  demi  memudahkan
pembaca,  saya  lampirkan  juga  program  nasional  itu  (tidak  dengan  keterangan)  di
belakang buku ini.
3. Tugas dan Organisasi Partai
Partai  itu  menjalankan  tujuan  dan  pelopor (avantgarde)  pergerakan  di  segala  tingkatan
revolusi. Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan,
karena itu, ia menjadi "kepala dan jantung" massa yang revolusioner.
Di  dalam  "revolusi  borjuasi"  Prancis  (1789),  avantgarde  terdiri  dari  borjuasi  yang
revolusioner dan kaum buruh terpelajar yang borjuis.
Merekalah yang mengepalai dan memikirkan revolusi itu, sedangkan kaum buruh industri
yang  masih  lemah  dipergunakan  sebagai  "tenaga  budak",  sebagai  kuda-kuda.  Kejadian
seperti ini mungkin juga terjadi di negeri jajahan yang borjuasi bumiputranya kuat tapi
tidak  diberi  kekuasaan  politik  oleh  si  penjajah  sehingga  mereka  terpaksa  menjadi
revolusioner.  Di  Mesir  dan  India,  pengemudi  gerakan  kemerdekaan  sampai  sekarang
boleh dikatakan di tangan kaum intelektual yang borjuis.
Adapun yang berjuang di negeri-negeri kolonial itu terutama sekali kaum buruh dan tani
revolusioner. Di Indonesia borjuasi bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel.
Karena kondisi sosial dan ekonomi terlalu lemah, kaum buruh mesti mendirikan cita -cita
dan  menyusun  laskarnya  sendiri.  Jika  kaum  borjuis,  besar  atau  kecil,  di  Indonesia  mau
memasuki massa, mereka jangan berjuang dengan kapital nasional dan parlementarisme
tapi mereka mesti berdiri di atas asas-asas buruh, nasionalisasi dan pemerintahan buruh
dan  tani.  Mereka  mesti_  menjadi  kaum  buruh  terpelajar  dan  berjuang  dengan  kaum
buruh untuk cita-cita buruh dan dengan logika.
Jika  kaum  terpelajar  borjuis  mau  diakui  oleh  massa  sebagai  teman,  mereka  mestilah
berbuat  lebih  dari  kawan-kawannya  segolongan  yang  ada  di  Mesir,  India  dan  Tiongkok.
Sebagai  kelas,  tentulah  mereka  tak  dapat  berbuat  begitu  sebab  dirintangi  oleh
keturunan, pendidikan dan lingkungan mereka sendiri.
Kelas  buruh  di  Indonesia  tak  bisa  mengharapkan  sekalian  buruh  terpelajar  pada  borjuis
kita, besok atau lusa, akan menerjunkan diri ke dalam massa yang sedang berjuang itu.
Tetapi  beberapa  orang  dari  mereka  (tidak  sebagai  kelas)  "boleh  jadi"  masuk  ke  dalam
barisan  baru  sebagai  laskar  sukarela.  Kaum  terpelajar  borjuis  yang  revolusioner  jika
dengan  mentah-mentah  dimasukkan  dalam  partai  buruh  yang  revolusioner,  itu  berarti
memborjuiskan  kaum  buruh  kita.  Di  Indonesia,  terutama,  hal  itu  sama  artinya  dengan
"mengebiri", merampas perasaan revolusioner dan cita -cita yang lanjut dari kaum buruh.
Tak  kan  mungkin  keluar  tenaga  dari  kaum  buruh  yang  seperti  itu.  Partai  seperti  itu,
"bukan ikan dan bukan daging", bukan borjuis revolusioner  proletar.
Malahan jika borjuasi Indonesia lebih kuat dan lebih revolusioner dari sekarang ini, ia tak
kan  mau  dan  sanggup  berjalan  lebih  jauh  dari  "kemerdekaan  politik",  yakni  merampas
kekuasaan politik dari imperialisme Belanda.
Pemecahan-pemecahan  masalah  ekonomi  dan  politik  yang  radikal  (dimisalkan  ada
borjuasi  Indonesia  yang  revolusioner  dan  kuat)  hanya  dapat  dijalankan  dengan
merugikan  kapital  bumiputra  itu  sendiri.  Terhadap  pemecahan  itu,  borjuasi  yang
dimisalkan  itu  niscaya  tidak  menyetujuinya  .  Di  tiap-tiap  negeri  yang  terjajah,  borjuasi
bumiputra yang revolusioner (terhadap imperialisme) itu dengan segera berubah menjadi
reaksioner buruh pada saat imperialisme dirobohkan. Tujuan akhir dari tiap -tiap borjuasi
bumiputra yang revolusioner adalah "politik" semata-mata. Di India, Tiongkok, Mesir dan
Filipina  hal  itu  sudah  berbukti.  Begitu  pulalah  segerombolan  kaum  borjuis  kecil
Indonesia.  Di  dalam  perjuangan  politik  mereka  terhadap  imperialisme  Belanda,
tersembunyi cita-cita kepada harta dan kekuasan yang lebih besar. Mereka ingin menjadi
tuan-tuan  tanah,  saudagar  kaya  raya,  bankir  dan  juga  ingin  menjadi  gubernur,  menteri
dan lain-lain. Pendeknya mereka ingin menjadi borjuis besar, seperti di lain -lain negeri.
Nisbah antara kapital dan tenaga, antara kapitalis dan buruh serta sistem politik, ketigatiganya mereka kehendaki supaya tetap kapitalistis. Dengan menggulingkan imperialisme
Belanda, kaum borjuis kecil Indonesia ingin kelak dapat menjalankan sekalian kekuasaan
politik dan ekonomi terhadap kaum buruh.
Tujuan  buruh  melewati  batas  "anti-imperialisme".  Mereka  berniat,  terang  atau  kabur,
merobohkan kaum kapitalis sama sekali. Kaum buruh Indonesia menghendaki pemecahan
yang  radikal  di  dalam  perekonomian,  sosial,  politik  dan  ideologi,  sekarang  atau  nanti.
Bila  sekiranya  kelak  sesudah  imperialis  Belanda  ditentang  dan  dimusnahkan  hingga  ke
akar-akarnya,  meskipun  tak  mungkin  dalam  arti  kemenangan  nasional  semata-mata,
niscaya kaum buruh akan dan mesti memperkuat barisannya melawan borjuasi.
Jadi,  borjuasi  Indonesia  yang  kecil,  apalagi  yang  besar  hanya  anti-imperialisme  saja,
sedangkan kaum buruh anti kedua-duanya: imperialisme dan kapitalisme.
Jadi,  buruh  Indonesia  jika  dibandingkan  dengan  borjuasi  revolusioner  menghadapi
perjalanan  yang  jauh  lebih  panjang  sebelum  sampai  kemerdekaan  sejati.  Jadi,
semestinyalah  mereka  lebih  giat  dan  radikal  dalam  perjuangan  dan  sekarang  pun  sudah
begitu, seperti di negeri lain-lain.
"Soal  organisasi"  berhubungan  rapat  sekali  dengan  cita -cita  sosial,  ekonomi  dan  politik,
serta  tingkatan  revolusioner  dari  kelas-kelas  yang  revolusioner.  Menurut  cita-cita  dan
"liatnya" sekalian kelas yang revolusioner, bolehlah kita bagi laskar nasional kita dalam:
(1)  barisan  pelopor,  yaitu  terdiri  dari  kaum  buruh  industri  yang  seinsaf -insafnya  dan
kaum buruh terpelajar; (2) cadangan yaitu terdiri dari kaum buruh yang kurang insaf dan
bukan kaum buruh yang revolusioner yang di masa revolusi berjuang di bawah pimpinan
dan berdiri di sisi barisan pelopor.
Seringkali  hubungan  itu  ditimbulkan  oleh  pemusatan  kerja.  Pekerjaan  partai  sehari-hari
ialah  merapatkan  anggota  dengan  anggota,  partai  dengan  organisasi  "sepupunya",
mengurus  pembacaan  anggota  partai,  antara  partai  dan  rakyat  seluruhnya.  Kadangkadang hubungan itu didatangkan pula oleh agitasi yang cocok dan benar.
Agitasi  itu  mesti  didasarkan  kepada  kehidupan  massa  yang  sebenarnya.  Tak  cukup
dengan  meneriakkan  kemerdekaan  saja.  Kita  harus  menunjukkan  kemerdekaan  dengan
alasan  yang  sebenarnya.  Kita  harus  menerangkan  semua  penderitaan  rakyat  sehari -hari
seperti gaji, pajak, kerja berat, kediaman bobrok, perlakuan orang atas yang menghina
dan  kejam.  Seorang  agitator  yang  cakap  setiap  waktu  harus  siap  sedia  memecahkan
sekalian  soal  yang  bersangkutan  dengan  kehidupan  materiel  Pak  Kromo  dengan  benar
dan  revolusioner.  Ia  juga  harus  senantiasa bersedia  menarik  dan memimpin  Pak  Kromo Pak  Kromo  itu  kepada  aksi  politik  dan  ekonomi  yang  memperbaiki  kebutuhan  materiel
mereka. Tak boleh kita harapkan bahwa massa akan masuk ke dalam perjuangan karena
didorong cita-cita saja!
Massa  (di  Timur  atau  di  Barat)  hanya  berjuang  karena  kebutuhan  materiel  yang
terpenting.  Dengan  perjuangan  ekonomi,  seperti  pemogokan  atau  pemboikotan  serta
ditunjang oleh demonstrasi politik, kita akan dibawa kepada tujuan yang penghabisan!
Segala  agitasi  mestilah  cocok  dengan  keadaan  tiap-tiap  daerah.  Penerangan  terhadap
seorang  buruh  industri  tak  boleh  disamakan  dengan  seorang  tani  sebab  keduanya
mempunyai  kebutuhan  materiel  yang  lain-lain.  Seorang  tani  di  Jawa  pun  tak  boleh
disamakan dengan seorang tani di Sumatera sebab keduanya mempunyai soal-soal tanah
dan ekonomi yang berlainan.
Jika agitasi itu benar nyata dan mengenal segala kebutuhan rakyat yang tergencet pada
tiap-tiap  daerah  di  Indonesia,  bilamana  program  tuntutan  dan  semboyan -semboyan  kita
"sungguh"  dipahamkan  dan  dirasai  oleh  seluruh  lapisan  penduduk,  jika  pemimpin  partai
liat,  tangkas  dan  cerdas  mempergunakan  sekalian  pertentangan  yang  ada  di  dalam
masyarakat Indonesia, niscaya hubungan yang perlu "dengan" — pengaruh yang diinginkan
"atas" dan akhirnya kepercayaan yang dibutuhkan " dari" — massa dapat diperoleh partai.
Pasal  ini  sudah  lebih  panjang  daripada  maksud  kita  yang  semula,  apalagi  bila  ditambah
pula dengan pembicaraan perihal "teknik" aksi massa. Pun hal ini mestilah kita serahka n
kepada  pembicaraan  yang  praktis  karena  kita  tidak  "menelanjangi"  diri  di  hadapan
musuh  dengan  membukakan  rahasia  pun  teknik  perjuangan  kita.  Tetapi,  di  sini  mesti
kita  peringatkan  bahwa  soal  "persenjataan"  —  meskipun  hal  itu  penting  sekali  serta
sangat kuat menarik perhatian kaum revolusioner!  —  bagi kita bukanlah soal hidup mati.
Ia  tunduk  kepada  soal  politik  dan  organisasi  yang  revolusioner.  Dengan  kata  lain  bahwa
massa yang gembira dalam pimpinan partai revolusioner yang berdisiplin baja, berkelahi
dengan  tangan  serta  suara  nyanyian  yang  revolusioner,  akan  merobohkan  laskar
imperialis sampai ke urat akarnya.
Sebagai  penutup  pasal  ini,  boleh  kita  tambahkan  bahwa  bagi  kemenangan  revolusioner,
perlu dua faktor berikut ini.
1. Faktor "objektif", yaitu sebuah tingkatan dari tangan produksi dan kemelaratan massa.
Tingkatan  itu  terutama  di  Jawa  dan  di  beberapa  tempat  di  Sumatera  dalam  pandangan
kita dianggap cukup.
2.  Faktor  "subjektif",  yaitu  kesediaan  bangsa  Indonesia  yang  mesti  diwujudkan  dalam
suatu  partai  revolusioner  yang  "sempurna"  (teratur  dan  matang  betul)  dan  keadaan keadaan revolusioner yang baik.
Untuk mencapainya, partai mesti mempunyai disiplin; massa yang tidak senang itu harus
di  bawah  pemimpinnya.  Kemudian  dipecah-belah  musuh-musuh  dalam  dan  luar  negeri.
Lihat seterusnya Menuju Republik Indonesia pasal "pukulan strategis".
Andaipun  partai  yang  revolusioner  tidak  dapat  diperoleh  dengan  pembicaraanpembicaraan  akademis  di  dalam  partai  ataupun  tak  ada  kesempatan  bagi  bangsa  kita
yang sengsara dan dihina-hinakan, senantiasa kita dapat mendorong partai itu ke dalam
perjuangan  ekonomi  dan  politik  yang  besar  ataupun  yang  menciptakan  "disiplin"  yang
diinginkan  yang  memberi  pengaruh  yang  tak  dapat  ditinggalkan  atas  massa  dan
kepercayaan  yang  dibutuhkan  dari  massa  serta,  selain  itu  keliatan,  kecerdasan  dalam
perjuangan. Itulah syarat-syarat yang akan membawa kita pada kemenangan.
Barisan penduduk yang terdiri dari kelas menengah dan borjuasi yang lemah hanya akan
turut berjuang bila terpaksa.
Akan terlampau  panjang bila diperbincangkan di sini dengan panjang lebar perihal satudua  partai.  Maksud  kita  dengan  itu  ialah  apakah  kaum  buruh  dan  kaum  borjuis  yang
kecil-kecil  mesti  dihimpunkan  dalam  "satu"  organisasi  nasional  dengan  "satu"  pusat
pemimpin  atau  dipecah  dalam  "dua"  organisasi  dengan  dua  pemimpin  tetapi  bekerja
bersama-sama  (Pada  waktu  ini  kaum  buruh  —  sebab  sistem  yang  pasti  belum  dipakai  —
boleh  dikatakan  belum  tersusun  dalam  Partai  Komunis  Indonesia  (P.K.I.)  dan  bukan buruh dalam serikat rakyat. Keduanya mempunyai satu pengurus besar.).
Bagaimanapun  wujud  organisasi  itu  di  dalam  satu  koloni  seperti  Indonesia,  kaum
buruhlah  yang  paling  aktif  dan  radikal.  Organisasi  tidak  boleh  menghalang-halangi
keaktifan  itu.  Sebaliknya,  ia  mesti  tahu  mempergunakannya  dan  dapat  menghiduphidupkannya.  Organisasi  itu  semestinya  menjadi  gabungan  dan  pemusatan  segala
keaktifan kaum buruh.
Semestinya  diikhtiarkan  supaya  kaum  buruh  sebanyak-banyaknya  duduk  di  dalam  partai
dan  memegang  pimpinan.  Partai  revolusioner  kita  akan  berkembang  hidup  sebesarbesarnya  dan  sesehat-sehatnya  bilamana  benih-benih  partai  ditanam  pada  tiap-tiap
pusat  industri.
Demikianlah  jadinya,  kedudukan  P.K.I.  terbatas  di  dalam  kota-kota,  pusat-pusat
ekonomi,  pengangkutan;  dan  Serikat  Rakyat  (S.R.)  harus  menjadi  partai  yang  bukan
buruh.  Selain  di  kota-kota,  di  desa-desa  pun  mestinya  didirikan.  Dengan  jalan  seperti
itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R., kaum buruh yang setengah
insaf  dan  belum  insaf  sama  sekali  tak  boleh  tinggal  di  lua r  organisasi.  Mereka  mesti
diajak  masuk  ke  dalam  perjuangan  ekonomi  yang  setiap  waktu  berubah  menjadi
perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja sebagai barisan cadangan yang
berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I.
Kaum  bukan-buruh  yang  setengah  insaf  dan  yang  belum  insaf  sama  sekali  dalam  politik
dan  ekonomi,  juga  tergencet  mesti  dihimpun  ke  dalam  koperasi  rakyat  yang  juga
merupakan barisan pembantu yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. dan S.R.
Demikianlah,  P.K.I.  mesti  mempunyai  beberapa  organisasi  serikat  kerja,  koperasi  dan
serikat  rakyat  yang  tiap-tiap  beraksi-massa  langsung  berada  di  bawah  pimpinan  P.K.I.
Organisasi itu — yang semangatnya dipengaruhi surat-surat kabar partai dan serikat kerja
—  merupakan  laskar  revolusi  nasional  dalam  perjuangan  menentang  imperialisme  dan
kapitalisme Barat.[1]
Jika  satu  partai  revolusioner  benar-benar  ingin  menjadi  pemimpin  massa  di  Indonesia,
terlebih  dulu  partai  itu  sendiri  harus  dipimpin  sebaik-baiknya.  Organisasi  partai  ialah
kesimpulan  dari  beberapa  susunan  partai.  Dengan  kata  lain,  menjadi  "tali  nyawa"  dari
partai,  menjadi  yang  "terpenting",  misalnya  seperti  penyusunan,  pelatihan,  pendidikan
bagi  pemimpin  dan  anggota-anggotanya.  Tambahan  pula,  partai  mesti  berhubungan
rapat  dengan  massa,  terutama  pada  saat  yang  penting,  dengan  segala  golongan  rakyat
dari  seluruh  Kepulauan  Indonesia.  Dengan  tidak  berhubungan  seperti  itu,  tak  kan  ada
pimpinan yang revolusioner.
[1] Seorang anggota P.K.I. sedapat mungkin adalah seorang buruh atau buruh terpelaj ar
(bukan  borjuis).  Ia  harus  mengetahui  dan  pandai  menerangkan  komunisme  dalam  teori
dan  praktik,  taktik  nasional  dan  internasional.  Di  atas  segalanya,  ia  harus  lebih  banyak
dan  lebih  canggih  untuk  melakukan  pekerjaan  revolusioner,  yaitu  pekerjaan  menyusun
dan  menggalang  pertemanan.  Seorang  anggota  S.R.  biasanya  adalah  bukan  buruh,  tani,
saudagar  atau  pelajar  (mahasiswa).  Ia  tak  usah  melakukan  pekerjaan  revolusioner
sebanyak  yang  dikerjakan  anggota  P.K.I  cukuplah  jika  ideologinya  anti -imperialis  dan
menghendaki  kemerdekaan  nasional.  Bila  dipakai  sistem  satu  partai,  kaum  buruh  dan
bukan  buruh  dihimpun  dalam  sebuah  organisasi  yang  revolusioner.  Dalam  partai  itu,
golongan yang lebih "sadar" dan buruh terpelajar merupakan sayap kiri. Sayap kiri inilah
motor pergerakan Indonesia.
X
SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DI INDONESIA
1. Kegagalan Partai Borjuis
Sesungguhnya  bukan  kualitas  pimpinan  itu  sendiri  yang  menyebabkan  partai -partai
borjuis Indonesia "beriring-iringan patah di tengah". Para penganjur,  seperti Dr. A. Rivai
dan  Dr.  Tjipto,  niscaya  akan  memegang  peranan  yang  jauh  berlainan  sekali  di  dalam
gerakan  kemerdekaan  Indonesia  jika  di  sini  ada  kapital  besar  milik  bumiputra.  Lambat
laun,  dengan  sendirinya,  mereka  akan  sampai  pada  program  nasional  b orjuis  yang
dengan  perantaraan  satu  organisasi  dan  taktik  yang  cocok,  sebagian  atau  seluruhnya,
dapat diwujudkan.
Karena  kapital  besar  bumiputra  tidak  ada,  program  nasional  dan  organisasi  mereka
sebagai partai borjuis tak tahan hidup. Mereka dibesarkan ole h pendidikan borjuis secara
Barat  sehingga  tidak  tercerabut  massa  Indonesia  dan  tidak  berperasaan  akan  mencari
logika  untuk  mendapat  program  nasional  yang  proletaris.  Partai  borjuis  yang  didirikan
dengan  perlahan-lahan,  lenyap  sama  sekali,  "hidup  enggan  mati  tak  mau"  atau  tinggal
namanya saja yang hidup.
a. Budi Utomo
Budi Utomo —  didirikan pada tahun 1908  —  adalah sebuah partai yang semalas-malasnya
di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia
merana  sombong  karena  umurnya  panjang.  Karena  ia  tak  mendapat  cara-cara  aksi
borjuis  yang  radikal  dan  tidak  berani  mendekati  dan  menggerakkan  rakyat  maka  dari
dulu  sampai  sekarang,  kaum  Budi  Utomo  menghabiskan  waktu  dengan  memanggilmanggil  arwah  yang  telah  lama  meninggal  dunia.  Borobudur  yang  kolot,  wayang  dan
gamelan  yang  merana,  semua  basil  "kebudayaan  perbudakan"  ditambah  dan  digembar gemborkan  oleh  mereka  siang  malam.  Di  dalam  "lingkungan  sendin"  kerapkali  dukun dukun  politik  itu  menyuruh  Hayam  Wuruk  —  Raja  Hindu  atau  setengah  Hindu  itu  —
dengan  laskarnya  yang  kuat  berbaris  di  muka  mereka.  Di  luar  hal-hal  gaib  itu,  paling
banter  hanya  dibicarakan  soal-soal  yang  tak  berbahaya.  Di  dalam  Kongres  Budi  Utomo
berkali-kali  (sampai  menjemukan)  kebudayaan  dan  seni  Jawa  (?)  dibicarakan.  Soal  yang
penting,  yaitu  mengenai  kehidupan  rakyat  di  Jawa  —  jangan  dikata  lagi  di  seluruh
Indonesia  —  tak  pernah  disentuh,  apalagi  diperbincangkan  mereka.  Belum  pernah,
barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hi dup di
zaman  Keemasan  Majapahit,  tetapi  di  dunia  kapitalistis  yang  tak  memandang  bulu.
Panjangnya  umur  Budi  Utomo  sebagian  besar  diperolehnya  dari  "mantera-mantera"
pemimpinnya, dari hasil "main mata" dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman
seperjuangannya.  Sebuah  semangat  kosong  seperti  Budi  Utomo  dapat  diterima  oleh
pemerintah seperti Belanda.
Selain  itu,  Budi  Utomo  tidak  menumbuhkan  cita-cita  "kebangsaan  Indonesia".  Fantasi
"Jawa-Raya",  yakni  bayangan  penjajahan  Hindu  atau  setengah  Hindu  terhadap  bangsa
Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera
Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.
Budi  Utomo  yang  mengangkat  kembali  senjata-senjata  Hindu-Jawa  yang  berkarat  dan
sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum.
Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan
dan  kerja  sama  antara  penduduk  di  seluruh  Indonesia  (bukan  antara  penjajah  satu
terhadap  Iainnya).  Dengan  jalan  sedemikian,  Budi  Utomo  menimbulkan  gerakan  ke
daerah  yang  bila  perlu  (misalnya  Budi  Utomo  kuat),  dengan  mudah  dapat  dipergunakan
imperialisme  Belanda.  Dengan  keadaan  seperti  ini,  keinginan  "luhur"  yang  satu  dapat
diadu  dengan  yang  lain,  yang  akibatnya  sangat  memilukan,  Indonesia  tetap  jadi  negeri
budak.
b. National Indische Party
Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun
1912 "mencium" kebangsaan Indonesia. Pohon-pohonan yang terapung-apung — indo-indo
Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di
sisi  jurang  kebangsaan  Indonesia.  Yang  terutama  tidak  mempunyai  cita -cita  nasional
yaitu borjuasi Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu program nasional yang
konstruktif dan  konsekuen  tak  dapat  diwujudkannya.  Rumpun  "Indonesisme" ala  Douwes
Dekker  ialah  cita-cita  dari  Belanda  Indo  yang  tidak  kurang  imperialisisnya  daripada
Belanda totok, mereka merasa dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan dan itulah
semangat  yang  dikembangkannya.  Mereka  meminta  "persamaan"  dengan  totok  dan
kadang-kadang  dibisikkannya  perkataan  kemerdekaan.  Maksud  mereka  yang
sesungguhnya  mau  membagi  kekuasaan,  satu  orang  separo  diantara  mereka  berdua.
Karena  si  totok  kerapkali  terlalu  banyak  mengambil  bagian  untuknya  sendiri,  si  Indo
mengancam  "bekerja  sama  dengan  Inlander".  Cap  yang  lebih  dalam  tak  dapat  kita
tempelkan kepada kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya dengan
bangsa Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu.
Tatkala  Si  Jenaka  Van  Limburg  Stirum  "pelayan  liberal  dari  kapital  besar"  memberikan
pekerjaan  yang  menguntungkan  Teeuwen  dan  Co  waktu  itu,  program  N.I.P.  mencapai
tujuannya tanpa menumpahkan darah.
Douwes  Dekker  berjalan  terus;  untuk  mencapai  itu,  dia  menganggap  perlu  memakai
kekuatan  bumiputra.  Dengan  perkataannya  yang  kabur  tentang  hak  dan  kemerdekaan,
tertariklah  Dr.  Tjipto,  Soewardi  dan  Co  ke  dalam  N.I.P.  Kejadian  ini  memberi  jiwa
kepada pohon kebangsaan Indonesia yang tidak dikenal di seluruh pergera kan Indonesia.
Satu cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat dan lebih luas daripada
fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh dikatakan lahir di
seluruh  Kepulauan  Indonesia.  Tetapi,  sesudah  Dr.  Tjipto,  Soewardi  dan  Co  duduk  di
dalam  N.I.P.,  orang  betul-betul  memperhatikannya;  di  sana  dapat  dilihat  satu
pertentangan antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di satu pihak berdiri Indo-Borjuis
yang  dididik  secara  imperialistis,  sombong  dan  penuh  curiga,  di  pihak  lain  berdiri
bumiputra  yang  ekonomi  dan  politiknya  tergencet,  diperas  dan  diinjak-injak.
Sebuah  asimilasi  baik  sosial  ataupun  ideologi  belum  pernah  tercapai.  Seorang  anggota
N.I.P.  merasa  sangat  senang  mendapat  pembagian  kerja  50  banding  50  dengan  si  totok
yang sangat dibenci itu.
Pengangkatan  Teeuwen  menjadi  aggota  Dewan  Rakyat,  kemudian  menjadi  pegawai
tinggi, sesungguhnya menjadi obat yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.
Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi
revolusi  meminta  hubungan  yang  rapat  serta  asimilasi  sejati  dengan  bangsa  Indonesia,
bukan  dengan  priyayi-priyayi  yang  bersih  saja,  melainkan  juga  dengan  Pak  Kromo.  Dan
yang  lebih  utama,  pembagian  kekuasaan  politik  dengan  si  Inlanders  yang  terbesar
jumlahnya.
Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski sekecil apa pun, tentulah
takkan pernah cekcok dengan kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai -pegawai
Belanda-Indo.
Selama  perkataan  "hak  dan  kemerdekaan"  tetap  tinggal  gelap,  selama   itulah  BelandaIndo  dapat  bergandengan  tangan  dengan  priyayi -priyayi  Jawa.  Tetapi,  pertentangan
kelas  yang  beberapa  tahun  belakangan  ini  terbukti  dalam  pemogokan  maka  keluarlah
nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis menurut perbu atan) dari
"nasional" Indische Party.
Apa yang diidamkan oleh Indo anggota N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah
dan fasisme. Anggota N.I.P. bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo.
Akan  tetapi,  mereka  terkungkung  dalam  "kebangsaan  Douwes  Dekker"  (satu  teori  yang
menggembirakan  perihal  "darah  Timur  dan  perasaan  Timur")  yang  bagian  ekonominya
ditutup dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai seorang pemimpin
yang  sanggup  mempertalikan  kebangsaan  Indonesia  dengan  program  proletaris  dan
sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu, niscaya N.I.P., meskipun ditinggalkan
oleh  Belanda-Indo  yang  fasistis  itu,  dapatlah  hidup  terus  dan  boleh  jadi  lebih  kuat  dari
yang sudah-sudah.
Tetapi  sekali  lagi,  sebab  tak  ada  borjuasi  bumiputra  yang  modern  maka  semangat  yang
begitu sehat dan revolusioner seperti Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan
revolusioner  yang  borjuis.  Sebaliknya,  daripada  mendekati  massa  berulang -ulang,
mereka  lebih  suka  merintang-rintang  waktu  dengan  kerja  yang  tak  layak  baginya,  yaitu
memanggil-manggil arwah kebesaran (Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia.
Satu nasionalistis "maya" yang sejati.
c. Sarekat Islam (S.I.)
Sarekat  Islam  pada  tahun  1913  tampil  ke  muka  disertai  suaranya  yang  gemuruh.
Perhimpunan  ini  adalah  penyambung  aksi  massa  Timur  setengah  feodal  yang  sudah
berabad-abad mengalami penindasan. Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur,
tetapi manifestasi dari perasaan massa yang kurang senang di bawah pimpinan saudagar saudagar kecil.
Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang
sangat  picik.  Dan  pada  permulaannya  ditujukan  untuk  menentang  saudagar -saudagar
Tionghoa.
Di  dalam  perjuangan  ekonomi  antara  saudagar  bumiputra  dan  Tionghoa  tampak  betul
kelemahan  yang  disebut  duluan.  Kecurangan  pemimpin  S.I.  menyebabkan  dan
menimbulkan  datangnya  kekalahan  ekonomi.  Dengan  berhentinya  gerakan,  terhenti
pulalah kegiatan saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan paham
campur  aduk  antara  Islam,  kebangsaan  reformisme  dan  demagogi  dari  pemimpin pemimpin  S.I.  itu  "politik",  maka  sekarang  kita  pandang  S.I.  sudah  menginjak  tingkatan
"politik".  Pada  tingkatan  politik  ini,  berkat  pengaruh  kaum  revolusioner  di  Semarang,
dapatlah mereka mengadakan aksi-aksi ekonomi pemogokan "liar".
Massa  yang  kurang  senang  yang  bersatu  dalam  S.I.  tak  dapat  menjadi  sendi  aksi  massa
yang  teratur.  Untuk  itu,  pemimpin  S.I.  tak  mempunyai  pengetahuan  sedikit  pun  perihal
pertentangan  kelas,  taktik  revolusioner  dan  kepemimpinan.  Tambahan  pula  program
revolusioner  yang  konstruktif  dan  konsekuen,  kecakapan  organisatoris  dan  kejujuran
administrasi  tak  ada.  Pergerakan  S.I.  yang  permulaannya  demikian  hebat  dan  menarik
perhatian  umum  —  hingga  kerapkali  disamakan  dengan  gerakan  Charterisme  —
tampaknya menang hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.
Disebabkan kebimbangan dan kelemahan aksi S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan
yang  lebih  radikal-islamistis  borjuis  mengambil  jalan  yang  salah.  Segala alat -alat  feodal
seperti  mistik,  jimat-jimat  dan  mantera  yang  sudah  lama  terkubur  diambil  mereka  dan
dipergunakannya untuk menentang imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur luluh.
Meski  Afd.  B.  dari  S.I.  berhasil  kiranya  merangkak-rangkak  di  bawah  tanah  lebih  lama
dan pada  waktu yang diperkirakan tepat lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia
tidak akan mendapat hasil selain dari pemberontakan dan huru -hara agama seperti yang
sudah berulang-ulang terjadi di Indonesia.
Organisasi S.I. mati ketika kaum revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin
partai (trade mark  Haji A. Salim). Apa yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan
anggota  S.I.,  yang  paling  aktif  pergi  masuk  S.R.  dan  P.K.I.  Golongan  Muhammadiyah
dengan  segala  kejujurannya  menerima  subsidi  dari  tangan  pemerintah  "kafir"  untuk
sekolah Islam. Kedua Haji yang termashur itu — Agus dan Tjokro — tak dapat lagi meniup
gelembung  sabun  Islam  dengan  patgulipat  syariat  yang  lama  dan  yang  baru  dipikirpikirkannya.
2. Bagaimana Sekarang?
Di  dalam  perjuangan  yang  luar  biasa  beratnya  selama  beberapa  tahun  yang  lalu,
berhasillah  P.K.I.  dan  S.R.  menghimpun  kaum  buruh  dan  revolusioner  dari  B.U.,  N.I.P.,
dan  S.I.  untuk  bernaung  di  bawah  panji-panjinya.  Tak  ada  partai  lain  yang  sudah
memberikan  korbannya  seperti  P.K.I.  dan  S.R.  Beribu-ribu  anggota  yang  sudah
tertangkap,  berpuluh-puluh  yang  sudah  dibuang,  dipukul  atau  dibunuh.  Sungguhpun
begitu,  masih  diakui  BENDERA-nya  di  seluruh  pulau,  bukit,  gunung,  kota  dan  desa
(Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian lama diidam-idamkan.
Dalam  beberapa  aksi  daerah  untuk  tujuan  yang  kecil-kecil,  P.K.I.  dan  S.R.  sudah
menunjukkan  kekuatan  dan  kecakapannya.  Akan  tetapi,  untuk  mengadakan  satu  aksi
nasional umum (apalagi di lapangan internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal
ini,  atas  nama  kemerdekaan  55  juta  manusia,  tak  boleh  didiamkan.  Kalau  mereka
berbuat  seperti  itu  pula,  niscaya  akan  berarti  menjatuhkan  diri  ke  dalam  kesalahan
seperti  yang  terus-menerus dilakukan  oleh partai-partai  borjuis  (terutama  partai  Tjokro
& Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan tahun yang lalu, kita tidak
menunjukkan  perasaan  tak  senang.  Kini  sesudah  lebih  delapan  bulan  masih  saja  belum
ada  sesuatu  yang  terjadi.  Manakah  rakyat  yang  beratus  ribu  atau  berjuta-juta  di  jawa,
Sumatera,  Sulawesi  yang  langsung  berdiri  di  bawah  pimpinan  atau  tunduk  ke  bawah
pengaruh kita? Kemanakah perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner
yang  setia  terhimpun  di  dalam  V.S.T.P,  S.P.P.L.,  S.B.G.,  S.B.B.  dan  lain -lain,  serta
beberapa  juta  yang  tidak  diorganisasi  tetapi  yang  bersimpati  kepada  kita?  Adakah  kita
dengan segera mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiran
Larangan  Berkumpul,  masa  penangkapan  dan  pembuangan  serta  kematian  saudara
Soegono,  Misbach  dan  lain-lain  dengan  satu  aksi  massa  yang  sepadan,  tetapi  dijalankan
dengan gembira.
Tidak, kita sekali-kali tak menangkis serangan lawan sehingga timbul sekarang pertikaian
yang tak dapat dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan anggota  yang berdarah
anarkis mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya.
Selain    seksi-seksi  kita  yang  baik,  yang  sangat  diharapkan,  seperti  Sumatera  Barat,
Medan,  Semarang,  Surabaya,  (semuanya  mana  yang  tidak?)  menderita  keputusan  dan
kelemahan organisasi yang tak mudah ditolong lagi.
Bila  kita  membalas  Ultimatum  Desember  dari  imperialis  Belanda  dengan  sepak  terjang
komunistis  yang  sempurna,  niscaya  kekalahan  kita  tidak  seperti  sekarang.  Sebusukbusuknya  pengorbanan  materiel  (penangkapan,  pembuangan,  pembunuhan),  tak  akan
lebih  besar  dari  sekarang,  tetapi  kemenangan  politik  dan  moral  niscaya  tinggal  tetap.
Dan  siapakah  yang  dapat  mengatakan  apa  yang  bakal  kita  peroleh  dalam  keadaan  yang
sebaik-baiknya?
Bagaimana  larangan  berkumpul  tidak  kita  jawab  secara  komunistis  dan  selama  delapan
bulan  itu  kita  terpaksa  kerja  di  bawah  tanah.  Pada  waktu  itu,  kita  kehilangan  kawan
yang  sebaik-baiknya  dengan  percuma,  selain  itu,  saat-saat  yang  sangat  bahagia,
terutama psikologi yang susah kembali dan masih banyak.
Di  sini  bukan  tempatnya  memperbincangkan  hal  itu  lebih  lanjut,  pun  bukan  tempat
untuk memeriksa kepada siapa patutnya dipikulkan kesalahan itu: pada seksi -seksi, pada
pimpinan atau pada lain hal?
Biarlah  kita  serahkan  hal  ini  kepada  "riwayat"  dan  kepada  organisasi  yang  kelak
menyelidiki,  mengapa  kesempatan  yang  sebaik-baiknya  itu  kita  biarkan  saja  lenyap.  Di
sini  pun  bukan  tempatnya  untuk  mengumumkan  kekuatan  laskar  kita  saat  ini,  serta
pengaruh  kita  terhadap  massa  dalam  keadaan  yang  sulit  ini;  demikian  pun,  ma ksudrnaksud kita dan taktik kita pada yang akan datang, juga karena kita sekarang terpaksa
bekerja  di  bawah  tanah  (ilegal).  Jadi,  untuk  kepentingan  pergerakan,  sangat  banyak
yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan kita ceritakan kepada kawan -kawan
seperjuangan  dan  kepada  mereka  yang  menyetujui  kita  (Harap  diperhatikan  sungguh sungguh! Maksud kita aksi massa dan bukan putch!).
Harap  dicamkan  sekali  lagi  bab  IX.  Semestinya  kita  dengan  segera  mengorganisasi  dan
memimpin  pemogokan  dengan  tuntutan  yang  cocok  dan  semboyan-semboyan  yang  jitu
untuk menentang dan menjawab larangan berkumpul itu.
Sekiranya  dari  aksi  seperti  itu  pecah  revolusi,  kita  mesti  terima.  Berpikir  dan  berbuat
lain dari yang seperti itu tidaklah komunistis!
Pekerjaan  "ilegal"  penuh  dengan  bahaya.  Sambil  lalu  hal  itu  patut  dan  mesti  juga  kita
uraikan  di  sini.  Pekerjaan  legal  dan  hanyalah  pekerjaan  legal  yang  melahirkan
organisasi,  pembicara,  organisator  dan  pemimpin.  Majalah,  partai  dan  pidato -pidato
yang  legal  dapat  mendidik  bangsa  kita  yang  tercecer  itu  melalui  cara  yang  berfaedah
sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran umum revolusioner yang penting
itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi seperti Indonesia,
pekerjaan  ilegal  mudah  sekali  terperosok  ke  dalam  anarkisme,  huru-hara  atau
kepercayaan  akan  jimat  yang  sangat  merugikan  itu.  Segala  macam  yang  bersangkutan
dengan  organisasi  dan  ideologi  yang  sudah  lama  kita  peroleh  akan  lenyap  kembali
disebabkan  ilegalitas  yang  "tidak  pada  waktunya".  Provokasi  lawan  mudah  menjatuhkan
pemimpin-pemimpin  kita  yang  kurang  berpengalaman  dan  juga  menghancurkan
organisasi sama sekali.
Organisasi  legal  "harus  bersedia"  untuk  menciptakan  suatu  organisasi  ilegal  pada  waktu
revolusi.  Hubungan  rahasia,  rapat  rahasia,  percetakan  rahasia,  dan  markas  mencetak
rahasia.  Apabila  larangan  berkumpul  dan  berorganisasi  sekonyong-konyong  dikeluarkan,
organisasi  itu  harus  bekerja  terus  dengan  teratur.  Organisasi  ilegal  mesti  selamanya
berhubungan  dengan  massa  dan  tak  boleh  sekali-kali  memisahkan  diri  darinya.  Ia  mesti
senantiasa  mengetahui  perasaan  dan  keinginan  massa.  Karena  itu,  is  mesti  mempunyai
badan-badan  yang  cukup  dan  orang-orang  yang  bekerja  pada  badan  partai  "bona  fido",
yaitu  perkumpulan-perkumpulan  yang  masih  diizinkan  oleh  pemerintah.  Kalau  tidak
berhubungan  dengan  massa  dan  keadaan  yang  sesungguhnya,  sama  halnya  dengan
sebuah kapal. selam yang tidak mempunyai kaleidoskop.
Dengan  bekerja  legal  atau  ilegal,  kita  tak  boleh  sekalikali  melupakan  senjata
revolusioner  kita,  yakni  aksi  massa  yang  teratur.  Larangan  berkumpul  dan  bersidang
harus  kita  patahkan  dengan  aksi  massa  kita  yang  teratur,  supaya  "atas"  pemandangan
yang  dalam  dan  tenaga  yang  besar  dapat  diteruskan  barisan  kita  menuju  kemerdekaan
yang sepenuhnya.
Apakah  kita  memang  bekerja  di  bawah  tanah?  Pertanyaan  seperti  itu  berulang-ulang
timbul kepada kita. Ini berhubungan dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang
cukup  di  dalam  partai,  yang  tidak  menghiraukan  segala  rintangan,  setia  menjalankan
aksi massa yang teratur. Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis benar dan cukup lama
dijalankan  sehingga  kaum  buruh  kita  sudah  mempunyai  kemantapan  Marxistis,
kelenturan  Leninistis?  Bila  hal  ini  tidak  dan  belum  terjadi,  niscaya  satu  ilegalitas  yang
dipaksa  akan  menimbulkan  kakacauan  dalam  seluruh  gerakan  revolusioner  di  Indonesia.
Kaum  yang  bukan  buruh  akan  memegang  komoditi  dan  menuntun  partai  kepada  putch
atau  anarkisisme  sehingga  akhirnya  hancur  sama  sekali.  Bahaya  ini  akan  semakin  besar
karena  pemimpin  revolusioner  yang  ulung  dan  berpengaruh  atas  massa  sebentarsebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan reaksi tambah lama tambah sengit.
Karena  itu,  kita  berhadapan  dengan  satu  krisis  revolusioner  yang  tak  mudah  dipahami
oleh orang luar.
Kini  kebutuhan  bukan  pada  keberanian  semata-mata  melainkan  terlebih  lagi,
"pengetahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner".
Imperialisme  Belanda  berniat  betul-betul  menghancurkan  organisasi  revolusioner:
Delenda  est  Chartago  (Chartago  mesti  dihancurkan).  Dan  jawablah  sekarang  atau  nanti
(selama-lamanya)  segala  daya  upaya  musuh  untuk  menghancurkan  kita;  dengan  jalan
aksi massa yang teratur, pastilah kita menuju kepada kemenangan!
3. De Indonesische Studieclub
Sampai  saat  ini  saya  belum  beruntung  untuk  mengetahui  apakah  yang  sebenarnya  yang
diinginkan  oleh  Indonesische  Studieclub  dan  alat  apakah  yang  akan  dipakainya  untuk
melaksanakan  maksudnya.  Keterangan  "majalah  bulanan  dari  studieclub"  tidak  berarti
apa pun bagi saya.
Keterangan  itu terlalu  gelap,  terlalu  elastis dan  sangat  kurang. Karena  itu,  ia tak  boleh
dianggap  sebagai  satu  "dasar"  nasional  buat  perjuangan  yang  praktis.  Suluh  Indonesia
mengumumkan  sekian  banyak  pandangan  yang  bermacam-macam.  Akan  tetapi,  dengan
perantaraan  ini,  kita  tak  juga  dapat  mengambil  kesimpulan  apakah  hal  itu  dilakukan
dengan  sengaja  atau  hanya  sulap-sulapan  karena,  kadang-kadang,  studieclub  dapat
bercerita  menurut  kebiasaan  intelektual  Indonesia,  bahwa  "di  dalam  kegelapan
tersembunyi penerangan".
Dari  pidato  Mr.  Singgih  seperti  yang  diumumkan  di  dalam  Suluh  Indonesia  dan  majalah
lain-lain dapat kita "raba-raba" sedikit (tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan koncokonconya  mempunyai  maksud  yang  menyerupai  nonkoperasi.  Jadi,  belum  pasti!  Kesan
saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap sebagai seorang advokat yang
menarik  diri  terhadap  anggota-anggota  pemerintah  yang  mengintip-intip  daripada
sebagai  seorang  duta  dari  sebuah  cita-cita  baru  yang  menyala-nyala  untuk  berjuta-juta
budak  berian.  Sebuah  politik  yang  dapat  dipahami,  tetapi  menurut  pemandangan  saya,
mendatangkan  kerugian  yang  tidak  kecil.  Menurut  pengalaman,  rasanya  dapat  kita
ketahui bahwa rakyat kita yang sederhana ini tidak suka "lempar batu sembunyi tangan",
tidak  suka  paham-paham  yang  muskil  dan  menghabiskan  waktu  untuk  membalas  katakata yang kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak
begitu,  ia  akan  tetap  meraba-raba  dan  menduga-duga  dan  tak  kan  dapat  diajak
mengadakan aksi.
Juga  saya  tak  mengenal  isi  Studieclub  yang  borjuis  itu.  Tetapi,  sesudah  dua  puluh  lima
tahun  pergerakan  kebangsaan,  patutlah  kita  mempunyai  satu  ketentuan.  Bukankah  kita
tak  boleh  menganggap  bahwa  kaum  terpelajar  Studieclub  akan  tinggal  berabad -abad  di
dalam  laboratorium  sosial  —  mengupas-ngupas  dan  mematut-matut  saja?  Karena  itu,
biarlah  kita  menganggap  untuk  sementara  waktu  bahwa  Studieclub  "menghendaki"
kemerdekaan  nasional  dan  ia  mau  memakai  senjata  nonkoperasi.  Akan  tetapi,  dengan
sebab-sebab  yang  sudah  kita  maklumi,  hal-hal  itu  sementara  waktu  dirahasiakan  dulu.
Jika  sungguh  seperti itu,  kita  akan  gembira  dan  sejauh  dan  sepantas  mungkin  akan  kita
sokong dengan sepenuh tenaga sebab nonkoperasi termasuk sebagian dari aksi kita yang
termasuk  ke  dalam  program  aksi,  dan  kita  anggap  sebagai  penambah  pemogokan  dan
demonstrasi.
Tetapi  masih  jadi  satu  pertanyaan  besar,  apakah  nonkoperasi  saja  —  meskipun  ia,  baik
dalam politik maupun ekonomi, dapat dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan
hasil bagi Indonesia secara umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan, kita  persilakan
pembaca  melihat  uraian-uraian  di  muka.  Bagian  ekonomi  dan  pemboikotan  itu  di
Indonesia (terutama di Jawa) sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum
pernah  sekali  juga  dibicarakan  dalam  Studieclub  sesungguhnya,  inilah  tanda  kelemahan
nonkoperasi Studieclub.
Pemboikotan  tanpa  disertai  bagian  ekonomi  merupakan  pekerjaan  yang  terlampau
khayal  dan  jauh  dari  memadai.  Meskipun  demikian,  biarlah  kita  mengalah.  Bahwa
nonkoperasi politik saja yang dapat membawa kemenangan politik, biarlah  tetap tinggal
sebagai perumpamaan; dengan boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.
Kini  tinggal  soal  yang  terpenting,  bagian  manakah  dari  penduduk  Indonesia  yang  mesti
digerakkan  oleh  Studieclub  yang  akan  memutuskan  hubungan  "kerja  sama"  dengan
imperialisme Belanda.
Di  sinilah  sendinya!  Kita  tidak  berhadapan  dengan  satu  negeri  yang  pemerintahannya
sama  sekali  ataupun  sebagian  kecil  dikemudikan  oleh  wakil-wakil  rakyat,  seperti  di
Filipina, Mesir dan sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu   pemerintahan yang
"bergerak"  (boleh  diturunkan  dan  dinaikkan  dengan  jalan  pemilihan"),  tetapi  sebuah
kolonial birokrasi yang berkarat mati. Untuk menimbulkan keributan yang berarti dalam
politik,  kita  harus  lawan  dan  robohkan  birokrasi  itu  mulai  dari  sendi-sendinya.  Jadi,
mestilah  kita  mendekati  pegawai-pegawai,  seperti  bupati,  wedana,  demang,  jaksa  dan
guru-guru sekolah supaya masing-masing meletakkan jabatannya.
Kita  secara  apriori  percaya  bahwa  hal  itu  tidak  mungkin  sama  sekali,  dan  sementara
waktu  janganlah  diberi  bukti  aposteriori.  Sungguh  terang  sekali  bahwa  bupati  itu
konservatif  dan  pasti merangkak-rangkak  di  bawah  kursi,  menjilat  pantat  Belanda  serta
takutnya  kepada  bangsa  Eropa  lebih  dari  yang  semestinya.  Mereka  ditempel  oleh
saudara-saudaranya  dan  biasanya  banyak  utang;  karena  itu,  mereka  akan  bergantung
seteguh-teguhnya kepada gaji mereka. Mereka "terlampau suka" memerintah dan merasa
terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan dan bersekongkol dengan rakyat yang mau
mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi,
sangat  haus  pangkat  yang  tinggi;  sebab  itu,  mereka  lebih  "perangkak"  dan  "penjilat"
daripada pegawai Indonesia yang lebih tinggi.
Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan teman-temannya akan mengerjakan  pekerjaan yang
tak terhingga beratnya untuk mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya,
memperoleh kemerdekaan nasional atau konsesi politik yang besar-besar.
Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan i tu tak
cukup keliru sama sekali! Kita rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman -temannya
tetap  duduk  di  dalam  rapat  kota  Surabaya,  yaitu  badan  imperialis  satu -satunya  yang
boleh dimasuki bangsa Indonesia dengan pemilihan langsung (meskipun sangat terba tas)
dan  dapat  mengemukakan  sesuatu  dengan  leluasa.  Di  sana  Dr.  Soetomo  dan  temantemannya  dengan  pengetahuannya  yang  luas  tentang  segala  tipu -muslihat  pihak  sana,
dengan mengadakan perlawanan yang tidak putus-putus dan kritik terhadap si pemegang
kekuasaan, akan berhasil "menyusahkan" kedudukan rapat kota.
Setelah  memperhatikan  semua  yang  tersebut  di  atas,  sesungguhnya  kita  sangat
menyesali  politik  dan  aksi  Studieclub  yang  dilakukannya  sampai  sekarang  ini.  Jika
Studieclub  tidak  "mengambil  semua  atau  sebagian  dari  program  buruh  kita"  (kita
mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau menyakitkan hati kaum terpelajar
Studieclub),  niscaya  ia  akan  menerima  nasib  sebagai  B.U.  dan  N.I.P.  Sebab  hubungan
sosial antara imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia  yakni borjuasi bumiputra yang
kuat "tidak ada", maka menciptakan satu  modus vivendi  politik adalah sebuah pekerjaan
yang belum dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya akan berhadapan dengan dilema
sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai borjuis, yaitu:
(1)  kerja  sama  dengan  Pemerintah  Belanda,  dan  dengan  demikian  berarti  mengikuti
politik imperialisme Belanda; atau
(2)  kerja  sama  dengan  rakyat  yang  sebenarnya,  merebut  kemerdekaan  yang  seluas luasnya, dan dengan demikian, ia akan menjadi partai   massa buruh serta berpikir secara
buruh. "Politik sama tengah, liberal, bagi Studieclub berarti 'politik matt'."
(3)  Politik  perlawanan  seperti  no.2  itu  kita  yang  anjurkan  kepada  Dr,  Soetomo,  Mr.
Singgih  dan  teman-temannya  bila  mereka  kelak  diangkat  atau  dipilih  oleh  pemerintah
anggota Dewan Rakyat.
(4)  Jadi,  kaum  terpelajar  Studieclub  mestilah  membuang  cara  berpikir  berjuang,
bercita-cita untuk revolusi borjuis atau pemerintahan borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu
memakai cara pikiran buruh dialektis-materialistis dan berjuang buat kepentingan kaum
buruh
XI
FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
Meskipun  atas  kehendak  kita  sendiri,  kita  tidak  akan  membatasi  aksi  kita  "hanya"  pada
kemerdekaan  bangsa  Indonesia  yang  terhindar  oleh  imperialisme  Belanda.  Pembatasan
seperti itu akan segera menyempitkan kita di dalam arti ekonomi, strategi dan politik.
Kekuasaan  atas  Semenanjung  Tanah  Melayu  dengan  pusat  armada  Singapura  di  dalam
tangan  imperialisme  Inggris  bagi  kita  sebagai  satu  "strategisch  Umfasung"  senantiasa
memaksa  kita  menjauhi  medan  perjuangan.  Umfasung  ini  dilengkapi  dengan  Australia
putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.
Dalam arti ekonomi, semenanjung bagi kita adalah sangat penting sebab negeri itu sudah
menjadi  pasar  terbesar  bagi  berbagai  macam  hasil  bumi  Indonesia;  tambahan  pula,
banyak  hubungannya  dengan  seluruhnya.  Kedudukan  kita  di  antara  Malaya  dengan
Australia,  dan  kapital  Inggris  yang  sangat  besar  di  Indonesia,  membesarkan  dan
mengekalkan  perhatian  politik  imperialisme  Inggris  atas  segala  kejadian  di  Indonesia.
Kita  tak  akan  dapat  merampas  kemerdekaan  Indonesia  tanpa  keributan,  dan  bila  ribut,
serdadu Inggris tentulah akan siap dengan senapannya.
Tetapnya  kedudukan  Amerika  di  Indonesia-Utara  (Filipina)  bagi  kita  lebih  berbahaya
daripada yang dapat diduga oleh seorang Indonesia biasa. Strategi kita tetap terancam,
baik  dari  utara  maupun  dari  selatan  oleh  imperialisme  modern.  Ekonomi  Filipina  yang
mengeluarkan  hasil  bumi  seperti  Indonesia-Selatan  menjadi  persaingan  yang  hebat.
Pendeknya, selama politik Indonesia masih terpecah-pecah jadi beberapa bagian seperti
sekarang  (bagian  Belanda,  Inggris,  Amerika),  tak  akan  dapat  diadakan  persatuan  aksi
ekonomi, seperti menetapkan harga maksimum hasil bumi dari negeri-negeri tropik ini di
pasar-pasar  dunia.  Kemerdekaan  kita,  bagi  Paman  Sam  yang  mungkin  sekali  berniat
untuk selama-Iamanya duduk di Filipina, bukanlah satu soal "filsafat" politik saja.
Indonesia  merdeka  yang  sekarang  meringkuk  di  bawah  imperialisme  Belanda  akan
dihormati  oleh  bangsa  Indonesia-Utara  dengan  gembira  dan  akan  menyebabkan
timbulnya  agitasi  baru  untuk  kemerdekaan  yang  seluas-luasnya  bagi  mereka.  Filipina
dalam genggaman Jepang tidak bagus bagi kita.
Sebaliknya, lambat laun ia berarti "penaklukan kita  bersama" kepada kawanan perampok
Asiria  modern.  Satu  pusat  persatuan  antara  seluruh  bangsa  Indonesia,  yakni  Indonesia
kita.  Semenanjung  dan  Filipina  —  tak  usah  dibicarakan  dulu  Kepulauan  Oceania  dan
Madagaskar yang jumlahnya tidak sedikit  —  adalah  sine qua  non, sarat untuk merampas
dan  menjaga  kebebasan  kita.  Celaka  sungguh, bangsa  Indonesia di  Semenanjung  Malaka
tak  dapat  mempertahankan  diri  dari  kebanjiran  bangsa  India  dan  Tiongkok  yang  terus
mengalir  ke  sana.  Perniagaan  industri  boleh  dikatakan  semuanya  ada  di  tangan  asing.
Bumiputra  di  kota-kota  pesisir  senantiasa  didesak  ke  pinggir  kota,  dan  yang  tinggal  di
darat makin hari makin jauh menyingkir ke puncak-puncak gunung.
Pabrik-pabrik  kereta  api,  kantor-kantor  gubernemen  dan  perniagaan  sama  sekali  ada  di
tangan  bangsa  asing.  Orang  perantauan  dari  Jawa,  Sumatera,  Borneo  dan  Sulawesi
terlampau  sedikit  dan  terlampau  lemah  kekuatannya  untuk  mengadakan  perjuangan
ekonomi melawan bangsa Benua Asia yang biasanya pandai bekerja, hidup sederhana dan
kompak. Proses  pendesakan bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi, politik dan
negeri menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana. Satu perkumpulan orang -
orang  Indonesia  yang  bernama  "Kesatuan-Melayu"  menguntungkan  dan  mesti  kita
perhatikan yang segala daya  dari orang Indonesia di Semenanjung untuk pertahanan dan
politik. Meskipun masih suram dalam perkataan dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan
politik seperti itu haruslah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mesti kita
perhatikan dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya. Segenap daya upaya mengembang
dan  menciptakan  suatu  Persatuan Indonesia  Raya  di  seluruh Kepulauan  lndonesia  "mesti
dan  perlu"  ada  dan  didirikan.  Tambahan  lagi,  boleh  diharapkan  bahwa  besok  atau  lusa
bangsa  Indonesia-Semenanjung  akan  berikhtiar  melahirkan  satu  pergerakan  yang
maksudnya  akan  memindahkan  bangsa  Indonesia-Selatan  ke  sana.  Dengan  jalan  serupa
itu,  dapatlah  dibatasinya  proses  pendesakan  itu  dan  diciptakannya  satu  dasar  tempat
Indonesia  merdeka  "bersandar"  dan  akhirnya  akan  mewujudkan  Kemerdekaan  SemestaIndonesia.
Filipino  yang  terletak  di  antara  Sciylla,  Amerika  dan  Charyb  di  Jepang,  strategis,
"sepenting-pentingnya  di  Pasifik"  bagi  12.000.000  orang  Indonesia  di  sana  sungguh
menjadi  satu  soal  yang  memutuskan  harapan  untuk  merebut  kemerdekaan  nasional.
Kedudukan Filipina terlalu penting, sedangkan jumlah penduduknya terlalu sedikit untuk
dapat mengusir musuh selama-lamanya. Karena itu, memang sudah pada tempatnya jika
mereka merasa sangat bersyukur oleh imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para
imigran  itu  dalam  sedikit  waktu  saja  dididik  bergaul  niscaya  akan  jadi  satulah  dengan
mereka.
Sebagai  bangsa  satu  keturunan,  Filipina  dengan  Indonesia  Selatan  tentulah  tidak  akan
berselisih  rupa,  muka,  hidung,  percakapan,  kesukaan  dan  kemauannya  bekerja,  juga
mempunyai perhubungan bahasa yang tak dapat disangka.[1]
Imigrasi  dari  Indonesia-Selatan  sekali-kali  bukanlah  akan  berarti  "penjajahan"  atas
bangsa  Filipina,  baik  dalam  hal  ekonomi,  kebudayaan,  politik  atau  apa  pun  juga.
Sebaliknya, imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu.
Hanya  saja  imigrasi  tentu  tidak  akan  diizinkan  oleh  imperialisme  Belanda.  Pergaulan
antara bangsa Indonesia-Selatan yang berabad-abad lamanya dijajah dan diabui matanya
dengan  bangsa  Indonesia-Utara  yang  mempunyai  lebih  banyak  kemerdekaan  dalam
perekonomian politik dan kebudayaan, bukankah sebentar saja akan membukakan mata
mereka  dan  membangunkan  semangat  revolusioner?  Meskipun  bangsa  Filipina  —
berhubung  dengan  pertimbangan  ekonominya  (tingkat  penghidupan  yang  lebih  tinggi)  —
menentang imigrasi kaum buruh dari Benua Timur tetapi mereka setuju dengan imigrasi
dari Indonesia-Selatan biarpun besar jumlahnya. Bangsa Filipina sangat sulit memungkiri
riwayatnya sendiri sebab mereka pun adalah bangsa Indone sia-Selatan; Jawa, Sumatera,
Semenanjung dan lain-lain juga pindah ke sana.
Kejadian ini bagi kita sekarang dan seterusnya sangat penting karena hal itu adalah salah
satu sendi persatuan dan kerja pertama di masa yang akan datang. Selain itu, tidak kecil
pula  artinya  politik  Filipina  yang  bekerja  bersama  dengan  kita.  Kebanyakan  pemimpin
politik  yang  besar  pengaruhnya  pernah  berkata  kepada  kita  bahwa  mereka  sangat
menanti-nantikan  "All  Indonesian  Conference"  yang  pertama.  Tetapi  sayang  kita
sekarang  tidak  sempat.  Sesungguhnya  inilah  waktu  yang  baik  untuk  meletakkan  batu
pertama di atas gunung "Persatuan seluruh bangsa Indonesia".
Marilah  kita  mulai,  dari  menit  ini,  dengan  sungguh-sungguh  dan  gembira  bekerja  untuk
menjadikan  sebagai  tujuan  kita  yang  penghabisan:  pendirian  "Federasi  Republik
Indonesia"  (FRI)  di  dalam  arti  yang  sebenarnya  adalah  persatuan  dari  100,000,000
manusia  yang  tertindas  dan  mendiami  pusat  strategi  dan  perhubungan  seluruh  Benua
Asia dan samuderanya. Selain itu, ia berarti telah memusatkan  semua hasil bumi negerinegeri  panas;  dan  bersamaan  dengan  itu,  pembangunan  kebudayaan  baru,  yakni
kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di Timur. Oleh karena itu, ia akan menjadi
pokok  semangat  baru  yang  tak  tertahan-tahan  bagi  bangsa  Asia  yang  jumlahnya  lebih
dari  1,000,000,000  dan  haus  akan  kemerdekaan;  dan  ia  berarti  pula  kerugian  yang  tak
dapat diperbaiki oleh penjajahan putih.
Bangsa  Indonesia-Selatan  yang  menghendaki  kemerdekaan  pasti  mengerti  benar  tugas
dan akibat dari perbuatan serta kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan
semangat  juang  terhadap  imperialisme  Barat,  baik  dalam  politik  perdagangan  ataupun
militer.  Jangan  sekali-kali  kita  mundur  atau  meninggalkan  perjalanan  yang  dicitacitakan.
Singsingkanlah  lengan  baju  dengan  segera  buat  menghidupkan  serta  menyatukan  semua
kekuatan  nasional;  seterusnya,  ciptakan  satu  pertalian  dengan  bangsa  Indonesia  yang
lain, yang anti-imperialis Barat atau Timur.
Akan  tetapi,  jangan  kita  menggantungkan  diri  semata-mata  kepada  pertolongan  luar
negeri. Hendaknya kita berkeyakinan kepada kekuatan sendiri dari awal sampai akhir.
[1]  Sebelum  bangsa  Spanyol  datang  di  Filipina,  bahasa  Melayu  menjadi  bahasa  politik
yang  resmi  di  seluruh  Filipina,  menjadi  lingua  franca  antar  pulau  yang  berjumlah  tak
kurang  dari  dua  ribu  buah.  Akan  tetapi,  politik  devide  et  impera  bangsa  Spanyol
membunuh  bahasa  itu.  Selain  itu,  karena  "Utusan  Tuhan"  itu  mengembangkan  segenap
dialek  yang  ada  di  tiap-tiap  pulau-pulau  dan  daerah  di  Filipina,  dan  mereka  juga
menghapuskan  bahasa  Melayu,  maka  lenyaplah  bahasa  politik  yang  resmi  tadi.  Setelah
bahasa  pergaulan  itu  mati  maka  lambat  laun  mati  pula  rasa  persatuan  di  antara
penduduk  sehingga  akhirnya  Spanyol  dapat  mengadu  domba  mereka.  Itulah  sebabnya
maka hingga kini sangat susah untuk membangun persatuan nasional.
XII
KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
Sebuah  tugas  yang  berat  tapi  suci,  sekarang  dipikulkan  di  atas  bahu  setiap  orang
Indonesia  untuk  memerdekakan  55  juta  jiwa  dari  perbudakan  yang  beratus -ratus  tahun
lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.
Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman "kesaktian" yang gelap
itu,  tak  dapat  menolong  kita  sedikit  pun.  Marilah  sekarang  kita  bangun  termbok  baja
antara  zaman  dulu  dan  zaman  depan,  dan  jangan  sekali-kali  melihat  ke  belakang  dan
mencoba-coba  mempergunakan  tenaga  purbakala  itu  untuk  mendorongkan  masyarakat
yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan
cara  berpikir  yang  begitu  adalah  tingkatan  tertinggi  dalam  peradaban  manusia  dan
tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada
penguasaan  atas  sumber  daya  alam  yang  mendatangkan  manfaat,  dan  pemakaian  yang
benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya
cara  berpikir  dan  bekerja  yang  rasional  yang  dapat  membawa  manusia  dari
ketakhayulan,  kelaparan,  wabah  penyakit  dan  perbudakan,  menuju  kepada  kebenaran.
Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur.
Akan  tetapi  semuanya  itu  tidaklah  mendatangkan  pencerahan,  kemauan  kepada
peradaban  dan  kemajuan,  cita-cita  tentang  masyarakat  yang  baik,  tinggi,  bagus,  serta
tidak  pula  mendatangkan  yang  baik  di  dalam  sejarah  dunia.  Pujilah  kepintara n  Timur
sang  pemilik  batinnya  sendiri,  kegaiban  atau  kekeramatan  Timur,  bilamana  anda  suka.
Semuanya  itu  sebenarnya  merupakan  asal  mula  dari  kesengsaraan  dan  penyiksaan
mematikan  semangat  kerja  dalam  masyarakat  yang  tak  layak  bagi  pergaulan  manusia.
Manusia  haruslah  berdaya,  mencoba berjuang,  kalah  atau  menang  dalam  ikhtiarnya itu.
Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang
menyuburkan  semangat  budak  dan  buanglah  kesalahan  kosong  sebab  ini  adalah
kesesatan pikiran semata.
Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka!
Sebuah  bangsa  pun  mesti  merdeka  berpikir  dan  berikhtiar.  Jadi  ia  mesti  berdiri  atau
berubah  dengan  pikiran  dan  daya  upaya  yang  sesuai  dengan  kecakapan,  perasaan  dan
kemauannya.  Tiap-tiap  manusia  atau  bangsa  harus  mempergunakan  tenaganya  buat
memajukan  kebudayaan  manusia  umum.  Jika  tidak,  ia  tak  layak  menjadi  seorang
manusia  atau  bangsa  dan  pada  hakikatnya  tak  berbeda  sedikit  jua  dengan  seekor
binatang.
Tetapi  kamu  orang  Indonesia  yang  55,000,000  tak  kan  mungkin  merdeka  selama  kamu
belum  menghapuskan  segala  "kotoran  kesaktian"  itu  dari  kepalamu,  selama  kamu  masih
memuja  kebudayaan  kuno  yang  penuh  dengan  kepasifan,  membatu,  dan  selama  kamu
bersemangat  budak  belia.  Tenaga  ekonomi  dan  sosial  yang  ada  pada  waktu  ini,  harus
kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah -pecah itu,
dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak
boleh  kalah  oleh  orang  Barat  dalam  hal  pemikiran,  penyelidikan,  kejujuran,
kegembiraan,  kerelaan  dalam  segala  rupa  pengorbanan.  Juga  kamu  tidak  boleh
dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup
dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan
seorang  murid  dari  Timur  yang  cerdas,  suka  mengikuti  kemauan  alam  dan  seterusnya
dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.
Sebelum  bangsa  Indonesia  mengerti  dan  mempergunakan  segala  kepandaian  dan
pengetahuan  Barat,  belumlah  ia  tamat  dari  sekolah  Barat.  Karena  itu,  janganlah
menjatuhkan  diri  dalam  kesesatan  dengan  mengira  bahwa  kebudayaan  Timur  yang  dulu
atau  sekarang  lebih  tinggi  dari  kebudayaan  Barat  sekarang.  Ini  boleh  kamu  katakan,
bilamana  kamu  sudah  melebihi  pengetahuan,  kecakapan  dan  cara  berpikir  orang  Barat.
Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang
dari  Newton,  Marx  dan  Lenin,  barulah  kamu  boleh  bangga.  Pada  waktu  ini  sungguh  siasia  dan  tak  layak  bagi  kamu  mengeluarkan perkataan  sudah  "lebih  pintar"  dan  tak perlu
belajar  lagi,  sebab  banyak  sekali  yang  belum  kamu  ketahui.  Pun  jika  perkataan  itu
keluar  dari  seorang  bekas  murid  yang  melupakan  ajaran  gurunya.  Kamu  belum  boleh
membanggakan  kelebihanmu  karena  kamu  belum  layak  jadi  seorang  murid,  seperti
terbukti  dengan  kekolotan  dan  akar-akar  takhayul  yang  masih  berbelit-belit  dalam
kepalamu.  Bila  sekalian  keruwetan  itu  sudah  lenyap  dari  kepalamu,  barulah  kamu
dianggap  orang  sebagai  murid,  dan  mulailah  mempergunakan  pikiran  "baru "  dengan
sempurna.
Jadi,  janganlah  bimbang  merampas  kemerdekaan  bila  kamu  ingin  jadi  seorang  murid
Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang
manusia,  bila  kamu  tak  ingin  merdeka  dan  belajar  bekerja  sendiri!  Bagi  bangsa
Indonesia,  manusia  tiada  harapan  akan  memperoleh  kemajuan  bila  berada  di  bawah
tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan,
haruslah  ia  merdeka  lebih  dulu.  Adapun  paham  tentang  kemerdekaan,  di  Baratlah
dilahirkan dan dipergunakan.
Seseorang  yang  ingin  menjadi  murid  Barat  atau  manusia,  hendaklah  merdeka  dengan
mernakai  senjata  Barat  yang  rasional.  Apabila  sudah  dapat  memakainya,  barulah  ia
dapat menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.
Kemudian  kecakapan  dan  kemauan  menurut  alam  dapat  tumbuh,  dan  dengan  itu  pula
kekayaan  tanah  Indonesia  yang  tak  terkira  itu  dapat  diusahakan  dan  dipergunakan  buat
keluhuran bangsa Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah tapak
kaki Belanda.
Karena  itu,  wahai  kaum  revolusioner,  siapkanlah  barisanmu  dengan  selekas-lekasnya!
Gabungkanlah  buruh  dan  tani  yang  berjuta-juta,  serta  penduduk  kota  dan  kaum
terpelajar di dalam satu partai massa proletar.
Tunjukkan  kepada  tiap-tiap  orang  Indonesia  yang  cinta  akan  kemerdekaan  tentang  arti
kemerdekaan  Indonesia  dalam  hal  materi  dan  ide.  Panggil  dan  himpunkanlah  orang orang  yang  berjuta-juta  dari  kota  dan  desa,  pantai  dan  gunung,  ke  bawah  panji
revolusioner.  Bimbingkanlah  tangan  si  pembanting  tulang  dan  budak  b elian  itu  hari  ini
dan  besok;  bawalah  mereka  menerjang  benteng  musuh  yang  rapi  itu!  Di  sanalah
tempatmu  pemimpin-pemimpin  revolusioner!  Di  muka  barisan  laskar  itulah  tempatmu
berdiri  dan  kerahkanlah  teman  sejawatmu  menerjang  musuh;  inilah  kewajiban  seorang
yang  berhati  singa!  Dirikanlah  di  tengah-tengah  laskarmu  itu  satu  pusat  pimpinan,
tempat  menjatuhkan  suatu  perintah  kepada  mereka  semua  yang  haus  serta  lapar  itu,
dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati.
Kamu,  ahli  pidato  pahlawan  Homerus  modern,  berserulah  di  tengah-tengah  massa  yang
tak sabar menanti-nantikan kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.
Dan  dengan  pidatomu  itu,  tegakkanlah  mereka  yang  lemah,  bukakan  mata  yang  buta,
korek  kuping  yang  tuli,  bangunkan  yang  tidur,  suruh  berdiri  yang  duduk  dan  suruh
berjalan  yang  berdiri;  itulah  kewajiban  seorang  yang  tahu  akan  kewajiban  seorang
putera  tumpah  darahnya.  Di  situlah  tempatmu  berdiri  dan  berdiri,  di  situ  sampai
nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu.
Itu kewajibanmu!
Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina,
si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut
nyawanya,  patahkan  tulangnya,  tanamkan  tiang  benderamu  di  atas  bentengnya  itu.
janganlah  kamu  biarkan  bendera  itu  diturunkan  atau  ditukar  oleh  siapapun.  Lindungi
bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya
bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.
Biarlah  yang  tersebut  di  atas  itu  senantiasa  menjadi  kenang-kenangan  bagi  kita  semua.
Bersama massa, kita berderap menuntut hak dan kemerdekaan.
LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM PROLETAR DI INDONESIA
A. Politik
1. Kemerdekaan Indonesia dengan segera dan mutlak.
2. Mendirikan satu Republik Federasi dari berbagai-bagai pulau di Indoesia.
3. Dengan segera mengadakan Rapat Nasional, yang mewakili semua golongan rakyat dan
agama-agama di seluruh Indonesia.
4. Dengan segera memberikan hak memilih yang penuh kepada penduduk Indonesia, laki laki dan perempuan.
B. Ekonomi
1.  Menjadikan  milik  nasional  pabrik-pabrik,  tambang-tambang,  seperti  tambang  batu
arang, minyak dan emas.
2.  Menjadikan  milik  nasional  hutan-hutan  dan  kebun-kebun  besar  modern  seperti  kebun
gula, karet, teh, kopi, kina, kelapa, nila dan ketela.
3. Menjadikan milik nasional alat-alat pengangkutan dan lalu lintas.
4.  Menjadikan  milik  nasional  bank-bank,  kongsi-kongsi  dan  maskapai-maskapai  dagang
yang besar-besar.
5.  Elektrifikasi  seluruh  Indonesia  dan  mendirikan  industri-industri  baru  dengan  bantuan
negara, misalnya pabrik tenun, mesin dan perkapalan.
6.  Mendirikan  koperasi-koperasi  rakyat  dengan  memberikan  pinjaman  yang  murah  oleh
negara.
7. Memberikan ternak dan perkakas kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya
dan mendirikan kebun percobaan negeri.
8.  Memindahkan  rakyat  besar-besaran  dengan  ongkos  negara  dari  Jawa  ke  tanah
seberang.
9. Membagi-bagikan tanah yang kosong kepada tani yang tak bertanah dan miskin dengan
memberikan sokongan uang untuk mengusahakan tanah itu.
10.  Menghapuskan  sisa-sisa  feodal  dan  tanah-tanah  partikelir  dan  membagikan  yang
tersebut belakangan ini kepada tani-tani yang miskin.
C. Sosial
1. Menetapkan gaji minimum, tujuh jam bekerja dan memperbaiki syarat-syarat bekerja
dan penghidupan buruh itu.
2. Melindungi buruh dengan mengakui hak mogok dari kaum buruh.
3. Buruh mendapat bagian dari keuntungan industri besar-besar.
4. Mendirikan rapat-rapat buruh pada industri besarbesar.
5. Memisahkan negara dari Gereja ataupun Masjid dan mengakui kemerdekaan agama.
6. Memberikan hak sosial, ekonomi dan politik kepada tiap-tiap warga negara Indonesia,
baik laki-laki maupun perempuan.
7.  Menjadikan  milik  nasional  rumah  kediaman  yang  besar-besar,  mendirikan  kediaman
baru dan membagi-bagikan kediaman kepada pekerja negara.
8. Memerangi sekuat mungkin penyakit-penyakit menular.
D. Pengajaran
1.  Pengajaran  diwajibkan  dan  diberikan  secara  Cuma-cuma  kepada  setiap  anak-anak
warga  negara  Indonesia  sampai  berumur  17  tahun,  dengan  bahasa  Indonesia  sebagai
bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2.  Meruntuhkan  sistem  pengajaran  yang  sekarang,  dan  mengadakan  sistem  baru,  yang
berdasarkan langsung atas kebutuhan industri yang ada atau yang bakal diadakan.
3.  Memperbaiki  dan  memperbanyak  sekolah  pertukangan,  pertanian  dan  dagang  dan
memperbaiki serta memperbanyak sekolah teknik tinggi dan sekolah untuk pengurus tata
usaha.
E. Militer
1.  Menghapuskan  tentara  imperialistis  dan  menjalankan  milisi  rakyat  untuk
mempertahankan Republik Indonesia.
2.  Menghapuskan  aturan  tinggal  dalam  tangsi  atau  kampemen  dan  semua  aturan  yang
merendahkan  serdadu-serdadu  bawahan,  dan  memperkenankannya  tinggal  di  kampungkampung dan di rumah yang bakal didirikan untuknya, memberi perlakuan yang baik dan
memperbesar gajinya.
3.  Memberikan  hak  penuh  untuk  mengadakan  organisasi  dan  rapat  kepada  serdaduserdadu bawahan.
F. Polisi dan Justisi
1. Memisahkan pamong praja, polisi dan justisi.
2.  Memberikan  hak  penuh  kepada  tiap-tiap  orang  yang  didakwa  untuk  membela  dirinya
di  depan  pengadilan  dari  serangan  undang-undang  dan  membebaskan  yang  didakwa  itu
dalam 24 jam, jika bukti-bukti dan saksi kurang cukup.
3. Tiap-tiap perkara yang mempunyai dasar yang sah, harus diperiksa dalam lima hari di
pengadilan yang terbuka, tertib dan pantas.
G. Program Aksi
1.  Menuntut  tujuh  jam  bekerja,  gaji  minimum  dan  syarat  bekerja  yang  lebih  baik  bagi
dan penghidupan kaum buruh.
2. Mengakui Serikat Sekerja dan hak mogok.
3. Pengorganisasian buruh untuk hak ekonomi dan politik.
4. Menghapuskan poenale sanctie.
5.  Menghapuskan  undang-undang  dan  peraturan  yang  menindas  gerakan  politik,  seperti
hak  luar  biasa,  larangan  mogok,  larangan  pers,  larangan  rapat  dan  larangan  memberi
pengajaran, dan juga mengakui kemerdekaan bergerak yang sepenuh-penuhnya.
6. Menuntut hak berdemonstrasi, dikuatkan oleh massa-demonstrasi di seluruh Indonesia
untuk  pelawan  penindasan  ekonomi  dan  politik,  seperti  melawan  peraturan  pajak,  dan
menuntut  dengan  segera  pembebasan  orang-orang  buangan  politik;  aksi  massa  tersebut
harus dikuatkan oleh pemogokan umum dan massa yang tak menurut perintah.
7.  Menuntut  penghapusan  Volksraad  Raad  van  Indie  dan  Algemeene  Secretaris,  dan
membentuk  Rapat  Nasional.  Majelis  Nasional  yang  darinya  akan  dipilih  Badan  Pekerja
yang bertanggung jawab kepada Rapat Nasional

0 komentar

Posting Komentar