1
FILM
dokumenter itu menggetarkan. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berdiri di depan
Sidang
Dewan Keamanan, Lake Success, Amerika Serikat. Ia berbicara tentang sebuah
bangsa
bernama Indonesia.
Sebuah bangsa muda yang memiliki sejarah peradaban yang
panjang.
Cara bicara Bung Sjahrir tak menggelegak seperti Bung Karno, tapi runtut dan
jernih.
"Selama 60 tahun film ini hilang," kata sejarawan Rushdy Hoesein.
Pembaca,
film langka yang sempat hilang itu diputar di kantor redaksi Tempo, di
Proklamasi
Nomor 72, dua bulan lalu. Walau berdurasi beberapa menit, film itu cukup
menggambarkan
bagaimana Sjahrir mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di
Indonesia
saat itu Belanda mengobarkan perang, ingin merebut kembali Indonesia.
Sjahrir
berangkat ke Amerika, berpidato di mimbar Dewan Keamanan. Yang dilakukan
Sjahrir
mirip dengan saat pertama kali Yasser Arafat berpidato di Perserikatan Bangsa-
Bangsa
mewakili masyarakat Palestina yang berkeinginan bebas dari pendudukan Israel.
Kepada
dunia internasional, Sjahrir memaklumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang
berdaulat.
Film
dokumenter itu kami putar sebagai bagian penulisan edisi khusus 100 tahun Sjahrir
ini. Kami
membuat serangkaian diskusi, mengundang mereka yang pernah mengenal
Sjahrir,
seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, Minarsih Soedarpo, Koeswari (satu-satunya
anggota
dewan pimpinan Partai Sosialis Indonesia yang masih hidup), Gita Prasodjo, dan
Siti
Rabyah Parvati atau yang akrab dipanggil Upik. Juga tokoh-tokoh yang meneliti
pemikiran
Sjahrir, seperti Rahman Tolleng, Sabam Siagian, Fikri Jufri, sejarawan Rushdy
Hoesein,
dan Ucu Aditya Gana, mahasiswa politik pascasarjana Universitas Indonesia yang
tengah
menyusun tesis tentang Sjahrir.
Diskusi
ala Tempo itu berlangsung hangat. Dengan suguhan kacang rebus, teh hangat,
dan sup
ayam, para tokoh sepuh itu kelihatan antusias. Mulanya mereka ingin hadir tak
lebih
dari dua jam. Maklum, kondisi kesehatan perlu dijaga ketat. Tapi, ketika
diskusi
berjalan,
semua hanyut dalam kenangan, dan mereka terus bertahan sampai malam.
Bahkan,
ketika diskusi dilanjutkan beberapa hari kemudian, mereka datang dan terlibat
aktif.
Sedemikian antusiasnya sampai bukan hanya film Sjahrir di Salt Lake yang hendak
mereka
perlihatkan.
Selain
film yang dibawa Rushdy tadi, Des Alwi memutar film saat Sjahrir melakukan
perjalanan
dari Jakarta ke Yogya. Tokoh-tokoh sepuh yang hadir dalam diskusi tampak
2
berlomba
menyebut siapa saja yang mendampingi Sjahrir saat itu. "Itu Hamid Algadri
menggendong
putri pertamanya, Atika," kata Rosihan. Ketika dokumentasi pemakaman
Sjahrir
diputar, Rosihan Anwar bisa menyebut hampir semua tokoh yang mengangkut dan
mengiringi
peti jenazah.
l l l
Edisi
khusus Sjahrir ini bukan edisi khusus pertama mengenai tokoh Republik yang kami
buat.
Kami sudah pernah menerbitkan edisi khusus mengenai Soekarno, Hatta, Tan
Malaka,
Aidit, dan Natsir. Dibandingkan dengan negarawan-negarawan itu,
"kelas" Sjahrir
jelas tak
kalah. Kisah hidupnya pun cukup berwarna.
Kami
memperoleh bantuan tak ternilai untuk proyek ini. Rahman Tolleng, misalnya,
meminjamkan
satu koper penuh buku koleksinya mengenai Sjahrir. Dari dokumen-
dokumen
PSI, diktat-diktat, sampai tulisan-tulisan pengamat asing mengenai Sjahrir. Des
Alwi
menyumbangkan foto-foto Sjahrir yang sangat langka, yang dia kumpulkan selama
puluhan
tahun dan sengaja dia persiapkan untuk memperingati 100 tahun Sjahrir pada
pekan
ini.
Dari situ
kami langsung bergerak. Kami mengirim reporter ke Belanda untuk menyusuri
lagi
kehidupan pribadi Sjahrir saat berada di negeri itu. Untuk membuat mudah
pembaca,
bentuk
penulisan edisi ini sengaja kami susun kronologis, dari awal masa sekolah
Sjahrir di
Medan
sampai detik-detik kematiannya di Zurich. Semua aspek kehidupan Sjahrir,
pendeknya,
hendak kami gali, dari personalitas sampai pemikirannya.
Personalitas
Sjahrir unik. Sjahrir yang tubuhnya pendek ini, misalnya, terkenal
berpembawaan
tenang dan berani. Ada sebuah kisah anekdotal dari Soendoro, bekas
pegawai
tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Yogyakarta. Dalam sebuah
sidang di
Yogya pada November 1945, Sjahrir berdialog dengan pemimpin rakyat dan
pemuda.
Mereka mengajukan usul menggebu-gebu tentang pertempuran 10 November di
Surabaya.
Tiba-tiba
di luar gedung terdengar suara tembakan. Listrik mati. Ruangan seketika gelap-
gulita.
Peserta sidang, yang semula garang, terkejut. Mereka merangkak ke kolong meja
mencari
perlindungan. Ternyata tidak ada apa-apa. Listrik menyala lagi. Terlihat hanya
sang
Perdana Menteri yang masih duduk tenang di kursinya, seakan tak terjadi
apa-apa.
Kami juga
ingin menyajikan tulisan seputar kontroversi-kontroversi yang dilakukan
Sjahrir.
Salah
satunya perundingan Linggarjati. Sering Sjahrir, yang mewakili Indonesia dalam
3
perundingan
itu, disalahkan oleh kaum Republik karena perundingan ini dianggap
merugikan
Indonesia.
Namun,
bila ditinjau lebih jernih, Persetujuan Linggarjati sesungguhnya memberikan
jeda
dan
menjadi batu loncatan untuk menuju kemerdekaan penuh. Kemenangan terbesar dari
perjanjian
itu adalah internasionalisasi persoalan Indonesia, yang tadinya hanya dianggap
urusan
dalam negeri Belanda dan negara jajahannya. Sayangnya, banyak orang di dalam
negeri
kurang memahami capaian itu.
Hal lain
yang kami bahas adalah bagaimana sebenarnya Sjahrir adalah bapak politik luar
negeri
bebas aktif kita. Dialah peletak dasar diplomasi kita. Untuk menembus blokade
Belanda
sekaligus menaikkan pamor Indonesia di mata dunia, dengan cerdik Sjahrir
menawarkan
bantuan beras kepada India yang sedang dilanda gagal panen. Belanda
hanya
bisa membuntuti kapal-kapal barang itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
l l l
Satu yang
paling penting adalah juga kami ingin menyajikan betapa pikiran-pikiran Sjahrir
merentang
panjang ke depan. Pada 1940-an, misalnya, ia sudah meramalkan dunia akan
terbagi
atas dua blok besar: Barat dan Timur-sesuatu yang menjadi kenyataan setelah
Perang
Dunia II berakhir.
Rosihan
Anwar menuturkan, dalam diskusi dengan teman-temannya di Partai Sosialis
Indonesia
pada awal 1960-an, Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena
kecenderungan
pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik.
Sjahrir
mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal
dengan
menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam
pamfletnya
yang terkenal, Perdjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang
ini tak
lain dari
perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa
kita
hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri
kita."
Itulah
sebabnya kita dapat mengerti ketika Sjahrir menitikkan air mata tatkala suatu
hari
dari
Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Republik Indonesia ia melihat pemudi-pemudi
Ambon dan
Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya, orang
Ambon dan
Manado dianggap pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak
pernah ia
sukai.
Sjahrir
mengkritik keras para demagog politik. Sjahrir adalah pribadi yang senang
dikritik
dan
mengajari teman-temannya untuk selalu mengkritik pendapatnya. Sikap itu terus
ia
4
bawa
sewaktu mendekam di rumah tahanan Keagungan, Jakarta, 1962. Ketika itu, para
tahanan
politik berbincang, bagaimana sikap mereka seandainya dipanggil ke Istana oleh
Soekarno.
Para tahanan umumnya mengatakan tak mau datang sebelum dibebaskan.
Pendapat
Sjahrir berbeda: "Saya akan datang karena saya masih menganggap dia
sebagai
presiden
saya."
Sebagai
manusia, Sjahrir tentu bukan tanpa kelemahan. Kelompok yang tak suka
kepadanya
menuduh dia orang yang peragu dan terlalu lembek terhadap Belanda.
Metode
pengkaderan yang dilakukan partainya dicibir terlalu elitis.
Demikianlah
pembaca, liputan kali ini ingin menampilkan sosok Sjahrir sebagai manusia,
lengkap
dengan kekuatan dan kelemahannya. Seorang manusia yang penuh dilema.
Tulisan
dilengkapi kolom-kolom akademisi yang kami anggap mengerti tentang pemikiran
Sjahrir.
Kami berharap edisi ini menjawab mengapa Sjahrir memilih jalan sebagai sosialis
.
Selamat
membaca.
7
kebangsaan.
Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut
membentuk
perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya,
pemuda
yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi.
Aktif
dalam politik tak membuat Sjahrir meninggalkan hobinya bermain bola dan
berkesenian.
Ia menjadi anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer, perkumpulan sepak
bola di
tempat tinggalnya. Ia juga anggota klub sepak bola Luno, di sekolahnya.
Lapangan
klub di
Jalan Pungkur itu kini telah berubah menjadi gedung dan rumah tinggal.
Selain
itu, bersama teman sekolahnya ia mendirikan perkumpulan sandiwara bernama
Batovis.
Kelompok ini sering manggung di gedung Concordia, Gedung Merdeka sekarang.
Sjahrir berperan
sebagai penulis naskah, sutradara, sesekali menjadi pemain. Hampir tiap
bulan
mereka mementaskan sebuah lakon. Orang Belanda banyak menyaksikan
pertunjukan
ini, karena menggunakan bahasa Belanda. Ke dalam ceritanya banyak
disisipkan
ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan saat itu.
Sjahrir
mempunyai banyak teman, termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka
mengundangnya
berpesta. Ia mahir berdansa waltz, fox trot, dan charleston. "Sjahrir
tidak
membenci
orang Belanda, yang dibenci paham imperialisme dan kolonialismenya," tulis
Syahbuddin
Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (1986).
Satu
kegiatan Sjahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaannya
membaca
Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa Belanda itu
dipasang
di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca
warga
Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah
membaca
berita tersebut. Bangunan itu hingga kini masih ada, di Jalan Braga II,
Bandung.
Sjahrir
bergerak hampir di semua bidang. Dalam pergerakan, ia juga mendirikan Tjahja
Volksuniversiteit
atau Tjahja Sekolah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk
kalangan
jelata.
Sjahrir
dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang
diskusi
politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di
kalangan
pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap
pertemuan.
Bintangnya tentu mereka yang dikenal ulung berdebat. Di situlah ia mengasah
kemampuannya
bersilat lidah.
8
Rumah di
Kaki Singgalang
SJAHRIR
lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Namun datanglah ke Padang
Panjang, coba
tanya masyarakat, di mana Sutan Sjahrir dilahirkan. Ternyata banyak yang
tak tahu.
"Katanya memang dilahirkan di sini. Tetapi tempatnya itu kami tidak tahu,
mungkin
karena ayahnya hanya sebentar bertugas di Padang Panjang," kata Taufik Dt.
Mangkuto
Rajo, tokoh masyarakat di sana.
Jawaban
yang sama juga datang dari aparat pemerintah Padang Panjang. "Kami enggak
tahu
persis di mana Sutan Sjahrir dilahirkan," kata Zulkarnain Harun, Kepala
Dinas
Pemuda,
Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Tempo baru mendapat ancar-ancar di
mana
letak rumah kelahiran Sjahrir ketika menghubungi Siti Rabiah Parvati, putri
Sutan
Sjahrir,
yang akrab dipanggil Upik, di Jakarta. "Sekitar sepuluh tahun lalu, saya
dan ibu
saya
berusaha mencari rumah kelahiran Ayah di Padang Panjang, dan ada yang
mengatakan
lokasinya di Pesantren Diniyyah Putri," kata Upik.
Tempo
menuju Perguruan Diniyyah Putri. Letaknya di Jalan Abdul Hamid Hakim Nomor
30,
Padang Panjang. Perguruan Diniyyah Putri adalah pondok pesantren modern khusus
putri
yang didirikan Rahmah El Yunusiyyah pada 1923. Pimpinan Diniyyah Putri kini,
Fauziah
Fauzan, 38 tahun, mengaku mengetahui ihwal rumah kelahiran Sjahrir saat duduk
di bangku
SMA. "Saat itu ibu saya bilang, aula kita itu dulunya tempat kelahiran
Sutan
Sjahrir.
Ibu mendapat cerita itu dari nenek saya, Hussainah Nurdin."
Aula itu
cukup luas. Namun tak ada satu pun petunjuk Sjahrir pernah dilahirkan di sana.
Tidak ada
foto Sjahrir yang dipajang di situ. Gedung pertemuan ini bulan lalu pernah
menjadi tempat
Ijtimaq MUI se-Indonesia, yang mengeluarkan beberapa fatwa, di
antaranya
larangan merokok dan larangan golput.
l l l
Sementara
di Padang Panjang jejak Sjahrir tak bisa ditemui, di Nagari Koto Gadang,
sekitar
15
kilometer dari Padang Panjang, masih ada sedikit kenangan fisik masa kecil
Sjahrir.
Memasuki
Koto Gadang di persimpangan jalan ada papan penunjuk arah ke jalan-jalan
yang
lebih kecil, ada yang bertulisan Jalan Sutan Sjahrir, Jalan Rohana Kudus, Jalan
Agus
Salim,
dan Jalan Datuk Kayo.
Ayah
Sjahrir, Muhammad Rasyad Maharajo Sutan, berasal dari Koto Gadang sementara
ibunya,
Siti Rabiah, dari Natal, Sumatera Utara. Ayah Sjahrir memiliki enam istri. Siti
Rabiah
ibu
Sjahrir adalah istri kelima. Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed,
9
mengatakan
bahwa salah satu yang membentuk cakrawala intelektual Sjahrir tidak
terlepas
dari latar belakang keluarga modern ayahnya di Koto Gadang. Pada abad ke-19,
di Koto
Gadang, menurut Mestika Zed, Belanda membuat perkebunan kopi di lereng
Gunung
Singgalang dan Merapi. Sekolah-sekolah didirikan Belanda untuk mencetak
tenaga
kerja di perkebunan. Di Koto Gadang saat itu sudah ada tiga posisi karier
pegawai
negeri
yang dianggap luar biasa di Hindia Belanda: angku doto (mantri), angku guru,
dan
angku
jaksa. "Kakek Sutan Sjahrir (Lemang Sutan Palindin) dan ayah Sutan Sjahrir
(Muhammad
Rasyad Maharajo Sutan) adalah angku jaksa dan masuk ke kalangan elite
pegawai
Belanda," kata Mestika Zed.
Meski
dari Padang Panjang kemudian keluarga Sjahrir tinggal di Medan, ia sering
dibawa
ayahnya
ke rumah neneknya di Koto Gadang. Rumah nenek Sjahrir itu kini sudah lama
menjadi
rumah kosong. Terakhir ditinggali perajin perak. Saat Tempo ke sana tiga pekan
lalu,
rumah itu terkunci.
Bersebelahan
dengan Jalan Sutan Sjahrir, ada Jalan Rohana Kudus. Rohana Kudus,
wartawan
perempuan pertama di Indonesia itu, adalah saudara tiri Sutan Sjahrir. Ia
adalah
putri
Kiam, istri pertama ayah Sjahrir. Rohana Kudus juga anak pertama, sehingga
Sjahrir
memanggilnya
One Rohana (kakak). Kini di rumah Rohana Kudus tinggal Adi Zulhadi,
cucu
Ratna, adik Rohana Kudus. Di dalam rumah yang sebagian besar masih bangunan
asli
itu, di
ruangan tamu ada tiga foto Sutan Sjahrir yang tergantung di dinding, salah
satunya
foto
Sutan Sjahrir di depan rumah Rohana Kudus saat sudah menjadi perdana menteri
dan
berkunjung
ke Koto Gadang.
"Menurut
cerita nenek saya, Sjahrir sering diajak ayahnya ke rumah ini, karena di sini
banyak
saudara perempuannya," kata Adi Zulhadi. Adi mengatakan, neneknya
bercerita,
saat
Sjahrir datang tatkala sudah menjadi perdana menteri, rumah sangat ramai.
"Rohana
dan
Sjahrir, katanya, sering berdiskusi tentang perkembangan politik," tutur
Adi.
10
Antara
Tuschinski dan Stadsschouwburg
SUASANA
kampus di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man's House, tepat di jantung
Amsterdam,
Belanda, pada sore dua pekan lalu itu begitu tenang. Para mahasiswa, yang
baru
selesai mengikuti kuliah, bergerombol di depan pintu masuk gedung yang
berarsitektur
klasik itu.
Menempati
sebuah gedung bersejarah yang berdiri sejak 1602, Fakultas Hukum
Universitas
Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini
merupakan
impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin
mempelajari
ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan
pengajar
terbanyak dibanding fakultas lain.
Fakultas
ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan
buku.
Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas
terdapat
beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu
jelas
amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.
Suasana
asri kampus semacam ini, 80 tahun silam, tetap tak bisa membuat seorang
pemuda
berkulit cokelat, Sjahrir, betah berdiam di situ. Sejak kedatangannya ke Negeri
Kincir
Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus.
Dunia
luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik
perhatiannya
ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.
Pada usia
yang baru menginjak 20 tahun, Sjahrir memang sudah mengecap kehidupan
yang
relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun
Amsterdam,
kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung.
Pergaulan
antarmanusia di sana juga egaliter ketimbang di Hindia Belanda.
Amsterdam
memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, ketimbang mengikuti kuliah dan
mengunjungi
perpustakaan kampus, Sjahrir lebih sering ngelencer mendatangi pusat
budaya
atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia
kunjungi
adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein.
Gedung
bioskop ini dibangun dengan gaya campur aduk antara Art Deco, Art Nouveau,
dan
aliran arsitektur Amsterdam yang sedang jadi tren pada awal 1900-an. Sampai
kini
11
gedung
itu masih berfungsi sebagai bioskop komersial dan sering menjadi lokasi utama
festival
film, misalnya International Documentary Film Amsterdam.
Selain
menyukai film, Sjahrir muda menggemari teater. Dan hanya satu blok dari Cinema
Tuschinski
terdapat gedung teater tua yang terkenal: Stadsschouwburg. Gedung teater ini
terletak
di daerah ramai Leidseplein, salah satu pusat kehidupan malam di Amsterdam. Di
tempat
ini Sjahrir sering menonton pertunjukan, baik sendiri maupun bersama teman.
Dari
Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Stadsschouwburg bisa ditempuh dengan
jalan
kaki sekitar 20 menit. Bila naik sepeda, hanya makan waktu 10 menit. Kini di
depan
teater
itu setiap dua menit lewat trem.
Gedung
Stadsschouwburg sejatinya sudah berkali-kali runtuh dan berulang kali pula
dibangun
kembali sejak akhir abad ke-15. Bangunan yang kini berdiri terakhir kali
"ditegakkan"
pada 1894. Arsiteknya saat itu, Jan L. Springer, memilih membangun kembali
dengan
gaya ala Baroque Revival.
Sampai
saat ini, Stadsschouwburg masih mementaskan sejumlah pertunjukan teater,
pameran
foto, pameran lukisan, dan beragam kegiatan budaya lainnya. Seiring
perkembangan
zaman, sarana transportasi untuk mengunjungi gedung teater itu semakin
mudah.
Sejak
pertama kali dibangun, teater ini menjadi tempat favorit masyarakat umum dan
pelajar
untuk kongko-kongko. Ini lantaran program budaya yang mereka tawarkan selalu
memikat.
Apalagi di sekitar gedung tersebut juga banyak tempat menarik.
Di bagian
kiri gedung, misalnya, terdapat Jalan Marnixstraat, yang di seberangnya ada
Hotel
American, yang terkenal dengan bar dan kafenya. Di bar itulah Sjahrir dan
teman-
temannya
biasa berkumpul. Cafe Americain, yang dibangun pada 1900 dengan gaya Art
Deco,
merupakan tempat berkumpul mahasiswa dari kalangan borjuis dan berduit. Kafe
ini
bukan
kedai murah.
Masih di
kawasan Leidseplein, terdapat jalan-jalan kecil yang juga dipenuhi kafe. Di
salah
satu
jalan kecil, Lange Leidse Dwaarstraat, dulu terdapat Sociaal Democratische
Studenten
Club.
Perkumpulan yang pernah diketuai sahabat Sjahrir, Salomon Tas, itu kini sudah
tak
ada.
Namun suasana di sekitar tempat itu sampai kini masih terasa dinamis. Banyak
anak
muda
menghabiskan waktu di antara kafe-kafe di sepanjang jalan tersebut.
Saat
pertama kali datang, Sjahrir menumpang di flat yang disewa keluarga kakaknya,
Siti
Sjahrizad
alias Nuning Djoehana, di kawasan Amsterdam Selatan. Daerah itu dulu dihuni
12
masyarakat
kelas menengah yang makmur. Kini tempat itu sudah berubah, banyak berdiri
gedung pencakar
langit. Setelah keluarga Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di
rumah
kecil milik keluarga Salomon Tas, masih di kawasan yang sama.
Mengikuti
teman-temannya, Sjahrir kemudian pindah kuliah ke Leiden, satu jam perjalanan
kereta
dari Amsterdam. Leiden merupakan kota ilmu yang terpandang. Sjahrir mendaftar
ke Leiden
School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Ch.
Snouck
Hurgronje, C. van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu, mengajar.
Pergaulan
luas Sjahrir dengan kalangan cendekiawan dan aktivis politik di Leiden
meninggalkan
bekas sampai sekarang. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan-kendati
jalan
kecil: Sjahrirstraat. Jalan ini melengkapi jalan-jalan lain untuk mengenang
sejumlah
tokoh
dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan
Camilo
Torresplein.
Sjahrirstraat,
yang terletak di pinggiran Kota Leiden, merupakan area pembangunan
permukiman
baru untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah.
Sayang,
ketika Tempo bertandang ke kawasan itu dua pekan lalu, tak ada seorang pun
yang
mengenali bekas Perdana Menteri Indonesia ini. "Tapi saya tahu dia pasti
orang
terkenal
juga, karena nama-nama di jalan ini adalah nama-nama orang terkenal," kata
seorang
warga yang kebetulan lewat.
Sarmadji,
warga Belanda asal Indonesia yang sudah lama menetap di Leiden, punya
penilaian
terhadap Sjahrir. "Dia hanya bergaul dengan kalangan intelektual kelas
atas. Jadi
dia agak
berjarak dengan kalangan bawah, walaupun dia berusaha untuk mengatasi
itu."
0 komentar
Posting Komentar