Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Selasa, 11 November 2014

Peran Besar, Bung Kecil




1
FILM dokumenter itu menggetarkan. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir berdiri di depan
Sidang Dewan Keamanan, Lake Success, Amerika Serikat. Ia berbicara tentang sebuah
bangsa bernama Indonesia.
Sebuah bangsa muda yang memiliki sejarah peradaban yang
panjang. Cara bicara Bung Sjahrir tak menggelegak seperti Bung Karno, tapi runtut dan
jernih. "Selama 60 tahun film ini hilang," kata sejarawan Rushdy Hoesein.
Pembaca, film langka yang sempat hilang itu diputar di kantor redaksi Tempo, di
Proklamasi Nomor 72, dua bulan lalu. Walau berdurasi beberapa menit, film itu cukup
menggambarkan bagaimana Sjahrir mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di
Indonesia saat itu Belanda mengobarkan perang, ingin merebut kembali Indonesia.
Sjahrir berangkat ke Amerika, berpidato di mimbar Dewan Keamanan. Yang dilakukan
Sjahrir mirip dengan saat pertama kali Yasser Arafat berpidato di Perserikatan Bangsa-
Bangsa mewakili masyarakat Palestina yang berkeinginan bebas dari pendudukan Israel.
Kepada dunia internasional, Sjahrir memaklumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang
berdaulat.
Film dokumenter itu kami putar sebagai bagian penulisan edisi khusus 100 tahun Sjahrir
ini. Kami membuat serangkaian diskusi, mengundang mereka yang pernah mengenal
Sjahrir, seperti Rosihan Anwar, Des Alwi, Minarsih Soedarpo, Koeswari (satu-satunya
anggota dewan pimpinan Partai Sosialis Indonesia yang masih hidup), Gita Prasodjo, dan
Siti Rabyah Parvati atau yang akrab dipanggil Upik. Juga tokoh-tokoh yang meneliti
pemikiran Sjahrir, seperti Rahman Tolleng, Sabam Siagian, Fikri Jufri, sejarawan Rushdy
Hoesein, dan Ucu Aditya Gana, mahasiswa politik pascasarjana Universitas Indonesia yang
tengah menyusun tesis tentang Sjahrir.
Diskusi ala Tempo itu berlangsung hangat. Dengan suguhan kacang rebus, teh hangat,
dan sup ayam, para tokoh sepuh itu kelihatan antusias. Mulanya mereka ingin hadir tak
lebih dari dua jam. Maklum, kondisi kesehatan perlu dijaga ketat. Tapi, ketika diskusi
berjalan, semua hanyut dalam kenangan, dan mereka terus bertahan sampai malam.
Bahkan, ketika diskusi dilanjutkan beberapa hari kemudian, mereka datang dan terlibat
aktif. Sedemikian antusiasnya sampai bukan hanya film Sjahrir di Salt Lake yang hendak
mereka perlihatkan.
Selain film yang dibawa Rushdy tadi, Des Alwi memutar film saat Sjahrir melakukan
perjalanan dari Jakarta ke Yogya. Tokoh-tokoh sepuh yang hadir dalam diskusi tampak
http://serbasejarah.wordpress.com
2
berlomba menyebut siapa saja yang mendampingi Sjahrir saat itu. "Itu Hamid Algadri
menggendong putri pertamanya, Atika," kata Rosihan. Ketika dokumentasi pemakaman
Sjahrir diputar, Rosihan Anwar bisa menyebut hampir semua tokoh yang mengangkut dan
mengiringi peti jenazah.
l l l
Edisi khusus Sjahrir ini bukan edisi khusus pertama mengenai tokoh Republik yang kami
buat. Kami sudah pernah menerbitkan edisi khusus mengenai Soekarno, Hatta, Tan
Malaka, Aidit, dan Natsir. Dibandingkan dengan negarawan-negarawan itu, "kelas" Sjahrir
jelas tak kalah. Kisah hidupnya pun cukup berwarna.
Kami memperoleh bantuan tak ternilai untuk proyek ini. Rahman Tolleng, misalnya,
meminjamkan satu koper penuh buku koleksinya mengenai Sjahrir. Dari dokumen-
dokumen PSI, diktat-diktat, sampai tulisan-tulisan pengamat asing mengenai Sjahrir. Des
Alwi menyumbangkan foto-foto Sjahrir yang sangat langka, yang dia kumpulkan selama
puluhan tahun dan sengaja dia persiapkan untuk memperingati 100 tahun Sjahrir pada
pekan ini.
Dari situ kami langsung bergerak. Kami mengirim reporter ke Belanda untuk menyusuri
lagi kehidupan pribadi Sjahrir saat berada di negeri itu. Untuk membuat mudah pembaca,
bentuk penulisan edisi ini sengaja kami susun kronologis, dari awal masa sekolah Sjahrir di
Medan sampai detik-detik kematiannya di Zurich. Semua aspek kehidupan Sjahrir,
pendeknya, hendak kami gali, dari personalitas sampai pemikirannya.
Personalitas Sjahrir unik. Sjahrir yang tubuhnya pendek ini, misalnya, terkenal
berpembawaan tenang dan berani. Ada sebuah kisah anekdotal dari Soendoro, bekas
pegawai tinggi Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Yogyakarta. Dalam sebuah
sidang di Yogya pada November 1945, Sjahrir berdialog dengan pemimpin rakyat dan
pemuda. Mereka mengajukan usul menggebu-gebu tentang pertempuran 10 November di
Surabaya.
Tiba-tiba di luar gedung terdengar suara tembakan. Listrik mati. Ruangan seketika gelap-
gulita. Peserta sidang, yang semula garang, terkejut. Mereka merangkak ke kolong meja
mencari perlindungan. Ternyata tidak ada apa-apa. Listrik menyala lagi. Terlihat hanya
sang Perdana Menteri yang masih duduk tenang di kursinya, seakan tak terjadi apa-apa.
Kami juga ingin menyajikan tulisan seputar kontroversi-kontroversi yang dilakukan Sjahrir.
Salah satunya perundingan Linggarjati. Sering Sjahrir, yang mewakili Indonesia dalam
http://serbasejarah.wordpress.com
3
perundingan itu, disalahkan oleh kaum Republik karena perundingan ini dianggap
merugikan Indonesia.
Namun, bila ditinjau lebih jernih, Persetujuan Linggarjati sesungguhnya memberikan jeda
dan menjadi batu loncatan untuk menuju kemerdekaan penuh. Kemenangan terbesar dari
perjanjian itu adalah internasionalisasi persoalan Indonesia, yang tadinya hanya dianggap
urusan dalam negeri Belanda dan negara jajahannya. Sayangnya, banyak orang di dalam
negeri kurang memahami capaian itu.
Hal lain yang kami bahas adalah bagaimana sebenarnya Sjahrir adalah bapak politik luar
negeri bebas aktif kita. Dialah peletak dasar diplomasi kita. Untuk menembus blokade
Belanda sekaligus menaikkan pamor Indonesia di mata dunia, dengan cerdik Sjahrir
menawarkan bantuan beras kepada India yang sedang dilanda gagal panen. Belanda
hanya bisa membuntuti kapal-kapal barang itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
l l l
Satu yang paling penting adalah juga kami ingin menyajikan betapa pikiran-pikiran Sjahrir
merentang panjang ke depan. Pada 1940-an, misalnya, ia sudah meramalkan dunia akan
terbagi atas dua blok besar: Barat dan Timur-sesuatu yang menjadi kenyataan setelah
Perang Dunia II berakhir.
Rosihan Anwar menuturkan, dalam diskusi dengan teman-temannya di Partai Sosialis
Indonesia pada awal 1960-an, Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena
kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik.
Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal
dengan menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia. Dalam
pamfletnya yang terkenal, Perdjoeangan Kita, ia menulis, "Perjuangan kita sekarang ini tak
lain dari perjuangan untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa
kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita."
Itulah sebabnya kita dapat mengerti ketika Sjahrir menitikkan air mata tatkala suatu hari
dari Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Republik Indonesia ia melihat pemudi-pemudi
Ambon dan Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya, orang
Ambon dan Manado dianggap pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak
pernah ia sukai.
Sjahrir mengkritik keras para demagog politik. Sjahrir adalah pribadi yang senang dikritik
dan mengajari teman-temannya untuk selalu mengkritik pendapatnya. Sikap itu terus ia
http://serbasejarah.wordpress.com
4
bawa sewaktu mendekam di rumah tahanan Keagungan, Jakarta, 1962. Ketika itu, para
tahanan politik berbincang, bagaimana sikap mereka seandainya dipanggil ke Istana oleh
Soekarno. Para tahanan umumnya mengatakan tak mau datang sebelum dibebaskan.
Pendapat Sjahrir berbeda: "Saya akan datang karena saya masih menganggap dia sebagai
presiden saya."
Sebagai manusia, Sjahrir tentu bukan tanpa kelemahan. Kelompok yang tak suka
kepadanya menuduh dia orang yang peragu dan terlalu lembek terhadap Belanda.
Metode pengkaderan yang dilakukan partainya dicibir terlalu elitis.
Demikianlah pembaca, liputan kali ini ingin menampilkan sosok Sjahrir sebagai manusia,
lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya. Seorang manusia yang penuh dilema.
Tulisan dilengkapi kolom-kolom akademisi yang kami anggap mengerti tentang pemikiran
Sjahrir. Kami berharap edisi ini menjawab mengapa Sjahrir memilih jalan sebagai sosialis
.
Selamat membaca.
http://serbasejarah.wordpress.com
7
kebangsaan. Ia mulai aktif dalam perkumpulan pemuda kebangsaan, bahkan ikut
membentuk perhimpunan "Jong Indonesie" dan majalah perhimpunan. Akibatnya,
pemuda yang masih duduk di AMS itu dimata-matai polisi.
Aktif dalam politik tak membuat Sjahrir meninggalkan hobinya bermain bola dan
berkesenian. Ia menjadi anggota Club Voetbalvereniging Poengkoer, perkumpulan sepak
bola di tempat tinggalnya. Ia juga anggota klub sepak bola Luno, di sekolahnya. Lapangan
klub di Jalan Pungkur itu kini telah berubah menjadi gedung dan rumah tinggal.
Selain itu, bersama teman sekolahnya ia mendirikan perkumpulan sandiwara bernama
Batovis. Kelompok ini sering manggung di gedung Concordia, Gedung Merdeka sekarang.
Sjahrir berperan sebagai penulis naskah, sutradara, sesekali menjadi pemain. Hampir tiap
bulan mereka mementaskan sebuah lakon. Orang Belanda banyak menyaksikan
pertunjukan ini, karena menggunakan bahasa Belanda. Ke dalam ceritanya banyak
disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan saat itu.
Sjahrir mempunyai banyak teman, termasuk pemuda dan noni-noni Belanda yang suka
mengundangnya berpesta. Ia mahir berdansa waltz, fox trot, dan charleston. "Sjahrir tidak
membenci orang Belanda, yang dibenci paham imperialisme dan kolonialismenya," tulis
Syahbuddin Mangandaralam, dalam Apa dan Siapa Sutan Sjahrir (1986).
Satu kegiatan Sjahrir yang terkenal di kalangan pelajar AMS adalah kebiasaannya
membaca Algemene Indische Dagblad (AID). Buletin yang ditulis dalam bahasa Belanda itu
dipasang di jendela setiap pukul enam sore. Surat kabar itu dimaksudkan untuk pembaca
warga Belanda. Karena itu ia kerap diusir polisi Belanda, yang melarang anak sekolah
membaca berita tersebut. Bangunan itu hingga kini masih ada, di Jalan Braga II, Bandung.
Sjahrir bergerak hampir di semua bidang. Dalam pergerakan, ia juga mendirikan Tjahja
Volksuniversiteit atau Tjahja Sekolah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk
kalangan jelata.
Sjahrir dan kawan-kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang
diskusi politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di
kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap
pertemuan. Bintangnya tentu mereka yang dikenal ulung berdebat. Di situlah ia mengasah
kemampuannya bersilat lidah.
http://serbasejarah.wordpress.com
8
Rumah di Kaki Singgalang
SJAHRIR lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Namun datanglah ke Padang
Panjang, coba tanya masyarakat, di mana Sutan Sjahrir dilahirkan. Ternyata banyak yang
tak tahu. "Katanya memang dilahirkan di sini. Tetapi tempatnya itu kami tidak tahu,
mungkin karena ayahnya hanya sebentar bertugas di Padang Panjang," kata Taufik Dt.
Mangkuto Rajo, tokoh masyarakat di sana.
Jawaban yang sama juga datang dari aparat pemerintah Padang Panjang. "Kami enggak
tahu persis di mana Sutan Sjahrir dilahirkan," kata Zulkarnain Harun, Kepala Dinas
Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Tempo baru mendapat ancar-ancar di
mana letak rumah kelahiran Sjahrir ketika menghubungi Siti Rabiah Parvati, putri Sutan
Sjahrir, yang akrab dipanggil Upik, di Jakarta. "Sekitar sepuluh tahun lalu, saya dan ibu
saya berusaha mencari rumah kelahiran Ayah di Padang Panjang, dan ada yang
mengatakan lokasinya di Pesantren Diniyyah Putri," kata Upik.
Tempo menuju Perguruan Diniyyah Putri. Letaknya di Jalan Abdul Hamid Hakim Nomor
30, Padang Panjang. Perguruan Diniyyah Putri adalah pondok pesantren modern khusus
putri yang didirikan Rahmah El Yunusiyyah pada 1923. Pimpinan Diniyyah Putri kini,
Fauziah Fauzan, 38 tahun, mengaku mengetahui ihwal rumah kelahiran Sjahrir saat duduk
di bangku SMA. "Saat itu ibu saya bilang, aula kita itu dulunya tempat kelahiran Sutan
Sjahrir. Ibu mendapat cerita itu dari nenek saya, Hussainah Nurdin."
Aula itu cukup luas. Namun tak ada satu pun petunjuk Sjahrir pernah dilahirkan di sana.
Tidak ada foto Sjahrir yang dipajang di situ. Gedung pertemuan ini bulan lalu pernah
menjadi tempat Ijtimaq MUI se-Indonesia, yang mengeluarkan beberapa fatwa, di
antaranya larangan merokok dan larangan golput.
l l l
Sementara di Padang Panjang jejak Sjahrir tak bisa ditemui, di Nagari Koto Gadang, sekitar
15 kilometer dari Padang Panjang, masih ada sedikit kenangan fisik masa kecil Sjahrir.
Memasuki Koto Gadang di persimpangan jalan ada papan penunjuk arah ke jalan-jalan
yang lebih kecil, ada yang bertulisan Jalan Sutan Sjahrir, Jalan Rohana Kudus, Jalan Agus
Salim, dan Jalan Datuk Kayo.
Ayah Sjahrir, Muhammad Rasyad Maharajo Sutan, berasal dari Koto Gadang sementara
ibunya, Siti Rabiah, dari Natal, Sumatera Utara. Ayah Sjahrir memiliki enam istri. Siti Rabiah
ibu Sjahrir adalah istri kelima. Sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed,
http://serbasejarah.wordpress.com
9
mengatakan bahwa salah satu yang membentuk cakrawala intelektual Sjahrir tidak
terlepas dari latar belakang keluarga modern ayahnya di Koto Gadang. Pada abad ke-19,
di Koto Gadang, menurut Mestika Zed, Belanda membuat perkebunan kopi di lereng
Gunung Singgalang dan Merapi. Sekolah-sekolah didirikan Belanda untuk mencetak
tenaga kerja di perkebunan. Di Koto Gadang saat itu sudah ada tiga posisi karier pegawai
negeri yang dianggap luar biasa di Hindia Belanda: angku doto (mantri), angku guru, dan
angku jaksa. "Kakek Sutan Sjahrir (Lemang Sutan Palindin) dan ayah Sutan Sjahrir
(Muhammad Rasyad Maharajo Sutan) adalah angku jaksa dan masuk ke kalangan elite
pegawai Belanda," kata Mestika Zed.
Meski dari Padang Panjang kemudian keluarga Sjahrir tinggal di Medan, ia sering dibawa
ayahnya ke rumah neneknya di Koto Gadang. Rumah nenek Sjahrir itu kini sudah lama
menjadi rumah kosong. Terakhir ditinggali perajin perak. Saat Tempo ke sana tiga pekan
lalu, rumah itu terkunci.
Bersebelahan dengan Jalan Sutan Sjahrir, ada Jalan Rohana Kudus. Rohana Kudus,
wartawan perempuan pertama di Indonesia itu, adalah saudara tiri Sutan Sjahrir. Ia adalah
putri Kiam, istri pertama ayah Sjahrir. Rohana Kudus juga anak pertama, sehingga Sjahrir
memanggilnya One Rohana (kakak). Kini di rumah Rohana Kudus tinggal Adi Zulhadi,
cucu Ratna, adik Rohana Kudus. Di dalam rumah yang sebagian besar masih bangunan asli
itu, di ruangan tamu ada tiga foto Sutan Sjahrir yang tergantung di dinding, salah satunya
foto Sutan Sjahrir di depan rumah Rohana Kudus saat sudah menjadi perdana menteri dan
berkunjung ke Koto Gadang.
"Menurut cerita nenek saya, Sjahrir sering diajak ayahnya ke rumah ini, karena di sini
banyak saudara perempuannya," kata Adi Zulhadi. Adi mengatakan, neneknya bercerita,
saat Sjahrir datang tatkala sudah menjadi perdana menteri, rumah sangat ramai. "Rohana
dan Sjahrir, katanya, sering berdiskusi tentang perkembangan politik," tutur Adi.
http://serbasejarah.wordpress.com
10
Antara Tuschinski dan Stadsschouwburg
SUASANA kampus di kawasan Oudemanhuispoort alias Old Man's House, tepat di jantung
Amsterdam, Belanda, pada sore dua pekan lalu itu begitu tenang. Para mahasiswa, yang
baru selesai mengikuti kuliah, bergerombol di depan pintu masuk gedung yang
berarsitektur klasik itu.
Menempati sebuah gedung bersejarah yang berdiri sejak 1602, Fakultas Hukum
Universitas Amsterdam dikelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu. Fakultas ini
merupakan impian mahasiswa dari seantero negeri, bahkan luar negeri, yang ingin
mempelajari ilmu hukum. Tak aneh bila fakultas ini memiliki jumlah mahasiswa dan
pengajar terbanyak dibanding fakultas lain.
Fakultas ini memiliki fasilitas lengkap. Perpustakaannya, misalnya, menyimpan jutaan
buku. Suasana belajar juga sangat nyaman. Di sepanjang lorong-lorong gedung fakultas
terdapat beberapa kios yang menjual buku-buku bekas berharga miring. Buku murah itu
jelas amat membantu mahasiswa yang berkantong cekak.
Suasana asri kampus semacam ini, 80 tahun silam, tetap tak bisa membuat seorang
pemuda berkulit cokelat, Sjahrir, betah berdiam di situ. Sejak kedatangannya ke Negeri
Kincir Angin pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktu di luar tembok kampus.
Dunia luar, pertemuannya dengan orang dari berbagai bangsa, lebih menarik
perhatiannya ketimbang kegiatan belajar dan diskusi di dalam ruang kuliah.
Pada usia yang baru menginjak 20 tahun, Sjahrir memang sudah mengecap kehidupan
yang relatif modern saat bersekolah di Algemene Middelbare School di Bandung. Namun
Amsterdam, kota di Benua Eropa itu, jelas lebih kosmopolitan ketimbang Bandung.
Pergaulan antarmanusia di sana juga egaliter ketimbang di Hindia Belanda.
Amsterdam memang memikat pemuda Sjahrir. Maka, ketimbang mengikuti kuliah dan
mengunjungi perpustakaan kampus, Sjahrir lebih sering ngelencer mendatangi pusat
budaya atau tempat-tempat berkumpul mahasiswa. Salah satu lokasi yang sering ia
kunjungi adalah bioskop alias Cinema Tuschinski di kawasan Rembrandtplein.
Gedung bioskop ini dibangun dengan gaya campur aduk antara Art Deco, Art Nouveau,
dan aliran arsitektur Amsterdam yang sedang jadi tren pada awal 1900-an. Sampai kini
http://serbasejarah.wordpress.com
11
gedung itu masih berfungsi sebagai bioskop komersial dan sering menjadi lokasi utama
festival film, misalnya International Documentary Film Amsterdam.
Selain menyukai film, Sjahrir muda menggemari teater. Dan hanya satu blok dari Cinema
Tuschinski terdapat gedung teater tua yang terkenal: Stadsschouwburg. Gedung teater ini
terletak di daerah ramai Leidseplein, salah satu pusat kehidupan malam di Amsterdam. Di
tempat ini Sjahrir sering menonton pertunjukan, baik sendiri maupun bersama teman.
Dari Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Stadsschouwburg bisa ditempuh dengan
jalan kaki sekitar 20 menit. Bila naik sepeda, hanya makan waktu 10 menit. Kini di depan
teater itu setiap dua menit lewat trem.
Gedung Stadsschouwburg sejatinya sudah berkali-kali runtuh dan berulang kali pula
dibangun kembali sejak akhir abad ke-15. Bangunan yang kini berdiri terakhir kali
"ditegakkan" pada 1894. Arsiteknya saat itu, Jan L. Springer, memilih membangun kembali
dengan gaya ala Baroque Revival.
Sampai saat ini, Stadsschouwburg masih mementaskan sejumlah pertunjukan teater,
pameran foto, pameran lukisan, dan beragam kegiatan budaya lainnya. Seiring
perkembangan zaman, sarana transportasi untuk mengunjungi gedung teater itu semakin
mudah.
Sejak pertama kali dibangun, teater ini menjadi tempat favorit masyarakat umum dan
pelajar untuk kongko-kongko. Ini lantaran program budaya yang mereka tawarkan selalu
memikat. Apalagi di sekitar gedung tersebut juga banyak tempat menarik.
Di bagian kiri gedung, misalnya, terdapat Jalan Marnixstraat, yang di seberangnya ada
Hotel American, yang terkenal dengan bar dan kafenya. Di bar itulah Sjahrir dan teman-
temannya biasa berkumpul. Cafe Americain, yang dibangun pada 1900 dengan gaya Art
Deco, merupakan tempat berkumpul mahasiswa dari kalangan borjuis dan berduit. Kafe ini
bukan kedai murah.
Masih di kawasan Leidseplein, terdapat jalan-jalan kecil yang juga dipenuhi kafe. Di salah
satu jalan kecil, Lange Leidse Dwaarstraat, dulu terdapat Sociaal Democratische Studenten
Club. Perkumpulan yang pernah diketuai sahabat Sjahrir, Salomon Tas, itu kini sudah tak
ada. Namun suasana di sekitar tempat itu sampai kini masih terasa dinamis. Banyak anak
muda menghabiskan waktu di antara kafe-kafe di sepanjang jalan tersebut.
Saat pertama kali datang, Sjahrir menumpang di flat yang disewa keluarga kakaknya, Siti
Sjahrizad alias Nuning Djoehana, di kawasan Amsterdam Selatan. Daerah itu dulu dihuni
http://serbasejarah.wordpress.com
12
masyarakat kelas menengah yang makmur. Kini tempat itu sudah berubah, banyak berdiri
gedung pencakar langit. Setelah keluarga Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di
rumah kecil milik keluarga Salomon Tas, masih di kawasan yang sama.
Mengikuti teman-temannya, Sjahrir kemudian pindah kuliah ke Leiden, satu jam perjalanan
kereta dari Amsterdam. Leiden merupakan kota ilmu yang terpandang. Sjahrir mendaftar
ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Ch.
Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu, mengajar.
Pergaulan luas Sjahrir dengan kalangan cendekiawan dan aktivis politik di Leiden
meninggalkan bekas sampai sekarang. Namanya ditahbiskan sebagai nama jalan-kendati
jalan kecil: Sjahrirstraat. Jalan ini melengkapi jalan-jalan lain untuk mengenang sejumlah
tokoh dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan
Camilo Torresplein.
Sjahrirstraat, yang terletak di pinggiran Kota Leiden, merupakan area pembangunan
permukiman baru untuk kalangan pekerja dengan penghasilan menengah ke bawah.
Sayang, ketika Tempo bertandang ke kawasan itu dua pekan lalu, tak ada seorang pun
yang mengenali bekas Perdana Menteri Indonesia ini. "Tapi saya tahu dia pasti orang
terkenal juga, karena nama-nama di jalan ini adalah nama-nama orang terkenal," kata
seorang warga yang kebetulan lewat.
Sarmadji, warga Belanda asal Indonesia yang sudah lama menetap di Leiden, punya
penilaian terhadap Sjahrir. "Dia hanya bergaul dengan kalangan intelektual kelas atas. Jadi
dia agak berjarak dengan kalangan bawah, walaupun dia berusaha untuk mengatasi itu."

0 komentar

Posting Komentar