Kalau ada orang yang menyebut Soekarno
itu seorang Marxis itu benar adanya. Hanyasaja identifikasi itu tidak
mutlak, sebab pribadi Soekarno bisa ditafsirkan melebih itu.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Soekarno itu, ada baiknya kalau
membaca tulisan “Soekarno oleh Soekarno sendiri”
: Pemandangan, 14 Juni 1941, Soekarno melukiskan dirinya lewat kata-kata:
“Ada orang yang menyatakan Soekarno
itu nasionalis, ada orang yang mengatakan Soekarno bukan laginasionalis,
tetapi Islam, bukan marxis, tetapi seorang yang berpaham sendiri.
Golongan tersebut belakangan ini berkata mau disebut dia nasionalis, dia
tidak setuju dengan apa yang biasanya disebutnasionalisme, mau disebut
Islam, dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai pahamnya
banyak orang Islam, mau disebut bukan marxis, dia ‘gila’ kepada marxisme
itu?… Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah?
Pembaca-pembaca Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu?”
Lewat pernyataan itu, sebenarnya Soekarno
ingin menggunakan kalau dirinya adalah lambang persatuan, di mana
aliran pokok identitas terpadu di dalam dirinya. Oleh karena itu,
identifikasi tunggal terhadap diri Soekarno, kalau ia adalah seorang
marxis, tidak berlaku. Sebab ia bisa disebut sebagai seorang nasionalis
dan sekaligus sebagai orang Islam.Melalui tulisan ini, saya mencoba
menjawab sejauh mana Soekarno yang terpengaruh Marxisme. Untuk itu ada
baiknya kalau melihat proses sosialisasi Soekarno terlebih dahulu. Awal
mulanya Soekarno mengenal Marxisme itu didapat ketika ia berdiam di
rumah H.O.S.Tjokroaminoto, tokoh SI yang terkenal itu. Tempat itu dapat
dikatakan merupakan “apa dan siapa” awalnya nasionalisme Indonesia,
kalau saya boleh meminjam istilah John D Legge, yang ahli Soekarno itu,
Disanalah Soekarno mengenal marxisme lewat mulut Alimin dan Semaun,
tetap ia juga belajar tentang Marxisme lewat C Hartogh, seorang guru
Hogere Burger School di Surabaya, tempat Soekarno menuntut ilmu. Pribadi
C Hartogh yang anggota Indische Sociaal Democratische Vereeninging,
Kemudian menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Partij adalah
seorang sosial demokrat. Hubungan Soekarno dengan C Hartogh, bukan
hubungan yang terbatas di dalam sekolah, tetapi ia mampu juga
mempengaruhi Soekarno agar pemikirannya lebih moderat. D.M.G Koch, yang
merupakan juru bicara ISDP, adalah orang yang sering meminjamkan
buku-buku tentang marxisme kepada Soekarno, walaupun hubungan
mereka berdua hanya terbatas pada itu saja.
Tulisan Soekarno yang bernada marxisme, mungkin dapat ditelusuri lewat tulisannya yang berjudul ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme´ sebuah tulisan yang diterbitkan oleh Indonesia Moeda,
milik Kelompok Studi Umum Bandung, yang dipimpin Soekarno, dimuat tiga
kali berturut-turut, November-Desember 1926 dan Januari 1927. Disanalah
terlihat secara jelas pengetahuan Soekarno tentang marxisme yang begitu
luas, bagi anak muda seusianya. Tetapi bukan berarti ia dogmatis melihat
marxisme, seperti apa yang dikatakan dalam tulisannya.
“Adapun teori marxisme sudah berubah
pula. Memang seharusnya begitu Marx danEngels bukanlah nabi-nabi yang
bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai segala zaman.Teori-teorinya haruslah dilakukan pada perubahan dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”
Begitu pula dengan pleidoi Soekarno yang
diucapkan di depan Landraad Bandung,memperlihatkan besar pengaruh
marxisme dalam diri Soekarno, ketika ia menguraikan tentang betapa
kejamnya kapitalisme dan imperialisme itu yang terjadi di Nusantara itu.
‘Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara
produksi memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi, kata Soekarno,
kalau diperhatikan ungkapan itu jelas sekali mengingat kata-kata yang
diungkapkan kaum marxis. Bahkan ketika ia mengajukan argumentasi bahwa
imperialism adalah konsekuensi dari ekspor modal guna mencegah
merosotnya nilai modal di dalam negeri.Sebenarnya ia sudah bergerak
jauh, ia terpengaruh oleh analisis Lenin dalam bukunya “Imperialisme. Tingkat Tertinggi Kapitalisme”.
Ada periode tertentu, dalam sejarah
pemikiran Soekarno yang oleh Bernhard Dahm dianggap sebagai satu tahap
marhaenis (marxis), tahun 1932-1933. Pada masa itu terlihat secara jelas
pengaruh marxis, ia membicarakan tentang Demokrasi Politik dan
Demokrasi Ekonomi,yang mana disebutkan kalau pembangunan politik
hendaknya sejalan dengan pembangunan ekonomi, di mana seorang yang
mengecap kebebasan politik, seharusnya dapat pula mengecap kesejahteran
sosial. Untuk itulah ia tak menyetujui terjadinya demokrasi parlementer,
”..Kapitalisme subur dan merajalela, di semua negeri itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sesengsarnya..”
Kata-kata yang diucapkan Soekarno itu, sering terdengar sebagai ucapan
seorang marxis, yang mana senatiasa menekankan perlunya keselarasan
kedua demokrasi itu.
Walaupun Soekarno seorang marxis, ia tidak sepenuhnya menjalankan doktrin marxis,seperti yang terlihat dalam tulisannya “Kapitalisme Bangsa Sendiri?”
Soekarno menyebutkan bahwa kapitalisme bangsa Indonesia harus ditentang
sebab menyengsarakan kaum Marhaen.Pertanyaan yang muncul adalah, apa
perlu menggunakan perjuangan kelas? Untuk itu, Soekarno mempunyai
jawaban “…Dan apakah prinsip kita itu berarti bahwa kita ini harus
mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis
mementingkan perjuangan nasional perjuangan kebangsaan…” Pernyataan
ini, jelas menunjukkan bahwa ia tak pernah menginginkan adanya
perjuangan kelas. Yang diinginkan adalah, terjadi revolusi nasional atau
tahap revolusi sosial perlu diadakan kemudian. Di sini Moh Hatta lebih
radikal, menginginkan revolusi nasional dan revolusi sosial berjalan
seiring.Tulisan Soekarno dalam Fikiran Ra´jat dengan judul
“Marhaen dan Proletar” disertai komentar oleh Soekarno, dalam bulan Juli
1933. Tulisan ini merupakan kesembilan tesis yang penting dari Partai
Indonesia (Partindo) Dalam butir kedua, dikatakan. “Marhaen, yaitu
kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia yang lain-lain.” Di sini kelihatan sikap kritis
Soekarno terhadap marxisme. Soekarno lebih menyukai kata atau istilah
Marhaen daripada Proletar, sebab istilah Marhaen lebih mengenai untuk
masyarakat agraris seperti Indonesia. Walaupun gagasannya itu dianggap
melebihi marxisme, tetapi ia masih tetap percaya terhadap
ramalan-ramalan marxisme. Seperti terlihat, ketika ia memberi
komentar pada butir kelima, kaum proletar harus memainkan peranan yang
teramat penting dalam perjuangan kaum Marhaen. Seperti halnya, Karl Marx
senantiasa mendengung-dengungkan tentang pentingnya peranan kaum
proletar dalam revolusi sosial.
Alasan yang dikemukakan oleh Soekarno
adalah, sebab merekalah yang langsung menderita. Soekarno juga melihat
mereka mempunyai pandangan yang lebih modern dan cocok untuk berjuang
melawan kejayaan kaum kapitalis. Untuk membenarkan pendapatnya Soekarno
mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan proletariat merupakan sociale noodwendigheid (Keniscayaan Sosial) dan setelah itu akan menjadi historische noodwendigheid (KeniscayaanSejarah ), di mana kaum kapitalis hancur.
Bagi Soekarno, Marxisme tidak hanya
membuktikan kebobrokan kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga harapan
bahwa mereka akan dapat dikalahkan. Karena itulah ia percaya pada
ramalan-ramalannya; ia percaya pada antitesis yang tidak bisa didamaikan
antara modal dan tenaga kerja. Yang nantinya menyebabkan hancurnya
imperialisme.
Risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka yang
ditulis pada tahun 1932. Ia mencoba merumuskan secara tegas tentang
perlunya sebuah partai yang mempunyai disiplin ketat serta terdapat
pucuk pimpinan yang diberi kekuasaan hampir diktaktoral untuk
mendisiplin para anggota partai. Bahkan sebegitu kuasanya pucuk pimpinan
itu, yang dapat menentukan apa yang marhaenis apa yang bukan. Kalau
melihat secara sepintas, tampaknya partai ini merupakan replika dari
partai pelopor yang diperkenalkan oleh Lenin. Tetapi sebenarnya tidaklah
tepat, sebab tujuan partai pelopor yang diperkenalkan Soekarno dengan
Lenin mempunyai tujuan yang berbeda. Kalau Soekarno menyeruhkan
demokrasi sentralisme agar supaya Partai Marhaenisnya yang bisa dimasuki
oleh setiap orang Indonesia yang menganggap dirinya Marhaenis –
mampu berfungsi. Sementara Lenin telah menggunakan sentralisme untuk
membersihkan partainya dan membebaskan dari semua unsur yang
merintanginya. Usaha partai pelopor ini nantinya diperkenalkan lagi
sesudah Indonesia Merdeka dan mendapat tantangan berbagai pihak, karena
dianggap mencerminkan tidak demokratis.
Walapun Soekarno sangat terpesona dengan
ajaran-ajaran Karl Marx dan Lenin. Tetapi Soekarno cukup kritis melihat
ajaran-ajaran Karl Marx, yang dianggap Karl Marx tidak sepenuhnya tepat
untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi berbeda dengan Mao Zedong dan Ho
Chi Minh yang menyesuaikan ajaran Karl Marx dengan kondisi pertanian
negaranya. Soekarno sama sekali tidak sampai tingkat operasional dari
ajaran Karl Marx. Yang diinginkan adalah jiwa ajaran tersebut, tentang
hubungan yang eksploitatif antara pemilik modal dan pekerja. Tipe
manusia Indonesia dilihatnya dalam diri Pak Marhaen, seorang petani yang
ditemuinya di Bandung Selatan.
Tetapi Soekarno tidak mau melangkah lebih
daripada mengindentifikasi adanya Marhaen tadi. Sebab, kalau dia
melangkah maka akan harus terjadi penggolongan dalam masyarakat, yang
tentu tidak sesuai dengan upaya persatuan yang didambakannya, dengan
menghindari kerangka operasional dari teori Karl Marx, maka tepatlah
jika dikatakan bahwa dia tidaklah secara utuh menerapkan apa itu yang
disebut marxisme. Ini tentu saja berbeda dengan cara Tan Malaka maupun
Sutan Sjahrir memperlakukan ajaran Karl Marx.
Dalam kaitan ini, dapat dikatakan
terdapat ketergantungan pemikiran politik Soekarno pada pemikir kaum
sosialis Barat, kata Roger K Paget dalam bukunya, Indonesia Accuses :Soekarno´s Defence Oration in the Political Trial of 1930 (Kuala
Lumpur : Oxford University Press, 1975). Hanya saja menarik, kalau
Soekarno jelas tampaknya tidak menggantungkan konsep-konsep pemikirannya
secara kuat pada salah seorang pemikir sosialis tertentu, seperti
Bauer, Brailsford, Engels, Jaures, Kaustky, Marx dan Troelstra,
melainkan sesuai dengan kebutuhannya buat mengemukakan atau mempertajam
konsep-konsepnya sendiri. Seperti halnya, ketika Soekarno menyatakan
perlunya persatuan antara kaum marxis dengan kaum muslim. Soekarno
mengadakan pembedaan antara filsafat materialisme dan histors
materialisme dalamteori Marx, dan menunjukkan bahwa historis
materialisme lebih tergantung pada filsafat materialisme. Karena itu,
tidak perlu bagi Marxisme, sebagai teori sosial untuk anti agama.
Selanjutnya Soekarno menegaskan, dalam kondisi di Indonesia, marxisme
dan Islam berada dibawah, dalam posisi berjuang melawan kapitalisme dan
imperialisme.
Pidato Soekarno yang amat bersejarah itu,
1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila.
Jelas sekali terdapat nada-nada Marxisme. Pada uraian Soekarno
tentang proses meringkas dari lima sila menjadi tiga sila, yaitu
Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasidan Ketuhanan. Sebenarnya kata
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah kata tidak laintidak bukan
Marhaenisme. Marhaenisme jelas terpengaruh oleh Marxisme. Sehingga
tidak usahheran kalau kalau George McTurnan Kahin, melalui bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia - menilai Pancasila sebagai “Synthesis of western democratic, modernist Islamict, Marxist, and Indegenous-village democratic and communalistic ideas”.
Dalam kursus tentang Pancasila, Soekarno
menegaskan kalau ingin memahami marhaenisme, terlebih dahulu harus
memahami Marxisme dan keadaan di Indonesia. Sebab marhaenisme, kata
Soekarno, adalah marxisme yang diselenggarakan di Indonesia, yang
disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. “het in Indonesia toegepaste
marxisme” Dan Soekarno menolak kalau marxisme itu komunis, tetapi
menolak juga kalau marxisme itu sosialisme kanan. Marxisme itu, kata
Soekarno, adalah satu ´denkmethode´, satu cara pemikiran. Cara pemikiran
untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus dijalankan,
agar supaya bisa tercapai masyarakat yang adil.
Mungkin yang menarik, adalah kejadian
pada Kongres Kesembilan di Solo tahun 1960. Soekarno yang diakui sebagai
Bapak Marhaenisme, menghendaki agar Marhaenisme yang dijadikan ideologi
PNI, disesuaikan dengan apa yang dimaksud – Marxisme yang diterapkan
sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Keinginan Soekarno itu
baru bisa tercapai pada tahun 1964, dengan adanya doktrin Marhaenisme,
atau Deklarasi Marhaenis. Sebenarnyamemperlihatkan bahwa di kalangan PNI
sendiri sering terjadi penafsiran tidak tunggal terhadapajaran-ajaran
Soekarno itu.Ketika Soekarno mulai bergeser semakin ke kiri. Tentu saja,
timbul pertanyaan, apakah ada persamaan antara Soekarnoisme dengan
Komunisme. Walaupun terdapat persamaan antara kedua ideologi atau
kepentingan dari Soekarno dan PKI misalnya, anti imperialisme yang
radikal dan anti asing, yang dituangkan dalam kampanye-kampanye
pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia sebagai suatu
perang suci.
Satu-satunya tema utama dalam
pidato-pidato pada tahun 1960-an itu ialah tentang revolusi. Meskipun
dahulu ia menulis dan berbicara tentang revolusi. Pembagian tentang
tahap revolusi nasional dan revolusi sosialis telah diuraikan lebih
lanjut dalam Sarinah. Pembagian ini mempunyai kesamaannya dengan
teori Karl Marx tentang tahap-tahap revolusi. Kesamaannya ialah analisis
Soekarno juga menunjukkan tanda-tanda pemikiran Karl Marx, yakni
kesadaran kelas yang menjadi sebagian dari persiapan setiap tingkat
revolusi, sekurang-kurangnya ada tahap-tahap yang berurutan, dalam
pengertian bahwa revolusi sosial harus menunggu sampai selesainya
revolusi nasional. Apa itu revolusi? Soekarno menjelaskan kalau revolusi
itu adalah suatu perjuangan yang terus menerus. Walaupun begitu,
Soekarno secara sadar atau tidaknya pernyataan-pernyataan tentang
revolusi itu sebenarnya hanya bertujuan mempertahankan suatu status quo sosial belaka.
Pada tanggal 30 September 1960, Soekarno di depan Sidang Umum ke-15, lewat pidatonya yang berjudul To Build the World Anew
dan dilanjutkan dengan pidatonya pada Konperensi Negara Nonblok II (Era
Konfrontasi) di Kairo, 6 Oktober 1964. Soekarno menegaskan kolonialisme
dan imperialisme muncul dengan menggunakan “baju baru” dan ia justru
lebih berbahaya, yang dimanifestasikan dengan dominasi kekuatan Orde
Lama. Untuk itu, Soekarno mempertentangkan antara New Emerging Forces
melawan The Old Established Forces. Secara sadar atau tidak Soekarno
sebenarnya telah mengembangkan pendekatan marxis dengan menggunakan
proses dialektika. Seperti halnya, ketika ia mempertentangkan
antara Nasionalisme sebagai lawan dialektika Kolonialisme Belanda.
Lewat tulisan ini terlihat sekali
pengaruh dari pemikiran marxis, tetapi jangan sekali-kali kalau Soekarno
itu disebut sebagai seorang marxis saja. Toh, sebab manusia yang
dianggap kontroversial itu sarat dengan pemikiran Islam maupun
Nasionalisme. Mungkin ia adalah campuran isme-isme. Setuju?
0 komentar
Posting Komentar