Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Jumat, 12 Desember 2014

Soekarno dan Marxisme

Kalau ada orang yang menyebut Soekarno itu seorang Marxis itu benar adanya. Hanyasaja identifikasi itu tidak mutlak, sebab pribadi Soekarno bisa ditafsirkan melebih itu. Untuk mengetahui siapa sebenarnya Soekarno itu, ada baiknya kalau membaca tulisan “Soekarno oleh Soekarno sendiri
: Pemandangan, 14 Juni 1941, Soekarno melukiskan dirinya lewat kata-kata:
Ada orang yang menyatakan Soekarno itu nasionalis, ada orang yang mengatakan Soekarno bukan laginasionalis, tetapi Islam, bukan marxis, tetapi seorang yang berpaham sendiri. Golongan tersebut belakangan ini berkata mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebutnasionalisme, mau disebut Islam, dia mengeluarkan paham-paham yang tidak sesuai pahamnya banyak orang Islam, mau disebut bukan marxis, dia ‘gila’ kepada marxisme itu?… Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu?”
Lewat pernyataan itu, sebenarnya Soekarno ingin menggunakan kalau dirinya adalah lambang persatuan, di mana aliran pokok identitas terpadu di dalam dirinya. Oleh karena itu, identifikasi tunggal terhadap diri Soekarno, kalau ia adalah seorang marxis, tidak berlaku. Sebab ia bisa disebut sebagai seorang nasionalis dan sekaligus sebagai orang Islam.Melalui tulisan ini, saya mencoba menjawab sejauh mana Soekarno yang terpengaruh Marxisme. Untuk itu ada baiknya kalau melihat proses sosialisasi Soekarno terlebih dahulu. Awal mulanya Soekarno mengenal Marxisme itu didapat ketika ia berdiam di rumah H.O.S.Tjokroaminoto, tokoh SI yang terkenal itu. Tempat itu dapat dikatakan merupakan “apa dan siapa” awalnya nasionalisme Indonesia, kalau saya boleh meminjam istilah John D Legge, yang ahli Soekarno itu, Disanalah Soekarno mengenal marxisme lewat mulut Alimin dan Semaun, tetap ia juga belajar tentang Marxisme lewat C Hartogh, seorang guru Hogere Burger School di Surabaya, tempat Soekarno menuntut ilmu. Pribadi C Hartogh yang anggota Indische Sociaal Democratische Vereeninging, Kemudian menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Partij adalah seorang sosial demokrat. Hubungan Soekarno dengan C Hartogh, bukan hubungan yang terbatas di dalam sekolah, tetapi ia mampu juga mempengaruhi Soekarno agar pemikirannya lebih moderat. D.M.G Koch, yang merupakan juru bicara ISDP, adalah orang yang sering meminjamkan buku-buku tentang marxisme kepada Soekarno, walaupun hubungan mereka berdua hanya terbatas pada itu saja.
Tulisan Soekarno yang bernada marxisme, mungkin dapat ditelusuri lewat tulisannya yang berjudul  ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme´ sebuah tulisan yang diterbitkan oleh Indonesia Moeda, milik Kelompok Studi Umum Bandung, yang dipimpin Soekarno, dimuat tiga kali berturut-turut, November-Desember 1926 dan Januari 1927. Disanalah terlihat secara jelas pengetahuan Soekarno tentang marxisme yang begitu luas, bagi anak muda seusianya. Tetapi bukan berarti ia dogmatis melihat marxisme, seperti apa yang dikatakan dalam tulisannya.
“Adapun teori marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu Marx danEngels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai segala zaman.Teori-teorinya haruslah dilakukan pada perubahan dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”
Begitu pula dengan pleidoi Soekarno yang diucapkan di depan Landraad Bandung,memperlihatkan besar pengaruh marxisme dalam diri Soekarno, ketika ia menguraikan tentang betapa kejamnya kapitalisme dan imperialisme itu yang terjadi di Nusantara itu. ‘Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi, kata Soekarno, kalau diperhatikan ungkapan itu jelas sekali mengingat kata-kata yang diungkapkan kaum marxis. Bahkan ketika ia mengajukan argumentasi bahwa imperialism adalah konsekuensi dari ekspor modal guna mencegah merosotnya nilai modal di dalam negeri.Sebenarnya ia sudah bergerak jauh, ia terpengaruh oleh analisis Lenin dalam bukunya “Imperialisme. Tingkat Tertinggi Kapitalisme”.
Ada periode tertentu, dalam sejarah pemikiran Soekarno yang oleh Bernhard Dahm dianggap sebagai satu tahap marhaenis (marxis), tahun 1932-1933. Pada masa itu terlihat secara jelas pengaruh marxis, ia membicarakan tentang Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,yang mana disebutkan kalau pembangunan politik hendaknya sejalan dengan pembangunan ekonomi, di mana seorang yang mengecap kebebasan politik, seharusnya dapat pula mengecap kesejahteran sosial. Untuk itulah ia tak menyetujui terjadinya demokrasi parlementer, ”..Kapitalisme subur dan merajalela, di semua negeri itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sesengsarnya..” Kata-kata yang diucapkan Soekarno itu, sering terdengar sebagai ucapan seorang marxis, yang mana senatiasa menekankan perlunya keselarasan kedua demokrasi itu.
Walaupun Soekarno seorang marxis, ia tidak sepenuhnya menjalankan doktrin marxis,seperti yang terlihat dalam tulisannya “Kapitalisme Bangsa Sendiri?” Soekarno menyebutkan bahwa kapitalisme bangsa Indonesia harus ditentang sebab menyengsarakan kaum Marhaen.Pertanyaan yang muncul adalah, apa perlu menggunakan perjuangan kelas? Untuk itu, Soekarno mempunyai jawaban “…Dan apakah prinsip kita itu berarti bahwa kita ini harus mementingkan perjuangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis mementingkan perjuangan nasional perjuangan kebangsaan…” Pernyataan ini, jelas menunjukkan bahwa ia tak pernah menginginkan adanya perjuangan kelas. Yang diinginkan adalah, terjadi revolusi nasional atau tahap revolusi sosial perlu diadakan kemudian. Di sini Moh Hatta lebih radikal, menginginkan revolusi nasional dan revolusi sosial berjalan seiring.Tulisan Soekarno dalam Fikiran Ra´jat dengan judul “Marhaen dan Proletar” disertai komentar oleh Soekarno, dalam bulan Juli 1933. Tulisan ini merupakan kesembilan tesis yang penting dari Partai Indonesia (Partindo) Dalam butir kedua, dikatakan. “Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.” Di sini kelihatan sikap kritis Soekarno terhadap marxisme. Soekarno lebih menyukai kata atau istilah Marhaen daripada Proletar, sebab istilah Marhaen lebih mengenai untuk masyarakat agraris seperti Indonesia. Walaupun gagasannya itu dianggap melebihi marxisme, tetapi ia masih tetap percaya terhadap ramalan-ramalan marxisme. Seperti terlihat, ketika ia memberi komentar  pada butir kelima, kaum proletar harus memainkan peranan yang teramat penting dalam perjuangan kaum Marhaen. Seperti halnya, Karl Marx senantiasa mendengung-dengungkan tentang pentingnya peranan kaum proletar dalam revolusi sosial.
Alasan yang dikemukakan oleh Soekarno adalah, sebab merekalah yang langsung menderita. Soekarno juga melihat mereka mempunyai pandangan yang lebih modern dan cocok untuk berjuang melawan kejayaan kaum kapitalis. Untuk membenarkan pendapatnya Soekarno mengutip pendapat Karl Marx yang mengatakan proletariat merupakan sociale noodwendigheid (Keniscayaan Sosial) dan setelah itu akan menjadi historische noodwendigheid (KeniscayaanSejarah ), di mana kaum kapitalis hancur.
Bagi Soekarno, Marxisme tidak hanya membuktikan kebobrokan kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga harapan bahwa mereka akan dapat dikalahkan. Karena itulah ia percaya pada ramalan-ramalannya; ia percaya pada antitesis yang tidak bisa didamaikan antara modal dan tenaga kerja. Yang nantinya menyebabkan hancurnya imperialisme.
Risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka yang ditulis pada tahun 1932. Ia mencoba merumuskan secara tegas tentang perlunya sebuah partai yang mempunyai disiplin ketat serta terdapat pucuk pimpinan yang diberi kekuasaan hampir diktaktoral untuk mendisiplin para anggota partai. Bahkan sebegitu kuasanya pucuk pimpinan itu, yang dapat menentukan apa yang marhaenis apa yang bukan. Kalau melihat secara sepintas, tampaknya partai ini merupakan replika dari partai pelopor yang diperkenalkan oleh Lenin. Tetapi sebenarnya tidaklah tepat, sebab tujuan partai pelopor yang diperkenalkan Soekarno dengan Lenin mempunyai tujuan yang berbeda. Kalau Soekarno menyeruhkan demokrasi sentralisme agar supaya Partai Marhaenisnya yang bisa dimasuki oleh setiap orang Indonesia yang menganggap dirinya Marhaenis – mampu berfungsi. Sementara Lenin telah menggunakan sentralisme untuk membersihkan partainya dan membebaskan dari semua unsur yang merintanginya. Usaha partai pelopor ini nantinya diperkenalkan lagi sesudah Indonesia Merdeka dan mendapat tantangan berbagai pihak, karena dianggap mencerminkan tidak demokratis.
Walapun Soekarno sangat terpesona dengan ajaran-ajaran Karl Marx dan Lenin. Tetapi Soekarno cukup kritis melihat ajaran-ajaran Karl Marx, yang dianggap Karl Marx tidak sepenuhnya tepat untuk diterapkan di Indonesia. Tetapi berbeda dengan Mao Zedong dan Ho Chi Minh yang menyesuaikan ajaran Karl Marx dengan kondisi pertanian negaranya. Soekarno sama sekali tidak sampai tingkat operasional dari ajaran Karl Marx. Yang diinginkan adalah jiwa ajaran tersebut, tentang hubungan yang eksploitatif antara pemilik modal dan pekerja. Tipe manusia Indonesia dilihatnya dalam diri Pak Marhaen, seorang petani yang ditemuinya di Bandung Selatan.
Tetapi Soekarno tidak mau melangkah lebih daripada mengindentifikasi adanya Marhaen tadi. Sebab, kalau dia melangkah maka akan harus terjadi penggolongan dalam masyarakat, yang tentu tidak sesuai dengan upaya persatuan yang didambakannya, dengan menghindari kerangka operasional dari teori Karl Marx, maka tepatlah jika dikatakan bahwa dia tidaklah secara utuh menerapkan apa itu yang disebut marxisme. Ini tentu saja berbeda dengan cara Tan Malaka maupun Sutan Sjahrir memperlakukan ajaran Karl Marx.
Dalam kaitan ini, dapat dikatakan terdapat ketergantungan pemikiran politik Soekarno pada pemikir kaum sosialis Barat, kata Roger K Paget dalam bukunya, Indonesia Accuses :Soekarno´s Defence Oration in the Political Trial of 1930 (Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1975). Hanya saja menarik, kalau Soekarno jelas tampaknya tidak menggantungkan konsep-konsep pemikirannya secara kuat pada salah seorang pemikir sosialis tertentu, seperti Bauer, Brailsford, Engels, Jaures, Kaustky, Marx dan Troelstra, melainkan sesuai dengan kebutuhannya buat mengemukakan atau mempertajam konsep-konsepnya sendiri. Seperti halnya, ketika Soekarno menyatakan perlunya persatuan antara kaum marxis dengan kaum muslim. Soekarno mengadakan pembedaan antara filsafat materialisme dan histors materialisme dalamteori Marx, dan menunjukkan bahwa historis materialisme lebih tergantung pada filsafat materialisme. Karena itu, tidak perlu bagi Marxisme, sebagai teori sosial untuk anti agama. Selanjutnya Soekarno menegaskan, dalam kondisi di Indonesia, marxisme dan Islam berada dibawah, dalam posisi berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme.
Pidato Soekarno yang amat bersejarah itu, 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Jelas sekali terdapat nada-nada Marxisme. Pada uraian Soekarno tentang proses meringkas dari lima sila menjadi tiga sila, yaitu Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasidan Ketuhanan. Sebenarnya kata sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah kata tidak laintidak bukan Marhaenisme. Marhaenisme jelas terpengaruh oleh Marxisme. Sehingga tidak usahheran kalau kalau George McTurnan Kahin, melalui bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia - menilai Pancasila sebagai “Synthesis of western democratic, modernist Islamict, Marxist, and Indegenous-village democratic and communalistic ideas”.
Dalam kursus tentang Pancasila, Soekarno menegaskan kalau ingin memahami marhaenisme, terlebih dahulu harus memahami Marxisme dan keadaan di Indonesia. Sebab marhaenisme, kata Soekarno, adalah marxisme yang diselenggarakan di Indonesia, yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. “het in Indonesia toegepaste marxisme” Dan Soekarno menolak kalau marxisme itu komunis, tetapi menolak juga kalau marxisme itu sosialisme kanan. Marxisme itu, kata Soekarno, adalah satu ´denkmethode´, satu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar supaya bisa tercapai masyarakat yang adil.
Mungkin yang menarik, adalah kejadian pada Kongres Kesembilan di Solo tahun 1960. Soekarno yang diakui sebagai Bapak Marhaenisme, menghendaki agar Marhaenisme yang dijadikan ideologi PNI, disesuaikan dengan apa yang dimaksud – Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Keinginan Soekarno itu baru bisa tercapai pada tahun 1964, dengan adanya doktrin Marhaenisme, atau Deklarasi Marhaenis. Sebenarnyamemperlihatkan bahwa di kalangan PNI sendiri sering terjadi penafsiran tidak tunggal terhadapajaran-ajaran Soekarno itu.Ketika Soekarno mulai bergeser semakin ke kiri. Tentu saja, timbul pertanyaan, apakah ada persamaan antara Soekarnoisme dengan Komunisme. Walaupun terdapat persamaan antara kedua ideologi atau kepentingan dari Soekarno dan PKI misalnya, anti imperialisme yang radikal dan anti asing, yang dituangkan dalam kampanye-kampanye pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia sebagai suatu perang suci.
Satu-satunya tema utama dalam pidato-pidato pada tahun 1960-an itu ialah tentang revolusi. Meskipun dahulu ia menulis dan berbicara tentang revolusi. Pembagian tentang tahap revolusi nasional dan revolusi sosialis telah diuraikan lebih lanjut dalam Sarinah. Pembagian ini mempunyai kesamaannya dengan teori Karl Marx tentang tahap-tahap revolusi. Kesamaannya ialah analisis Soekarno juga menunjukkan tanda-tanda pemikiran Karl Marx, yakni kesadaran kelas yang menjadi sebagian dari persiapan setiap tingkat revolusi, sekurang-kurangnya ada tahap-tahap yang berurutan, dalam pengertian bahwa revolusi sosial harus menunggu sampai selesainya revolusi nasional. Apa itu revolusi? Soekarno menjelaskan kalau revolusi itu adalah suatu perjuangan yang terus menerus. Walaupun begitu, Soekarno secara sadar atau tidaknya  pernyataan-pernyataan tentang revolusi itu sebenarnya hanya bertujuan mempertahankan suatu status quo sosial belaka.
Pada tanggal 30 September 1960, Soekarno di depan Sidang Umum ke-15, lewat pidatonya yang berjudul To Build the World Anew dan dilanjutkan dengan pidatonya pada Konperensi Negara Nonblok II (Era Konfrontasi) di Kairo, 6 Oktober 1964. Soekarno menegaskan kolonialisme dan imperialisme muncul dengan menggunakan “baju baru” dan ia justru lebih berbahaya, yang dimanifestasikan dengan dominasi kekuatan Orde Lama. Untuk itu, Soekarno mempertentangkan antara New Emerging Forces melawan The Old Established Forces. Secara sadar atau tidak Soekarno sebenarnya telah mengembangkan pendekatan marxis dengan menggunakan proses dialektika. Seperti halnya, ketika ia mempertentangkan antara Nasionalisme sebagai lawan dialektika Kolonialisme Belanda.
Lewat tulisan ini terlihat sekali pengaruh dari pemikiran marxis, tetapi jangan sekali-kali kalau Soekarno itu disebut sebagai seorang marxis saja. Toh, sebab manusia yang dianggap kontroversial itu sarat dengan pemikiran Islam maupun Nasionalisme. Mungkin ia adalah campuran isme-isme. Setuju?

0 komentar

Posting Komentar