Tak senang dengan nasib-ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.
Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar
yang terang cuaca.
Zaman teori kaum kuno, yang
mengatakan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima-senang, yang
ia anggap cukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang
kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam
hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat
Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu,
bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd”
yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin
tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya
itu ada sebagai
“saudara-tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka,
bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa
yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran,
bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan
pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada
terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, – sebagai yang telah diajarkan
oleh Gustav Klemm -, akan tetapi asalnya kolonisasi yalah teristimewa soal rezeki.
bakul-nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!
Begitulah, bertahun-tahun,
berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri
Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa
Eropah-Barat lah yang bukan main tambah kekayaannya.
Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan!
Dan keinsyafan akan tragik
inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun
lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah
kekal. Rokh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan
akan tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat
di Indonesia-kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai
tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya.
Mempelajari, mencahari
hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini
dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain,
membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama
menjadi satu gelombang yang mahabesar dan maha-kuat, s a t u
ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban
yang kita semua harus memikulnya.
p e r s a t u a n l a h yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!
Entah bagaimana tercapainya
persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi
tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, yalah
Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan
mengemudikan Kapal Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi
yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya,
yang Sang-Mahatma itu berdiri di tengah kita! …
Itulah sebabnya kita dengan
besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan
itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!
Inilah azas-azas yang
dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah
faham-faham yang menjadi r o k h n y a pergerakan-pergerakan di Asia
itu. R o k h n y a pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.
Partai Boedi Oetomo,
“marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai
Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan
masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai rokh
Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah
rokh-rokh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu
Rokh yang Besar, Rokh Persatuan? Rokh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapang ke-Besaran?
Dapatkah dalam tanah
jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan
Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme
yang bersifat perjoangan internasional?
Dapatkah Islamisme itu,
ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan
Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme
yang mengajar perbendaan?
Akan hasilkah usaha kita
merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan
Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu
radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, dan
Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh
musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya
musuh-musuh itu yakin akan peringatan A l C a r t h i l l, bahwa “yang
mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang
terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?
Nasionalisme! Kebangsaan!
Dalam tahun 1882 Ernest
Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu
menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi
dari dua hal: pertama-tama rakyat itu d u l u n y a harus bersama-sama
menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai
kemauan, keinginan hidup menjadi satu.
Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas
negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis
lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa
O t t o B a u e r lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”,
begitulah katanya.
Nasionalisme itu yalah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!
Rasa percaya akan diri
sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam
usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang
menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam
perjoangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa nasionalisme, –
yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi
kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua,
yalah kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi
langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham
biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu
pergaulan hidup), – apakah nasionalisme itu dalam perjoangan-jajahan
bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa,
dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan
bermacam-macam ras;- apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa
rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?
Sebab, walaupun
Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak
ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu;
walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang
tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun
Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya
tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, –
maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan
pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini,
dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu
semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa mereka dengan
kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa segala
fihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun
pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”,
beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak
boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib,
inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini
masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai
kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak
pergerakan di Indonesia-kita ini, – akan tetapi b u k a n l a h pula
maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa
terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah
mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini yalah membuktikan, bahwa
p e r s a h a b a t a n bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis
yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas
pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat
saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada
segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan
bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah
rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan
fihak Hindu, fihak Parsi, fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya
lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera
Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi
ini!
Tidak adalah halangannya
Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis
dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi
dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali,
yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir
tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis
Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridla hati menerima faham-faham
Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak
setuju pada kemodalan!
Bahwa sesungguhnya, asal m a
u sahaja … tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan
ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin
sentausa” (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup
kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala
fihak-fihak dalam pergerakan kita ini.
Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis.
Wahai, apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?
Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj di
India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab
jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, oleh
karena “nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya,
bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih suci”.
Bahwasanya, hanya
nasionalisme ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh
nasionalis-Timur yang sejati. Nasionalisme Eropah, yalah suatu
nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang
mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung
atau rugi, – nasionalisme yang semacam itu akhirnya pastilah alah, pastilah binasa.
Adakah keberatan untuk kaum
Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam,
oleh karena Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas-negeri
yalah super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit Islam
suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?
Banyak
nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa
pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini -ya, di seluruh
Asia – ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan
ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau lebih tegas,
melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan
lawan, melainkan kawannya lah adanya. Betapa lebih luhurnyalah sikap
nasionalis
Prof. T. L. Vaswani, seorang
yang bukan Islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderita sakit, maka
Rokh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya
negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sangat pula
imperialisme Eropah mencekek Rokh Asia. Tetapi, saya percaya pada
Asia-sediakala; saya percaya bahwa Rokhnya masih akan menang. Islam
adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita
itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannya iktikad internasional
itu.”
Dan bukan itu sahaja.
Banyak nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang Islam, di
manapun juga ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja
untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis
itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan
ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir
maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu. “Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya,
di dalam negeri yang baru itu ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat Islam, daripada Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”.
Inilah Nasionalisme Islam! Sempit-budi
dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini.
Sempit-budi dan sempit-pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu
azas, yang, walaupun internasional dan inter-rasial, mewajibkan pada
segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga,
mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia
juga adanya!
Adakah pula keberatan untuk
kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh
karena Marxisme itu internasional juga?
Kita rasa tidak! Sebab kita
percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna,
sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu.
Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di
samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah
Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanyalah
kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan
hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu.
Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk mereka lah terutama tulisan ini kita adakan.
Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu.
Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
Islamisme, Ke-Islam-an!
Sebagai fajar sehabis malam
yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-abad kegelapan, maka di dalam
abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di dalam dunia ke-Islam-an
sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam
buku-riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah-tinggi Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani – dua
panglima Pan-Islam-isme yang telah membangunkan dan menjunjung
rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia daripada kegelapan dan
kemunduran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada berbedaan
sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih radikal
dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi
kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin,
yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari
rakyat-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah
terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu
barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat
itu.
Sampai pada wafatnya dalam
tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang gagah-berani itu,
bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an di
mana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap pada ketamaan Barat, menanam
keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil
tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan
Barat”. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin haibat,
sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka di
seluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan
bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Marocco dan Kongo, ke Persia,
Afghanistan … membanjir ke India, terus ke Indonesia … gelombang
Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!
Mula-mula masih
perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus
diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang
diambilnya, makin lama makin banyaklah hubungannya dengan
pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin teranglah ia
menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak hairanlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden, menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik di kelak kemudian hari, bukan sahaja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia Timur
jua adanya”! Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan
perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan
pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang
belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah
terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya
Mu’tamar-ul Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah
menceburkan diri dalam laut perjoangan Islam Asia!
Makin mendalamnya pendirian
atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum
Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin ke
mukanya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot”
dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun
“muda”, baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa
agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya,
kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum
Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka
memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan politik
kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurna”- lah adanya
perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis dan
Marxis-marxis tahadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri
Islam itu kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir
semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.
Mereka kusut-faham! Bukan
Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari
pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia
Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya
kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh
Islam sendiri; rusaknya Islam itu yalah oleh karena rusaknya
budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah
mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya
“Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang
sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab
atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan
sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan,
dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan
contoh-contoh kebesaran yang mencengangkan bagi siapa yang mempelajari
riwayat-dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur?
Islam telah rusak, oleh
karena yang menjalankannya rusak budi-pekertinya. Negeri-negeri Barat
telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu
kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi
dan susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu “historische
Notwendigkeit”, satu keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu
menjalankan perampasan tahadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi
keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Sepanyol dan Perancis
yang bermeriam dan lengkap bersenjata!
Islam yang sejati tidaklah
mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat
anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme
yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak
berdiri di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa
mengangkat Islam dari.kenistaan dan kerusakan tahadi! Kita
sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme
atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi
bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati
itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan
kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis
pula!
Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mecintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?
Seyid Jamaluddin El
Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme,
yang oleh musuhnya lantas sahaja disebutkan “fanatisme”; di mana-mana
pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri,
mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas sahaja dinamakan “chauvinisme” adanya.
Di mana-mana, terutama di
Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid
Jamaluddin lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap
bagian-bagiannya”.
Dan bukan Seyid Jamaluddin
sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta-bangsa.
Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey
Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali … semuanya adalah panglimanya
Islam yang mengajarkan cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis
nasionalisme di masing-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin
ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan
sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan
diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah
Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang
anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme
yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang
sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang “kolot”,
Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!
Demikian pula kita yakin,
bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis,
walaupun pada hakekatnya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali.
Pedihlah hati kita, ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala
beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian
saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan antara kaum Marxis dan
Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah
jadi dua bahagian yang memerangi satu sama lainnya. Pertarungan inilah
isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita!
Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan
pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan
inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!
Aduhai! Alangkah kuatnya
pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi.
Niscaya kita tidak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya
pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana juga!
oleh karena sosialisme Islam itu berazas Spiritualisme, dan sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya.
Kaum Islam tak boleh lupa,
bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut azas-perbendaan
(materialistische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi
penunjuk-jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia
yang sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode)
Historis-Materialisme (ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat)
menerangkan kejadian-kejadian yang telah terjadi di muka-bumi ini,
adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, yalah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang
faham Islam. Meerwaarde, yalah teori: memakan hasil pekerjaan lain
orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi
bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, – teori
meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk
menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang
menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan
memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapitalisme
sampai pada akar-akarnya!
Untuk Islamis sejati, maka
dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi
faham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak lupa,
bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa,
bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan
memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme itu!
“Janganlah makan riba
berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga
kamu beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur’an, surah Al ‘Imran,
ayat 129!
protes terhadap kejahatannya kapitalisme”.
Islamis yang “fanatik” dan
memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan
larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak
mengetahui, bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati
melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan
harta-benda untuk keperluan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al Qur’an:
“Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan
membelanjakan dia tidak menurut jalannya Allah khabarkanlah akan
mendapat satu hukuman yang celaka!” Ia mengetahui, bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!
Dan masih banyaklah
kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang
bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab
tidakkah pada hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu,
suatu kewajiban si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin,
pembagian-rezeki mana dikehendaki pula oleh Marxisme, - tentu sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah
membawa “segenap peri-kemanusiaan di atas lapang kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah
mengajarkan persamaan itu dengan sabda: “Hai, aku ini hanyalah
seorang manusia sebagai kamu; sudahlah dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu
yalah Tuhan yang satu?” Bukankah persaudaraan ini diperintahkan
pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat, yang bunyinya: “Hai manusia,
sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang
keluarga, supaya kamu berkenal-kenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan ini
“tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori sahaja”, dan oleh
orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang
beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya
juga berbunyi “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”?
Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afghanistan, yang tatkala ia ditanyai oleh suatu surat khabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang haibat dari kapitalisme Eropah di Asia!
Sayang, sayanglah jikalau
pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan pergerakan
Marxis itu! Belum pernahlah di Indonesia-kita ini ada pergerakan, yang
sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai
pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di
negeri-kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai ke dalam
urat-sungsumnya rakyat, sebagai pergerakan yang dua itu! Alangkah
haibatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat itu tidur dan
dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu banjir yang
sekuasa-kuasanya!
Bahagialah kaum
pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka,
oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan
perintah-perintah agamanya!
Kaum Islam yang tidak mau
akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah
sikap yang benar, – wahai, moga-mogalah mereka itu bisa
mempertanggungkan sikapnya yang demikian itu di hadapan Tuhannya!
Mendengar perkataan ini,
maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan di penglihatan kita gambarnya
berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri,
pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak-koyak ; tampak pada
angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tahadi,
seorang ahli-fikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan
kebisaannya “mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari
dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada teralahkan itu”,
suatu manusia yang “geweldig” (haibat) yang dengan sesungguh-sungguhnya
bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni:
Heinrich Karl Marx.
Dari muda sampai pada
wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan
memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi
sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada
kesal dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di
atas kursi, di muka meja-tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883
menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Seolah-olah mendengarlah
kita di mana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia
dalam tahun 1847 menulis seruannya :
“Kaum buruh dari semua
negeri, kumpullah menjadi satu!” Dan sesungguhnya! Riwayat-dunia
belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang
begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan-hidup,
sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi
ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan,
ketian, jutaan .. begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab,
walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang
pandai dan terang-fikiran, tetapi “amatlah ia gampang dimengerti oleh
kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang
berkeluh-kesah itu”.
Berlainan dengan
sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat
tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan
dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu
teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak
satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula
faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula,
bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, yalah oleh
perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan
yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang
kapitalistis itu adanya.
Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu,
maka berguna pulalah
agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini
yalah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar
pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan
teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya
“kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini yalah
“wertbildende Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); –
ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan
barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai
upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar
peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-akal manusialah
yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung
dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya”
(materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa
oleh karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu
makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang
kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar
(kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan,
perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh
perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini
akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya
(kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan
kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan
menimbulkan dendam hati yang makin lama makin sangat
(Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan
tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca
yang belum begitu mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya, di
antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita
sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe B l
a n q u i dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa
riwayat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi
“menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi”; meskipun
teori meerwaarde itu sudah
lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson
dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau
arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan
diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; –
meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu
mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai
pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula,
bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli
fikir lain, dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum
“atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan
teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang
melarat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti
dengan
terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal
yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya
atas meerwaarde, lalu
mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak
memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti,
bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia
tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s
t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu
akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan
pergaulan-hidup yang lebih adil, – bahwa kaum “burjuasi” itu
“teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Pergerakan Marxistis di
Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan
Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman.
Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu
pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu
pertengkaran saudara, yang, – sebagai yang sudah kita terangkan di
muka, – menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan
perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa
dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita.
Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan
lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan lagu-perjoangan
yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah
mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya:
Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komunisme
itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa
“bukan-lah Allah yang membikin manusia,
tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”?
Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti
pula mencaci-maki fihak
Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “bersekutuan” dengan orang asing
itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci
pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut
pendapatnya: azasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan
cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan
“kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang
mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah
yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam
peperangan besar yang akhir itu.
Demikianlah dengan
bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya
perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h
mengerti dan saling tidak mengindahkan.
Sebaliknya, Nasionalis dan
Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu, dan yang
menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang
telah terjadi oleh “practijknya” faham Marxisme itu, – mereka
menunjukkan tak mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya
atas sebab terpelesetnya “practijknya” tahadi. Sebab tidakkah Marxisme
sendiri mengajarkan, bahwa sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan
sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya
di-“sosialis”-kan?
Bukankah “kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voorwaarde” (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu?
Untuk adilnya kita punya
hukuman terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka haruslah
kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang-kabut” – nya negeri Rusia
adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua
negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan pada
empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan
jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat
pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh
hampir semua surat-khabar di seluruh dunia.
Di dalam pemandangan kita,
maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya
limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka
menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu
dengan harta dan benda; di mana umpamanya negeri Inggeris, yang
membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong
penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu,
telah “mengotorkan nama
Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada
kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika, di
Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena
terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk
kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan
daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa sesungguhnya,
luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu,
seorang yang bukan Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa
juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak
dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment
(percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan …
Tetapi mereka dirintang-rintangi”.
Kita yang bukan komunis
pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanyalah memihak kepada
Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita
semua!
Kita di atas menulis, bahwa
taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme
yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit
anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di
Asia, sudahlah begitu berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah
berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat
persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan
kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri
Afghanistan.
Adapun teori Marxisme sudah
berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah
nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk
segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah;
teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak
mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini;
mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan
faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih
hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847;
bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang
dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah
tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu.
Bahwasanya: benarlah pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana
ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein,
akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”.
Perobahan taktik dan
perobahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda”
baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong
pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di
negeri-negeri Asia, di mana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai
di Eropah atau Amerika itu, pergerakannya harus diobah sifatnya menurut
pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti,
bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Asia, dan haruslah
“bekerja bersama-sama
dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang
pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi yalah perlawanan terhadap pada
feodalisme”.
kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan
buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu j u g a, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati-
sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia
itu kebanyakannya yalah
modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa
tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada
rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada
nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus ingat, bahwa
rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal
sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima
faham internasionalisme itu pertama-tama yalah sebagai taktik, dan oleh
karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula
oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia,
untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi
patria: di mana aturan-kerja bagus, di situlah tanah-air saya”, –
sebagai
kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan
hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya
memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka
ingat
pula akan teladan-teladan pemimpin‑pemimpin Marxis di lain-
lain negeri, yang sama
bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan.
Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di
negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum
Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu
pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh.
Tak pantas mereka memerangi
pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan
seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka
memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga
dengan seterang-terangnya yalah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas
mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya
mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan
seterang-terangyya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka
bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama
adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxsme-baru adalah
berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dilepaskan adanya.
Kita harus membedakan
Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus
memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari
pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme
memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran
(denken) dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi,
sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah
fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini;
wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu;
historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu b e r o b a
h ; wijsgerig-materialisme mencari asalnya fikiran, historis
materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme
adalah wijsgerig, historis materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh
musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa
ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam
propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan
kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa
kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu
hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut
dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum
Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan
materi.
Itulah asalnya kebencian
kaum Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum
Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah
sengitnya, bertambah kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai
agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya
untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk
menjalankan politik yang reaksioner sekali.
s e s u a i dengan perjoangan Marxisme itu.
Karenanja, jikalau kaum
Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di
Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil
berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan
contoh-contoh saudara-saudaranya seazas yang sama bekerja bersama-sama
dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka
niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka
dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau
kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata:
kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala
kewajiban Marxis-muda tahadi itu, dengan memperhatikan segala perobahan
teori azasnya, dengan menjalankan segala perobahan taktik pergerakannya
itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus-hati,
mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar
akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang
memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, –
Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya
jikalau dinamakan racun rakyat adanya!
Dengan jalan yang jauh
kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian
menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita
menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita
yakin, bahwa kita dengan terang-benderang menunjukkan kemauan kita
menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya
insyaf, bahwa Persatuanlah yang membawa kita ke arah ke-Besaran dan
ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu
tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan
bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan
sahaja organisasinya,
bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya
sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang
mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto
Mangunkusumo dan Semaun, – apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunyai pula
Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?
Kita harus bisa menerima;
tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu.
Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi
sedikit-sedikit pula.
Dan jikalau kita semua
insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi
dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian
itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa
permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau
kita insyaf, bahwa Rokh Rakyat Kita masih penuh kekuatan untuk
menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah
kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, – maka pastilah Persatuan
itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.
Sebab Sinar itu dekat!
“Suluh Indonesia Muda”, 1926
0 komentar
Posting Komentar