Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Rabu, 12 November 2014

*** Trio Komunis ***


Add caption

 
Add caption


















  *** Trio Komunis ***

Aidit, Lukman, dan Njoto bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan,
Njoto tersisih.
Madiun, 19 September 1948...
Revolusi memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir
Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.
Partai limbung, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan
Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung
partai. Ketiganya menghidupkan partai—dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian
dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.
Kisah persahabatan—dan konflik—tiga sahabat itu menarik dikenang.
Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943
di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda
aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga
tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian
menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.
Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup
yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia—kumpulan
100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara
Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan
Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau
Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.
Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior.
Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta,
penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab
Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada
Wikana.

2
Sampai-sampai, setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di
Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat
PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian
tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah
keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu
adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di
Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan
Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di
awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan
Friedrich Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI.
Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto
menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.
Hingga pecahlah geger Madiun....
Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri
Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar
menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi
barang.” Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.
Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. ”Mereka menggodok orientasi partai,” kata
Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang.
Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri.
”Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya,” kata Murad Aidit dalam
bukunya, Aidit Sang Legenda.
Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi
Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di
Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

0 komentar

Posting Komentar