Add caption |
*** Trio Komunis ***
Aidit, Lukman, dan Njoto
bahu-membahu membesarkan partai. Karena perempuan,
Njoto tersisih.
Madiun, 19 September 1948...
Revolusi memakan anak sendiri.
Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir
Sjarifuddin, dan Maruto Darusman
ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.
Partai limbung, tercerai-berai.
Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan
Lukman, bagaikan The Three
Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung
partai. Ketiganya menghidupkan
partai—dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian
dikenal sebagai trisula PKI:
Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.
Kisah persahabatan—dan konflik—tiga
sahabat itu menarik dikenang.
Dipa Nusantara Aidit pertama kali
bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943
di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel
Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda
aktivis kemerdekaan. Mereka
bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga
tahun lebih muda daripada Lukman,
yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian
menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan
Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.
Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi
akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup
yang sama. Keduanya pada 1944
terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia—kumpulan
100 pejuang paling setia kepada Bung
Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara
Jatinegara oleh Polisi Militer
Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan
Ikada pada 19 September 1945.
Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau
Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh
bulan.
Keduanya bersama memilih jalan
komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior.
Saat menjadi penghuni Menteng,
mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta,
penanggung jawab organisasi bawah
tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab
Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang
terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada
Wikana.
2
Sampai-sampai, setelah bebas dari
Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di
Yogya saat itu, pemimpin PKI
Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat
PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke
Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian
tinggal di Yogya. Mereka
menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah
keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto
saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu
adalah wakil PKI Banyuwangi dalam
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sejak itulah terjalin persahabatan
antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di
Malang pada Maret 1947, Aidit
terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan
Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan
Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di
awal 1948, yang tugasnya
menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan
Friedrich Engels.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai
ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI.
Aidit mengurus agraria, Lukman di
sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto
menjalin relasi dengan badan-badan
perwakilan.
Hingga pecahlah geger Madiun....
Aidit sempat tertangkap, tapi
dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri
Alam, putri sulung Aidit,
melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar
menjadi pedagang Cina. ”Rambutnya
digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi
barang.” Njoto dan Lukman, kemudian
menyusul Aidit ke Jakarta.
Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto
ditempa. ”Mereka menggodok orientasi partai,” kata
Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas
Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang.
Terbunuhnya banyak kader dalam
Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri.
”Mereka jadi independen karena tak
punya lagi tempat bertanya,” kata Murad Aidit dalam
bukunya, Aidit Sang Legenda.
Mereka diam-diam memperluas jaringan
PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi
Comite di tingkat kecamatan. Adapun
organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di
Comite Central. Situasinya sulit
karena setiap kabinet alergi komunisme.
0 komentar
Posting Komentar