Gerakan Kiri

Revolusi Indonesia

Sabtu, 15 November 2014

Sukarno, Marxisme dan Leninisme

SML_FIN

Peter Kasenda
Kumpulan tulisan dalam buku ini adalah hasil pergumulan, perdebatan dan rajutan gagasan-gagasan sejarah gerakan kiri di Indonesia selama sembilan tahun, dimulai sejak 1999 hingga 2008. Tulisan-tulisan dalam buku ini ditulis ketika saya mengajar di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Universitas Bung Karno serta Yasnaya Polyana Padepokan Filosofi dan Pondok Tani, Purwokerto. Sebenarnya era Reformasi ini, saya menulis 50 makalah lebih makalah dan ada 10 makalah yang berkaitan dengan sejarah gerakan kiri di Indonesia. Akan tetapi, hanya enam makalah saja yang sesuai dengan kepentingan penerbitan buku ini.
Melalui kumpulan tulisan ini, saya berharap dapat memberikan sumbangan pengetahuan sejarah gerakan kiri di Indonesia. Saya beruntung memperoleh kesempatan untuk mengarungi ranah ilmu pengetahuan yang kemudian memberikan kontribusi bagi kemajuan intelektual saya. Ilmu pengetahuan tidak pernah netral dan pengandaian obyektivitas dalam ilmu dapat terus dipertanyakan. Ada keberpihakan dan perlawanan dalam sejarah setelah Orde Baru dikarenakan runtuhnya narasi-narasi yang berkaitan dengan sejarah gerakan kiri di Indonesia dan lebih menjadi wacana dalam ruang publik. Sejarah versi Orde Baru telah dikontruksi sesuai dengan semangat zaman. Maka, sejarah alternatif pun ditampilkan.

Peristiwa 1965

Pertama kali saya menulis sejarah gerakan kiri di Indonesia adalah ketika saya berbicara seputar peristiwa 1965 di depan mereka yang pernah menjadi korban Orde Baru, yang bernaung dalam Paguyuban Korban Orde Baru ( Pakorba) pada 1 Oktober 1999 di gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Lewat forum tersebut, saya mengenal banyak orang yang menjadi tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan. Mereka dituduh sebagai pendukung Gerakan 30 September, yang membunuh sejumlah jenderal TNI-AD. Pernyataan bahwa PKI mengorganisasi G30S bagi rezim Soeharto bukan sekadar fakta biasa, tetapi menjadi sumber pokok keabsahan rezimnnya.
Menurut versi resmi, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya dalang dari peristiwa keji tersebut, maka sudah selayaknya ratusan ribu anggota PKI di mana pun mereka berada  dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai  Pantas pula peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 itu disebut G30S/PKI dengan penekanan pada “PKI”nya karena PKI merupakan pelaku utama. Juga tepat jika istilah yang dipakai adalah Gestapu (Gerakan September 30). PKI juga layak ditumpas karena sebelumnya telah dua kali “memberontak“ (1926/1927 dan 1948) dan ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis yang ateis.
Tak dapat dipungkiri bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan memproduksi opini publik dan ingatan akan apa yang terjadi pada 1965 menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula, misalnya saja penggunaan istilah G30S/PKI. Meskipun sebenarnya dalang sesungguhnya dari pembunuhan para jenderal itu belum jelas – atau bahkan justru anggota militer – tetap saja istilah tersebut digunakan dengan maksud untuk memojokan PKI. Bahkan penggunaan istilah Gestapu tampak sekali sengaja dilakukan untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon didalangi oleh PKI itu dengan polisi rahasia Jerman, Gestapo yang terkenal kejamnya
Sampai penghujung rezim Soeharto pada 1998, pemerintah dan pejabat militer Indonesia menggunakan ‘hantu“ PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kaca kunci dalam wacana rezim itu   adalah “bahaya laten komunisme“. Agen-agen tersembunyi dari Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) senantiasa mengendap, siap merongrong pembangunan ekonomi dan tertib politik. Pembasmian PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan rasion d”etre (alasan keberadaan) bagi rezim Soeharto. Landasan hukum asli yang dipakai rezim ini untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun adalah perintah Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965 yang memberi wewenang Soeharto untuk “memulihkan ketertiban“. Perintah itu dikeluarkan dalam situasi darurat, tapi bagi Soeharto situasi darurat ini tidak pernah berakhir, Kopkamtib yang dibentuk pada masa itu tetap dipertahankan sampai akhir kekuasaan (dengan penggantian nama menjadi Bakorstranas pada 1998).
Rezim Soeharto mempertahankan “bahaya laten komunisme“ dan menyandera Indonesia dalam keadaan darurat terus-menerus. Komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Soeharto. Rezim Soeharto tidak dapat membiarkan komunisme mati karena ia menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme atau lebih tepat dengan citra khayali “komunisme “.
Peristiwa G30S telah menyebabkan Presiden Sukarno menjadi obyek tuduhan bahwa dirinya telah mendalangi peristiwa tersebut dan muncul aksi-aksi yang menuntut agar Sukarno ditangkap dan diadili di hadapan Mahmilub. Disamping itu, anggota parlemen yang mengikat diri dengan Orde Baru menuntut agar Presiden Sukarno dipecat dari jabatannya dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi atas pertimbangan –pertimbangan politik, penangkapan Sukarno tidak saja menyebabkan para pendukungnya bersatu untuk membelanya tetapi tindakan itu juga akan menimbulkan kesan  – benar atau salah – bahwa Orde Baru itu tidak sah, tidak layak, dan merupakan perbuatan sewenang-wenang dari golongan militer ; sebuah resiko politik yang Soeharto tidak berani memikulnya.
Mengenai Peristiwa G30S dalam keterangan tertulis (yang dikenal sebagai pelengkap Pidato Nawaksara) pada 19 Januari 1967 merupakan jawaban atas nota pimpinan MPRS, Sukarno menyatakan bahwa (1)  G30S adalah compelete over rompelling bagi dirinya; (2) Dalam Pidito 17 Agustus 1966, Presiden Sukarno telah mengutuk Gestok (Gerakan 1 Oktober) ; (3) Kata Gestok digunakan oleh Sukarno karena pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan serta pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali dan ( 4 ) Peristiwa G30S itu ditimbulkan oleh tiga sebab hasil temuannya, yaitu kekeliruan pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim  dan adanya oknum-oknum tidak benar .
Laporan Soeharto di hadapan MPRS mengenai keterlibatan Sukarno dalam kudeta Untung, mencerminkan dengan jelas keinginan agar Presiden Sukarno tidak diadili. Soeharto menyimpulkan bahwa Presiden Sukarno “ tidak tahu dengan pasti “kapan Untung akan melancarkan aksinya dan bagaimana bentuk aksi tersebut. Oleh sebab itu, Sukarno tidak boleh dianggap sebagai organisatoris, dalang dan partisipasi dari Gerakan 30 September, sebagaimana diisyaratkan oleh Memorandum Parlemen 9 Februari, dan terhadapnya tidak dapat dikenakan hukuman. Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut kembali mandatnya sebagai presiden dan melarangnya melakukan kegiatan politik sampai dilansungkan Pemilu. Kemudian Sukarno menjadi tahanan politik di negeri yang ia perjuangkan sejak muda. Ia meninggal dunia sebelum Pemilu 1971 berlangsung.
Kendati Sukarno telah tiada, ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan orang. Lihat saja Megawati Sukarnoputri, memperoleh sejumlah rintangan  dari formasi tertentu dalam negara ketika ada dukungan dari arus bawah yang begitu kuat terhadapnya untuk menjadi nomor satu partai berlambang kepala banteng. Meskipun Megawati Sukarnoputri terpilih menahkodai kapal wong cilik yang tersingkir dari derap pembangunan, guncangan pun tak surut sehingga kapal pun pecah dan ada dua nahkoda. Salahsatu alasan tindakan kurang terpuji itu dilakukan karena khwatir kebangkitan marhaenisme dianggap sebagai ideologi penantang terhadap kemampanan pemerintah menjalankan pembangunan bernunsa kapitalisme.
Sebenarnya kata marhaenisme sudah lama tidak terdengar dan sudah jarang pula orang mengenal makna kata itu. Marhaenisme pernah menjadi isitilah popular ketika Sukarno berada di puncak kekuasaannya. Begitu Sukarno surut dari panggung politik, lambat laun kata itu jarang terdengar. Marhaenisme dan Sukarno merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan karena marhaenisme adalah rumusan pertama yang dicetuskan oleh Sukarno. Sebagai asas partai, marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1975. Ada sejumlah organisasi masyarakat yang berazaskan marhaenisme seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Gerakan Wanita Marhaenis  (GWM). Tetapi dengan berlakunya Pancasila sebagai asas tunggal, marhaenisne tidak boleh digunakan lagi sebab asas organisasi. Hanya Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) yang tetap mempertahankan Marhaenisme sebagai asas organisasi  masyarakat. Kemudian eksistensi GRM tidak diakui.
Di era Reformasi, terdapat sejumlah partai politik dan organiasi masyarakat berlambang kepala banteng yang mempunyai hubungan ideologis dengan Sukarno. Adanya yang secara langsung menyebut dirinya sebagai marhaenis, di antaranya PNI Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Kendati mereka diperbolehkan berdiri, pemerintahan BJ Habibie memaparkan kata marhaenisme dengan nada yang perlu diwaspadai sehingga menimbulkan sanggahan dari orang yang menyatakan dirinya marhaenis.
Istilah marhaenisme dan marhaen disebut-sebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI yang didirikan pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaan Sukarno, Indonesia Menggugat, dihadapan Pengadilan Kolonial Belanda di Bandung pada 1930. Sukarno menyatakan pergaulan hidup marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah yang semuanya kaum kecil. Di sini Sukarno mencoba membedakan secara tajam antara konsep marhaennya dengan konsep proletarian dari kaum sosialis Barat, terutama komunis. Jika struktur masyarakat Eropa telah melahirkan kaum buruh sebagai golongan tertindas atau proletar, sebaliknya masyarakat Indonesoia yang belum industrialis mempunyai kaum marhaen yang juga sengsara dan melarat. Disebut juga, dalam tulisan Sukarno,  Marhaen dan Proletar, yang dimuat dalam Fikiran Rakyat pada 1933,  marhaen tidak hanya mengacu pada kaum petani miskin, tetapi mencakup kaum proletar dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu, marhaen lebih luas dari proletar karena ia mencakup segala macam kaum melarat lainnya. Kendati demikian, di dalam perjuangan, kaum proletar memainkan peranan penting karena kaum proletar telah mengenal cara produksi kapitalisme  – di alam perjuangan antikapitalisme dan imperialisme itu berjalan sebagai pelopor.
Bagi Sukarno, rakyat miskin merupakan padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Karl Marx. Artinya, mereka ini merupakan kelompok yang sekarang lemah dan terampas hak-haknya, tetapi nantinya ketika digerakan dalam gelora revolusi akan mampu mengubah dunia. Meskipun demikian, konsep marhaen sebagaimana yang dipahami oleh Sukarno, mirip sekaligus berbeda dengan konsep proletariat milik Marx. Sebagaimana kaum proletariat, kaum marhaen itu miskin, berada di lapisan bawa masyarakat dan jumlahnya jutaan. Berbeda dengan kaum proletar Marx, kaum marhaen itu tidak bekerja untuk orang lain dan mereka memiliki “alat produksi “nya sendiri, seperti misalnya cangkul dan tanah garapan.

Marxisme, Leninisme dan Marxisme-Leninisme
Sebenarnya Marxisme  diperkenalkan secara resmi ke Hindia Belanda pada 1914, bersamaan dengan berdirinya Indische Sociaal Democratosche Vereeninging (ISDV), yang menancapkan akar pertamanya kuat-kuat di tanah Hindia Belanda  Serikat ini merupakan organisasi sosialis pertama yang berdiri di Asia Tenggara. Para pendirinya adalah sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Hendricus Josephus Francscus Marie Sneevliet yang datang ke Jawa pada 1913 dan bekerja sebagai pemimpin redaksi harian Soerabajasch Handelsblad. Melalui majalah Het Vrije Word, paham sosialisme mulai disebarkan. Tetapi ternyata orang-orang Indonesia menganggap itu sebagai organisasi bangsa asing.
Untuk mendapatkan pengikut di kalangan bumiputera, Sneevliet mengembangkan suatu metode inflitrasi baru, yaitu teknik bloc within – dengan keanggotaan dua partai. Banyak anggota ISDV menyelundup ke dalam tubuh SI. Sebaliknya, aktivis-aktuivis SI juga menjadi anggota ISDV. Bahkan orang-orang seperti Semaoen, Dharsono, Alimin Prawirodirdjo, dan Tan Malaka menjadi tokoh sekaligus pimpinan kedua organisasi yang berlainan paham itu.
ISDV menjadi lebih radikal setelah berdirinya Soviet Rusia pada 1917. Pada waktu yang bersamaan, anggota-anggota pengurus dari Belanda berangsur-angsur meninggalkan organisasi ini karena dibuang oleh Pemerintah Belanda. Karena itu, pada 1919, Semaoen dan Dharsono diangkat menjadi pimpinan ISDV menggantikan Sneevliet (yang berdiam di Kanton sebagai Commintern dan berhubungan dengan Commintern Sun Yat Sen). Sebelumnya, sebagai anggota SI Semarang pada 1918, keduanya telah diangkat pula menjadi anggota pengurus pusat SI di Surabaya.
Semoen dan Dharsono berhasil mempengaruhi SI untuk bergeser ke arah kiri. Kongres SI Ketiga pada 29 Oktober 1918 di Surabaya memutuskan menentang pemerintah selama tindakannya melindungi kapitalisme; pegawai pemerintah dianggap sebagai alat penyokong kepentingan kapitalis. Dalam kongres itu ditetapkan tuntutan peraturan sosial buruh seperti upah minimum, maksimal jam kerja, dan lain-lain untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang .
Pada 1918, Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di negeri Belanda berubah menjadi Partai Komunis Belanda dan menimbulkan niat yang sama di kalangan ISDV. Jadi, dalam kongres ketujuh Mei 1920, terbentuklah Perserikatan Komunis di Hindia Belanda (PKH) dengan Semaoen sebagai ketuanya. Dengan dengan, organisasi ini melibatkan diri pada Commintern yang berpusat di Moskow. Kebijakan yang ditetapkan Commintern bagi anggota-anggotanya (partai-partai komunis) adalah boleh bekerja sama dengan kaum borjuis nasional dalam usaha menumbangkan kekuasaan imperialis. Itulah sebabnya di Hindia Belanda dibentuk Persatuan Pergerakan Kemerdekaan Rakyat, yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI.
Akan tetapi, segera terlihat bahwa persatuan itu tidak dapat bertahan karena masing-masing organisasi memegang teguh ideologinya sendiri. Pemimpin PKI dituduh mendahulukan kepentingan revolusi dunia ketimbang kepentingan Indonesia oleh para pemimpin SI yang antikomunis, sedangkan PKI menuduh SI mengabdikan diri pada Pan-Islamisme dan bukan pada penderitaan yang dihadapi rakyat Indonesia. Tetapi sebenarnya yang menjadi permasalahan dalam perdebatan ini ialah perjuangan kekuasaan dalam gerakan itu
Pertumbuhan golongan kiri dalam lingkungan SI waktu itu semakin berbahaya sebab walaupun banyak orang meninggalkan SI karena putus asa, mereka yang masih di dalam organinisasi  menjadi radikal. Depresi ekonomi menambah kemelaratan rakyatserta keresahan di kalangan kaum buruh dan tampaknya kaum komunis, apabila dibiarkan saja, mungkin akhirnya akan menguasai gerakan itu.
Ada keinginan dari rekan-rekan Tjokroaminoto agar SI melaksanakan disiplin partai, yaitu agar jangan membolehkan anggota partai lain ikut dalam perkumpulan mereka. Barulah ketika Tjokroaminoto berada dalam penjara karena Peristiwa Garut, duet Agus Salim – Abdul Moeis menguasai persidangan Kongres Nasional SI keenam di Surabaya dan berhasil melaksanakan disiplin partai kepada golongan komunis. Dengan demikian, anggota-anggota komunis dikeluarkan dan untuk pertama kalinya mereka mulai berkembang sendiri sebagai sebuah gerakan massa.
Perpecahan antara PKI dan SI sangat memperlemah perjuangan kemerdekaan. Yang tertinggal di SI terbagi dalam cabang “putih” dan “ merah “ , dengan kelompok SI “merah” patuh pada PKI dan mengubah nama menjadi Sarekat Rakyat (SR) serta menjadikan organisasi massa yang utama  Penjelasan sebagian besar pengikut SI yang tertarik pada PKI adalah karena PKI merupakan suatu tantangan yang bersifat militan terhadap Belanda dan rakyat tidak akan lagi tertarik apabila tidak ada aksi. SI lebih banyak “asap daripada api“ karena perkumpulan ini lebih banyak bersifat pawai ketimbang gerakan revolusioner dan memang akan lenyap seperti gerakan ratu adil di masa-masa lampau.
Setahun kemudian, Tjokroaminoto menulis buku Islam dan Sosialisme ( 1924). Tulisan Tjokroaminoto bertujuan untuk “ membuat perhitungan ” dengan ideologi sosialisme. Ia menyatakan dengan bahwa seorang Islam dengan sendirinya adalah sosialis. Maksudnya, jika kita kaum muslim, kita sudah pasti kaum sosialis. Baginya, sosialisme sebagai cita-cita kemasyarakatan sejalan dengan Islam sepanjang bertujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia miskin yang terhitung banyak, yakni agar mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat manusia. Namun ia menyadari bahwa sosialisme bukan hanya sel-sel ekonomi, tetapi juga mengandung ajaran filsafat tertentu.
Pemerintah mencabut hak mengadakan pertemuan hampir di seluruh Indonesia untuk PKI, SR dan kebanyakan organisasi buruh yang berada di bawah pengawasan komunisme. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan ini telah menyebabkan gagal membangun kontak yang efektif antarkaum komunis dengan persatuan-persatuan buruh. Akibatnya, urutan strategis pemogokan tidak berjalan sesuai dengan yang sudah dijawalkan. Ditahannya  hampir semua pemimpin buruh yang terlibat dalam pemogokan besar-besaran di Surabaya pada tahun 1925, telah memaksa Partai Komunis bekerja di bawah tanah dan kehilangan pemimpin-pemimpin yang paling hebat .
Komunisme menunda revolusi sehingga baru pecah pada malam 12 November 1926. Menurut rencana, revolusi akan dicetuskan pertama kali di Padang, tapi ternyata pecah di Batavia, pemberontakan di daerah Padang baru muncul dua bulan kemudian dan setelah huru-hara di Jawa benar-benar dipadamkan.
Pemberontakan 1926/1927 sebenarnya lebih merupakan suatu tindakan putus asa daripada suatu percobaan yang dianggap merebut kekuasaan /” Kami menanggap adalah lebih baik berjuang daripada mati tanpa berjuang ,” demikian yang dikatakan oleh salah seorang pemimpin PKI kepada Komunis Internasional. Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas oleh pemerintah karena organisasi komunis pada waktu itu sudah begitu dilemahkan oleh tindakan polisi dan tekanan-tekanan anarkis sehingga pemberontakan itu tak terkoordinasi dan lokal sifatnya, namun demikian, ini merupakan bukti betapa meluas dan mendalamnya rasa tidak puas orang Indonesia. Akan tetapi, pemerintah tidak menanggapi peringatan itu dengan perubahan. Malahan, sebagai cerminan dari suasana revolusioner waktu itu, pemerintah melakukan penindasan secara besar-besaran. PKI hancur dalam proses tersebut, sebuah kamp konsentrasi diadakan di sebuah daerah terpencil di  Boven Digoel, dan banyak kaum pemberontak, kader-kader komunis pemberontak serta kader-kader komunis mengakhiri hidup mereka di sana.   Pemerintah jajahan memilih untuk tidak melarang PKI sebagai organisasi yang mengancam keamanan dan ketertiban. Hukuman yang dianggap lebih sesuai adalah menangkap para pemimpinnya dan membuang mereka tanpa proses pengadilan.
Dengan ditumpasnya usaha pemberontakan pada 1926/1927, PKI terpaksa bergerak dibawah tanah. Banyak pemimpinnya lari keluar negeri seperti Musso, Alimin, dan Semaoen yang pergi ke Rusia, berusaha mengorganisasi partai dari seberang laut, sementara yang ditangkap adalah yang mengorganisasi gerakan bawah tanah atau bergerak aktif dengan anggota partai atau organisasi massa.
Dari luar negeri, usaha mengorganisasi kembali PKI berjalan terus. Pada April 1935, Musso kembali dan di Surabaya ia membentuk PKI bawah tanah (PKI illegal). Di samping itu, Tan Malaka juga mengorganisasi gerakan bawah tanah. Akan tetapi, karena gerakannya sangat terbatas akibat dari kewaspadaan Politiek Inlichingen Dienst (PID) dari Pemerintah Kolonial Belanda maka pengaruhnya sangat terbatas dalam masyarakat. Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang PKI Ilegal melibatkan diri dalam gerakan bawah tanah. Walaupun dalam pengorganisasian cukup baik, Jepang mengetahui gerakan mereka sehingga Amir Sjarifuddin serta para pemimpin lainnya ditangkap pada 1943 dan akibatnya menyingkir kembali ke luar negeri.
Pada 22 Oktober 1945, PKI muncul kembali di bawah pimpinan Muhammad Jusuf. Jusuf tidak memiliki hubungan dengan PKI bawah tanah juga tidak dengan PKI yang sebelumnya mencetuskan pemberontakan pada 1926-1927
Sebelum Mei 1946, kelanjutan dan wibawa partai itu sangat kecil perkembangannya dan keadaan ini baru berubah setelah pemimpin komunis zaman dahulu, Sardjono, kembali dari Australia menggantikan Jusuf sebagai ketua. Sardjono memimpin dengan baik dan dapat meningkatkan partai itu, baru pada 1948 PKI dapat mengejar yang sudah dicapai oleh PNI, Masyumi atau Partai Sosialis Indonesia.
Pada tahun yang sama, terjadi Peristiwa Madiun. Pada 18 September 1948 pagi hari, Pesindo mengambilalih instalasi-instalasi vital di Madiun atas instruksi pemimpin nasionalnya, Sumarsono. Bersama dengan Briagde 29 TNI (sebelumnya Biro Perjuangan pro FDR), mereka menangkap dan membunuh perwira-perwira terkemuka yang pro-pemerintah di Madiun; termasuk hampir seluruh staf yang direncnakan menjadi Dvisi Jawa Timur dalam TNI hasil rasionalisasi. Pada jam 10 pagi, Radio Madiun mengumumkan dibentiknya suatu pemerintahan Front Nasional bagi Kresidenan Madiun, dikepalai oleh Sumarsono sebagai gubernur militer. “ Pemberontakan “ masih pada tingkat kudeta daerah walaupun Sumarsono rupanya telah memberikannya dampak secara nasional – melalui radio – dengan mendesak agar contoh revolusioner diikuti seluruh Indonesia. Tidak dapat disangsikan bahwa semuanya terkejut dan khawatir, kecuali Musso, saat mendengar aksi Sumarsono.
Pagi hari pada 19 September, pemimpin-pemimpin PKI di Yogyakarta ditangkap. Kebanyakan dari mereka termasuk anggota Sarekat Umum, seperti Tan Liang Djie, yang tidak tahu menahu tentang kejadian di Madiun. Malam di hari yang sama, Sukarno menyatakan perang kepada PKI dalam salahsatu pidatonya yang paling pedas. Seraya mengutip dari apa yang dikatakan merupakan petunjuk FDR dari apa yang dikatakan merupakan petunjuk FDR dari Februari 1948, ia menyatakan bahwa kekacauan di Solo dan kudeta di Madiun merupakan bagian suatu rencana jahat untuk mengganti republik dengan suatu pemerintah Soviet dibawah Musso.
Setelah Pemerintah RI mengakui kembali eksitensi PKI, partai tersebut mempunyai kesempatan untuk beraktivitas secara legal. Sikap pemerintah itu memberikan dampak yang liuas terhadap tokoh-tokoh PKI. Mereka yang menghilang sejak Peristiwa Madiun 1948, mulai keluar dari persembunyiannya. Pada September 1949, Alimini Prawirodirdjo yang dihormati sebagai “ the great old man gerakan komunis di Indonesia “ muncul di Yogyakarta. Kemunculan aktivis 1920-an itu sungguh di luar dugaan dan menjadi berita mengejutkan. Hal ini disebabkan di masa itu kabar yang tersiar menyebutkan Alimin tewas selama aksi di Madiun. Dengan kemunculan Alimin, menunjukkan bahwa sikap pemerintah untuk tidak melarang PKI mendapat respon positif dari mereka.
Persoalan pertama yang dihadapi PKI adalah hancurnya struktur partai akibat Peristiwa Madiun, aktivis banyak yang terbunuh serta tidak sedikit yang masih mendekam di penjara; konsekuensi lainnya yakni citra buruk partai. Itulah kenyataan obyektif yang ditemui Alimin. Begitu partai berada di bawah kendalinya, sebagai langkah awal ia menghimpun kembali kekuatan komunis yang tercerai-berai.
Alimin mulai melakukan upaya-upaya konkret guna menghapuskan citra buruk partai. Ia cenderung membangun kembali partai sebagai partai kecil, tetapi sangat selektif dan mempunyai posisi yang kuat dengan dukungan kader yang cakap. Alimin juga menghendaki sebagai partai kader, dengan menerapkan taktik inflitrasi yang cukup jitu ; ia memerintahkan kepada para kader untuk memasuki organisasi kepemudaan, buruh, petani, dan lain-lain.
Pada 7 Januari 1952, terjadi suksesi kepemimpinan dalam partai. Aidit mengambilalih posisi Alimin, guru politiknya sendiri. Dalam susunan politbiro tampak dominasi golongan muda seperti Aidit, Lukman, Sudisman, sedangkan golongan tua diwakili Alimin. Tampilnya kepemimpinan golongan muda, terutama sosok Aidit, telah memberikan catatan-catatan tersendiri. Mereka mengembangkan corak yang khas bagi partai. Hasil-hasil yang dicapai PKI dalam Pemilu 1955 maupun Pemilu daerah 1957 adalah bukti bahwa garis politiknya tepat dan diterima.
Presidenlah yang dengan gigih berkampanye untuk memasukan PKI ke dalam kabinet pascapemilu dan selalu menegaskan bahwa ia tidak akan menunggangi “kuda berkaki tiga”, yaitu sebuah pemerintahan yang hanya mewakili tiga dari empat pemenang utama Pemilu, yaitu PNI, Masyumi dan NU.  Presiden selalu saja membela PKI setiap kali partai itu mendapat serangan. Oleh karena itu, larangan-larangan Angkatan Bersenjata terhadap aktvis-aktivis PKI atau kelompok-kelompok front mereka selalu diimbangi dengan tuduhan komunis-phobia dari presiden.
Hubungan presiden dengan PKI adalah salahsatu yang paling rumit dan ruwet dari segala macam manuver politik. Dari kutipan tulisan Sukarno dan pidato-pidatonya terbukti bahwa kekuatan dan latarbelakang intelektual Sukarno lebih banyak dibentuk oleh berbagai sumber sosialis dan menunjukkan minat yang besar terhadap pemikiran-pemikiran yang berbau marxisme-leninisme. Akan tetapi, juga ada bukti dari perilaku politiknya selama beberapa tahun bahwa komitmen terbesar presiden adalah pandangan –pandangan nasionalisnya.
Ini barangkali bisa menjelaskan mengapa meskipun terjadi Peristiwa Madiun, presiden tampaknya menganggap bahwa bersama dengan orang-orang komunis dan orang Indonesia lainnya, nasionalisme harus didahulukan ; dan bahwa ideologi apapun yang mengganti cita-cita nasionalis harus diabaikan. Atau mungkin juga, Sukarno tidak pernah menganggap PKI memiliki peluang yang lebih besar daripada kelompok-kelompok politik lainnya untuk mendapatkan kedudukan yang bisa menentang wibawa presiden. Apapun alasannya, ketika PKI mulai menabuh genderang perang untuk merebut kekuasaan, Sukarno memilih untuk tidak melawan kekuasaan komunis tersebut.
Dengan memberikan dukungan kepada ideologi dan struktur politik Sukarno, meanggungkan pernan nasionalnya dan setuju untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan nasionalnya, serta menarik golongan komunis ke arah akomodasi yang leboih jelas terhadap tradisi, Sukarno dan PKI memperoleh dukungan yang kuat dari lapisan masyarakat yang sama kelas bawah di daerah perkotaan yang terperangkap di antara pengaruh tradisi dan pengaruh modern; secara lebih mendalam, dari kalangan golongan abangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merindukan kesamaan dan janji-janji tentang kehidupan yang lebih baik. Tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan baik Sukarno maupun PKI menyuarakan kebutuhan dan kepentingan lapisan masyarakat tersebut.
Walaupun terdapat persamaan antara kedua ideologi atau kepentingan milik Sukarno dan PKI, ada konflik yang terselubung di antara keduanya dalam hal tujuan yang ingin dicapai. Jika Sukarno berusaha untuk menggabungkan massa orang-orang Jawa dengan massa suku lainnya menjadi satu kesatuan yang secara sosial bersifat konservatif dan dipimpin oleh para pemimpin mereka maka golongan komunis ingin memobilisasi massa untuk menumbangkan kesatuan sosial yang diinginkan oleh Sukarno. Jelas bahwa dukungan PKI bagi Sukarno ditujukan untuk memperoleh ruang gerak dan berguna sebagai penyeimbang terhadap kekuatan Angkatan Darat.
Akhirnya, PKI merasa lebih baik untuk memisahkan diri dari konsensus dan pola neotradisional untuk mencegah tertutupnya kemungkinan memperoleh kekuasaan jika Sukarno meninggal dunia atau mengundurkan diri. Suatu keuntungan bagi golongan komunis bahwa pada September1963 perjuangan anti-imperialisme yang dilancarkan Sukarno mempercepat terjadinya konflik langsung dengan Federasi Malaysia yang didukung oleh angkatan bersenjata Inggris. Indonesia dikuasai oleh radikalisme yang menyala-nyala, yang ditujukan oleh Sukarno yang hebat dibandingkan dengan orang lain. PKI merumuskan suatu strategi “offensif revolusioner “ untuk memojokan dan menghancurkan kekuatan anti-komunis serta membuang rantai yang menghambat mereka untuk ikut serta dalam pemerintahan.
Sebenarnya keseimbangan antara Sukarno, tentara, dan PKI sebagai segitiga kekuatan terus bergeser dan berubah bentuk dari semula. Soekarno dan tentara menjadi unsur pokok dan kekuatannya agak seimbang. Dengan sejumlah kelihaian, satu tangan Sukarno memegang  PKI yang memerlukan perlindungannnya dan tangan lainnya memegang tentara yang ragu dan tidak mempunyai kepastian tujuan. Ia berhasilkan menempatkan diri pada posisi sentral yang unggul dan memainkan dua kekuasaan lain dalam suatu keseimbangan. Hingga kemudian segitiga ini berubah lagi bentuknya, dimana posisi tentara agak merosot dan PKI naik hampir mendekati tingkat puncak Sukarno. Ada yang mengatakan bahwa apabila Sukarno meninggalkan panggung politik, tidak menolak kemungkinan bahwa PKI akan berkuasa dan tentara akan memberlakukan PKI sebagai musuh. Ini menjadi pertanyaan apakah hal tersebut menjadi awal mulanya peristiwa G30S.
Luka-Luka Sejarah
Pengunduran diri Soeharto pada 1998  berpengaruh dalam upaya menelaah kembali kontruksi sejarah resmi peristiwa 1965. Narasi peristiwa 1965 menjadi lebih bervariasi ; bila dulu peristiwa ini hanya dikontruksi dari sudut pandang rezim Orde Baru maka kini sebaliknya, kontruksi sejarah peristiuwa 1965 dari perspektif Orde Lama  mulai mengemuka. Perubahan itu antara lain ditandai dengan beredarnya buku-buku terkait peristiwa 1965 yang di masa kekuasaan rezim Soeharto dilarang, ditambah memoar, otobiografi, dan biografi baik yang ditulis oleh eks-eks tapol 1965 maupun pihak lain. Selain buku-buku, terdapat juga bentuk lain seperti laporan jurnalistik, diskusi dan seminar publik, pementasan teater serta pameran seni rupa.
Perubahan lain juga tampak dalam kebijakan politik pemerintah. Semasa dua presiden setelah Soeharto, yakni BJ Habibie dan Abdurrachman Wahid, wacana resmi tentang komunisme telah berubah. Di masa Habibie, meski setengah hati, terjadi empat poin berkaitan dengan sikap pemerintah terhadap wacana komunisme. Pertama, pemerintah menghentikan penayangan film “ Pengkhianatan G30S/PKI “ yang rutin ditayangkan Televisi Repubik Indonesia (TVRI) setiap 30 September. Kedua, pemerintah membebaskan 10 tapol 1965 yang masih tersisa. Ketiga, pemerintah tidak menolak pembentukan YPKP 65 ( Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 – 1966 ). Keempat, para aparat pemerintah menghentikan penggunaan retorika “ waspada terhadap ancaman / bahaya laten komunisme. “
Setelah terpilih sebagai presiden, Abdurrachman Wahid mengajukan rekonsiliasi nasional. Alasan di balik inisiatifnya berkenan dengan eks tapol dan keluarganya. (1) Mengenai keputusannya memberi izin kepada para pengasingan politik Indonesia untuk pulang kembali dan mendapatkan kembali kewargaan negara apabila mereka sendiri menghendaki; (2) Mengenai keputusannya untuk membubarkan Badan Koordinasi Pemulihan Stabilitas Nasional (Bakorstranas) dan menghentikan praktik-praktik penelitian khusus (litsus); (3) Abdurrachman Wahid secara pribadi menawarkan pernyataan permintaan maaf kepada para keluarga korban  pembantaian massal 1965 – 1966dan kepada mereka yang telah dipenjara tanpa melalui proses peradilan ; dan (4) Abdurrachman Wahid mempunyai beberapa alasan atas usulannya mencabut TAP MPRS No 25/1966 tentang pelarangan PKI dan ajaran komunisme/marxisme/leninisme.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masa lalu Indonesia, yaitu selama 32 tahun pemerintahan Soeharto (1966 – 1998) merupakan rezim otoriter. Rezim itu sendiri dibangun di atas pembasmian PKI dan pembunuhan-pembunuhan serta pemenjaraan tanpa proses pengadilan terlebih dari satu juta kaum komunis atau yang dibunuh sebagai komunis. Narasi masa lalu komunis bersifat berat sebelah. Nasari hanya berisi tentang apa yang kaum komunis lakukan dan derita sebelum pecahnya peristiwa 1965, tetapi narasi itu bungkam tentang apa yang kaum komunis derita dan lakukan sesudah persitiwa tersebut terjadi.
Pembantaian massal 1965 – 1966 menunjukkan resmi Orde Baru telah berlumuran darah dan menoreh luka yang menyakitkan bagi rakyat Indonesia. Pertanyaan adalah haruslah sejarah buram itu kita lupakan dengan menyobeknnya begitu saja dari lembar buku sejarah bangsa kita? Lalu. Bagaimana cara kita menyembuhkan luka itu sehingga tumbuh sikap saling memaafkan dan melegakan semua pihak ?
Tanpa beban masa lalu, seluruh bangsa kita membangun atau membangun kembali hubungan yang tidak dibayangi oleh konflik-konflik dan kebencian hari kemarin. Ini suatu kondisi dimana terjadi rasa saling percaya, baik secara horizontal maupun vertikal, suatu kondisi semua pihak percaya bahwa tak seorang pun akan mengusik koeksistensi damai yang dicapai. Ini juga suatu kondisi  dimana semua pihak sepakat untuk menutup “ buku masa lalu”. Di atas bukumasa lalu yang tertutup inilah masa kini dibingkai kembali dan masa depan direncanakan bersama.
(Makalah ini dipresentasikan dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Sukarno, Marxisme & Leninisme (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), yang diselenggarakan di Freedom Institute pada tanggal 23 April 2014.)

0 komentar

Posting Komentar